Kokka Shinto Sebagai Agama Negara Jepang



KOKKA SHINTO (Negara Shinto)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama (orang) Jepang
Dosen Pengampu : Roni Ismail, S.Th.I., M.S.I

images.jpg
Oleh :
Muhammad Habibul Mushtofa (15520003)

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                      
Dalam sejarah peradaban Jepang, agama memainkan peranan sangat penting dalam kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan agama, serta kebudayaan Jepang memperlihatkan kecenderungan asimilatif. Sejarah Jepang, memperlihatkan bahwa negara Jepang telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, bahkan adanya pengaruh dari luar, justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang yang jenisnya hampir sama. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh dari luar telah membawa kelahiran suatu agama, yaitu agama Shinto, agama asli Jepang yang dianut masyarakat sejak ribuan tahun silam.[1] Itulah bagaimana tradisi asli Jepang atau Shinto bertemu dengan pengaruh luar dan berkembang menjadi lebih kompleks menjadi agama shinto yang dianut orang Jepang.
Pada abad ke-19 tepatnya tahun 1868, agama Shinto diproklamasikan menjadi agama negara yang saat itu agama shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak itu, dapat dikatakan bahwa paham shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang. Lalu, menurut konstitusi tahun 1889, negara mendukung lebih dari 110.000 kuil Shinto dan kurang lebih 16.000 pendeta yang mendiami kuil-kuil milik negara tersebut. Setelah konstitusi 1889 ini, pemerintah Jepang juga melarang pendeta yang mengunjungi kuil negara melakukan kegiatan, seperti memuja makam. Namun mengarahkan Agama Shinto ini menjadi alat pendukung militer pada Jepang yang berperang pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20. Itulah sebabnya saat Perang Dunia II, pada Desember 1945 angkatan perang Amerika sebagai pemenang perang tersebut perlu untuk menghapus peran agama Shinto. Lalu pada tahun 1946, angkatan perang Amerika mendesak kaisar agar mengakui bahwa ia bukanlah tuhan.[2] Demikianlah kronologi terbentuknya Kokka Shinto, dan bagaimana peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan pertumbuhan agama Shinto kala itu akan dibahas dalam  pembahasan.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dituliskan rumusan masalah sebagai berikut:
                                                      1.            Apa yang dimaksud dengan Kokka Shinto ?
                                                      2.            Bagaimana peranan dan perkembangannya terhadap Agama Shinto?



PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kokka Shinto
Kokka Shinto bukanlah sebuah aliran dalam agama Shinto, tetapi merupakan istilah yang menunjuk pada system kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dianggap sebagai agama negara. Oleh karena itu penafsiran ajarannya atas nama perseorangan tidak diperbolehkan. Pemerintah melakukan campur tangan di dalamnya, baik dalam segi kepercayaan, peribadatan, finansial, ataupun penyebaran agama.[3]Secara harfiah Kokka Shinto berarti Negara Shinto, yang resmi merupakan agama nasionalis Jepang dari restorasi Meiji tahun 1868 sampai Perang Dunia II. Agama negara ini berfokus pada upacara rumah tangga kekaisaran dan kuil shinto secara publik.[4]
Ke dalam istilah Kokka Shinto tergabung empat macam aliran atau bagian, yaitu 1)Kokutai Shinto atau Tenonisme, 2)Koshitsu Shitsu, yaitu agama lingkungan keluarga kaisar, 3)agama Shinto lingkungan keluarga,4) dan Jinja Shinto yang merupakan system kepercayaan dan peribadatan yang umumnya dilakukan di tempat-tempat suci agama Shinto. [5]
a)      Kokutai Shinto
Kokutai Shinto atau Tennoisme mengajarkan kepercayaan bahwa kaisar Jepang (tenno) adalah penjelmaan yang hidup dari Dewi Matahari. Jadi dalam aliran ini kaisar dianggap sebagai penjelmaan Dewa. Pemujaan terhadap kaisar sebenarnya mempakan salah satu bentuk tradisi tertua bangsa Jepang yang sudah mulai terlihat pada abad-abad permulaan ketika untuk pertama kalinya suku Yamato berhasil memperoleh kekuasaan atas seluruh Jepang. Pada waktu itu kaisar bukan saja bertindak sebagai kepala negara tetapi juga sebagai pendeta tertinggi bagi seluruh bangsa. Dalam mite juga dijelaskan bahwa kepala suku Yamato yang pertama Jimmu Tenno, adalah keturunan langsung dari dewa yang telah mendapatakan kepulauan Jepang. Dia dianggap sebagai kaisar Jepang pertama. Kultus atau pemujaan terhadapnya menguat seteIah masuknya agama Konfusius ke Jepang sebab agama ini mengajarkan kesetiaan dan pemujaan terhadap nenek moyang. [6]
Yimmu Tenno (Tenno artinya raja langit) yang merupakan keturunan dari Amaterasu Ohomi Kami adalah pendiri negara Jepang, serta menjadi kaisarnya yang pertama. Pada 660 SM Yimmu Tenno merayakan kemenangannya dengan menduduki tahta kerajaan pada tanggal 11-11-660 SM. Pada waktu itu diadakan upacara besar untuk menghormati dewi Amaterasu Ohomi Kami. Oleh karena itu, Yimmu sampai sekarang dipandang sebagai yang menurunkan raja-raja Jepang, antara lain Kaisar Hirohito (1926-1989) yang merupakan keturunan yang ke-125.[7]
SeIama masa abad kegelapan di masa pemerintahan Ashikaga, perhatian terhadap pemujaan kaisar tersebut merosot. Akan tetapi usaha para tokoh renaissans Shinto menjelang masa pemerintahan Meiji, berhasil membangkitkan kembali perhatian masyarakat terhadap agama asli dan terhadap mitologi keunggulan keluarga kaisar. Kaisar kemudian mulai menjadi pusat berkumpulnya kekuatan-kekuatan yang akhirnya berhasil mengulingkan kekuasaan dinasti Tokugawa.[8] Walaupun Kaisar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, saat Jepang di bawah dinasti Tokugawa, posisi Shogun (panglima militer) memiliki peran dan kekuatan besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Sementara,Kaisar dilain pihak memiliki peran terbatas dalam aktivitas sosial politik Jepang saat itu, sehingga ia hanya menjadi semacam simbol. Terhitung sejak tahun 1603 posisi Shogun dipegang oleh dinasti Tokugawa yang menjalankan pemerintahan di kota Edo, padahal ibu kota berada di Kyoto sebagaimana istana kekaisaran berada. [9]Hal itulah yang memicu restorasi Meiji yang dilakukan kaisar Meiji.
Pada waktu restorasi Meiji dilaksanakan, kaisar menjadi fokus utama seluruh bangsa. Dalam undang-undang yang dikeluarkan pemerintah waktu itu disebutkan bahwa kaisar senantiasa memerintah negeri Jepang selama berabad-abad, dan bahwa kaisar bersifat suci dan tidak bisa diganggu gugat. Para pemuka agama Shinto juga ikut berusaha mempengaruhi alam pikiran masyarakat yang tujuan utamanya adalah untuk menegakkan sebuah negara-agama yang didasarkan atas kultus atau pemujaan terhadap Dewi Matahari. Kata-kata yang dipergunakan untuk melukiskan cita-cita ini adalah kokutai yang dapat diartikan dengan struktur nasional. Prinsip utama kokutai adalah pemujaan terhadap kaisar. Piagam Kaisar tentang kependidikan yang dikeluarkan pada tahun 1890 dapat dianggap sebagai teks sucinya karena memuat pedoman moral pemujaan kaisar tersebut.[10] Demikianlah bagaimana pemujaan terhadap Kaisar yang dianggap keturunan Dewi Matahari ditanamkan ke masyarakat Jepang. Dan hal seperti itu pula, juga diperkuat dalam mitos-mitos yang ada dalam tradisi Jepang.
Menurut agama Shinto, kekuasaan suci kaisar dipersonifikasikan dalam diri Dewi Matahari dan diri kaisar pribadi. Dalam mite disebutkan bahwa sesudah Dewi Matahari mengundurkan diri dari dunia sebab merasa terhina oleh tingkah laku saudaranya, Susanowo, terjadi pertengkaran dan kekacauan hebat yang menggambarkan suatu krisis dalam kehidupan para dewa. Agama Shinto mengajarkan adanya suatu kehidupan yang teratur di kalangan dewa. Dunia dewa (Kami) yang tanpa aturan akan tidak ada bedanya dengan kehidupan dunia binatang buas di atas bumi, atau semacam dunia asura, dunia hantu dan setan. Hal demikian pasti akan menimbulkan keadaan yang paling tidak akan mengancam kelestarian kehidupan ciptaannya. Oleh karena itu ketentraman hidup hanya bergantung pada kembali aktifnya Dewi Matahari yang dianggap sebagai satu-satunya cara yang dapat membawa dan menjamin kesatuan, kedamaian dan ketentraman hidup di muka bumi ini. Kaisar adalah keturunan langsung dewi ini. Dia mewakilinya memerintah di atas bumi, dunia yang berisi kehidupan dan kewajiban untuk melaksanakan keinginan Kami. [11]
Pemujaan kaisar kadang-kadang muncul dalam bentuk-bentuk yang ekstrim. Kaisar dianggap ikut ambil bagian pula dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil para dewa. Dia adalah wujud yang tidak pernah salah, bahkan sering dianggap sebagai dewa dalam wujud manusia. Kesetiaan rakyat terhadapnya tidak ada bedanya dengan ibadat agama. Dalam bentuknya yang paling ekstrim pemujaan kaisar telah menumbuhkan kepercayaan di kalangan rakyat Jepang bahwa para pemimpin mereka memiliki kekuasaan yang ilahi dan ditakdirkan menjadi penguasa-penguasa atas seluruh dunia. Secara resmi kepercayaan semacam ini dikembangkan oleh pemerintah. Dogma semacam ini juga dimasukkan ke dalam ajaran aliran-aliran keagamaan, bukan saja yang tergabung dalam Kokka Shinto tetapi juga ke dalam seluruh aliran agama Shinto, dan sedikit banyaknya juga ke dalam ajaran kelompok-kelompok agama lainnya.[12]
b)     Shinto Koshitsu
Shinto Koshitsu merupakan kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dilakukan dalam lingkungan  keluarga kekaisaraan Jepang, sehingga sering disebut pula dengan agama Shinto lingkungan Keluarga Kaisar. Upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan dalam Koshitsu Shinto menempati  kedudukan sangat penting dnlam kelompok peribadatan agama Shinto yang diakui oleh negara dan sangat berbeda dengan peribadatan sekte-sekte agama Shinto yang lain. Upacara-upacaranya didasarkan pada gaya dan cara seperti ditunjukkan dalam mite. Kaisar pribadi bertindak selaku pendeta untuk memimpin upacara-upacara itu. [13]
Ada empat buah tempat suci lingkungan istana yang khusus digunakan untuk menyelenggarakan upacara keagamaan:
 1. Kashiko-dokoro; dipergunakan untuk memuja Dewi Matahari.
2. Korei-den; dipergunakan untuk memuja kaisar-kaisar Jepang yang telah meninggal dunia.
3. Shin-den; dipergunakan untuk memuja dewa-dewa yang jumlahnya tak terhingga.
 4. Shinka-den; yaitu tempat suci yang tidak memiliki obyek pemujaan tertentu. [14]

Tiga tempat suci pertama ditempatkan dalam satu bangunan dan semua perayaan keagamaan, kecuali Perayaan Panen (niiname-sai), yang tidak dikerjakan di sini. Kashiko-dokoro adalah yang terpenting di antara ketiganya. Perayaan Panen atau disebut pula aki-matsuri diselenggarakan di Shinko-den. Perayaan ini diselenggarakan pada musim gugur, dan merupakan perayaan untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada para dewa atas hasil panen yang diperoleh. Niiname-sai dilangsungkan pada tanggal 23-24 November, bertepatan dengan saat kaisar mempersembahkan buah pertama hasil panen tahun itu.[15]
Hampir semua bentuk upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh Koshitsu Shinto mempunyai sifat unik, dipusatkan pada pemujaan spirit-spirit nenek moyang kaisar dan berbeda dengan bentuk-bentuk peribadatan agama Shinto lainnya. Kaisar mempunyai kebebasan untuk mengadakan pemujaan menurut kehendak hatinya sendiri. Oleh karena itu, meskipun bentuk Koshitsu Shinto ini cukup menarik tetapi tidak terbuka untuk umum.[16] Sebagaimana hanya dilaksanakan di dalam lingkungan kekaisaran.
c)      Shinto Lingkungan Keluarga
Upacara-upacara keagamaan dalam lingkungan keluarga pemeluk agama Shinto umumnya berhubungan dengan persoalan keluarga terutama dengan peristiwa ulang tahun kematian sanak-keluarga dan leluhur mereka. Untuk keperluan tersebut mereka biasanya akan membeli sebuah tempat suci yang terbuat dalam ukuran kecil yang dapat diperoleh di pasar-pasar. Tempat suci mini tadi kemudian diletakkan dalam sebuah kamar dan melambangkan kami-dana (rak atau papan dewa) serta dijadikan altar keluarga. Di depan kami-dana terdapat tempat untuk meletakkan sesaji. Di sampingnya dinyalakan lilin-lilin. Seutas tali jerami dengan kertas-kertas kecil di ujungnya menggelantung di atas altar tersebut. Benda-benda atau jimat-jimat suci yang diperoleh dari tempat suci utama di Ise atau dari tempat suci lainnya diletakkan dalam kami-dana. Kadang-kadang, benda-benda kenangan dari keluarga yang telah meninggal dunia juga diletakkan di salah satu sisi samping altar. [17]
Pemeluk agama Shinto yang taat akan bangun pagi hari kemudian membersihkan diri dan setelah itu menuju ke depan altar keluarga. Di sini ia membungkukkan diri, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan penuh hidmat, dan selanjutnya pergi untuk melakukan kegiatan hidupnya sehari-hari. Pada peristiwa-peristiwa tertentu, dia membersihkan diri dengan cara mandi atau menceburkan diri ke dalam air. Ketika berdiri di depan altar keluarga, ia melakukan upacara penyucian diri dengan cara menggoyang-goyangkan sebuah ranting pohon suci yang masih segar atau tiruannya berupa sebuah tongkat yang pada salah satu ujungnya diikatkan tali jerami atau sobekan kertas kecil-kecil. Jika sebuah keluarga bermaksud mengadakan upacara pemberian nama anak pada waktu anak berumur tujuh hari, atau bermaksud mengunjungi tempat suci setempat ketika anak bemmur tigapuluh satu atau tigapuluh tiga hari setelah kelahirannya, maka rencana tersebut biasanya terlebih dahulu diberitahukan di depan altar keluarga. Dalam upacara ulang tahun kematian sanak-keluarga atau leluhur, keluarga-keluarga Yang  tergolong mampu biasanya mengundang pendeta untuk melaksanakan upacara tersebut. Gambar atau foto keluarga yang sedang diperingati diletakkan di depan altar. Doa-doa dibacakan dan nama para anggota keluarga yang sudah meninggal dunia disebutkan kembali satu persatu. Setelah itu mereka bersama-sama menikmati hidangan yang telah disediakan. Jika tidak mengundang pendeta, maka kepala keluarga bertindak selaku pimpinan upacara. Ia pula yang membacakan doa-doanya jika bisa. [18]
Dari uraian di atas, jelas bahwa agama Shinto Lingkungan Keluarga memusatkan peribadatannya pada kami-dana yang dianggap sebagai tempat suci dan digunakan untuk menyimpan benda-benda yang dianggap suci. Selain itu, berdampingan dengan altar terdapat sebuah cermin yang melambangkan Dewi Matahari, kayu yang memuat nama leluhur keluarga, kertas nama dewa setempat, atau patung seorang pahlawan nasional, keluarga, atau dewa. Karena agama Shinto Lingkungan Keluarga ini diakui sebagai salah satu di antara peribadatan nasional (Kokka Shinto), maka dewa-dewa tradisional dan pemujaan terhadap kaisar memperoleh perhatian utama pula dalam lingkungan keluarga. Pemerintah banyak mmberikan bantuan padanya. Bahkan, dalam pandangan pemerintah patriotisme yang sejati sangat  erat hubungannya dengan pemujaan yang dilakukan dalam lingkungan keluarga Shinto.[19]
d)      Jinja Shinto
Sebagai sebuah organisasi keagamaan, Jinja Shinto adalah produk modern, dan belum ada sebelum 1868. Ketika pemerintah Meiji merasa kurang berhasil menjadikan agama Shinto sebagai sebuah agama nasional, pemerintah lantas membuat penggolongan-penggolongan agama. Seluruh agama di Jepang dibeda-bedakan berdasarkan kategori-kategori baru, dan diletakkan di bawah tanggungjawab Kementrian Dalam Negeri. Kementrian inilah yang selanjutnya mengatur kélompok-kelompok tadi dengan tujuan lebih jauh untuk mendapatkan sebuah kultus nasional yang didasarkan pada ajaran dan pandangan agama Shinto. Tempat-tempat suci agama Shinto diatur dalam sistem tertentu, dan dimasukkan ke dalam suatu gabungan tempat-tempat suci yang disebut dengan Jinja Shinto. Pada mulanya Jinja Shinto dinyatakan bukan sebagai agama, tetapi kemudian berkembang melebihi agama. Semua unsur yang mungkin menghambat perkembangan Jinja Shinto dihilangkan. Corak khas masing-masing tempat suci dikurangi sebanyak mungkin. Berbagai macam peraturan, baik mengenai penyelenggaraan upacara-upacara agama, perayaan-perayaan keagamaan, ataupun bentuk doa dan isinya, ditetapkan oleh pemerintah. Petugas-petugas pemerintah di tempatkan di sana, dan para polisi atau militer yang mempunyai hubungan baik dengan pejabat pemerintah diangkat menjadi pendeta-pendeta yang  mendapat gaji dari pemerintah. Segala sesuatunya dianggap sekunder dibandingkan pemujaan terhadap Dewi Matahari dan kesetiaan terhadap kaisar dan negara.[20] Namun, setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945 dan adanya pedoman Shinto, hubungan pemerintah jepang dengan Jinja Shinto terputus, lalu muncullah Jinja Honcho.
Jinja Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto) didirikan sebagai tanggapan dan reaksi terhadap Pedoman Shinto. Ketika Undang-Undang Organisasi Keagamaan dicabut pada 2 Februari 1946, maka, agar Jinja Shinto diakui sebagai lembaga keagamaan yang sah, satu hari kemudian dibentuklah Jinja Honcho. Pada mulanya Pedoman Shinto teIah menimbulkan kegemparan dan kekacauan di kalangan tempat suci agama Shinto, sebab pedoman tersebut menghentikan bantuan yang selama ini diberikan dan tidak memberikan petunjuk bagaimana tempat suci tadi harus mengatur kembali diri mereka baik secara hukum maupun ekonomi. Akan tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Pada bulan Juni 1947 persekutuan tersebut mengirimkan petugas petugas ke setiap daerah untuk memberikan petunjuk dan penjelasan menyangkut situasi yang ada serta tujuan utama menggabungkan mereka. Hanya dalam beberapa tahun saja jumlah orang yang melakukan pemujaan di tempat-tempat suci tersebut meningkat. Setelah ratifikasi Perjanjian San Fransisco di tahun 1952, tempat-tempat suci agama Shinto tersebut mulai memperoleh kembali kekuatannya. Setelah itu, Jinja Honcho selanjutnya berusaha merumuskan prinsip-prinsip ajaran agama Shinto dalam sebuah bentuk ikrar keimanan. [21]
Prinsip yang ditetapkan pada tahun 1956 dengan judul keishin seikatsu no koryo yang berarti ciri umum kehidupan memuja Kami. Dalam kepercayaan prinsip tersebut memuat tiga hal utama, yaitu:
1. Harus berterimakasih atas rahmat yang diberikan oleh kami dan atas kebahagiaan para leluhur, serta harus rajin mongerjakan peribadatan agama Shinto, seraya mengusahakan agar semua itu dilakukan dengan hati yang ikhlash, sukacita,dan suci.
2.Harus penolong terhadap pihak lain dan dunia pada umumnya dengan melakukan usaha-usaha tanpa pamrih, dan mengusahakan kemajuan dunia sebagai orang yang hidupnya menjadi perantara keinginan kami.
3. Harus mengikatkan diri bersama orang lain dalam pengakuan yang harmonis terhadap keinginan kaisar, berdoa agar negera berkembang maju dan agar orang-orang lain juga dapat hidup dalam perdamaian dan kemakmuran.[22]
Diketahui untuk mengurus segala masalah yang terkait dengan Jinja Honcho dibentuk sebuah majlis yang dipimpin oleh seorang presiden majlis. Di setiap daerah didirikan kantor cabang yang disebut dengan Jinja Cho. Untuk mendidik para pendeta, Jinja  Honcho memiliki dua buah universitas utama yaitu Kokugakuin University dan Kogakkan University, di samping tujuh buah seminari tingkat propinsi yang kedudukannya lebih rendah. Universitas Kokugakuin, atau disebut pula dengan Kokugakuin Daigaku, didirikan pada tahun 1890 di Wakagi-cho, Shibuyaku, Tokyo. Sebelum itu, di tahun 1882 telah didirikan pula suatu lembaga yang disebut Koten Kokyu-sho (Institut Penelitian Jepang Klasik) yang dipimpin oleh pangeran Arisugawa Takahito. sampai dengan dibubarkannya Koten Kokyu-sho di tahun 1946, kedua Iembaga pendidikan tinggi di atas memegang peranan penting dalam kegiatan kependidikan, pelatihan guru-guru, penelitian agama Shinto, dan pelatihan bagi para pendeta agama Shinto. Dengan dihapuskannya Koten Kokyu-sho, Universitas Kokugakuin melanjutkan tugas-tugasnya, menyelenggarakan pendidikan pasca sarjana untuk memperoleh gelar Master dan Doktor dalam bidang studi agama Shinto, sastra Jepang, politik dan ekonomi; pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus para pendeta, sekolah guru taman kanak-kanak, dan sebagainya. Lembaga pendidikan ini mengembangkan sistem pendidikannya Sendiri yang didasarkan atas pemikiran agama Shinto. [23] Setelah selesai menjadi seorang pendeta yang terlebih dahulu harus melalui sekolah atau pendidikan kependetaan yang diselenggarakan oleh Jinja Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto), atau melalui ujian menjadi pendeta agama Shinto. Para pendeta agama Shinto umumnya ada dua tugas: memimpin upacara-upacara keagamaan, dan mengurus kehidupan jinja. Dalam hal ini, pendeta agama Shinto disebut shinshoku. Untuk para pendeta agama tersebut biasanya dibedakan menjadi lima tingkatan, yaitu:
a. Saishu; tingkatan tertinggi yang hanya dimiliki oleh seorang pangeran putri dari kalangan keluarga kaisar,
b. Guji, yaitu para pendeta yang memimpin sesuatu jinja dan bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan di dalamnya,
C.Gon-guji, yakni para pendeta yang memiliki kedudukan di bawah guji, dan menjadi pembantunya,
d. Negi, yaitu pendeta biasa atau pendeta-pendeta senior, dan
e. Gon-negi, yaitu para pendeta muda (yunior).[24]
Adapula kelompok pendeta yang disebut shoten, yaitu para pendeta yang melulu bertugas menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan dalam jinja-jinja istana kaisar. Mereka terbagi menjadi dua tingkat: shoten dan shoten-ho (wakil pendeta). Karena Antara tahun 1868 sampai 1945, para pendeta agama Shinto merupakan pejabat-pejabat resmi pemerintah.[25]
Demikianlah singkatnya mengenai perkembangan Jinja Shinto sejak didirikannya pada masa pernerintahan Meiji sampai diganti dengan terbentuknya Jinja Honcho sesudah berakhirnya Perang Dunia II dan bagaimana  kependetaan dalam Jinja Shinto yang merupakan bagian sistem dari kokutai Shinto.


KESIMPULAN

·         Kokka Shinto atau Negara Shinto merujuk pada sistem kepercayaan dan peribadatan agama Shinto yang dianggap sebagai agama negara, yakni dalam sejarahnya merupakan agama nasionalis Jepang dari restorasi Meiji tahun 1868 sampai berakhirnya Perang Dunia II (tahun 1945) . walaupun sejarah awal (agama) Shinto diperkirakan sudah ada sejak 660 SM. Dalam Kokka Shinto ini tergabung empat macam aliran atau bagian, yaitu 1)Kokutai Shinto atau Tenonisme, 2)Koshitsu Shitsu, yaitu agama lingkungan keluarga kaisar, 3)agama Shinto lingkungan keluarga,4) dan Jinja Shinto yang merupakan system kepercayaan dan peribadatan yang umumnya dilakukan di tempat-tempat suci agama Shinto.
·         Kokka Shinto(negara Shinto) dapat dikaitkan sebagai agama negara dan kekaisaran sebagai pusatnya, kekuasaan suci kaisar dipersonifikasikan dalam diri Dewi Matahari dan diri kaisar pribadi. Kaisar dianggap ikut ambil bagian pula dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil para dewa. Lalu menumbuhkan kepercayaan pemujaan kaisar di kalangan rakyat Jepang bahwa para pemimpin mereka memiliki kekuasaan yang ilahi dan ditakdirkan menjadi penguasa-penguasa atas seluruh dunia. Kepercayaan ini lalu merasuk dan berkembang dalam ajaran aliran-aliran keagamaan. Sekaligus dikembangkan pemerintah sebagaimana Kokka Shinto ada. Sehingga segala sesuatunya dianggap sekunder dibandingkan pemujaan terhadap Dewi Matahari dan kesetiaan terhadap kaisar dan negara.













DAFTAR PUSTAKA
Djam’annuri, dkk.2008. Agama Jepang.Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Imron,M. Ali. 2015.Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia.Yogyakarta:Ircisod
Mansur,Sufa’at.2011. Agama-Agama Besar Masa Kini.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Restorasi Meiji yang mengakhiri Era Samurai & Keshogunan Jepang. 7 Maret 2017.

State Shinto. 7 Maret 2017. www.britannica.com/topic/State-Shinto




[1] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia,(Yogyakarta:Ircisod,2015), hlm.308
[2] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia, hlm.313
[3] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008),hlm.97
[4] State Shinto, diakses dari www.britannica.com/topic/State-Shinto , 7 Maret 2017
[5] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm.97-98
[6] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm.98    
[7] Sufa’at Mansur, Agama-Agama Besar Masa Kini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.134
[8] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 98
[9] Restorasi Meiji yang mengakhiri Era Samurai & Keshogunan Jepang, diakses dari www.re-tawon.com/2013/08/restorasi-meiji-yang-mengakhiri-era.htmlm=1 , 7 Maret 2017
[10]Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm.  98-99
[11] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 99-100
[12] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 100
[13] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 101
[14] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 101               
[15] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 101-102
[16]Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 102
[17] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 102-103
[18] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 103-104       
[19] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 104
[20]Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm.  104-105
[21] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 106-107
[22]Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm.  107-108
[23] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 108-109       
[24] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 128-129
[25] Djam’annuri, dkk. Agama Jepang, hlm. 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...