Peran Israel Zangwill dan Tragedi Holocaust Terkait Pembebasan Bangsa Yahudi
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Yahudi
Dosen Pengampu : Dr. Roma Ulinnuha, M. Hum.
Oleh :
Muhammad Habibul Mushtofa (15520003)
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017
A. PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Secara umum, Al Kitab dalam perjanjian lama dapat dikatakan menjadi sumber penting dalam tradisi teks Yahudi. segala bentuk ajaran dan pandangan hidup umat Yahudi akan merujuk pada kitabnya itu. Dalam sejarahnya pula, bangsa Yahudi bisa dibilang sebagai bangsa dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang. Kita lihat saja bagaimana bangsa Yahudi telah ada sejak zaman Firaun kerajaan Mesir kuno, Babylonia, Mesopotamia, lalu juga Romawi, dan sebagainya serta identitasnya masih ada sampai sekarang. Bisa dibilang sejarah Yahudi baik sebagai bangsa maupun agama sangatlah kompleks.
Namun disini, akan dibahas juga perihal peristiwa masa perang Dunia, yakni tragedi Holocaust yang dialami Yahudi baik sebagai bangsa maupun agama. Lalu fokus melihat pada sosok Israel Zangwill seorang Yahudi yang hidup saat tragedi Holocaust dan bagaimana ia menyuarakan perihal tragedi Holocaust ini melalui teks karya-karyanya serta berbagai usaha lainnya sebagai sebuah wacana pembebasan bangsa Yahudi. Lalu bagaimana dalam karyanya itu berkaitan dengan sejarah kehidupan dan ajaran agama Yahudi.
2) Rumusan Masalah
1. Seperti apa pembuangan dan pembebasan yang dialami bangsa Yahudi?
2. Bagaimana peran Zangwill dalam tragedi Holocaust perihal pembebasan bangsa Yahudi
saat itu?
B. PEMBAHASAN
1) Tradisi Al-Kitab Yahudi
Sejarah agama Yahudi dapat dilihat ada dua tahap yakni tahap Musais dan tahap patriarkh, dimana keduanya saling ada kontinuitas. Perbedaan antara kedua tahap itu adalah bahwa agama saat Musais menyebut Allah “Yahweh”, sedang zaman patriarkh terdapat lebih dari satu nama dipakai untuk Allah. Sehingga sejarah agama Yahudi pada tahap pertama ini, yakni tahap Musais sangat kompleks, lalu karenanya sulit untuk direkonstruksi kembali. Sebagaimana kajian Al-Kitab umat Yahudi sendiri juga setidaknya memiliki tiga sumber, pertama sumber Yahwis, kedua sumber Elohis dan ketiga sumber Imamat. Sumber Yahwis (Y) ini sumber paling kuno, yakni membahas mengenai Abraham, lalu Sumber Elohis (El) sendiri yang menambahkan dan menonjolkan unsur dan sumber sebelumnya. Dimana sumber Elohis sangat menekankan Abraham sebagai orang yang terpilih dan sebagai orang yang taat kepada tuhan. Sedangkan sumber Imamat (P) menambahkan beberapa penekanan historis dan teologis, seperti latar belakang Abraham di Mesopotamia Utara, silsilah Abraham (Ishak,Yakub, Yusuf). Selain itu, bila ditanyakan darimana mengetahui tentang tabiat Yahweh yang ada dalam Alkitab, berbagai aliran tradisi alkitabiah seperti Yahwis dan Elohis bahkan Nabi Hosea setuju menjawab “melalui Musa” karena sebagai seseorang yang memainkan peranan utama dalam keluar dari Mesir dan sebagai pengantar pernyataan Allah kepada Israel. Walaupun pada akhir abad ke-19 banyak para ahli menolak peranan sentral Musa, seperti Noth seorang ahli yang mengatakan bahwa Musa tidak mungkin mendirikan agama Yahwisme.[1]
Dimana sebenarnya jangka waktu antara peristiwa-peristiwa zaman Musa dengan penyusunan tradisi paling kuno (yaitu Yahwis) adalah kurang dari 300 tahun setelahnya. Karena kemungkinan besar Musa hidup antara tahun 1250-1200 SM, sedangkan dokumen yang tertua disusun antara tahun 950-900 SM. Kalau bahan lisan yang dimanfaatkan Yahwis itu berasal sekitar tahun 1000 SM, maka menjadi berjarak 200 tahun, yang mana jarak ini dapat dijembatani oleh empat atau lima genarasi tradisi lisan. Diketahui, Musa mendapat nama dalam sejarah sebagai nabi utama di Israel, dalam waktu 200 tahun tradisi dapat menciptakan oknum Musa dengan fungsi-fungsinya yang begitu beraneka ragam, dimana telah diuraikan dalam tradisi Yahwis.[2] Namun, diketahui juga terdapat sumber dalam bentuk non-Alkitabiah. Bahan non-alkitabiah ini sebagian besar terdiri dari unsur ilmu bumi, hukum, dan kebudayaan yang mana jarang menyangkut soal keagamaan secara langsung.[3]Dimana, salah satunya karya tulis dari Israel Zangwill yang terbit dan membahas mengenai kehidupan Yahudi perihal tragedi Holocaust yang secara tidak langsung berkaitan soal sejarah dan ajaran Yahudi.
2) Sejarah Pembebasan Bangsa Yahudi
Berdasarkan pembukaan dari nyanyian Debora, bagian dari kitab hakim-hakim dari Al-Kitab Yahudi disinggung peristiwa sekitar tahun 1100 SM. Dimana ada peranan Debora dengan Yahweh yang digambarkan datang dari Sinai. Dijelaskan roh yang menggerakan Debora dan kelompok-kelompok yang dibimbingnya itu, identik dengan roh yang membimbing suku-suku Yahudi yang lolos dari Mesir dan kemudian dijadikan pasukan-pasukan Yahweh dalam perjanjian Sinai. Saat itu terjadi pertempuran Sisera yang dialami kelompok Debora tahun 1120 SM, dan masuknya ke Kanaan sekitar tahun 1200 SM.[4] Dari hal itu diketahui secara kronologi waktu masa pembebasan umat Yahudi atau penyebrangan dari Mesir ke Kanaan yang dipimpin Musa sampai ke Sinai lalu dilanjutkan pemimpin lainnya. Walaupun, istilah atau pun penyebrangan Yahudi awal bermula dari masa Ibrani, dimana karena mereka datang dengan menyebrangi sungai eufrat dibawah pimpinan Ibrahim. Lalu mereka disebut Ibrani, yang berarti orang yang menyebrang. Saat itu pada tahun 1900 SM , Ibrahim atau Abraham bersama pengikutnya melarikan diri dari Mesopotamia yang menghindari dari tekanan raja Namrud. Sejak itu, bangsa kelompok ini dan keturunannya menjadi suatu bangsa yang disebut bangsa Ibrani.[5]
Pada tahun 1918 SM. Ibrahim memperoleh seorang putra dari isterinya Sarah. Putranya ini diberinya nama Isaac atau Ishaq. Pada tahun 1858 SM. Ishaq memperoleh putra pula, dinamakan Ya’qub, kemudian nama Ya’qub dikenal juga dengan nama Israil. Dan anak keturunannya disebut bani Israil. Lalu Ya’qub dari perkawinannya memperoleh 12 putra yang juga memiliki keturunan masing-masing. Keturunan-keturunan ini semakin besar dan menjadi kelompok-kelompok pengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, mencari tempat-tempat yang subur. Semakin besar suku ini semakin mudah bagi mereka untuk mempengaruhi atau kalau perlu untuk memerangi dan menundukkan suku-suku yang lain, guna merebut tanah-tanah subur yang mereka perlukan. Daerah-daerah yang dijelajahi mereka mulai dari daerah kelahiran nenek moyangnya yakni Ibrahim di Ur, kemudian wilayah Babilonia, tetangga Persia, terus ke Utara, Haran, di wilayah Mesopotamia dan Assiria, kembali ke arah Selatan bagian Barat, kanaan, tetangga Siria dan Arabia, akhimya menelusuri pantai Timur laut Medeterania sampai ke Mesir.[6]
Setelah keluar dari Mesir pasca dipimpin Musa, bangsa Yahudi mulai membangun kerajaan di daerah Kannan. Seperti saat dipimpin Daud yang memerintah sekitar 40 tahun tahun 1012-972 SM, lalu dilanjutkan putranya raja Salomo tahun 972-937 SM. Namun, setelah raja Salomo, kerajaan bangsa Yahudi mulai terpecah dan mulai mundur seperti pada tahun 721-722 SM kerajaan Israel yang berpusat di Samaria hancur akibat diserang bangsa Assyria. Kerajaan Selatan (Yehuda) tahun 606 SM dihancurkan Raja Nebukadnezar dari Babylonia.[7] Setelah itu bangsa Yahudi mengalami pembuangan di kerajaan besar seperti Babylonia dan mulai dikenal bangsa Yahudi sebagai bangsa yang mengalami diaspora.
a) Setelah Pembebasan dari Babylonia
Dalam keterangan tentang perkembangan agama pada waktu setelah bebas dari Babylonia telah banyak keterangannya karena ada beberapa kitab atau bagian kitab Perjanjian Lama yang dikarang pada periode itu menyinggunya. Misalnya, antara bahan yang berasal dari abad ke-4 SM terdapat Apokalipsis Yesaya dan Kitab-kitab Tawarikh dengan Kitab Ezra. Dari abad ke-3 SM terdapat pasal-pasal penutup dari Kitab Zakharia dan Kitab Pengkhotbah. Dari, abad ke-2 SM terdapat Kitab Daniel dan sebagian dari kepustakaan apokripal yang tidak termasuk Alkitab, di samping beberapa dokumen yang disebut pseudepigrapa, dan naskah-naskah Laut Mati, mungkin Kitab Ester juga termasuk abad ke-2 SM. Tulisan-tulisan tersebut sangat beraneka-ragam, baik dalam corak maupun isinya betapa banyak arus rohani dan intelektual yang mengalir di Israel antara tahun 350 sampai 150 SM.[8]
Dari berbagai sumber itu disimpulkan, Kepasifan politik dan keaktifan agama adalah faktor yang paling jelas tentang yang menyebabkan bangsa Yahudi tertindas kerajaan Babylonia dan walaupun akhirnya mengalami pembebasan. Hal itu yang tampak pada abad ke-5 SM dan ke-4 SM. Bagaimana arah perkembangan agama Israel, terlihat antara periode Hagai-Zerubabel dan periode Ezra-Nehemia, yang ternyata sangat menentukan arah untuk periode perkembangan agama Yahudi. Dimana, mazhab-mazhab yang saling bertentangan, dan gerakan-gerakan rohani yang sudah mulai muncul pada waktu itu, berkembang dan menjadi matang pada saat itu. Lalu karenanya kegiatan politik selama tahun-tahun itu, yaitu sampai sekitar tahun 180 SM, hanya sedikit karena peranan Israel dalam dunia politik internasional menjadi pasif. Ditambah dunia saat itu dikuasai oleh negara-negara raksasa seperti: Persia, Yunani (di bawah pimpinan Alexander Agung), dan pada periode Hellenis itu, kaum Ptolemi dan kaum Seleuki mengisi kehadiran bangsa Yahudi. Meskipun peranan Israel di dunia politik pasif, namun dalam bidang rohani dan mental ada banyak gerak perkembangan dan ketegangan. Secara politis Israel memang lemah, tetapi secara rohani telah mencapai kembali suatu kestabilan batin, dan bertekad untuk mempertahankan warisan rohani yang dimilikinya, dengan menolak secara tegas segala sesuatu yang mengancam kestabilan struktur agamanya itu.[9]
Oleh karena supaya tidak mengalami ketertindasan pasca pembebasan dari Babylonia oleh kerajaan yang berkuasa setelah Babylonia. Tidaklah mengherankan bahwa pemimpin-pemimpin Yahudi mengambil tindakan keras untuk mencegah, supaya masyarakat Yahudi yang kecil jangan ditelan oleh dan melebur ke dalam masyarakat Palestina khususnya. Dalam hal ini muncul Ezra yang disebut Bapa atau Pelopor Yudaisme. Tindakan-tindakan Ezra antara lain, keputusan-keputusan yang membuat perkembangan Yudaisme ke arah keeksklusivan. Dasar tindakan-tindakan itu ialah suatu konsep kemurnian darah, berdasarkan keyakinan bahwa Israel merupakan ”benih suci” yang dipilih Yahweh sendiri. Dengan ditegakkannya prinsip kemurnian darah itu, partisipasi dalam ”ibadat kepada Yahweh” terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi, Hal-hal semacam itu, harus diakui sebagai cara untuk memelihara identitas Yahudi, setidaknya secara sosial, dan memungkinkan juga secara agama. Dengan demikian, keeksklusivan menjadi suatu sumber kekuatan. Tampaknya juga kontras dengan keadaan sekitar itu dan menjadi tanda “kesalehan” bagi Yahudi. Keuntungannya ialah masyarakat Yahudi menjadi kompak; namun kerugiannya ialah Israel menjadi terisolasi dari dunia sekitar.[10] Selain itu, sumber kekuatan bangsa Israel atau Yahudi mungkin sebagian besar terjadi karena karya pemberitaan para nabi, yaitu nabi-nabi,seperti Zakharia yang pada zaman pra-pembuangan menubuatkan malapetaka, namun juga menjanjikan kepada Israel bahwa sesudah hukuman itu jatuh atas mereka, bangsa Israel akan dipulihkan kembali karena tidak mungkin Yahweh menolak umat-Nya selama-lamanya. Diketahui, pemberitaan para nabi dari zaman pra-pembuangan disambung dan berlanjut ke nabi-nabi pembuangan, terutama seperti Nabi Yehezkiel dan Nabi Yesaya II bangsa Yahudi.[11]
Dengan demikian, agama Yahudi telah bebas dari masa penawanan Babylonia dan saat masa Persia mulai menjadi agama yang hampir sempurna pada doktrin-doktrin dan syariat-syariatnya yang diwarisi dari masa Musa. Selesailah juga penulisan Taurat dan verifikasinya, selanjutnya pula selesai juga verifikasi syariat yang termuat di dalamnya. Masa Persia (538-332 SM) adalah masa stabil bagi agama Yahudi sebagai doktrin dan syariat. Dimana terlihat dari semakin membaiknya situasi politik orang Yahudi pada masa Persia setelah mereka diizinkan kembali ke Palestina dan berakhirnya penawanan bangsa Babel, dibangunnya kembali Haikal, serta kembalinya Yerusalem menjadi pusat keagamaan bagi kehidupan orang Yahudi.[12]
b) Diaspora dan Holocaust
Diketahui di berbagai wilayah di daratan Eropa, umat Yahudi dalam jumlah yang kecil, mereka telah membentuk kelompok-kelompok sendiri di berbagai negara Eropa yang mereka bangun atas dasar kehidupan lama mereka di Palestina, Mesir dan Babilonia serta Persia.
Bersamaan dengan berakhirnya masa Persia yang disudahi oleh penaklukan-penaklukan Alexander The Great (Iskandar Agung) ke Timur Dekat Kuno, dimulailah masalah baru bagi agama dan bangsa Yahudi. sebelumnya saat masa Mesir, Asyur, Babel dan Persia hanya masalah pengaruh paganisme agama-agama bangsa di atas yang berdampak terhadap agama Yahudi, walaupun sebenarnya konsep monotheisme Yahudi mampu mengatasi pemikiran-pemikiran keagamaan Mesir, Babel, Asyur dan Persia. Namun, saat masa Iskandar Agung dihadapan pemikiran Yunani, agama Yahudi mendapat masalah yang berbeda dari sebelumnya. Karenanya pula mulai terdapat berbagai reaksi terhadap budaya rasionalisme Yunani, sebagaimana ada yang menolak, menerima dan bahkan memadukannnya. Namun secara jelas, efek-efek pemikiran Yunani ini tampak pada beberapa kitab Perjanjian Lama, khususnya kitab Jami’ah yang didominasi oleh kecenderungan logika, dimana berdamapak seperti pesimistis yang tidak sesuai dengan pandangan keagamaan yang umum dari Perjanjian Lama. Sebagaimana pengaruh Yunani juga tampak jelas pada sekumpulan kitab yang bukan hukum undang-undang yakni Apokripa, di samping pengaruh lainnya pada beberapa kitab Talmud.[13]
Lalu masalah selanjutnya bangsa Yahudi, sebagaimana penjelasan L. Finkelstain , setelah kehancuran Kekaisaran Romawi pada abad ke-3 M, membawa kehancuran pula bagi tempat-tempat berdiamnya umat Yahudi di seluruh negeri yang pada mulanya berada di bawah kekuasaan Romawi itu. Status penduduk Yahudi di imperium Romawi, termasuk Palestina, menjadi lebih sulit, setelah kejayaan Kristen di bawah Kaisar Konstantinopel mulai abad ke-4 Masehi. Pusat-pusat kediaman Yahudi secara perlahan-lahan kembali berpindah dari daerah-daerah semula yang berada di bawah pengaruh kekaisaran Rumawi menuju ke arah Timur memasuki negeri-negeri yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Persi, terutama Babilonia. Selama 70 tahun berikutnya, akademi-akademi Babilonia memainkan peranan penting dalam bidang kehidupan rohaniah umat Yahudi dan Talmud yang dikarang dalam bahasa Babilonia, mendapat perhatian besar dan diikuti oleh pengikut Yahudi di daerah-daerah seluruh dunia. Babilonia yang telah berhasil memelihara warisan Persia lama, telah membuat tempat pemukiman Yahudi yang luas di daerah bagian Timur, yang berusaha membina suatu budaya hidup istimewa dan kaya, tidak sama dengan budaya hidup yang terdapat dalam masyarakat Yahudi diaspora di tempat-tempat lainnya. Setelah hancurnya Babylonia, karenanya hasil budaya itu pasti memainkan peranan penting dalam keberhasilan dan penyempurnaan pemeliharaan kelangsungan budaya hidup Yahudi selanjutnya.[14] Dimana saat itu Talmud dianggap penting karena merupakan catatan gagasan hukum-hukum agama yang mengatur kehidupan orang Yahudi. lewat Talmud, dimensi-dimensi keagamaan dan gagasan hukum mengambil bentuk akhir dan tetap hidup sampai akhir abad 18 M.[15]
Sebagaimana setelah awal penyebaran Islam pada abad ke-7 M, masyarakat Yahudi di Mesopotamia memilih tumbuh menjadi satu pusat imigrasi. Lalu Yahudi Babilonia pindah berdiam di Palestina, Afrika Utara, daerah kekuasaan Islam dan serta pindah ke beberapa daerah di daratan Eropa. Akan tetapi, kejatuhan ibu kota Islam, Baghdad pada permulaan abad ke-9 M dan berlangsungnya keributan-keributan di daerah itu, semakin meningkatkan jumlah imigrasi Yahudi dari Timur ke Barat. Pada waktu yang bersamaan, kebangkitan kembali pusat-pusat urbanisasi dari Eropa Timur, melahirkan keadaan-keadaan yang menguntungkan bagi Yahudi diaspora, karena tidak lama kemudian masyarakat Yahudi di Eropa Timur sudah berhasil membina kehidupan mereka sendiri. Seterusnya, daerah Babilonia tidak dapat lagi memainkan peranan dan pengaruhnya terhadap pusat-pusat pembinaan rohaniah mereka ini. Dan pada permulaan abad ke-11 M, tanpa ragu-ragu lagi, bermula era baru bagi sejarah Yahudi, yaitu era sejarah Yahudi di dunia Barat. Sampai akhir abad pertengahan, masyarakat-masyarakat Eropa Barat, adalah tempat penting juga bagi dunia Yahudi. Sesudah mengalami pengusiran atau pembuangan mereka dari Spanyol tahun 1492 (runtuhnya kerajaan Islam), pusat kepentingan kehidupan mereka bergeser ke Barat dan abad ke-16 M membawa orang memasuki Era Eropa Timur dalam sejarah Yahudi.[16]
Saat Masa Nazi, Bangsa Yahudi mulai mengalami diskriminasi bahkan sampai pembantaian. Pembantaian itu sekarang dikenal dengan Holokaust, bangsa Yahudi kembali diceraiberaikan oleh Hitler pemimpin Nazi, yang menyuarakan anti-Semit. Anti-Semit mencapai puncaknya dalam peristiwa Holokaust yakni pembantaian besar-besaran pada abad ke 20, ketika enam juta laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak Yahudi dibantai Nazi. Hanya dalam waktu enam tahun antara tahun 1939 sampai 1945, berjuta-juta orang Eropa dibantai karena mereka adalah orang-orang Yahudi. Holokaust sendiri berarti “Kurban bakaran” meskipun bangsa Yahudi lebih suka menyebut dengan Shoah yang artinya penghancuran. Di seluruh Eropa yang diduduki Nazi, bangsa Yahudi dikumpulkan dalam jumlah besar dan dikirimkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk dibunuh dengan gas beracun.Nazi mengklaim bahwa orang Yahudi melakukan segala hal yang mengancam masa depan bangsa Jerman. Karena banyak orang Yahudi menduduki banyak jabatan kunci di Jerman, dan sangat sukses dibidang bisnis, walaupun orang Yahudi mengatakan netral terhadap masa depan negara Jerman. Ditambah, dalam konflik kepentingan antara agama dan negara ada dugaan, Nazi menuduhkan loyalitas agama Yahudi untuk Allah dan bukannya untuk negara. Lebih-lebih juga dikarenakan, bangsa Yahudi dianggap sebagai ancaman kemurnian ras yang sedang diusahakan Adolf Hitler untuk bangsa Jerman.[17]
3) Israel Zangwill dan Pasca Holokaust
Setelah perang dunia 2 usai, dunia dan bangsa Yahudi sadar akan apa yang sudah dialaminya. Setelah terjadi goncangan yang sungguh hebat mulailah mereka bereaksi. Dengan tegas masyarakat Yahudi menjelaskan bahwa dunia tidak boleh melupakannya. Hari-hari peringatan diatur, doa-doa khusus ditulis, dan kamp-kamp konsentrasi dibuka untuk umum. Tugu peringatan khusus dibangun di Yad Veshem, Yerusalem untuk kenangan tragedi Holokaust, juga ditanam sederet pohon yang disebut The Avenue of Righteous (Jalan Kebajikan), dimana setiap pohon melambangkan seorang non-Yahudi yang membantu menyelamatkan kehidupan bangsa Yahudi dari tragedi Holokaust. [18] Dalam hal ini, banyak orang Yahudi yang berusaha menyuarkan tentang kondisi bangsa Yahudi pasca Holocaust, mereka menggandeng orang-orang di seluruh dunia untuk memperjuangkan kehidupan bangsa Yahudi, salah satunya terlihat pada sosok seorang Yahudi bernama Israel Zangwill.
Israel Zangwill adalah penulis dan aktivis politik Anglo-Yahudi pada awal abad ke-20. Zangwill lahir di London pada tanggal 21 Januari 1864 dimana awalnya bersama orang tuanya berimigrasi dari Eropa Timur. Saat masa kecilnya, keluarganya tinggal di Plymouth dan Bristol, namun akhirnya menetap di East End London di mana Zangwill tumbuh dan kemudian mengajar di Jews Free School. Zangwill lulus dari Universitas London pada tahun 1884 serta menguasai bahasa Inggris, Prancis, dan Ilmu Mental dan Moral. Zangwill memulai karirnya sebagai jurnalis dan penulis humor, berkontribusi pada terbitan Jerome K. Jerome yang berjudul The Idler dan juga majalah Yahudi. Novelnya Children of the Ghetto , yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1892, menjadikannya sebagai selebriti sastra. Hal ini diikuti oleh karya lainnya seperti Ghetto Tragedies (1893 dan 1899), Dreamers of The Ghetto (1898), dan Ghetto Comedies (1907), dan novel komik The King of Schnorrers (1894), serta beberapa novel dan banyak cerita yang secara khusus bertema Yahudi. Sepanjang tahun 1890an, Zangwill adalah seorang kritikus sastra dan sosial untuk majalah Inggris dan Amerika dan sering menjadi penulis dan pembicara mengenai isu-isu Yahudi. Dia adalah anggota "Wanderes Kilburn," sekelompok intelektual Yahudi London. Kelompok ini kemudian membentuk The Core Maccabaeans dan Jewish Historical Society of England. Teman-teman Zangwill sepanjang hidupnya banyak dari orang terkemuka di bidang seni, sastra, dan teater. Lalu pada tahun 1903, Zangwill menikahi Edith Ayrton, seorang penulis dan feminis.[19]
Pada abad ke-20, Israel Zangwill beralih ke drama dan terlibat langsung dalam gerakan sosial pada masanya. Dari banyak kontribusinya di bidang sosial dan situasi dunia, yang paling terkenal lewat karyanya yakni The Melting Pot , yang pertama kali terbit pada tahun 1908. Zangwill juga seorang aktivis gerakan Zionis , pasifis (anti-kekerasan), dan hak pilih perempuan pada awal abad ke-20. Namun, dia bukanlah seorang pasifis mutlak, bagaimanapun, dan akhirnya dia tetap seorang Zionis yang merupakan seorang Zionis yang memperjuangkan bangsa Yahudi. Pada tahun 1905, dia menyuarakan bahwa kebutuhan untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi sangat penting, setelah dia menjelajahi tempat-tempat seperti Palestina, untuk sebuah tanah air Yahudi, karenanya Zangwill membentuk Israel Teritority Organization (ITO). ITO sendiri tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah tanah air untuk Yahudi. ITO juga mempertimbangkan wilayah di utara dan timur Afrika , Australia, Meksiko, Kanada, dan tempat lain, namun pada akhirnya tidak ada pilihan yang tepat. Keberhasilan ITO terbesar milik Zangwill ini adalah bekerja sama dengan Jacob Schiff di Galveston Plan sebuah perusahaan di Amerika, lalu membawa 10.000 imigran ke Amerika Serikat antara tahun 1907 dan 1914. Saat ada Deklarasi Balfour , pada tahun 1917, Zangwill kembali aktif dalam Zionis, dan tetap memperingatkan bahwa orang-orang Yahudi membutuhkan sebuah tanah air dengan otonomi, bukan sekadar tempat berlindung di bawah peraturan Inggris atau lainnya seperti di Amerika. Dia melihat kehadiran bangsa Arab di Palestina sebagai hambatan yang tidak dapat diatasi, dan menyadari bahwa pemukiman kembali di Arab tidak dapat dilakukan secara damai atau praktis, lalu Zangwill akhirnya tetap terus melakukan advokasi teritorial dan pada tahun 1923 membawa sebanyak 4000 orang Yahudi, dalam sebuah pidato di Carnegie Hall, dia mengkritik Kepemimpinan Zionis supaya lebih tegas karena dia menganggap saat itu " politik Zionisme seperti sudah mati." Namun, pada akhirnya Israel Zangwill telah meninggal pada tanggal 1 Agustus 1926, dan setelah itu dunia Yahudi menganggapnya sebagai seorang penafsir, pembela, dan tokoh masyarakat yang terkenal.[20] Darinya terlihat Zangwill ini melalui organisasi yang dibentuknya menjadi pendorong terealisasinya isi deklarasi Balfour tak lama kemudian.
Perlu diketahui, Deklarasi Balfour (1917) ialah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Britania Raya atau Inggris yakni Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild, atau nama lainnya Baron Rothschild), pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Surat itu menyatakan posisi yang disetujui pada rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis buat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana. Dimana deklarasi ini lalu juga didukung oleh Amerika dan PBB, melalui PBB yang membagi daerah Palestina melaui mandat Inggris ini kepada pihak Arab dan Yahudi dan hal itu telah terealisasikan karena didukung 33 negara dan hanya ditolak 13 negara. Hal itulah yang menguatkan posisi Israel sebagai negara siap berdiri karena telah memiliki wilayah yang diakui dan diberikan PBB.[21] Walaupun, dalam internal bangsa Yahudi sendiri terdapat juga suatu kelompok yang kontra-zionis yakni Naturei Karta dalam hal proses pembentukan negara Israel. Kelompok Naturei Karta, yang berciri Ortodoks ini mempercayai bahwa konteks pendirian negara Israel oleh kelompok Agudai Israel yang dianggap sekuler di bumi Palestina bukanlah dorongan motivasi ketuhanan. Sebaagaimana, doktrin Yahudi kelompok Naturei Karta menyebutkan, bahwa hanya kedatangan Mesiah-lah yang dianggap sebagai acuan dan merupakan titik tolak terhadap solusi pembicaraan mengenai nasib Yahudi dan pendirian formalisme otoritas Yahudi. Secara tegas, kelompok Naturei Karta ini menolak gagasan Zionis dari kelompok Agudai Israel. Walaupun sebelumnya ada semacam kerjasama persekutuan dengan kelompok Agudai Israel, yang secara historis dulunya, pernah memiliki ideologi doktrinal yang sama.[22]
Selanjutnya perihal Zangwill ini secara tegas, pemikiran Israel Zangwill ini sepaham dengan cita-cita Zionisme kala itu, yakni cita-cita semacam pembentukan bagi negara Israel. Secara politis dia telah membentuk Organisasi Teritorial Yahudi (ITO), untuk mewujudkan cita-cita itu. Namun, ada juga usaha-usaha dia secara pendidikan, sastra dan seni, yang mana itu tertuang dalam karya-karyanya. Usahanya itu tertuang dalam karya sastranya, yakni buku cerita novel seperti Melting Pot, Chosen People dan lain sebagainya. Secara kasat mata judul-judul novel Zangwill ini menceritakan atau bersumber dari kehidupan orang Yahudi.
Bisa dibilang cara secara pendidikan dan kajian sastra yang dilakukan Zangwill ini sejalur dengan cara yang digunakan sekte Hasidim bangsa Yahudi. sekte Hasidim adalah gerakan sosial-religius yang didirikan oleh Israel Ba’al Shem Tov (1699-1761). Dimana yang turut mendorong kemunculannya adalah kondisi bangsa Yahudi di Eropa Timur pada abad 18 M yang saat itu kaum Yahudi berada di bawah penindasan politik dan gereja. Gerekan tersebut banyak diikuti oleh sejumlah sarjana dan cendikiawan di Lithuania. Terutama saat dipimpin Schneur Zalman (1813) yang membangun gerakan filsafat akal dalam sekte Hasidim sehingga membuat ilmuwan Rusia dan Lithuania, terutama dari kalangan Yahudi tertarik kepadanya. Walaupun gerakan ini mendapat perlawanan keras dari otoritas-otoritas Yahudi Orthodox, namun pada abad 19 setelah gerakan perlawanannya berkurang, para pengikutnya mulai memainkan pengaruh sosial dan budaya yang besar di kalangan bangsa Yahudi. Terutama pengikut Hasidim ini konsen pada kajian dan pendidikan serta mereka beraliansi dengan Yahudi Rabi untuk melawan gerakan Haskalah (pencerahan) yang juga mengejek para penulis dari gerakan Hasidim yang menudingnya sebagai sihir, mantera dan keimanan yang buta.[23] Sebagaimana Zangwill ini juga seorang penulis dan memiliki karya yang berpengaruh dalam sosial dan budaya saat itu.
Sebagai contoh dalam karya Melting-Pot diceritakan bagaimana kehidupan yahudi mengalami diskriminasi. Sebagaimana tertulis: “What's that ye're afther jabberin' about America? If ye don't like God's own counthry, sure ye can go back to your own Jerusalem, so ye can”.[24] (Apa yang kamu lakukan setelah mengatakan tentang Amerika?, jika kamu tidak suka tuhan Amerika, tentunya kamu dapat kembali ke Yerusalem kamu, jadi silahkan) Yang mana itu dapat bermakna masih ada anti-semit bahkan di Amerika kala itu. Namun, selain itu karya seperti Melting-Pot, juga Chosen People bisa juga bermakna lain bagi penulis seperti ajakan menguatkan solidaritas ataupun keeksklusivan bangsa Yahudi. Dengan demikian, secara jelas, karya-karya Israel Zangwill ini mampu menjadi semacam bahan teks nonAlkitab Yahudi yang berhubungan dengan soal keagamaan bangsa Yahudi serta menjadi semacam janji akan adanya pembebasan bangsa Yahudi disamping kitab suci agama Yahudi karena menyinggung masalah keagamaan bangsa Yahudi.
Kesimpulan
Yahudi, baik sebagai bangsa dan agama telah banyak mengalami masa pembuangan, penyebrangan dan pembebasan di negeri lain, baik saat datang dan pergi dari Mesopotamia, Mesir, Babylonia, dan sebagainya. Serta yang terakhir saat setelah masa Holokaust dan memperoleh sebuah negara tempat tinggal di Kanaan, Palestina yakni negara Israel.
Peran Israel Zangwill sebagai seorang aktivis zionis dalam pembebasan bangsa Yahudi pasca Holokaust sangat besar, melalui usaha-usahanya dalam membentuk Israel Teritority Organization (ITO) yang mengadvokasi serta berkontribusi besar dalam dibentuknya negara Israel lalu juga melalui karya sastranya yang menyurakan kritik bagaimana kehidupan yang dialami bangsa Yahudi yang harus diperjuangkan demi pembebasan bangsa Yahudi, setidaknya menghilangkan diskriminasi yang dialami bangsa dan agama Yahudi.
DAFTAR PUSTAKA
-Imron, M. Ali .2015.Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia.Yogyakarta:Ircisod.
-Vrizen, Th.C. terj, I.J. Caims.2001. Agama Israel Kuno.Jakarta: Gunung Mulia.
-Keene,Michael.2014. Agama-Agama Dunia.Yogyakarta: PT Kanisius.
-Daya,Burhanuddin.1982. Agama Yahudi.Yogyakarta: Bagus Arafah.
-Hasan,Muhammad Khalifah. 2009. Sejarah Agama Yahudi, terj. Abdul Somad, Faisal Saleh. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
-Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama.1986. Sosiologi Agama II Agama dan Mobilitas Sosial.Jakarta: Depag RI.
-Al-Jaddid, Muhammad Nahri . 2014.Deklarasi Balfour dan Pembentukan Negara Israel, Makalah non Seminar, Universitas Indonesia.
-Ulinnuha,Roma.2015.Yahudi Dalam Sudut Pandang Filosofis Studi Agama: Kontra Zionisme Dan Kontribusi Kelompok Naturei Karta Pada Klausul Perdamaian, dalam Jurnal Religi Vol XI. No. 1 Januari 2015. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
-Zangwill,Israel.1921.Melting-Pot. New York: The American Jewish Book Company.
-Israel Zangwill, di akses dari http://www.jewishvirtuallibrary.org/israel-zangwill , pada 8 Mei 2017.
[1] Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),138
[2]Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),140-141
[3] Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),115
[4] Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),163
[5] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia,(Yogyakarta:Ircisod,2015),347
[6] Burhanuddin Daya, Agama Yahudi,(Yogyakarta: Bagus Arafah,1982),12-13
[7] M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia,(Yogyakarta:Ircisod,2015),349-350
[8] Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),291
[9]Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, 292
[10]Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001, 285
[11] Th.C. Vrizen, terj, I.J. Caims, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Gunung Mulia,2001),262
[12] Muhammad Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, terj. Abdul Somad, Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), 203
[13] Muhammad Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, terj. Abdul Somad, Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009),204-205
[14] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Sosiologi Agama II Agama dan Mobilitas Sosial, (Jakarta: Depag RI,1986),40
[15] Muhammad Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, terj. Abdul Somad, Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009),205
[16] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Sosiologi Agama II Agama dan Mobilitas Sosial, 41
[17] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: PT Kanisius,2014), 42-43
[18] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: PT Kanisius,2014), 43
[19] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: PT Kanisius,2014), 43
[20] Israel Zangwill, di akses dari http://www.jewishvirtuallibrary.org/israel-zangwill , pada 8 Mei 2017
[21] Muhammad Nahri Al-Jaddid, Deklarasi Balfour dan Pembentukan Negara Israel, Makalah non Seminar, Universitas Indonesia,2014.
[22] Roma Ulinnuha, Yahudi Dalam Sudut Pandang Filosofis Studi Agama: Kontra Zionisme Dan Kontribusi Kelompok Naturei Karta Pada Klausul Perdamaian, dalam Jurnal Religi Vol XI. No. 1 Januari 2015, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015),14-15
[23] Muhammad Khalifah Hasan, Sejarah Agama Yahudi, terj. Abdul Somad, Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009),224-225
[24] Israel Zangwill, Melting-Pot, (New York: The American Jewish Book Company,1921),3-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar