Islam Indonesia Masa Hindia Belanda: Kebijakan Hindia Belanda dan Perlawanan Gerakan Islam



Islam Indonesia Masa Hindia Belanda
Kebijakan Hindia Belanda dan Perlawanan Gerakan Islam
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Indonesia
Dosen Pengampu : Rahmat Fajri, M.Ag.

Oleh :
Muhammad Habibul Mushtofa (15520003)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan temuan batu nisan Maulana Maghribi (Malik Ibrahim), terdapat angka yang menunjukkan tahun kematiannya yaitu tahun 1419 dan berdasarkan laporan Cheng Ho,anggota perutusan Tionghoa (1413), sekitar abad XV di pesisir utara Jawa telah ada pemeluk agama Islam. Sementara di Sumatera telah ada kerajaan Islam Perlak, pada  tahun 1400 Muhammad Iskandar Syah sebagai pemimpinnya. Dengan begitu, diperkirakan Islam sudah ada di Nusantara pada akhir abad 14 M, penyebaraanya diperkirakan abad 13 M dalam arti sosial, namun secara individual kontak budaya  diperkirakan berlangsung sejak abad 7 M.[1] Hal tersebut juga pada abad ke 16 M dibarengi kedatangan kolonial Belanda di Nusantara, yang menduduki Indonesia selama 350 tahun sampai kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selama itu pula diperkirakan telah terjadi Interkasi antara Islam dan Belanda di Nusantara.
Perkembangan Islam di Nusantara itu, terkhusus di pulau Jawa banyak kontak budaya lokal, kepercayaan lokal seperti animisme dan dinamisme,bahkan kontak dengan agama Hindu dan Buddha yang telah ada lebih dahulu. Sejak ada kerajaan Demak dan Mataram Islam, perkembangan Islam semakin meluas ke seluruh Nusantara, tapi sejak kolonialisasi, kehidupan beragama mulai mendapat tekanan. Sebagai bukti adanya tekanan ialah tersisihnya pesantren-pesantren, hukum Islam hanya bergerak dalam aqidah dan ibadah saja, pemerintah belanda berusaha mengarahkan kaum muslim ke bidang-bidang tasawuf saja. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai lahirnya pemikiran Islam modern yang diprakarsai oleh para mubaligh dan pelajar setelah mereka menimba ilmu di negeri Belanda ataupun daerah Islam seperti Mesir.[2]
Demikianlah, makalah ini akan membahas tentang bagaimana perkembangan Islam masa kolonial Belanda, yang berisi tentang kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda serta bagaimana perkembangan Islam dalam hal ini gerakan Islam dalam masa Hindia Belanda.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa yang dilakukan Hindia Belanda terhadap agama Islam di Indonesia?
2.      Bagaimana perkembangan Islam pada era Hindia Belanda di indonesia?



PEMBAHASAN
A.    Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Agama
Kaum orientalis, barat pada umumnya dan khususnya belanda, telah banyak menaruh perhatian terhadap aspek kebudayaan dan kepercayaan  masyarakat timur.  Banyak ahli dari Belanda yang telah mempelajarinya, terbukti dalam tulisan-tulisan yang membahas agama primitif seperti karya A.C. Kruyt Het Animisme in den Indischen Archiphel s’ Gravenhage (1906),  R.E. Downs, The Religion of the Bare’en Speaking Toradja of Central Celebes, s, Gravengage (1965).  Begitu juga tentang agama Hindu dan Buddha seperti karya J.L. Swelleng Ribble, Kerk en Temple of Bali, s, Gravengage (1948), J. Kunst, Hindoe-Javaansche Muziek Instrumenten Special die van Oast Java, I-II Bandung (1927), A. Fitz, Buddhism in Java, Batavia (1935) dan Pleye, Die Buddha Legende im den Skulpturen der Temples von Borobudur, Amsterdam (1902).[3] Adapun tentang Islam, sejak abad 16 Belanda telah menaruh perhatian terhadap kepulauan hindia timur, yakni terutama jawa, untuk perdagangannya. Dalam kunjungannya ke Hindia Timur itu sudah pasti mereka mencatat tentang agama Islam yang dipeluk oleh rakyat yang menggadakan hubungan dengan mereka.
Salah satu usaha yang dilakukan untuk mempelajari Islam di Nusantara yakni dilakukan oleh seorang pendeta Protestan bernama francois valentyn, dalam karyanya, oud en Nieuw Oos-Indien (1724-1726).  Dalam buku itu digambarkan tentang kedatangan agama Islam di Ternate, Ambon, Banda, Selebes Selatan, Jawa dan Sumatera Utara. Diantara yang lain-lain, ia menerangkan bahwa agama pokok itu hanya ada tiga, yaitu Yahudi, agama kafir, dan agama Kristen, sedangkan agama Islam merupakan “pencampuradukan yang mengerikan” dari ketiga agama itu. Selanjutnya, pada tahun 1717, seorang ahli dari Switzerland, George Henrik Werndly,  menetap di Padang, dan pada tahun 1736 menerbitkan paramasastra Melayu yang memuat 69 teks ajaran Islam bahasa melayu, termasuk juga beberapa tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin. Diantara yang lain, ia berkesimpulan bahwa “orang-orang Melayu bukanlah orang yang tidak beradab, tetapi studi bahasa dan ilmu berkembang diantara mereka”.[4]
Selain dari Belanda, juga ada orang-orang Inggris seperti William Marsden, Stamford Raffles, dan John Chrawfurd. Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra (1783), menyatakan tentang umat Islam di Minangkabau “Apakah mereka itu pengikut sekte sunni atau syiah, sekalipun dari prinsip-prinsip toleransi mereka dan dari tulisan-tulisan mereka dalam memuji Ali, Saya berkesimpulan bahwa mereka itu terbilang pada sekte yang akhir itu”, juga Raffles dalam bukunya The History of Java (1917) ia menyatakan islam di Jawa “rupa-rupanya hanya menembus permukaan dan hanya sedikit sekali berurat berakar di jiwa orang-orang Jawa”.  Selain itu, Chrawfurd dalam bukunya History of the Indonesian Archipelago… (1820)menyatakan tentang islam “orang-orang Melayu sebagai islam yang paling baik dari Nusantara,”, dan “orang-orang Jawa sebagai yang paling longgar dalam prinsip-prinsip dan praktik agama”.[5]
a)      Netral terhadap Agama: Antara Islam dan Kristen
Barang tentu dalam hubungan Pribumi dan Belanda, latar belakang utamanya adalah hubungan Islam-Kristen, yang umumnya penguasa Belanda beragama Kristen dan Pribumi umumnya beragama Islam. Dalam hal ini kebijakann penguasa Belanda tidak akan mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Juga tidak akan mampu memperlakukan pribumi yang beragama lain sama dengan pribumi yang seagama dengannya. Dalam hai ini, menjelaskan mengapa sering terjadi diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama. Meskipun dinyatakan pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama.[6]
Sejak awal, penyebaran agama Islam di kepulauan Nusantara dirintis oleh para pedagang Arab dan India dengan tujuan awal berdagang. Namun, sebaliknya agama Kristen mulai diperkenalkan Portugis dengan kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap Islam, yakni memburu orang-orang Moor. Bagi portugis, semua orang Islam adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi. Orang-orang Spanyol dan Portugis menjelang abad ke-16 sengaja datang ke berbagai pelosok dunia anatara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Ekspansi Portugis ini harus dilihat sebagai kelanjutan dari perang Salib. Tetapi penaklukan yang dibarengi aktivitas missi ini justru membangkitkan lawan-lawannya untuk beraksi, dan memacu masuknya pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama Islam.[7]Hal di atas mungkin terbukti adanya sebagaimana sejarah Pangeran Diponegoro, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya konflik kecil antar agama terhadap datangnya agama di atas, baik Islam,Kristen maupun juga dengan agama yang sudah ada lebih dulu.
Sementara itu kedatangan Belanda, dalam hal ini VOC sebagai perkumpulan perdagangan, namun ternyata semenjak tahun 1602 diwajibkan menyebarkan agama Kristen, pada tahun 1661 VOC  melarang muslim Nusantara melaksanakan haji ke Mekkah. Namun, pada abad ke-19 misi kristenisasi mulai gencar dilakukan, hal ini didasari asumsi Islam di Nusantara belum sempurna, terutama di Jawa yang terjadi Sinkertisme, sehingga seperti pendapat Snouck Hurgronje, bahwa islam di kawasan ini (jawa) sebenarnya hanya nampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupaan mereka ditutupi agama. Sehingga pada abad itu, Belanda menganggap mayoritas penduduk Jawa adalah abangan yang hidupnya tidak persis sesuai tuntunan formal agama. Tapi, betapapun sinkretis dan abangannya orang Jawa, namun mereka tetap muslim, bahkan agama islam menjadi kekuatan dinamik bagi para petani jawa, yang menjadi mayoritas pekerjaan pribumi kala itu.[8]
Semenjak peralihan abad 20, misi kristenisasi semakin gencar, hal ini mengacu semenjak partai agama menguasai parlemen Belanda. Kristenisasi mulai gencar diberbagai daerah, dimana persaingan ini bukan hanya Kristen dengan Islam tetapi juga  menjadi antara Belanda dengan Pribumi. Selain itu juga, pemerintah Belanda banyak memberikan aturan terhadap Islam, seperti memberikan larangan Haji,izin mendirikan masjid juga memberikan aturan yang menguntungkan agama Kristen seperti  adanya edaran tentang pasar dan hari minggu. Dalam edaran tersebut diperintahkan para pegawai menghormati hari minggu dengan melarang aneka ragam pesta pada hari tersebut dan melarang pula kegiatan pasar pada hari tersebut.[9]
Dari berbagai kebijakan pemerintah Belanda tersebut, jelaslah bahwa itu bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Belanda ayat 119 tahun 1855 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama. Hal tersebut tidak hanya dialami Islam yang mengalami pembatasan ataupun ketidakadilan. Namun juga terhadap masyarakat animis, pemerintah Belanda melarang kebiasaan-kebiasaan tertentu mereka, semisal melarang menjadikan manusia sebagai kurban pemujaan, perang balas dendam, potong kepala dan sebagainnya.
Terhadap agama Hindu juga melarang seorang janda membakar diri ketika suaminya meninggal, namun juga Belanda membantu masyarakat Hindu seperti di Bali dengan memberi bantuan untuk pesta panen. Dari hal tersebut, pernyataan netral terhadap agama hanyalah khayalan belaka, kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda lebih tepat disebut campur tangan dalam agama daripada netral terhadap agama.[10] Namun, sebagaimana andaikata terjadi suatu perbenturan antara islam dan agama non islam (adat), pihak belanda juga akan selalu memihak kepada golongan adat.
b)     Pengaruh Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Agama
Dalam pemerintah kolonial Belanda kebanyakan berkenalan dengan islam sebagai masalah politik-agamis yang harus dihadapi oleh kekuatan militer juga sipil. Selain itu juga, untuk kepentingan Belanda diajarkan kuliah-kuliah tentang Lingustik, sejarah, dan Antropologi dari wilayah jajahan Hindia Belanda.
1.      Studi Akademis di Leiden
Di tempat asal orang Belanda seperti di Breda dan Leiden banyak diajarkan perkuliahan mengkaji secara linguistik, yang salah satunya tentang agama, dan termasuk Agama Islam. Di Breda terdapat Royal Military Academy guna pelatihan dan pengajaran untukkepentingan kolonial Belanda.Selain itu, terdapat studi tentang islam di Indonesia yang lebih mendalam dari Breda, yakni Royal Academy di Delft, didirikan pada tahun 1842 guna melatih calon-calon pegawai sipil dari hindia Belanda. Disamping bahasa, geografi,etnografi dari nusantara, Delft juga memberikan kuliah tentang hukum Islam. Nama seperti Meursinge dan Keijzer adalah contoh sebagai ahli Islamologi yang dilahirkan oleh Delft.Meursinge menerbitkan buku pegangan Melayu dalam bahasa Arab, khususnya tulisan Abdur Rauf Singkel untuk pelajaran hukum islam. Adapun Keijzer menerbitkan dan menyunting kitab Toehpah, dan juga tulisan-tulisan berhubungan dengan hukum adat.Selanjutnya ada tokoh A.W.T Juynboll  dan L.W.C Van den Berg, Junyboll menunjuk tulisan   pada bendera Aceh yang dirampas pada tahun 1840 mempertanyakan apakah orang-orang yang mempunyai bendera ini adalah orang-orang Syiah moderat. Lalu Van de Berg (1845-1927) yang sejak tahun 1870 hingga 1887 menduduki jabatan di Batavia, sebagi pejabat untuk studi bahasa-bahasa di Hindia Belanda dan penasehat tentang bahasa-bahasa timur dan hukum islam, memiliki tulisan diantaranya terjemahan bahasa Prancis kitab Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, salah satu kitab yang memiliki peranan penting dalam madzhab syafi’I di Indonesia.[11]
Selanjutnya Snouck Hurgronje menyumbangkan tulisan tentang Islam berisi kritik terhadap Juynboll dan Van de Berg dalam hal ushul Fiqh. Dalam masalah “hukum islam yang murni” dan “penyimpangan-penyimpangan” dari hukum islam di Nusantara. Selain itu masih ada seorang bernama G.K. Niemann (1823-1905) yang menjadi guru besar Geografi dan Etnografi Hindia Belanda dan bahasa-bahasa Makasar dan Bugis di Delft. Ia banyak menulis tulisan tentang islamdi Indonesia, antara lain dia menganggap bahwa Jawa adalah negeri Muslim, sekalipun terdapat elemen kafir di dalamnya. Islam dan Bahasa Arab telah menjadi obyek studi di Universitas-Universtas di Eropa, khususnya universitas di Belanda. Universitas Leiden salah satunya, yang menjadi pusat studi tentang islam di Indonesia. Lebih lagi, perpustakaan Leiden dan koleksi manuskrip yang sangat penting untuk studi sejarah dan ciri-ciri islam Indonesia.  Namun perlu diketahui, studi Islam dan bahasa Arab di Leiden sejak awal bukanlah masalah murni akademis, karena menurut Juynboll bahwa “studi bahasa Arab tidak luput dari perhatian ahli-ahli bahasa arab yang pertama-tama tentang keuntungan-keuntungan yang besar yang diperoleh dari mengetahui bahasa ini…” dan ia menambahkan ada tiga motif untuk mempelajari bahasa arab, 1) untuk penyiaran agama kristen di daerah-daerah Islam, 2) untuk mempelajari ilmu kedokteran,3) dan sebagai pembantu studi lingusitik, khususnya bahasa Ibrani.Hal itu terbukti seperti adanya Orientalis dari Utrecht University bernama Adrian Reland (1678-1718), ia adalah ahli dunia timur dan sangat mendalami bahasa Melayu, Arab, serta Islam. Juga ada pendeta bernama Baron W.R. Van Hovell, juga sarjana bernama B.F. Matthes yang ditempatkan sebagai penerjemah Injil di Sulawesi Selatan. Juga Van der Chijs yang menerbitkan artikel tentang pendidikan di Hindia Belanda, termasuk pendidikan Islam di Pesantren. Juga tulisan dari Guru Besar Leiden, P.J. Veth yang mendeskripsikan tentang pantai barat Borneo berisi berbagai data tentang islam seperti tradisi-tradisi yang berhubungan dengan asal-usul dinasti muslim lokal, juga sejarah kasultanan-kasultanan.[12]

  Namun, dari berbagai tokoh Belanda diatas, Snouck Hurgronje (1857-1936) merupakan tokoh paling vital dalam mengkaji studi islam Indonesia. Sejak tahun 1889 sampai hingga 1906 ia telah menjadi penasihat masalah-masalah pribumi dan Arab bagi Pemerintah Hindia Belanda. Pekerjaannya berhubungan dengan kantor urusan pribumi atau yang dikenal sebagai kantor Agama, yang dalam perkembangannya oleh bangsa Indonesia kemudian menjadi Kementrian Agama yang didirikan pada tahun 1946.
Snouck sendiri memiliki tulisan tentang Islam Indonesia, yang tertuang terutama dalam buku yang berjudul Verspreide Geschriften (1923-1927), jilid pertama berupa  uraian tentang Islam dan sejarahnya secara umum, jilid kedua tentang hukum Islam, jilid ketiga tentang negeri Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Hindia Belanda dan politik Islam pemerintah Hindia Belanda, jilid kelima berisis studi linguistik dan literatur, dan jilid keenam berisi pembahasan tentang buku, juga artikel-artukel dan jilid terakhir berisis index dan bibliografi karangannya.[13]
Sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memiliki kebijakan dalam politik Islam sebagaiaman tertuang dalam ceramahnya:[14]
·         Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak.
·         Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi “untuk kepentingan bersama”.
·         Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin.
·         Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif harus menuju ke arah tujuan positif, yaitu kemajuan orang-orang islam yang harus dibebaskan dari “peninggalan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna, yang menyeret mereka hingga sedemikian lamanya. Agar supaya dengan jalan ini, dengan perantara pendidikan dan pengajaran dapat memperoleh kesempatan “asosiasi” kultural dengan kebudayaan barat.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakaan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekati Belanda, tapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap yang akan membawa rakyat pribumi kepada fanatisme dan Pan Islam.[15]

2.      Missionaris
Setelah mengkaji Islam di Hindia Belanda, yang  diketahui ternyata bukan masalah akademis saja ,namun juga dibarengi misi Kristenisasi. Perlu diketahui bahwa dalam golongan Protestan misi ini disebut Zending, sedangkan dalam Katolik dinamakan Missie.  Missionaris Katolik sendiri mengarahkan kegiatanya lebih ke daerah-daearah “kafir” dengan agama-agama tradisional mereka daripada daerah-daerah yang kurang lebih sudah islam. Sedangkan Zending sendiri malah cenderung pekerjaannya di Jawa yang mana banyak berhubungan dengan Islam daripada Missionaris Katolik yang sebagian besar kerjannya di luar Jawa.[16]

Salah satu yang menarik membahas missionari tentunya perebutan pengaruh antara Islam dan kristen di tanah Batak. Sejak berakhirnya perang paderi, Islam telah berkembang merembes ke daerah tanah Batak. Namun, demikian masih terdapat orang Batak yang yang setia terhadap ajaran pelbegu dari nenek moyang. Melihat hal itu kolonial mulai melakukan missionaris terhadap orang Batak, dan mulai memisahkan antara orang Batak Kristen dengan Batak Muslim.[17] Namun demikian, persaingan pengaruh antara Islam dan Kristen, tidak hanya di Batak, tapi juga di semua wilayah Nusantara seperti Jawa, Kalimantan, ataupun Maluku.
            Contoh lain terjadinya missionari terjadi di pulau Jawa yakni salah satunya di Karangjoso, Begelan Purworejo. Megenai masuknya agama kristen di Jawa erat kaitannya dengan cerita pembabatan hutan di paruh pertama abad XIX oleh Belanda. Pada awalnya agama Kristen dibawa oleh orang Eropa, sebagaimana di Jawa Barat dan Jawa Timur, serta wilayah Jawa Tengah, kristenisasi juga berkembang pesat di perkebunan, seperti yang dilakukan missionaris Coolen di daerah ngoro di Jawa Timur, Jelessma dan Tunggul Wulung dalam pembabatan hutan di Mojowarno, Gunsch di Sidokare, L. Jolle di Simo, dan Sadrach di Karangjoso.[18]
Sampai awal abad ke-20 dukungan terhadap kristenisasi telah dilakukan diberbagai wilayah Hindia Belanda. Namun, terhadap daerah yang islamnya kuat semacam Aceh, orang Belanda seperti Snouck tidak merestui kristenisasi. Untuk menghadapi Islam tersebut, ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.[19]

3.      Asosiasi dan berbagai tindakan kolonial Belanda
Pada politik Islam yang diterapkan Snouck Hourgronje dalam kemasyarakatan diketahui bahwa prinsipnya adalah menggalakan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda, yang mana prinsip ini tidak bisa lepas dari kaitannya dalam upaya merebut kemenangan dalam persaingan dengan Islam, demi kelestarian penjajahannya.Prinsip ini bisa disebut dengan politik asosiasi yang bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara penjajahnya melalui kebudayaan,dimana lapangan pendidikan menjadi perhatian utamanya. Ditegaskan pula asosiasi akan menghilangkan cita-cita Pan Islam, dan secara tidak langsung asosiasi akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk bumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi.[20] Sebagai contoh pribumi yang telah mengenyam pendidikan belanda akan lebih mudah diajak berpikir dan berdialog sekaligus paham dan mudah  menerima pengaruh missionaris yang dilakukan pihak kolonial.
Bukti kuat contoh di atas, sebagaimana Snouck dapat memberikan pendidikan pada anak-anak bangsawan. Pada tahun 1890 ia memperoleh murid pertama, pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (lahir 1877), anak bupati Serang, yang ditempatkan di sekolah Belanda dan dapat memberi nama pangeran tersebut berubah menjadi Williem van Banten.[21]
Namun, usaha belanda dalam asosisasi pendidikan sebagaiamana tujuan awalnya telah disebutkan, ternyata dipihak Islam juga berdampak positif, dimana tumbuh semangat pembaharuan penddikan dalam Islam, sebagaimana Muhammadiyah mendirikan MULO pribumi di Yogyakarta tahun 1937, yang menggunakan pendidikan ala Barat yang disesuaikan dengan kebutuhan Islam dan Indonesia. [22]Disamping telah ada pendidikan ala Islam yakni sistem Pesantren, di daerah  Indonesia, seperti di Banten, Jawa,  dan Madura.
Hal di atas itulah juga yang memicu adanya ordonasi guru, terkhusus guru Islam, yang beruapa aturan tentang pendidikan Islam tahun 1905 dan dinyatakan berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan Solo.[23] Ordonasi Guru ini mewajibkan adanya izin guru-guru agama Islam, dan bila tidak ada izin tentunya akan ada penagkapan dan pemburuan guru agama (ulama). Oleh karenanya kebijakan ordonasi ini banyak ditentang umat Islam kala itu, sehingga peristiwa-peristiwa konflik antara pihak kolonial dan Islam pun tidak dapat dihindarkan.


B.     Gerakan Islam Masa Hindia Belanda

Perang Paderi di Sumatera, perang Diponegoro di Jawa adalah bentuk perselisihan Islam dan Kolonial yang terekam pada masa awal, perselisihan seperti itu pun masih terus berlanjut ditunjang banyak kebijakan kolonial yang merugikan Islam, semisal ordonasi guru, perizinan haji dan pembangunan masjid menambah parah konflik kolonial dan Islam di Nusantara, baik yang semula bersifat lokal dan mulai akhirnya menjadi besifat nasional.
Dalam gerakan Islam sendiri, terdapat corak pemikiran gerakan yang mendorong kaum muslim seperti purifikasi, reformasi, rekonstruksi, dan reintepretasi yang kebanyakan dibawa dari luar nusantara. Namun yang pasti, semua gerakan tersebut mampu mendorong kaum muslim sebagai masyarakat Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terlepas dari rantai penjajahan.[24]  Berikut gerakan Islam di Indonesia terbagi dalam hal gerakan lokal dan gerakan nasional.   
a.      Gerakan Lokal
Gerakan Tarekat, pada awalnya adalah gerakan semacam thariqat Naqsabandiyah yang juga memiliki hubungan kental adat lokal, seperti peraturan adat tentang hal waris.[25]Sejak lama Belanda telah memiliki kekhawatiran terhadap gerakan ini, karena mereka yakin gerakan tarekat akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis kekuatan untuk memberontak.  Kekhawatiran semacam itu nampak jelas dalam peristiwa Cianjur Sukabumi 1885, cilegon Banten 1888 dan peristiwa Garut 1919.[26] demikianlah, sebagaimana peristiwa tersebut merupakan gambaran dari bagaimana gerakan perlawanan Islam skala lokal terhadap Hindia Belanda, yang dimotori dalam perselisihan Belanda dengan gerakan Thariqat.
b.      Gerakan Nasional
Gerakan Pan-Islamisme dikembangkan Jamal al-Din al-Afghani bersama Muhammad Abduh. Gerakan ini berpusat di Paris dengan media komunikasinya bernama  al-Urwah al-Wusqa. Paris diambil sebagai pusat gerakan ini karena saat itu dianggap sebagai kota revolusi, menggelorakan revolusi besar-besaran (Juli 1789), menghancurkan sistem monarkhi, menjadi republik dengan semboyan, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dan secara bersamaan para pelajar dari Mesir banyak menuntut ilmu di sana.[27] Gerkan Pan-Islamisme ini benar-benar menggugah semangat kaum muslim di Indonesia, sehingga menyebabkan timbulnya gelora dan semangat pembaharuan pergerakan Islam. Majalah al-Manar yang terbit di Paris benar-benar merupakan media yang efektif bagi pergerakan Islam.[28]
Pengertian Pan Islamis secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Ide Pan Islam ini memanfaatkan kemajuan barat dan menyesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam perkembangannya ,Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam.[29] Yang pada akhirnya gerakan pan Islam ini menjadi salah satu motor penggerak perlawanan penjajahan di negara yang mayoritas Islam di Asia Afrika, tak terkecuali di Indonesia.
Selain itu, ada kaitan erat gerakan Pan Islam dan Jabatan Khalifah yang disandang oleh sultan Turki. Pada tahun 1917 Sultan Turki Utsmani, Salim I, merebut mesir dan menggulingkan khalifah Abbasiyah terakhir, kemudian mengangkat diri sebagai khalifah serta sebagai pelindung Mekkah dan Madinah. Demikianlah sejak abad 18 sampai abad 20 secara turun temurun kepala negara Turki menggunakan titel  sultan dan khalifah.[30]
Demikianlah, semangat pan-Islamisme, ataupun pengaruh kekhalifahan di Turki, mampu menjadi spirit pergerakan perlawanan Islam terhadap penjajahan di Nusantara. Pergerakan semangat sebangsa dan setanah air, senasib sepenanggungan pun muncul untuk mengatasi ketidakadilan dari penjajahan,  yang menjadi kesadaran seluruh bangsa yang mengalaminya dan menjadi gerakan dalam lingkup nasional.









Penutup
A.    Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat, maka dapat diketahui bahwa kebijakan Hindia Belanda terhadap Islam, terhadap kebijakan agama mereka akan bersifat netral, namun, pada kasus Islam, kebijakan mereka bertentangan dengan kebijakan awalnya, terbukti dengan adanya Missionaris yang membela agama Kristen dan kebijakan seperti ordonasi guru, pemburuan guru (Ulama), dan sebagainya.
      Dari hal-hal tersebut memunculkan gerakan perlawanan Islam terhadap kolonial belanda, yang dilatar belakangi semangat gerakan thariqat ataupun gerakan pan Islamis. Gerakan-gerakan tersebut melahirkan gerakan perlawanan Islam skala nasional dan juga melahirkan organisasi Islam semacam Muhammadiyah dengan sekolah model Islamnya, atau pun NU dengan mempertahankan model pesantren ala Islamnya.

B. Kritik Saran
Menerima Kritik dan Saran apabila ada sesuatu yang kurang lengkap ataupun perlu dikoreksi.















Daftar Pustaka
Ali,A. Mukti. 1992. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.Bandung: Penerbit Mizan.
Karim,VM. Abdul . 2007. Islam Nusantara.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
suminto, Aqib.1996. Politik Islam Hindia Belanda.Jakarta: LP3ES.
Noer,Delian. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Ittihadiyah,Himayatul. dkk. Islam Indonesia Dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya. 2011.Yogyakarta: PKSBi Jurusan SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Uin Sunan Kalijaga.



[1] M. Abdul Karim,Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 41-42.
[2] M. Abdul Karim,Islam Nusantara, hlm. 57
[3] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), hlm. 23-24.
[4] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 25
[5] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 25-26
[6] Aqib suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996) Hlm. 16
[7] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda , hlm.16-17
[8] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,hlm. 18-19
[9] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda , hlm.22-23
[10] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 26-27
[11] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 27-29
[12] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 30
[13] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda , hlm. 31                                                                                                               
[14]A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia ,hlm. 32
[15] Aqib Sumito, Politik Islam Hindia Belanda , hlm. 12-13
[16] A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia ,Hlm. 38-39
[17] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,  hlm. 192-193
[18] Himayatul Ittihadiyah, dkk. Islam Indonesia Dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya, (Yogyakarta: PKSBi Jurusan SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Uin Sunan Kalijaga, 2011), hlm.19
[19] Aqib Suminto, hlm. 24
[20] Aqib Suminto, 38-40
[21] Aqib Suminto, 41
[22] Aqib Suminto, 47
[23] Aqib Suminto, 52
[24] M. Abdul Karim,Islam Nusantara, hlm. 62-66
[25] Delian Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm.38
[26] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,hlm.
[27] M. Abdul Karim,Islam Nusantara, hlm. 67
[28] M. Abdul Karim,Islam Nusantara ,hlm. 70
[29] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,hlm. 80.
[30] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,hlm. 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...