Assad adalah seorang antropolog, yang menolak memberikan definisi agama sebagai sebuah produk sejarah yang berproses berkesinambungan. Dalam hal ini, ia menggunakan metode Geertz dan lainnya, yang ia padukan untuk menjelaskan pembahasan tema ini.
Pertama kita harus mencari esensi dari agama sendiri, Louis Dummont yang memberi tahu kita bahwa umat Kristen abad pertengahan adalah sebuah masyarakat yang sedemikian campuran. Dari hal ini maka agama (otonominya) perlu dipisahkan dan dibedakan dalam hukum, politik, pengetahuan dan sebagainya. Dari itu, maka kita mencari bentuk kekuasaan (otonomi) agama untuk mengetahui esensi agama, dengan meminjam definisi universal agama yang ditawarkan seorang antropolog terkenal: Agama sebagai Sistem Budaya/Religion as a Cultural System-nya Clifford Geertz.Walaupun bagi Assad bahwa tidak bisa ada definisi universal agama, tidak hanya karena unsur dan hubungan konstituennya spesifik secara historis, tetapi karena definisi itu sendiri adalah produk historis dari proses yang tidak berkesinambungan. Sebagaimana pendapatnya tentang masyarakat Kristen abad pertengahan sedikit berbeda dengan masayarakat kristen modern.
Kembali ke Geertz, ia memberi sebuah definisi universal (contoh: antropologis) itu, bagaimanapun juga, adalah tepatnya apa yang Geertz tuju: sebuah agama, usulnya, adalah “(1) sebuah sistem simbol-simbol yang bertujuan untuk (2) mendirikan suasana hati dan motivasi yang kuat, meresap, dan bertahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan gambaran tentang susunan umum sebuah eksistensi dan (4) membungkus gambaran-konseps ini dengan aura faktualitas atau fakta dimana (5) suasana hati dan motivasi terlihat realistis dan unik.” Definisi inilah yang dikaji Assad , untuk membahas tema ini yang tentunya dengan perpaduan pendapat Antripolog lain.
Dalam simbol Geertz, simbol sebagai sebuah gambaran, sebagaimana dimensi simbolis dari peristiwa sosial adalah, seperti halnya peristiwa psikologis, secara teori bisa diabstraksikan dari peristiwa-peristiwa ini sebagai sebuah totalitas empiris. Namun sayangnya Geertz malah kembali mengatakan pentingnya menjaga simbol dan obyek empiris dengan cukup terpisah. Maka, ‘simbol’ terkadang adalah aspek realita, kadang pula adalah gambaran dari realita itu sendiri. Yang menurut saya dalam memahami simbol akan mengalami pertukaran sebagaimana dikatakan Geertz, sehingga demikianlah sulitnya mengartikan simbol, karena kadang kita mengartikan sesuatu sebagai simbol ternyata bukan, dan sebaliknya. Demikianlah juga tantangan antropolog. Oleh karenanya itulah perlunya dilakukan penelitian agama untuk mengatasi hal tersebut., sebagaimana Vygotsky mampu memperlihatkan bagaimana perkembangan kecerdasan anak tergantung pada internalisasi kemampuan berbicara sosialnya, dengan mengkonstruksi simbol-simbol terkait.
Sistem simbol-simbol, ucap Geertz, juga merupakan pola budaya, dan mereka mendirikan ‘sumber informasi ekstrinsik’. karena ‘mereka berada di luar batasan organisme perseorangan di dalam dunia intersubyektif tentang pemahaman umum, dimana manusia individu lahir.’ Dalam hal menurut Geertz membedakan antara sosial dan psikologis, dan psikologis sebagai sumber ektrinsik yang kurang penting. Karenanya teori Parsonian menciptakan tempat logis untuk mendefinisikan esensi agama. Dengan mengadopsinya, Geertz berpindah dari pemikiran tentang simbol yang intrinsik menjadi mensignifikasikan dan menyusun praktik-praktik, dan kembali pada pemikiran tentang simbol sebagai obyek pembawa makna yang eksternal pada kondisi sosial dan keadaan dirinya (‘kenyataan sosial dan psikologis’).
Simbol keagamaan, Geertz menambahkan, menghasilkan dua jenis watak, yaitu suasana hati (mood) dan motivasi: “motivasi ‘ bermakna’ dengan merujuk pada akhir menuju yang mana mereka paham untuk menghasilkannya, sementara mood adalah ‘bermakna’ dengan merujuk pada kondisi yang mana mereka pahami untuk muncul darinya. Sayangnya sebagaimana penjelasan dalam pemikiran Kristen oleh St. Augustine. Ternyata hal yang mampu memotivasi dan merubah suasana hati tidak hanya penjelasan simbol oleh Geertz yang terlihat sederhana tapi juga kekuasaan mulai dari hukum (imperial dan gerejani), dan kesangsian lain (api neraka, kematian, keselamatan, reputasi bagus, kedamaian) sampai pada aktivitas disipliner dari institusi sosial (keluarga, sekolah, kota, gereja) dan badan manusia (puasa, doa, kepatuhan, penebusan dosa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar