Makalah: PEMBAGIAN HUKUM AKAL

PEMBAGIAN HUKUM AKAL 
(Menurut Muhammad Abduh)

Oleh:
Muhammad Habibul Musthofa     (15520003)

 Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
2015



 PENDAHULUAN


             Dalam kitabnya(bukunya) yang berjudul Risalah Tauhid, karya Muhammad Abduh dibahas juga tentang pembagian hukum akal; yaitu hukum wajib, hukum mustahil, dan hukum mungkin. Dalam kitabnya ini, Muhammad Abduh menjelaskan tentang tauhid dengan pembuktian dan rasionalitas.
                 Dalam pembahasanya tentang hukum wajib, hukum wajib digambarkan sebagai sesuatu yang mutlak. Dapat diartikan sendiri mutlak itu pasti, jelas adanya. Saya sendiri menggambarkan mutlak sebagai sesuatu yang pasti ada, dan adanya jelas tanpa sebab. Kaitannya dengan tauhid, contoh dari hukum wajib yakni Allah SWT, sifat-sifatNya yang pasti ada. Sedang tentang hukum mustahil, pembahasanya yakni kebalikan dari hukum wajib, yakni kaitannya dengan sesuatu yang jelas tidak ada, dan tidak ada sebab untuk adanya. Contohnya sifat-sifat yang pasti tidak ada padaNya.
                
Dan untuk hukum mungkin, contohnya yakni ciptaanNya seperti Alam, Manusia dan sebagainya. Jadi hukum mungkin adalah sesuatu yang baru, jadi adanya dengan suatu sebab. Dalam pembahasanya nanti hukum mungkin itu maujud (ada), dan akan menghendaki akan adanya yang wajib. Seperti halnya manusia itu maujud(ada), tapi adanya pasti ada sebab atau yang mengadakannya yakni Allah SWT.

                 Demikianlah sedikit pendahuluanya, selanjutnya nanti akan ada pembahasan lebih lanjut dalam bab pembahasan.










PEMBAHASAN
PEMBAGIAN HUKUM  AKAL
Para ahli tauhid (ilmu kalam), membagi yang “maklum” (Al-maklum : yang dapat dicapai dengan akal) kepada tiga bagian. Yaitu “mungkin” bagi zatnya, “wajib” bagi zatnya, “mustahil” bagi zatnya.
                Adapun yang “mustahil” menurut istilah, ialah sesuatu yang zatnya memang tidak mungkin ada. Adapun “wajib” ialah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada. Sedang yang “mungkin” ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya. Karena itu ia bisa juga terwujud oleh sesuatu yang menyebabkan adanya.
Pemakaian kata-kata “Al-maklum” kepada yang “mustahil” adalah termasuk majazi (bukan hakikat sebenarnya). Sebab yang maklum itu, adalah suatu hakikat yang mesti ada dalam kenyataannya, sesuai dengan ilmu. Sedang yang mustahil, sebenarnya bukanlah termasuk ke dalam perkara seperti ini (dapat dicapai akal), sebagaimana hukum-hukumnya nanti dapat dilihat sendiri. Tetapi yang dimaksud atau yang akan dijelaskan tentang yang mustahil ialah terkait sesuatu yang dapat melekatkan hukum kepadanya, yakni dalam bentuk yang dapat dilukiskan oleh akal, agar akal bisa menceritakan tentang hal yang mustahil.
A. HUKUM WAJIB
Seperti yang telah disebutkan hukum wajib  ialah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada. Dan wajib menurut akal, ialah adanya sesuatu wujud yang mutlak. Sekaligus  tidak dapat diganggu gugat. Seperti adanya angka “empat” merupakan suatu bilangan genap. Kita tentu tidak mungkin mengatakan “tidak” sama sekali dan tidak pula bisa menyangkalnya, bahwa bilangan empat itu suatu bilangan yang genap.
Dimana itu hukum wajib ini untuk penjelasan masalah ketuhanan. Terkait hal yang mendasar, yakni tentang adanya Tuhan, bolehlah kita menyebut wujud tuhan tidak terlihat, namun apakah berarti tidak ada wujudnya?. tentunya dari anggapan itu kita tidak bisa beranggapan tuhan tidak ada, terus kalau begitu bukti wujudnya apa jika memakai indera tidak dapat langsung melihat? jawabanya dengan akal.  Dimana disini kita harus sadar untuk mencari sebab paling awal dari adanya segala sesuatu, yang pada akhirnya sebab itu harus berakhir pada sesuatu yang ada tanpa sebab dan harus mutlak yakni Tuhan yang Maha Esa. Dengan kata lain adanya tuhan memang wajib ada, karena Dia adalah yang Maha Kuasa.

B. HUKUM MUSTAHIL
 Hukum yang mustahil bagi zatnya ialah, bahwa tidak mungkin bisa terjadi wujudnya, karena “tidak ada” (adam), telah menjadi kemestian mahiyah (hakikat) sesuatu itu. Maka sekiranya jika dibolehkan wujud, tentulah tercabut kelaziman mahiyah(hakikat) itu dari dirinya sendiri. Maka  sesuatu yang mustahil itu, memang tidak  bisa diwujudkan dan memang ia sesuatu yang tidak akan ada dengan pasti, bahkan akal tidak mungkin menggambarkan hakikat (mahiyah) sesuatu yang mustahil. Sebab ia bukanlah sesuatu yang maujud (ada), baik di luar maupun di dalam pikiran kita.
Dimana hal mustahil itu bila ada maka hilanglah kekuasaan Tuhan, misalnya Tuhan maha Kuasa, maka mustahil Tuhan  tidak maha Kuasa. Ada sebuah argumen bahwa jika Tuhan maha kuasa, maka Tuhan kuasa dong menciptakan Tuhan sama seperti diriNya. Hal itu jelaslah argumen yang keliru, karena hal itu terkait hal yang mustahil bukan masalah terkait kemahakuasaan Tuhan. Dimana kita harus paham bahwa kemahakuasaan tuhan itu tidak diciptakan ataupun ada sebabnya, karena penciptaan Tuhan itu adalah sesuatu baru atau setidaknya ada dalam kuasaNya. jadi Tuhan itu tidak bisa diciptakan, karena Dia Maha pencipta dan bukan diciptakan, jika pun harus, maka penciptaan seperti itu, Tuhanlah yang mencitptakan(sebab) diriNya sendiri dan  sebab tanpa sebab itu hanya ada satu yakni Tuhan.
C. HUKUM MUNGKIN
Diantara hukum-hukum  yang mungkin bagi zatnya ialah bahwa ia tidak mungkin “ada” kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa ia tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan sesuatu sebab pula. Demikian karena tidak satupun diantara dua perkara itu (ada dan tiada) yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus. Maka menurut zatnya , kedua perkara tadi adalah sama. Jika bisa kejadian salah satu di antara keduanya (ada dan tiada) tanpa ada sesuatu sebab, pastilah terjadi menguatkan salah satu dua yang bersamaan atas yang lain tanpa alasan yang menguatkannya atau artinya mengumpulkan dua barang yang berlawanan, yang berarti pula menyamakan barang yang tidak sama dalam satu waktu dan itu semua adalah jelas mustahil.
Sebagian di antara hukum-hukum “mungkin” ialah sesuatu yang maujud itu adalah “baharu”. Karena telah pasti, bahwa dia tidak bisa wujud (ada), kecuali dengan sesuatu sebab. Adapun kemungkinan terdahulunya atau bersama-sama atau terkemudian sesuatu itu (wujud) dari pada wujud sebabnya adalah keliru. Kalau tidak begitu, lazimlah mendahulukan adanya orang yang berkehendak (ada) atas apa yang dikehendakinya (tiada). Maka itu membawa sesuatu kepada yang tidak menurut semestinya. Selain itu, yang demikian juga tidak bisa kejadian. Hukum menetapkan , bahwa salah satu diantara keduanya (ada dan tiada) adalah “bekas” dan yang lain adalah “memberi bekas” dan kalau begitu terjadinya tarjih (menguatkan) tanpa ada alasan yang menguatkannya.  Hal ini tidak bisa diterima oleh akal, selain itu, menganggap satu diantaranya adalah sebab dan yang lain adalah yang diberi sebab,namun juga menguatkan salah satu keduanya atas yang lain tanpa ada alasan yang jelas. Dan ini jelas mustahil.  Karena itulah wujud (ada)nya sesuatu itu setelah wujud sebabnya. Jadi, wujudnya itu didahului oleh “tiada” dalam martabat adanya sebab. Oleh sebab itu, “mungkin” adalah sesuatu yang “baharu”. Sebab yang “baharu” itu ialah sesuatu yang wujudnya didahului oleh “tiada” (‘adam).  Maka jelaslah segala sesuatu yang “mungkin ada” adalah “baharu”.
Untuk yang “mungkin” dalam keadaan “tiadanya” tidak berkehendak kepada sebabnya yang wujud. Karena suatu yang “tiada” adalah negatif. Dan yang negatif tidak memerlukan kepada wujud yang nyata. Maka adanya “ketidakmungkinan”, itu ialah tidak ada bekasnya, atau karena tidak ada sesuatu sebab yang menyebabkan kekalnya. Adapun dalam wujudnya suatu itu jelas memerlukan sebab yang pasti. Karena sesuatu yang “tiada” tidak bisa mengadakan sesuatu. Tetapi yang maujud itu bila ia terjadi, maka terjadinya dengan “diadakan” lebih dulu.
D. PENGERTIAN SEBAB
Pengertian sebab dari apa yang telah dikemukan tadi, ialah yang menciptakan dan yang memberi wujud. Dengan lain ibarat ialah: yang mewujudkan, sebab yang melahirkan sebab yang melakukan, pencipta yang hakiki, dan lain-lain. kata sebab itu dapat berupa sesuatu yang berbeda susunan katanya, tetapi tidak berbeda artinya. Kadang-kadang dipakaikan pula “sebab” itu kepada “syarat”, atau orang yang mempersiapkan sesuatu yang mungkin itu untuk menerima wujud dari yang mewujudkannya. Dan ia (sebab) dalam pengertian seperti ini hanya perlu pada permulaan wujud saja dan tidak pada kekalnya. Dalam hal ini, contohnya ialah seperti wujud adanya tukang yang membuat rumah. Tukang itu menjadi syarat bai terwujudnya rumah. Kadang-kadang tukang yang membuat rumah telah mati sedang rumahnya masih tetap ada. Sebenarnya dalam hal ini, tukang itu bukanlah yang memberikan wujud bagi rumah itu, hanya gerak-gerik tangan, fikiran, dan tingkat-tingkat kemauannya adalah syarat bagi adanya rumah menurut rencana yang sudah ditentukannya. Jelasnya memang terdapat perbedaan antara bergantungnya kemungkinan pada suatu barang dan antara mengambil faedah dari wujudnya. Maka bergantungnya kemungkinan itu kadang-kadang terdapat pada suatu wujud, kemudian kepada tidak adanya wujud itu. Adapun tentang mengambil faedah dari wujud sesuatu, maka itu memerlukan adanya lebih dahulu pemilik bagi sesuatu wujud,yang akan diberikannya kepada orang yang mengharapkan manfaat dari dirinya. Dan bahwa adanya si pengharap manfaat itu bersandar pula kepada adanya si pemberi  sendiri, yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya si pemberi itu. Oleh karena itu, dalam beberapa perkara tidak ada orang yang bisa berbuat dengan leluasa menurut kemauannya sendiri.
Yang mungkin itu pasti ada
Tidak perlu rasanya untuk membahas yang “mustahil”, karena yang mustahil itu tidak terwujud. Begitu pula yang “wajib”, karena yang wajib itu telah mempunyai wujud yang zati. Segala sesuatu yang mempunyai wujud tidak bisa dikatakan tidak ada, dan tidak pula dikatakan didahului oleh tiada, sebagaiamana nanti akan dijelaskan dalam menerangkan hukum-hukum yang wajib. Kalau demikian halnya, maka yang perlu dibahas ialah “yang mungkin”, dan yang mungkin itu pasti ada.

Adanya yang “mungkin” itu pasti menghendaki akan adanya “yang wajib”
                segala yang mungkin yang telah ada itu, merupakan suatu kemungkinan yang tetap. Dan tiap-tiap yang mungkin ada, berkehendak sepenuhnya kepada yang mengadakan atau mewujudkannya (sebagai sebab). Tetapi apakah yang mengadakan itu dirinya (zatnya) sendiri?. Itu mustahil, karena hal itu berarti mendahulukan sesuatu atas dirinya sendiri. Atau apakah yang mengadakan itu bagian (fragment) dari dirinya sendiri?, dan ini juga mustahil karena berarti menetapkan sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri dan sesuatu yang mendahuluinya, jika hal itu memang telah ada. Dan hal tersebut jelas batalnya. Maka oleh sebab itu wajiblah ada sebab yang berdiri dibelakang segala “yang mungkin”. Dan segala wujud yang terjadi tanpa sebab yang memungkinkan  adalah yang wajib. Karena tidak ada dibalik yang mungkin itu kecuali yang mustahil dan yang wajib. Sedang yang mustahil itu tidak bisa diwujudkan maka tidak perlu dibahas lagi, maka tinggalah yang wajib. Maka tetaplah, bahwa segala sesuatu yang mungkin yang ada wujudnya, pasti ada yang mewujudkannya (sebab) yaitu zat yang wajib ada.
                Segala sesuatu yang mungkin ada , baik yang adanya itu tak terbatas ataupun memiliki batas, semua itu pasti berdiri diatas wujud (memiliki wujud). Maka wujud yang demikian itu , tentu bersumber dari zat yang mungkin dan hakikat dari zat yang mungkin itu. Namun itu jelas mustahil (batal) karena menjadikan yang mungkin sebagai sebab bagi “yang mungkin”,karena tidak ada sesuatupun mahiyah (hakikat) yang mungkin itu yang memastikan (memberikan) wujud.  Sebagaimana telah dijelaskan keterangan itu dibagian hukum yang mungkin.  Maka dari itu, teranglah sumber bagi segala sesuatu yang wujud adalah Zat yang Wajib WujudNya dengan pasti.







KESIMPULAN

1.       Hukum wajib ialah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada, yang menurut akal ialah adanya sesuatu wujud yang mutlak.
2.       Hukum mustahil ialah sesuatu yang zatnya memang tidak mungkin ada. Atau  hukum yang mustahil bagi zatnya ialah, bahwa tidak mungkin bisa terjadi wujudnya, karena “tidak ada” (adam), telah menjadi kemestian mahiyah (hakikat) sesuatu itu.
3.       Hukum mungkin  ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya. Karena itu ia bisa juga terwujud oleh sesuatu yang menyebabkan adanya. hukum-hukum  yang mungkin bagi zatnya ialah bahwa ia tidak mungkin “ada” kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa ia tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan sesuatu sebab pula.
4.       Sebab ialah yang menciptakan dan yang memberi wujud. Dengan lain ibarat ialah: yang mewujudkan, sebab yang melahirkan sebab yang melakukan, pencipta yang hakiki, dan lain-lain. Dan dapat dikatakan pula maksud sebab ialah “syarat”, atau orang yang mempersiapkan sesuatu yang mungkin itu untuk menerima wujud dari yang mewujudkannya.
                                                                    














DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad.1992.Risalah Tauhid.terj. Firdaus AN,Jakarta : Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...