MENINJAU
ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hermeneutika
Dosen: Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., D. Min.
Oleh:
Muhammad Habibul Musthofa (15520003)
JURUSAN
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama adalah bagian dari kehidupan
manusia. Bahkan, sejak dahulu manusia
adalah makhluk yang religius. Namun demikian, kehidupan beragama tidaklah
homogen, namun heterogen. Dalam dunia
Islam sendiri, kehidupan beragama pun sangat berwarna. Sudah ada banyak
eksistensi agama sebelum hadirnya Islam yang dibawa nabi Muhammad. Sebagaimana
ada Yahudi, Nasrani, Shabiin, dan Majushi. Jadi, agama Islam pun sejak awal
telah menghadapi kehidupan beragama yang plural, demikian pula hingga terjadi
sampai sekarang dalam kehidupan yang semakin kompleks.
Perihal keberagaman yang plural sendiri, Al-Qur’an
umat Islam tentunya telah memberikan berbagai penyikapan. Hal yang menarik
salah satunya adalah perihal term Ahli Kitab yang diberikan kepada
komunitas agama dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an secara umum istilah ahli kitab
dijumpai dalam 31 ayat, lalu istilah untuk menyebut komunitas ahli kitab ini
ada 8: ahl kitab, alladzina utul
al-kitab, alladzina ataina hum al-kitab, alladzina utu nashiban min al-kitab,
alladzina yaqra’un al-kitab, alladzina utu al-‘ilm, alladzina utu al-‘ilm wa
al-iman dan ahl al-dzikr[1].
Namun yang pasti, diketahui komunitas yang dimaksud dengan Ahli Kitab ini merujuk
pada komunitas Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, dengan melihat dunia tidak
hanya dunia Timur Tengah, di masa sekarang telah banyak yang meyakini dan
menafsirkan ahli kitab dan juga meliputi agama-agama lainnya. Bila merujuk
Yahudi dan Nasrani, sering ahli kitab dalam al-Qur’an memiliki sifat yang
kurang baik, seperti memandang rendah non-Ahli Kitab (QS. Ali Imran:75), dusta
(QS. Ali Imran: 78), menyesatkan (al-Baqarah: 109) dan sebagainya.
Tapi, hal menarik di sini yang menjadi bahasan tulisan
ini adalah selain dianggap memiliki sikap negatif, dalam QS. Ali Imran: 113-144
disebutkan ada golongan ahli kitab yang lurus, jujur, sebagaimana: 113. Mereka itu tidak sama; di antara Ahli
Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)
114. Mereka
beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf,
dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Maka, yang menjadi
pertanyaan apakah ahli kitab yang memiliki ciri tersebut masih ada dalam Yahudi
dan Kristen masa sekarang?
selain dari itu, juga dalam Al-Qur’an ada ayat
pengkuan terhadap agama lain, yaitu Yahudi, Nasrani dan Shabiin serta siapa
saja (semua umat beragama). Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 62 dan
al-Maidah ayat 69. Seperti dalam QS al-Baqarah: 62 Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Isi ayat tersebut terkesan disamping bagi orang
mukmin, terlihat ada keselamatan bagi Yahudi, Nasrani dan Shabiin serta siapa
saja asalkan berbuat saleh. Dalam hal
ini, perlulah kejelasan mengenai hal ini, terutama bagi Yahudi dan Nasrani. Juga
sebagai Ahli Kitab yang sebagaimana disebut dalam al-Qur’an, status mereka
harus diperjelas.
B. Rumusan Masalah
1.
Seperti apa ahli
kitab yang lurus, sebagaimana dalam surah Ali Imran: 113-114?
2.
Bagaimana posisi keselamatan
Yahudi dan Nashrani selaku ahli kitab dalam Al-Qur’an sebagaimana dalam QS
al-Baqarah: 62 ?
C. Gambaran
Penafsiran untuk term Ahli Kitab di Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam
yang memuat ajaran moral kehidupan yang universal bagi manusia di segala tempat
dan masa. Al-Qur’an diyakini sesuai dengan segala zaman. Akan tetapi dalam
kenyataannya, wahyu Al-Qur’an turun di masa Rasulullah pada zamannya, setelah
masa Nabi Muhammad Al-Qur’an termaktub dalam tulisan teks. Dengan demikian untuk untuk meyesuiakan
dengan konteks kekinian, perlulah mengkontektualisasi isi kandungan Al-Qur’an
yang ada dalam teks tersebut. Karena hanya dengan demikian, Al-Qur’an akan
sesuai dengan kemajuan zaman. Oleh karenanya, sebagai teks Al-Qur’an memerlukan
reproduksi makna baru sehingga pemberian makna di masa sekarang tetaplah
menjunjung nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dalam hal ini, metode penafsiran haruslah
memberi ruang untuk membuka makna baru. Oleh karenanya Heremeneutika sangatlah
diperlukan untuk memperlengkap dan memperbaru metode-metode penafsiran dalam
Islam yang sudah ada. Sehingga kesan penafsiran teks suci Al-Qur’an tidak lagi
menunjukkan wajah yang kaku dan eksklusif, di mana itu sebelumnya dapat
memungkinkan penyalahgunaan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya
justru itu dapat menjadi kemunduran Islam secara umum. Walaupun tidak
memungkinkan pula, meski sudah ada Hermeneutika penyalahgunaan tafsir Al-Qur’an
tetap bisa terjadi. Namun yang pasti, dengan hadirnya Hermeneutika, yang
memungkinkan setiap umat Islam mengetahui proses penafsiran teks, setidaknya
dapat membantu setiap umat Islam mengklarifikasi sendiri suatu penafsiran dan
mengetahui sesuai atau tidaknya suatu penafsiran untuk konteks kekinian.
Selain itu, dengan Heremeneutika beserta
kaidah-kaidahnya setiap umat Islam memungkinkan mengetahui penafsiran teks ayat
suci. Dalam hal ini, kita bisa mengaplikasikan Hermeneutika dengan bantuan
pemikiran ahli Islam, salah satunya Fazlur Rahman sebagaimana dijelaskan Abdul
Mustaqim bahwa melalui metode double
movement, Fazlur Rahman menekankan tentang yang dibutuhkan untuk penafsiran
zaman sekarang adalah bagaiamana seorang penafsir mampu menemukan makna otentik
(original meaning) dari sebuah teks melalui konteks sosio-historis masa lalu,
kemudian menangkap aspek ideal moral untuk melakukan kontekstualisasi makna di
era sekarang.[2]
Hal itu sebagaimana juga menurut Amin Abdullah bahwa penafsiran al-Qur’an yang
bersifat lexiografis, yakni kata per
kata, kalimat per kalimat, ayat dengan ayat, namun tanpa terlalu memperdulikan
konteks sosial, ekonomi, politik, serta budaya ketika ayat itu turun dan
bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang adalah
bukti metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap
sebagai ahistoris.[3]
Padahal al-Qur’an tetaplah harus sesuai dengan konteks sejarah nyata,
sebagaimana kenyataan al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk umat
manusia pada abad 6 M lalu.
Sesuai dengan sub judul, di sini akan
dibahas mengenai ahli kitab. Term yang
secara langsung menyebut Ahli Kitab, ditemukan sebanyak 31 kali dalam 9 surat,[4]
yaitu dalam Surah Al Imran (3), surah al-Maidah (5) ; surah an-Nisa (4) ;surah
Al-Baqarah (2); Al-Hasyr (59), al-Bayyinah (98), al-Ankabut (29); al-Ahzab (33)
dan al-Hadid (57). Dari semua itu, hanya satu surah yang turun saat nabi di
Mekkah, maka sisanya ayat madaniyah, yakni surat yang periode Meakkah adalah
QS. Al-Ankabut: 46. Di tulisan yang terbatas ini, maka kita hanya akan fokus
pada meninjau kesalehan ahli kitab yang lurus dan keselamatan Yahudi dan
Nashrani yang notabenya sebagai ahli kitab dan shabi’in dan umat lain
sebagaimana rumusan maslah di atas.
D. Meninjau Kelompok
Ahli Kitab Yang Jujur
Al-Qur’an
merupakan pembenar (mushaddiq) terhadap kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 48, yakni terkutip dalam ayat:
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ
مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ ...
Artinya: Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
(mushaddiq) apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian bagi kitab-kitab yang lain,…
Selain itu, diketahui bahwa nabi Muhammad memandang risalahnya
sejalan dengan dan sebagai pelengkap kitab Taurat dan kitab Injil. bisa dilihat
juga dari seringnya al-Qur’an menyebut kesaksian para ahli kitab atas kebenaran
dan keaslian Islam itu sendiri. Sebagaimana al-Qur’an menenangkan nabi Muhammad
ketika menghadapi orang-orang yang mencelanya di Mekah, lalu turunlah ayat “Dan
janganlah kamu (Muhammad) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang ahl- al-kitab sebelum kamu” (QS.
Yunus:94). Bahkan al-Qur’an mengajak umat muslim sendiri untuk belajar tentang
pengetahuan dan ketenangan hati dari umat-umat sebelumnya, “Maka bertanyalah
kepada kaum ahl dzikr (Yahudi dan Nasrani) jika kamu tidak mengetahui (QS.
AL-Nahl: 43). Lalu juga dalam kasus ketika Nabi Muhammad difitnah orang-orang
Quraisy selama periode Makkah karena menyatakan bahwa neraka dijaga 19
malaikat, beliau mendapat hiburan dengan adanya pernyataan bahwa kaum ahl kitab
dan orang-orang beriman membenarkan wahyu Allah tersebut (lihat QS.
AL-Mudatsir: 31).[5]
Menurut Mahmoud Ayoub, telah ditegaskan sikap Islam
terhadap Ahl Kitab adalah konfrontasi dan akomodasi. Lebih jauh, konfrontasi
biasanya tidak hanya bekisar isu politik dan sosial, tetapi hingga pada isu-isu
teologis: 1) seruan al-Qur’an untuk saling menerima dan mengakui. Berkenaan
dengan kaum Yahudi, seruan ini adalah sebuah panggilan untuk meninggalkan
(menurut al-Qur’an) kesombongan orang-orang Yahudi sebagai umat pilihan tuhan
yang kemudian menjadi keniscayaan bagi mereka untuk menolak Islam dan nabinya
(QS. Al-Baqarah:80, 142, dan QS. Al-Jumu’ah: 7); 2) tentang sifat dan misi
kristus, sesuatu yang terus memecah belah kaum muslim dan Kristen.
Untuk
akomodasi kaum Nasrani, terlihat dala m
QS. Al- Hadid:27, yang artinya Kemudian
Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula)
dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan
dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan
mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka
pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
Maka kepada mereka yang fasik, biasanya
akan terjadi konfrontasi. Sebagaimana konfrontasi langsung pertama dan besar
adalah perdebatan Nabi Muhammad dan kaum Kristen Najran, sebuah daerah kristen
di Yaman. Persinggungan ini oleh al-Qur’an diabadikan dalam sebuah ayat yang
dikenal dengan mubahalah, memohon laknat Allah (QS. Ali Imran:61) di mana
berdebat mengenai masalah kemanusiaan dan ketuhanan Kristus, di mana diakhiri
bahwa orang-orang Najran memilih untuk berdamai. Di mana konklusinya ada pada
QS. Ali Imran ayat 64.
64.
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)".
Dari ayat di atas, sangatlah jelas
bagaimana kebenaran Islam yang menyembah hanya kepada Allah, dan umat Nasrani
yang berselisih pun menerima dan berdamai. Namun karena fasik, mereka pun
berpaling. Maka ditegaskan pula, kalaupun mereka berpaling kembali, ajaran
Islam menegaskan bahwa umat muslim tetap memegang teguh Islam (berserah diri
kepada Allah). Ayat ini pun senada sebagaimana sikap agama Islam terhadap agama
lain dalam QS, Al-Kafirun: 1-6, yang diakhiri sikap Islam terhadap keberagamaan
umat lain yakni lakum diinukum wa liya
diin (untukkmu agamamu, dan untukku agamaku).
Walaupun tetap, dalam al-Qur’an
dilanjutkan seruan dan peringatan terhadap ahli kitab, sebagaiamana dalam QS.
Al-Maidah: 68 yang meyatakan ahli kitab tidak akan pernah berada di atas
petunjuk yang benar hingga mereka kembali berepegang teguh kepada ajaran murni
yang terkandung dalam kitab Taurat dan Injil. Dalam artian di sini, secara
murni dan konsekuen mereka pun harusnya percaya kepada kitab al-Qur’an.[6]
Namun
demikian dalam ayat lain, QS. Al-Maidah: 82-83 dinyatakan ada dari mereka yang
menunjukkan persahabatan dan mengakui Nabi Muhammad SAW dan masuk Islam.
Sebagaimana dalam dinyatakan: 82.
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan
sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang
yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang
Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu
(orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena
sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.
83.Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata
mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami,
kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi
(atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).
Selain itu, diakui pula ada golongan umat
lain, terutama ahli kitab tidak semuanya sama, ada dari mereka orang-orang yang
lurus. Sebagaiamana dalam surah Ali Imran: 113-114
۞لَيۡسُواْ
سَوَآءٗۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ أُمَّةٞ قَآئِمَةٞ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ
ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ يَسۡجُدُونَ ١١٣ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
وَيُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١١٤
113. Mereka itu tidak
sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca
ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang)
114. Mereka beriman
kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan
mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
Ayat tersebut secara tegas dan gamblang
menggambarkan di antara ahli kitab masih terdapat golongan yang tetap istiqomah
dengan ajaran agamanya. Perilaku mereka ditandai dengan sifat-sifat terpuji,
seperti rajin membaca ayat-ayat Allah di tengah malam sambil mereka terus
menerus melakukan ibadah. Mereka juga beriman kepada Allah dan hari kemudian,
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar serta bergegas dalam kebajikan.[7]
Ayat di atas menurut Hasan Hanafi,
sebagaimana dijelaskan Muhammad Galib bahwa dari seluruh penilaian Hasan Hanafi
dari para ahli kitab terdapat juga orang Yahudi yang baik dan orang-orang
Nasrani yang baik, yaitu mereka yang mempercayai satu Tuhan. mereka bersujud kepadaNya,
mengikuti pesan yang disampaikan oleh para nabi, percaya pada hari pengadilan
terakhir, berbuat baik dan menyuruh orang berbuat baik, serta melarang
perbuatan jahat. Dalam hal ini al-Qur’an melihat kelompok minoritas ini sebagai
orang-orang yang selamat dari kutukan-kutukan, dari kemurkaan dan pembalasan
Allah. Dikatakan mereka merupakan hasil positif dari pengalaman wahyu terdahulu
serta usaha para nabi sebelumnya.[8]
Berdasarkan ayat di atas, dalam tafsir Al-
Manar, ketidaksamaan yang dimaksud dalam ayat Al-Imran:113-114, berdasar ayat
sebelumnya Muhammad Abduh memahaminya ketidaksamaan itu dalam beragama, yakni
sebagian beriman dan sebagian yang lain fasik. Dalam pandangan Abduh ahli kitab
yang beriman secara benar adalah orang-orang saleh, dan mereka yang tidak
beriman secara benar adalah orang-orang fasik. Di mana pula pembedaan ini
memiliki makna teologis, mengenai keadilan Allah. Selain itu, apabila al-Qur’an
tidak menyatakan ahli kitab yang saleh sebagai saleh dan yang fasik sebagai
fasik, maka hal ini bisa menjadikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan
diragukan. Namun demikian, keimanan mereka hanyalah sebagai ummah qaimah, yakni sejumlah orang yang
memiliki keberadaan dan tetap dalam kebenaran. Mereka yang beriman pun haruslah
memenuhi lima sifat Ahli Kitab yang saleh yang disebutkan dalam ayat tersebut,
menurut Abduh mereka adalah orang-orang yang baik jiwanya, lurus kelakuannya
dan baik perbuatan-perbuatannya. Sesuai dengan pandangannya tentang keimananan Ahli Kitab, maka Abduh mengakui
adanya orang-orang yang saleh, namun jumlahnya hanya sedikit sehingga menjadi
minoritas di kalangan mereka.[9]
Dalam konteks kekinian, keberimanan kepada
Tuhan dianggap banyak orang yang memilikinya di luar Islam maupun agama samawi.
Banyak ahli studi mengganggap, Tuhan yang dimaksud dalam Islam, Yahudi,
Kristen, Hindu , Buddha dan sebagainya sama, hanya saja redaksinya berbeda,
sebagaimana Allah, YHWH, Thian, Brahman dan sebagainya. Bila memang benar
demikian, kesalehan dan kebaikan mereka tentunya akan mendapat ganjaran dari
sang Maha Adil, yang memiliki panggilan berbeda di setiap pengalaman religius
manusia.
E.
Posisi
Keselamatan Ahli Kitab dalam Al-Qur’an
إِنَّ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِِٔينَ مَنۡ
ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ
عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat ini jelas menegaskan pengakuan adanya keselamatan
di luar umat Islam, yaitu Yahudi, Nashrani dan Shabi’in yang menyatakan hanya
beriman kepada Allah, beriman kepada hari dan mengerjakan amal saleh, amal perbuatan
mereka oleh Allah tidak akan disia-siakan. Namun, menurut Amin Abdullah,
sebagaimana dikutip M. Nurdin Zuhdi, kebanyakan para mufassir, termasuk
kelompok Hizbut Tahrir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang
Yahudi, Nashrani dan Shabi’in di dalam kedua ayat tersebut adalah orang-orang
Yahudi, Nashrani dan Shabi’in yang telah masuk Islam. Penafsiran seperti ini
menurut Amin Abdullah jelas tidak tepat (untuk tidak mengatakan salah)- karena
seperti halnya yang bisa dipahami dari ayat-ayat tersebut, orang-orang muslim
adalah yang pertama diantara keempat kelompok orang-orang yang percaya kepada
Allah dan hari kiamat.[10]
Dalam ayat 62
surat Al-Baqarah di atas, keselamatan yang di maskud di atas di ulangi dalam
surah Al-Maidah: 69, asalkan hanya benar-benar beramal saleh.
69. Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara
mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dalam ayat 69 surah al-Maidah ini,
barangkali apa yang dimaksud kelompok Yahudi, Nashrani, dan siapa saja yang
beramal saleh, akan selamat, yakni mereka yang telah masuk Islam, hal ini
terlihat dari kriteria hanya yang benar-benar saleh. Sebagaimana kekhususan yang
dimaksud kelompok Hizbut Tahrir. Apalagi dalam ayat Al-Maidah: 69 ini perihal
keberimanan mereka tidak dipertanyakan.
Namun, kalau dalam QS
Al-Baqarah:62, sebagaimana juga pendapat Abduh dan Ridha serta para mufasir
lainnya, sangat jelas bagi umat Islam bahwa ajaran dan praktek dari kaum
Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in pada umumnya ada sesuatu yang salah (tidak
sesuai dengan Islam). Namun demikian, menurut Abduh dan Ridha dalam tafsir
al-Manar, mereka itu ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat
dan melakukan amal saleh. Menurut Abduh, jumlah orang yang seperti itu dalam
agama mereka hanya sedikit dan tersembunyi, dalam sejarahnya mereka yang
melakukan tindakan sesuai ayat 62 surah
al-Baqarah di atas oleh agama resmi mereka malah didakwa kafir dan pengikut
ajaran sesat.[11]
Di mana ayat itu berlaku baik untuk masa lalu, masa sekarang dan masa akan
datang.
Bagi Abduh sendiri, ayat 62 berlaku untuk masa lalu
hingga sekarang dan akan datang, sebagaimana dia perkuat dengan firman Allah
surah an-Nisa: 123-124, 123. (Pahala dari
Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
124. Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun. Namun bagi Abduh dan juga Ridha, mereka
yang selamat berdasar ayat itu haruslah beriman dan beramel saleh dengan
sebenarnya, tapi keselamatan itu khusus bagi ahli kitab yang dakwah Nabi tidak
sampai kepada mereka atau sampai tapi tidak menurut sebenarnya, sehingga
kebenaran Islam tidak tampak bagi mereka.[12]
Sementara bagi yang sudah sampai kebenaran dakwah
ajaran nabi Muhammad, sebagaimana kaum Yahudi dan Nashrani zaman Nabi. Bagi
ahli kitab untuk memperoleh keselamatan haruslah memenuhi lima, yakni dalam
kalimat berita dalam QS. Ali-Imran: 199, 199.
Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang
mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. Di tambah dalam dalam
kalimat kondisional surah al-Maidah: 65 yang mensyaratkan keselamatan ahli
kitab yakni beriman dan bertaqwa.[13] 65.
Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus)
kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam
surga-surga yang penuh kenikmatan. Jadi, ahli kitab telah menerima
kebenaran Islam haruslah memenuhi syarat dalam QS Ali Imran:199 dan QS
Al-Maidah:65.
Kalau Abduh dan Ridha, keselamatan ahli kitab yang
tidak sampai kebenaran ajaran Nabi, semisal suku Indian di Amerika pada zaman
Nabi, atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam, haruslah memenuhi dua
syarat dalam QS. Al-Baqarah: 62 (beriman kepada Allah dan beramel saleh). Di
mana yang bisa memenuhi dua syarat itu tidak hanya ahli kitab, Yahudi, Nasrani
dan juga Shabi’in, tetapi cakupannya lebih luas seperti kelompok Majusi dan
lain sebagainya. Hal ini sebagaimana Asbabun Nuzun QS. Al-Baqarah: 62.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang
mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadis berikut: Aku pernah
bertanya kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah
seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara salat dan
ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya (QS. Al-Baqarah: 62), "Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang
Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian," hingga akhir ayat.[14]
Bila ada ulama dan penafsir yang menkonklusi ayat 62 Surah Al-Baqarah, bahwa
setelah ayat itu turunlah QS. Ali-Imran: 85, 85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.
Namun bagi, Abduh dan Ridha, untuk keselamatan ahli
kitab yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau sampai namun tidak tampak
kebenaran Islam, haruslah memenuhi dua syarat dalam QS. Al-Baqarah: 62 (beriman
kepada Allah dan beramal saleh). Di mana keselamatan itu dia perluas sebagai
al-fatrah, yakni dengan kiriteria, 1) tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau
dakwah Islam, semisal suku Indian di
Amerika pada zaman Nabi, 2) kepada
mereka sampai berita ada nabi-nabi yang diutus, namun tidak satupun aturan
agama nampak pada mereka. Sehingga mereka nampak beriman secara garis besar
saja.[15]
Namun Abduh dan Ridha tidak menjelaskan wujud keselamatan itu, bagi Ridha tentu
tidak masuk akal jika mereka masuk surga dan mendapatkan keselamatan yang sama
sebagaimana mereka yang benar pengikut nabi yang beriman dan beramal saleh.
Yang masuk akal, Allah akan mengadili mereka dan memberi ganjaran yang sesuai
dengan pengetahuan dan kepercayaan mereka tentang kebenaran dan kebaikan.[16]
Dalam konteks kekinian, tentunya masih ada keselamatan, entah itu umat Yahudi,
Nashrani, Hindu, Buddha dan sebagainya, asalkan memenuhi syarat dan prasyarat
di atas.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan QS. Ali-Imran:113-114, diketahui bahwa
ahli kitab yang lurus, tetap konsisten di jalan Allah, memiliki 5 kriteria yang
harus dipenuhi. Yakni: 1) membaca ayat-ayat Allah beberapa waktu di malam hari;
2) bersujud kepada Allah (bersembahyang); 3) beriman kepada Allah dan Hari
Kiamat; 4) melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar; dan 5) bersegera melakukan
kebajikan. Namun, dalam konteks ini,
menurut mufassir Islam, seperti Muhammad Abduh dan Hassan Hanafi, kelompok ahli
kitab yang lurus yang memiliki 5 kriteria kesalehan di aas jumlahnya hanya
sedikit. Maka, dalam konteks kekinian pun tetaplah sulit menemukan ahli kitab
yang demikian, apalagi bila membatasi ahli kitab sebatas Yahudi dan Nasrani
sebagaimana konteks zaman Nabi Muhammad.
Lalu untuk keselamatan Ahli Kitab QS. Al-Baqarah: 62,
yakni Yahudi dan Nasrani, juga berlaku untuk shabi’in dan siapa saja yang untuk
memperoleh keselamatan haruslah beriman
kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh. Namun dengan ketentuan,
mereka haruslah orang-orang yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau sampai
namun tidak tampak kebenaran Islam. Sebab untuk kaum Yahudi dan Nasrani selaku
ahli kitab pada umumnya, dalam QS. Ali-Imran:199 ahli kitab haruslah beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan yang
diturunkan kepada Nabi mereka sebelumnya, jadi mereka berendah hati kepada
Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Atau
dalam QS. Al-Maidah: 65, ahli kitab diharuskan beriman dan bertakwa untuk
memperoleh keselamatan. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, ahli kitab yang
memperoleh keselamatan haruslah orang-orang yang tidak sampai kebenaran ajaran
Nabi atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam, namun jika mereka sengaja
mengingkari (menukarkan) ayat-ayat Allah, untuk memperoleh keselamatan mereka
haruslah mengimani apa yang diajarkan Nabi Muhammad.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Amin. Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif dan Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2006.
Ilyas,
Hamim. Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga:
Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim. Yogyakarta:
Safira Insania Press. 2005.
M,
Muhammad Galib. Ahl Al-Kitab.
Yogyakarta: Ircisod. 2016.
Ayoub,
Mahmoud Mustafa. Mengurai Konflik
Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam,
terj. Ali Noer Zaman .Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.2001.
Mustaqim,
Abdul .Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta: LKIS. 2010.
Zuhdi,
M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia:
dari kontestasi metodologi hingga kontekstualisasi. Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara. 2014.
Tafsir
Surat Al-Baqarah ayat 62, http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html
, 23 Mei 2018.
[1] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 58
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 180-181
[3] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif dan Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), hlm. 139.
[4] Muhammad Galib M, Ahl AL-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod,
2016), hlm. 43
[5] Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam
Perspektif Islam, terj. Ali Noer
Zaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 214.
[6] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod,
2016), hlm. 232
[7] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod,
2016), hlm. 161
[8] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod,
2016), hlm. 162
[9] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm.
108-111
[10] M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari kontestasi
metodologi hingga kontekstualisasi, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014),
hlm. 255-256.
[11] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 75
[12] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm.
75-76
[13]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 80
[14]Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62, http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html , 23 Mei 2018.
[15]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 76
[16]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap
Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm.
83-84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar