Kepasifan Perspektif
Gender
Kajian Tindakan Perempuan terhadap laki-laki dalam menjalin hubungan
pacaran di kalangan remaja
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama dan Gender
Dosen
Pengampu : Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A.
Oleh
:
Muhammad
Habibul Musthofa (15520003)
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017
Pendahuluan
A. Latar belakang
Dalam
fenomena budaya, berupa budaya primitif dan tradisional, terdapat suatu unsur
spirit “fetish” yakni adanya anggapan setiap objek di dalamnya selalu
bersemayam ruh atau kekuatan tertentu, sehingga menimbulkan pengaruh magis,
daya pesona dan rangsangan tertentu.[1]
Seperti
diungkapkan Marshal Shalins (1976) yang menggembangkan konsep tersebut dalam
menyelidiki makna benda-benda dalam masyarakat modern. Jika masyarakat
tradisional menggunakan benda-benda alamiah (seperti: kayu, batu, tulang,
binatang dan sebagainya) sebagai benda yang memiliki unsur spirit “fetish”,
maka masyarakat modern menggunakan benda-benda buatan pabrik. Ia menunjukkan
bagaimana sistem pakaian masyarakat modern misalnya, bukanlah sekedar perangkat
objek materi untuk membuat hangat tubuh dan sebagainya, melainkan lebih sebagai
kode simbolik untuk mengkomunikasikan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial
(misalnya membedakan antara kelas atas dan kelas bawah).[2]
Sebenarnya
dalam masyarkat modern yang konon dipandu dengan spirit jargon paradigma yang
serba rasionalistik, ternyata juga masih menyakini konsep mitologi yang sangat
kental, kuat, dan bahkan lebih absurd (aneh), jika dibandingkan dengan
masyarakat tradisional, yakni dengan jalan membangun citra-citra di balik
benda-benda. Dengan demikian , sebenarnya dalam setiap fenomena kebudayaan,
akan selalu terjadi yang namanya siklus dan transformasi spirit kebudayaan
lama, yang akan terus terjadi dan terulang pada masyarkat tertentu. Hanya saja
terdapat pembeda, yakni pada wilayah wujud representasinya. [3]
Dalam
konteks masyarakat modern abad ke-21, segala hal yang rasional mulai banyak
diutamakan. Namun demikian, tetap saja masih banyak orang yang terjebak dalam
hal yang tidak rasional. Salah satu hal yang mungkin akan selalu tidak rasional
adalah permasalahan cinta. Sebagaimana banyak orang mengakui cinta itu buta,
menganggap cinta itu buta berarti kita tidak melihat cinta berdasarkan
kenyataan yang ada. Sebagai contoh, seseorang bunuh diri karena putus cinta.
Selain
itu, di dalam kalangan remaja yang identik dengan pacaran, ada suatu fenomena
yang menarik untuk diketahui, yakni seperti adanya aturan tidak tertulis bahwa
perempuan tidak boleh (lebih baik tidak) mengungkapkan perasaan duluan ke
laki-laki. Dimana disini terlihat perempuan cenderung pasif dan laki-laki harus
cenderung aktif, hal tersebut menjadi menarik untuk diketahui yang mana
berkaitan dengan permasalahan kesenjangan gender. Bagaimana dalam pacaran, bila
terjadi kehamilan ataupun kekerasan pihak perempuan biasanya akan menjadi
korbannya. Oleh karenanya dalam penelitian ini akan membahas tentang Kepasifan dalam Perspektif Gender, Kajian Perempuan
terhadap laki-laki dalam menjalin hubungan pacaran di kalangan remaja dan juga permasalahannya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut
maka penelitian ini akan dituliskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Seperti
apa bentuk konstruksi kepasifan perempuan terhadap laki-laki dalam menjalin
hubungan pacaran di kalangan remaja?
2. Adakah
hubungan kepasifan terhadap diskriminasi
perempuan?
C.
Tujuan
dan Metode
Berdasarkan latar belakang masalah dan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian dan
metode-metodenya sebagai berikut:
A. Tujuan
Penelitian
1. Mengetahui
bentuk konstruksi kepasifan perempuan terhadap laki-laki dalam menjalin
hubungan pacaran.
2. Mengetahui hubungan kepasifan dan diskriminasi
terhadap perempuan.
B. Metode
data
Dalam
metode penelitian ini, penulis melakukan penelitian bersifat
deskriptif-kualitatif dengan menggunakan cara sebagai berikut:
1. Pengamatan
Penelitian dilakukan
dengan pengamatan secara langsung, dalam hal ini objek atau kasus yang diteliti
diamati berupa gejala-gejala sikap yang dilakukan, sehingga dapat mengetahui
pola-pola atau gambaran umumnya. Pengamatan tersebut dilakukan hanya dalam kalangan
remaja di wilayah Bantul dan sekitarnya.
2. Wawancara
Penulis melakukan
wawancara guna melakukan konfirmasi atas apa yang terjadi dalam pengamatan,
sekaligus mencoba mengetahui makna dan bagaimana pandangan narasumber terkait
pertanyaan yang diajukan.
3. Buku
dan Internet
Buku dan berbagai sumber dari internet
digunakan penulis untuk penambahan dan penjelasan teori,data dan informasi.
Selain, sebagai data pendukung yang utama, sehingga semaksimal mungkin
memberikan penjelasan yang optimal dan obyektif.
Pembahasan
A.
Gender
dan Ketidakadilan
Pemahaman tentang gender di
masyarakat harus diakui masih menimbulkan berbagai penafsiran. Masyarakat awam
tentunya masih memerlukan penjelasan tentang apa arti sebenarnya dari gender.
Dari pengamatan di masyarakat, terjadi ketidakjelasan dan kesalahpahaman
tentang pengertian gender dalam kaitannya dengan usaha emansipasi kaum
perempuan.[4]
Istilah gender dalam bahasa
Indonesia, diadopsi dari bahasa inggris yang berarti “jenis kelamin”. Dalam hal
ini masih perlu dibedakan antara “gender” dalam makna “sex”. Secara prinsip ditegaskan, bahwa gender
menunjuk pada kategori sosial dan seks adalah kategori biologis.[5]
Gender sendiri dapat dipahami
sebagai sebuah konstruksi sosial tentang relasi perempuan dan laki-laki yang
dikonstruksikan oleh system dimana keduanya berada. Dalam kenyataan konstruksi
sosial ini dikonstruksikan oleh kekuasaan yang ada di masyarakat.[6]
Pengertian gender adalah suatu konsep pembedaan antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan perspektif sosial-budaya, dan bukan dari sudut pandang perbedaan
kodratnya. Oleh karena itu, konsep gender dapat diartikan dilekatkan oleh
budaya, bukan dari kodrat tuhan. [7]
Dalam analisis gender, konsep gender yang telah melekat di masyarakat menjadi
nilai-nilai, tradisi dan keyakinan bersama, perlu mendapat perhatian.
Dalam
membahas konsep gender diatas, juga perlu dikaji tentang identifikasi biologis
anatara laki-laki dan perempuan. Seperti
dalam pandangan seorang dokter bernama Muhammad Thohir, perbedaan biolgis
antara perempuan dan laki-laki, selain kodrat biologis-reproduktif, juga
terdapat perbedaan jaringan otak terkait komposisi hormonalnya. Hormon Testoren dalam manusia memberi perbedaan
belahan otak (hemisphere) anatara laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi
potensi dalam diri seseorang. Hemisphere yang
terbagi dalam belahan otak kanan dan otak kiri memiliki perbedaan diantara
perempuan dan laki-laki. Laki-laki memiliki kapasitas belahan otak kanan lebih
besar dari otak kiri sedangkan perempuan memiliki kapasitas belahan otak kiri
lebih besar dari otak kanan. [8]
Mereka
yang memiliki kecenderungan otak kiri memiliki kelebihan dalam fungsi verbal
atau bahasa dan keterampilan motorik, dan yang kecenderungan otak kanan
memiliki kelebihan dalam fungsi-fungsi spatial, matematika, identifikasi objek,
hubungan asosiasi dan interaksi antar objek.[9]
Perbedaan biologis seperti diatas
tentunya memiliki pengaruh dalam kajian gender ini, seperti akan mempengaruhi
sikap dan perilaku seseorang, tetapi dalam permasalahannya adalah adanya
diskriminasi gender yang mengakibatkan ketidakadilan di masyarakat. Bahkan kita
tahu, antar orang satu dengan lainnya pasti ada perbedaan, antar laki-laki satu
dengan lainnya pun ada perbedaan, seperti ras, kulit dan sebagainnya. Apalagi
antar laki-laki dan perempuan, oleh karenanya permasalahan tersebut perlu
diatasi perihal ketidakadilan dalam gender yang melekat di kehidupan
masyarakat.
Dalam
pandangan feminisme, banyak faktor terhadap adanya ketidakadilan, sehingga
melahirkan bebagai jenis gerakan feminimse. Konsep feminisme ini memiliki
rumusan untuk tidak membenci apa pun berdasarkan gender, baik laki-laki ataupun
perempuan. Spirit dalam konsep ini adalah menempatkan antara laki-laki dan
perempuan setara sebagai manusia lengkap dengan nilai yang dilekatkan. Oleh karena itu, gerakan feminimisme
semata-mata memperjuangan keadilan tanpa
menimbulkan penindasan baru.[10]
B.
Bentuk
Diskriminasi Gender
Bentuk-bentuk
diskriminasi gender pasti akan mengakibatkan ketidakadilan gender, terutama
terhadap perempuan, namun tidak menutup kemungkinan juga terhadap laki-laki.
Terutama terhadap mereka yang terlihat lemah, aneh, ataupun berbeda di
masyarakat. Berikut beberapa bentuk-bentuk diskriminasi gender:
a. Streotipe
Maskulin dan Feminin
Konsep gender yang
terinternalisasi dalam masyarakat mengakibatkan adanya standarisasi pelabelan
antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial. Dalam hal ini, segala hal
yang dianggap pantas dan biasanya diekspresikan oleh perempuan atau laki-laki
kemudian dikenal dengan sifat maskulin dan feminin.[11]
Dalam konteks
diskriminasi, stereotip berkembang menjadi pelabelan dan penandaan negative
terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, yang umumnya merugikan
perempuan, seperti menyulitkan, membatasi, dan bahkan memiskinkan.Misalnya ada
keyakinan di masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah dan perempuan
dinilai hanya tambahan saja.[12]
b. Marginalisasi
dan subordinasi
Marginalisasi yakni menjadi semakin
miskin dan tersingkir keberadaannya, dan subordinasi adalah menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting.
Konsep
marginalisasi dan subordinasi umumnya terjadi akibat kemiskinan. Marginalisasi
dan Subordinasi merupakan konsep yang saling terkait maknanya. Perempuan
menjadi berada di wilayah marginal secara kultural dan sosial, karena posisinya
yang tersubordinasi. Juga sebaliknya subordinasi terhadap perempuan juga dapat
karena konsep marginalisasi yang diyakini masyarakat. [13]
Dalam
hal gender yang merugikan perempuan, marginalisasi dan subordinasi dapat
bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, tradisi bahkan
asumsi ilmu pengetahuan.[14]
c. Kekerasan
terhadap perempuan
Kekerasan merupakan
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang yang
dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, yang umumnya terjadi terhadap
perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena perbedaan
gender, dan sering bukan karena unsur kecantikan melainkan karena kekuasaan dan
stereotip gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan.[15]
Bentuk-bentuk kekerasan
perempuan tentunya sangat banyak, baik fisik maupun non-fisik. Seperti
pemerkosaan, penyiksaan ataupun berupa kekerasan verbal, pornografi dan sebagainya.
C.
Interaksi
Simbolik
Interaksi
simbolik yang diungkapkan Herbert Mead dalam karya tunggalnya yang amat penting
dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society Mead
megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama
lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik.[16]
Mind(Pikiran), yang
didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri,
tidak ditemukan di dalam diri individu,sehingga pikiran adalah fenomena sosial.
Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral
dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah
produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional
ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu
respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang
dinamakan pikiran. Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir
tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai
apa yang sering disebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari
konsep logis yang lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui
kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan
terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran
melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah.[17]
Seseorang
atau kelompok yang telah mampu berempati dan menilai diri sendiri sesuai dengan
pandangan orang lain disebut sebagai “diri” (self). Diri adalah kemampuan untuk
menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk
menjadi subjek atau objek. Diri mensyaratkan proses sosial dengan komunikasi antar manusia. Dalam
perkembangannya, diri muncul akibat adanya aktivitas dan hubungan sosial. Oleh
karena itu, tidak mungkin terbayang dalam diri bila tidak adanya pengalaman.
Tahap yang penting dalam diri adalah individu harus mencapai keadaan di luar
dirinya sendiri, sehingga mampu mengevaluasi dirinya sendiri. Untuk itu
individu pada dasarnya harus menetapkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman
yang sama dengan orang lain.[18]
Masyarakat
atau Society, Mead menggunakan istilah tersebut yang berarti proses sosial
tanpa henti yang mendahului pikiran diri. Masyarakat penting peranannya dalam
membentuk pikiran diri, di tingkat lain masyarakat mencerminkan sekumpulan
tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu. Menurut Mead individu
dapat mempengaruhi masyarakat dimana mereka melakukan kritik diri, yang
bertujuan untuk mengendalikan diri mereka sendiri.[19]
D.
Kepasifan
dalam Pandangan Masyarakat
Individu
atau kelompok masyarakat selalu akan terlibat interaksi sosial, dimana ada
tuntutan untuk saling bekerja sama. Hal ini terlihat jelas di masayarakat,
semisal saja orang-orang Indonesia yang dikenal memiliki tadisi gotong-royong, yang masih tampak eksis
di masyarakat pedesaan. Contoh lain seperti di Masyarakat Jawa, dalam hal ini
seperti di daerah, Bantul Yogyakarta, masih ada
tradisi yang berkenaan nuansa gotong
royong, yakni seperti kerja bakti bersama, rapat bersama,merti dusun dan
sebagainya, bahkan pengajian bersama pun bisa dimasukan, walaupun dalam hal ini
aktivitas-aktivitas tersebut sudah umum berada di lingkup masyarakat tertentu.
Namun,
dalam hal ini akan berbeda bila suatu Individu atau kelompok bersifat pasif di
masyarakat. Dalam pandangan masyarakat,
mereka yang bersifat pasif akan identik dengan individualis dan eksklusif.
Sehingga terlihat kepasifan tidak dibutuhkan dalam masyarakat, adanya kepasifan
ini tentunya masyarakat akan memberikan berbagai reaksi. Dalam hal ini, bisa
kita bagi dalam reaksi positif dan reaksi negatif, walaupun umumnya akan
bereaksi negatif.
Masyarakat
yang berekasi positif tentunya memilki pertimbangan tersendiri. Mereka yang berekasi positif dalam setiap
permasalahan akan berpikir bijak, dengan pandangan yang luas akan mengatasi
masalah dengan sebaiknya, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang memberikan
respon negatif, akan memberikan sanksi yang bersifat menghakimi, tanpa tahu
sebab apa yang terjadi. Oleh karenanya, Konteks kepasifan tentunya banyak ragam,
mengaitkan dengen isu gender dan ketidakadilan akan menjadi pembahasan menarik.
E.
Kepasifan
dalam PDKT
Salah
satu yang menjadi perhatian penulis yakni dalam hal gender, bagaiamana isu ini
menuntut adanya kesetaraan gender, menumpas ketidakadilan, dan banyaknya
ketidakadilan yang menimpa terhadap perempuan. Namun apakah benar demikian?
Permasalahan ini akan dibahas lebih lanjut.
Mengaitkan
isu ini, sesuai dengan tema tulisan akan dikaji dalam “Perempuan terhadap
laki-laki dalam menjalin hubungan pacaran di kalangan remaja”. Pertama-tama
penulis mengidentifikasikan bahwa mayoritas perempuan terhadap laki-laki dalam
menjalin hubungan pacaran bersifat pasif, kedua, perlu dipahami maksud menjalin
hubungan pacaran adalah PDKT, istilah yang sangat populer di kalangan remaja.
PDKT
adalah istilah yang yang sudah tidak asing di kalangan remaja. PDKT adalah
singkatan dari kata “pendekatan”. Istilah pendekatan apabila disingkat menjadi
PDKT. Akronim PDKT (pendekatan) merupakan singkatan atau akronim tidak resmi
dalam bahasa Indonesia.[20]
Istilah
tersebut sering diucapkan saat dimana akan dimulai hubungan pacaran. Dalam
pengamatan di kalangan remaja, terlihat bahwa PDKT bisa dilakukan laki-laki
maupun perempuan, namun setelah diamati lebih jauh terdapat perbedaan yang
jelas di antara keduanya. Bagi remaja laki-laki PDKT merupakan suatu hal yang wajar,
namun di kalangan Remaja Perempuan PDKT terlihat sebagai hal yang tidak wajar
atau tidak pantas.
PDKT
remaja laki-laki seakan-akan menjadi keharusan bagi yang ingin memiliki
pasangan lawan jenis. Dari wawancara terhadap beberapa remaja laki-laki,
mayoritas laki-laki setuju jika laki-laki harus mendekati dan nembak duluan dalam pacaran. Dengan berbagai alasan diperoleh
seperti laki-laki memang harus(wajib) duluan dari perempuan, jadi laki-laki
jangan pengecutlah, dan sebagainya, yang intinya seperti yang telah disebutkan,
PDKT seakan-akan menjadi kodrat bagi laki-laki, dan bagi laki-laki yang tidak
berani nembak duluan akan disebut tidak jantan, pengecut dan sebagainya.
Sedangkan
PDKT remaja Perempuan akan berlaku sebaliknya. PDKT remaja Perempuan
seakan-akan menjadi hal aneh bagi perempuan, walaupun perempuan tersebut ingin
memiliki pasangan lawan jenis. Dalam wawancara yang dilakukan, dari 7
narasumber perempuan, mereka menganggap perempuan yang nembak (PDKT) itu bukanlah masalah, namun setelah ditanya lebih
jauh, 5 dari 7 perempuan belum pernah nembak duluan, dengan berbagai alasan
seperti gak wajar, tidak berani, malu, atau takut disebut cewek agresif ataupun
tidak laku. Sedangkan 2 perempuan pernah nembak
(PDKT) duluan, dengan melakukan pendekatan duluan dan memberikan kode ke pasangan yang diinginkannya. [21]
Dalam
wawancara lebih lanjut terhadap 2 perempuan yang pernah memberikan kode saat
PDKT. mereka diketahui memberi Kode yang kurang lebih mereka banyak menunjukkan
perhatian terhadap pasangan yang diidamkan.
Mereka mencoba lebih akrab atau dekat dengan banyak ngobrol dengan si idaman. Salah satu dari mereka berkata sebelumnya
mencoba kenalan dahulu kalau belum kenal, kalau udah akrab atau kenal terus dapetin
nomor hpnya. Dari mereka berdua diketahui mereka lebih banyak atau PDKT
berinterkasi lewat nomor hp, facebook kalau
cowoknya respon positif nanti lama-lama
ajak ketemuan dan pacaran pada akhirnya.
Sebelum
lebih lanjut, perlu diketahui kode dalam
pacaran, kode secara harfiah berarti tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati
untuk maksud tertentu.[22]
Sehingga
kode dalam pacaran berupa memberikan tanda (kata-kata, tulisan) yang
dimaksudkan untuk pacaran. Kode dalam pacaran sendiri lebih banyak terjadi di
fase PDKT. Penggunaan kode ini sering dilakukan oleh perempuan dalam pacaran,
perempuan selalu menyembunyikan perasaanya ketika PDKT. Dengan mengedepankan
sikap egoisnya, perempuan tidak mau menyatakan cinta maupun menunjukkan bahwa
dia suka terhadap pasangan lawan jenis. Perempuan berpikir cukup memberi kode
saja pada laki-laki yang disukai.[23]
Kode
atau bisa dibilang bahasa perempuan yang multi-makna ini jelas membuat
laki-laki bingung. Komunikasi yang seharusnya sederhana, jadi ribet. Padahal
komunikasi adalah salah satu kunci berhasilnya suatu hubungan. Dan banyak
alasan untuk menjelaskan hal tersebut, salah satunya sejak kecil perempuan
dididik untuk menjadi pasif dan mengambil peran “yang harus dilindungi dan
diselamatkan” istilahnya Cinderella
Syndrom. Karena dididik untuk menjadi pasif, perempuan dianggap tabu untuk
mengungkapkan kemauannya dengan aktif, terbiasa “dipilihkan dan diarahkan”,
bukan memilih dengan langsung. Perempuan yang agresif dan to the point dianggap melanggar kodrat feminin. Akibatnya untuk
mengutarakan tujuan dan maksud pun perlu manipulasi, agar seakan-akan
“dipilihkan dan diarahkan laki-laki, padahal itu adalah yang memang diinginkan
perempuan.[24]
Perempuan
“yang harus dilindungi dan diselamatkan” diistilahkan sebagai Cinderella Syndrom juga lebih dikenal
dengan Cinderella complex. Cinderella
Complex pertama kali digambarkan oleh Colette Dowling, yang menuliskan buku
tentang ketergantungan wanita pada sosok orang lain. Cinderella Complex adalah
suatu keadaan psikis dimana perempuan memiliki perasaan takut terselubung untuk
mandiri. Dalam pikiran perempuan terdapat keinginan untuk selalu diselamatkan,
dilindungi dan disayangi oleh pasangan. Layaknya dongeng Cinderella, wanita
dengan Cinderella Complex merasa takut untuk menjadi mandiri dan berharap ada
sosok laki-laki yang dapat melindunginya dan menjadi sosok pangeran dalam
hidupnya.[25]
Dari
penjelasan tersebut, hanya sedikit perempuan yang tidak bersifat pasif dalam
PDKT. Perempuan sendiri masih bisa aktif dalam PDKT dengan memberikan kode ke
pasangan. Dari hal-hal tersebut perempuan bisa memilih bertindak pasif, ataupun
bisa aktif secara tidak langsung dengan melakukan tindakan-tindakan yang
multi-makna (kode). Dari kode tersebut terlihat perempuan memilih bertindak
dengan symbol, sebagai contoh bertindak
narsis ataupun tampil cantik untuk memperoleh perhatian lawan jenis. Hal
tersebut wajar dimana kehidupan modern demokrasi memberikan akses untuk
mengekspresikan diri, ditunjang dengan kemajuan teknologi seperti media sosial.
Dalam
lingkup masyarakat Indonesia, terutama di masyarakat Jawa, terdapat sebuah
pandangan bahwa perempuan yang baik adalah yang mampu menjaga kelakuannya.
Dalam lingkup di masyarakat Jawa sendiri perempuan dituntut menjaga unggah-ungguh (sopan santun). Pergaulan
remaja perempuan sendiri dibatasi seperti tidak boleh pulang keluar rumah sampai
larut malam (klayapan), dianjurkan
tidak keluar malam apalagi tanpa ditemani, tidak boleh neko-neko (nakal, banyak tingkah), dan sebagainya. Bahkan dalam
pandangan masyarakat Jawa, perempuan identik harus di rumah, yakni masak (perempuan harus bisa memasak ), macak (perempuan itu harus berhias) , manak (perempuan itu melahirkan dalam
hal ini, perempuan yang harus mengasuh anak-anaknya). Sementara itu, remaja
laki-laki sendiri lebih sedikit dibatasi seperti laki-laki boleh keluar malam
karena bisa jaga diri, laki-laki harus banyak keluar rumah, dalam hal ini
laki-laki dituntut punya atau mencari pekerjaan, ataupun mencari pasangan dan
sebagainya sehingga kelak mampu memimpin keluarganya.
Dalam
lingkup agama, pandangan masyarakat tentang hal tersebut juga seperti sudah terlegitimasi
dalam pandang agama. Seabagaimana di masyarakat, perempuan identik dilamar dan
dinikahi, sehingga perempuan hanya menerima lamaran dan dinikahi saja. Jika pun
tidak, perempuan dalam memilih pasangan sendiri banyak dijodohkan ,padahal hal-hal
tersebut tentunya kurang relevan bila mengabaikan pendapat perempuannya. Walaupun tidak menutup kemungkinan itu
terjadi, karena masih banyak ketidakadilan (merugikan perempuan) akibat
kesalahan dalam menafsirkan dan memahami cara pandang agama.
Semua
pandangan baik di masyarakat maupun agama sejatinya hanyalah pembagian peran
terhadap laki-laki dan perempuan, namun yang menjadi masalah seakan-seakan
peran tersebut menjadi sesuatu kewajiban bagi perempuan maupun laki-laki
sehingga membatasi pihak terkait. Saat seperti itu, tentunya akan menciptakan
ketimpangan di mana akan terjadi konflik ataupun diskriminasi akibat tidak
saling menghargai dan merasa superior.
Dengan
demikian, diketahui tindakan berupa kepasifan perempuan merupakan konstruksi
sosial, dalam kajian gender merupakan tindakan yang perlu diperhatikan guna
mewujudkan kesetaraan gender. Selain itu, tindakan berupa kode yang dilakukan perempuan,
juga bisa berupa tampil cantik, narsis dan sebagainya. Salah satunya
narsis, ternyata bisa menjadi cara tersendiri untuk mendapatkan perhatian
masyarakat, lalu tampil cantik sendiri digunakan perempuan untuk mendapatkan
perhatian lawan jenis. Apakah hal-hal tersebut menciptakan diskriminasi
tentunya masih perlu dikaji lebih lanjut dalam permasalahan ini.
ANALISIS
Dalam
pandangan interaksionisme simbolik menurut penulis terdapat hubungan dengan konstruksi
sosial tentang perempuan harus feminin, ataupun bersikap pasif, juga terkait fenomena
Cinderella Syndrom. Dalam interaksi simbolik, terdapat pikiran, diri, dan
masyarkat. Pertama pikiran, dalam pembahasannya kemampuan individu ataupun
kelompok dalam merespon keadaan sosial yang terjadi, memberikan tanggapan
secara terorganisir, sekaligus mengarah ke penyelesaian masalah. Sebagai halnya
perempuan baik individu maupun kelompok, terlihat dalam permasalahan gender
terutama perihal kepasifan, yang berupa masalah PDKT, perempuan memberikan
respon bahwa itu adalah hal wajar, namun juga ada perempuan yang memberikan
respon yang berbeda dengan bersikap sebaliknya.
Kedua,
konsep diri, dalam diri itu mampu berempati dan menilai diri sendiri sesuai
dengan pandangan orang lain. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri
sebagai sebuah objek, hal ini terlihat dari sikap pasif yang ditunjukkan
perempuan, sikap pasif identik dengan menerima diri sendiri sebagai objek.
Namun juga, diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek atau objek.
Diri mensyaratkan proses sosial dengan komunikasi antar manusia. Dalam
perkembangannya, diri muncul akibat adanya aktivitas dan hubungan sosial. Untuk
itu individu pada dasarnya harus menetapkan dirinya sendiri dalam bidang
pengalaman yang sama dengan orang lain. Hal ini bisa ditunjukkan juga dengan
kebalikan sifat pasif, yakni menjadi subjek (aktif) perempuan berusaha
berkomunikasi antar manusia, dalam hal ini perempuan berusaha melakukan PDKT, karena
“harus menetapkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan
orang lain” yakni perempuan harus mencapai kesetaraan, dengan tidak pasif.
Yakni dengan melakukan tindakan seperti kode dalam pacaran, ataupun tampil
cantik dan narsis untuk menarik lawan jenis.
Ketiga
masyarakat, Masyarakat penting peranannya dalam membentuk pikiran diri, di
tingkat lain masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang
diambil alih oleh individu. Menurut Mead individu dapat mempengaruhi masyarakat
dimana mereka melakukan kritik diri, yang bertujuan untuk mengendalikan diri
mereka sendiri. Sebagaimana dengan permasalahan ini, tindakan perempuan dalam
kepasifan akan mempengaruhi masyarakat, juga tindakan tidak pasif, berusaha
melakukan kritik diri perempuan, yang bertujuan untuk kepentingan perempuan,
dalam hal ini demi kesetaraan gender.
Dari
penjelasan interkasi simbolik ada hal yang menarik mengenai penerimaan diri
menjadi objek. Saat perempuan bersikap pasif, terlihat perempuan menempatkan
dirinya sebagai objek (pasif). Sebagaimana penjelasan Syndrom Cinderella yang
menempatkan perempuan menjadi objek yang harus dilindungi. Namun, saat
perempuan menempatkan diri sebagai objek, selain berdampak positif (dilindungi),
maka juga akan rentan terhadap ketidakadilan. Sebagaimana banyak kasus
diskriminasi yang banyak merugikan perempuan.
Kepasifan
dan Diskriminasi
Streotipe
Feminin
Setelah
pembahasan di atas, kita akan tahu bagaimana bersikap pasif juga akan banyak
dampak negatif seperti rentan terhadap
diskriminasi. Dalam hal ini kepasifan perempuan dalam PDKT dan pacaran, perempuan
yang bersikap pasif akan cenderung diam dan menerima keadaan. Seperti halnya
dalam PDKT perempuan yang pasif akan membohongi
dan menyiksa diri sendiri, karena tidak berani mengungkapkan
perasaannya. Untuk menghindari hal tersebut, hampir semua perempuan
mengungkapkan perasaannya lewat kode atau secara tidak langsung. Dari fenomena
ini dapat terjadi diskriminasi yakni berupa stereotip feminin, yang identik
bahwa perempuan pasif, lemah dan sebagainya. Pelabelan perempuan itu lemah akan
berkembang menjadi penandaan negatif, yang akan berakibat seperti membatasi,
menyulitkan dan meremehkan perempuan dalam kehidupan.
Marginalisasi
(terpinggirkan)
Dalam
pembahasan interaksionisme simbolik, pada konsep diri, sikap pasif menempatkan
diri sebagai objek. Oleh karenannya banyak perempuan tidak sadar bahwa bersikap
pasif akan memarginalisasikan perempuan, yang di pandang sebagai objek yang
layaknya sebuah benda, bukan objek sebagai manusia. Entah sadar atau tidak
perempuan telah dijadikan objek komersial, sebagai contoh untuk iklan,PSK, dan
sebagainya. Bagaimana seluruh segi perempuan diekploitasi tanpa disadari
perempuan, terutama kecantikan. Walaupun hal ini tidak merugikan perempuan
secara langsung, namun hal ini akan membuat perempuan terlihat rendah dan mudah
mengalami diskriminasi bahkan kekerasan, semisal pelecehan.
Kekerasan
Kekerasan
yang terjadi dalam permasalahan gender, lebih sering menimpa perempuan. Selain
karena secara kekuatan fisik perempuan lebih lemah, juga didukung kultur yang
dominan patriarki, lalu ditambah banyak perempuan yang bersikap pasif.
Perempuan yang pasif akan memberikan peluang lebih besar bagi laki-laki bila
melakukan tindakan kekerasan. Sebagai contoh dalam hubungan pacaran, perempuan
yang hanya nurut saja (pasif) sama
pasangan laki-lakinya, akan mudah mengalami kekerasan yang parah bila suatu
saat terjadi percekcokan, karena mereka yang pasif akan cenderung diam menerima
keadaan dan mudah diancam.
Demikianlah
sikap pasif, dimana seorang yang pasif akan menerima keadaan dan mudah
mengalami diskriminasi. Sekaligus sikap pasif ini akan cenderung membuat orang
tidak mau melawan balik jika mengalami diskriminasi.
Penutup
A. Kesimpulan
Dari
uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
·
Kepasifan adalah bentuk interaksi sosial
manusia yang mana cenderung menjadi sesuatu tindakan yang negatif di masyarakat. Sebagaimana dalam
PDKT, remaja Perempuan yang PDKT (pendekatan, menjalin hubungan pacaran) seakan-akan
menjadi hal aneh bagi perempuan, walaupun perempuan tersebut ingin memiliki
pasangan lawan jenis.
·
bersikap pasif cenderung akan lebih banyak dampak negatif seperti rentan terhadap diskriminasi.
Sebagaimana dalam lingkungan masyarakat kepasifan identik dengan tindakan yang
negatif di masyarakat. Sehingga akan
menjadikan seorang diremehkan, diabaikan dan sebagainya.
B. Kritik
dan Saran
Tulisan ini masilah
belum sempurna, oleh karenanya kritik dan saran sangatlah diterima.
Daftar Pustaka
Kasiyan.
2012. Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Nugroho
,Riant. 2010. Gender dan Administrasi
Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ardianto
,Elvinaro. Lukiati Komala. Ed. Siti Karlinah.
2007. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ritzer,
George. Douglas J. Goodman. 2010. Teori
Sosiologi Modern: edisi ke enam. Jakarta: Prenada Media Group.
Godam64.
Arti Singkatan PDKT/kepanjangan dari
PDKT-Akronim tidak resmi Bahasa Indonesia. 11 Desember 2016. www.organisasi.org/1970/01/arti-singkatan-pdkt-kepanjangan-dari-pdkt-kamus-akronim-bahasa-indonesia.html?m=1
.
Nadya.
Kode-Kodean : Karena Wanita Ingin
Dimengerti. 11 Desember 2016. www.kelascinta.com/relationship/karena-wanita-ingin-dimengerti-kode
.
dr.
Alvin Nursalim. Cinderella Complex,
Kondisi Wanita Tergantung Pada Pria. 11 Desember 2016. www.klikdokter.com/healthnewstopics/topik-utama/cindrella-complex-kondisi-wanita-tergantung-pada-pria
.
[1]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,2012 ), hlm. 353
[2]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 354
[3]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 355
[4]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi
Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 17
[5]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 30
[6]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi
Publik, hlm. 19
[7]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 27
[8]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 43-44
[9] [9]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 44
[10]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 76
[11]
Kasiyan,Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan, hlm. 51-52
[12]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi
Publik, hlm. 42
[13]
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, hlm. 60
[14]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi
Publik, hlm. 41
[15]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi
Publik, hlm. 44
[16] Elvinaro
Ardianto, Lukiati Komala. Ed. Siti Karlinah,
Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007),
hlm. 136
[17] George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern: edisi ke enam (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm.
280
[18]
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern: edisi ke enam, hlm. 281-282.
[19] George
Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern: edisi ke enam, hlm. 287
[20]
Godam64, Arti Singkatan PDKT/kepanjangan
dari PDKT-Akronim tidak resmi Bahasa Indonesia, diakses dari www.organisasi.org/1970/01/arti-singkatan-pdkt-kepanjangan-dari-pdkt-kamus-akronim-bahasa-indonesia.html?m=1
, pada 11 Desember 2016,pukul 09.29 wib
[21]
Wawancara terhadap 7 remaja perempuan usia SMP dan SMA sebagai narasumber, pada
7-10 Desember 2016
[22] Arti Kata Kode-Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Online, diakses dari www.kbbi.web.id/kode , pada 11 Desember 2016,
pukul 10.39 wib
[23] Kode dalam Cinta Itu Absurd, diakses
dari www.bcerita.com/2014/07/16/cinta-dan-kode-didalamnya-yang-absurd/
,pada 11 Desember 2016, pukul 10.55 wib
[24]
Nadya, Kode-Kodean : Karena Wanita Ingin
Dimengerti, diakses dari www.kelascinta.com/relationship/karena-wanita-ingin-dimengerti-kode
, pada 11 Desember 2016, pukul 11:38 wib
[25]
dr. Alvin Nursalim, Cinderella Complex,
Kondisi Wanita Tergantung Pada Pria, diakses dari www.klikdokter.com/healthnewstopics/topik-utama/cindrella-complex-kondisi-wanita-tergantung-pada-pria
, pada 11 Desember 2016, pukul 11:56 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar