Analisis film Tanda Tanya (2011)


Nama    : Muhammad Habibul Musthofa
NIM       : 15520003
Matkul  : Agama dan Gender


Analisis film Tanda Tanya (2011)
1.       Judul Film            : Tanda Tanya
-          Menceritakan tentang 3 keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Keluarga Tan Kat Sun yang memiliki restoran cina, keluarga Soleh seorang pria penggangguran, tapi memiliki isteri yang cantik dan solehah, keluarga Rika seorang janda dengan seorang anak, yang memiliki hubungan dengan Surya, pria muda yang tidak ingin menikah. Dimana keluarga-keluarga ini saling berhubungan dengan permasalahan pandangan status, agama, dan suku yang berbeda.
2.       Analisis Gender :
a.       Konstruksi Sosial
 Perlu diketahui bahwa situasi masyarakat sebagian besar dikonstruksi oleh manusianya sendiri. Manusia diajak untuk tidak mempersoalkan kemapanan (budaya) yang telah terjadi. Seolah budaya (tradisi,adat) dan teologi adalah daerah tabu atau terlarang bagi manusia untuk menjamahnya. Daerah terlarang ini dimanfaatkan bahkan dimanipulasi oleh manusia yang meletakkan  dirinya “diatas sesamanya”.  Manusia yang berada di pinggiran dikonstruksi sebagai manusia kelas dua (subordinat).  Diajarkan kepada mereka melalui pendidikan (tradisi, adat) bahwa situasi seperti ini sudah “kodrat”, tidak dapat diubah.[1]
Dalam analisis ini, tentunya banyak konstruksi-konstruksi sosial yang dibentuk dalam cerita film ini.  Pandangan-pandangan yang membedakan dan  merendahkan terhadap status,agama,dan suku sangat terlihat dalam film ini. Sebagai contoh tercuplik dalam perkataan dalam film ini, “sipit,dasar cina edan”, “ orang murtad gak boleh ke masjid”, “ orang islam jangan masuk ke gereja” dan sebagainya.  Namun, dalam tulisan ini akan fokus dalam permasalahan gender yang terjadi, yang mana akan menyorot tokoh wanita, terutama tokoh bernama Rika dan Menuk. Yang mana tokoh-tokoh tersebut mengalami perlakuan atau  sikap yang “kurang adil”.
b.       Bentuk-bentuk Diskriminasi
                                                                                                         I.            Beban Ganda
Dalam film ini tokoh Menuk menjadi perhatian dalam permasalahan gender menyangkut beban ganda. Tokoh Menuk adalah seorang isteri yang bekerja, memiliki seorang anak dan suaminya bernama Saleh, seorang yang taat beragama,namun seorang yang pengangguran/susah cari kerja. Pokok bahasan disini yakni Menuk yang seorang isteri yang bekerja menafkahi keluarga dan di dalam rumah dia juga menjadi ibu rumah tangga,melayani suami, mengurus anak sementara suaminya santai-santai di teras rumah.
Disini terilhat bentuk ketidakadilan terhadap wanita yang mana seorang isteri memiliki dua tugas berat (beban ganda).   Dalam hal ini seharusnya perlu adanya pembagian tugas, terutama tugas di dalam rumah.
                                                                                                       II.            Kekerasan
Bentuk ketidakadilan berupa kekerasan juga terjadi terhadap tokoh Menuk. Kekerasan ini hanya berbentuk kekerasan verbal bukan fisik. Awal terjadinya kekerasan bermula dari permasalahan sang suami yang pengangguran. Dari hal itu, sang suami mulai terbebani, yang seharusnya menafkahi keluarga tapi malah isterinya yang menfakahi. Karena itu, terjadilah percekcokan, sang suami merasa malu, minta cerai. Hal itulah bentuk kekerasan verbal, terlihat ini bukan kesalahan sang isteri, namun sebenarnya karena suami yang pengangguran. Namun disini, wanita mendapat perlakuan ketidakadilan.
                                                                                                     III.            Marginalisasi dan Stereotipi
Tokoh yang mengalami marginalisasi (terpinggirkan) dan stereotip (pelabelan) adalah Rika. Rika adalah seorang janda beranak satu dan memiliki teman pria bernama Surya. Sebenarnya dalam kasus yang diterima Rika yang seorang wanita juga bisa terjadi kepada seorang laki-laki. Tokoh Rika mengalami marginalisasi dan stereotip bermula karena tindakan dia yang menjadi seorang yang murtad (keluar dari islam) dan hubungan special dia terhadap seorang laki-laki.  Karena sikap dia yang begitu, dia lalu terpinggirkan, dihakimi orang-orang sekitar. Dan juga karena sikapnya itu dia dicap sebagai wanita gak baik, wanita kafir di lingkungan sekitarnya.

c.       Akar Diskriminasi
Dalam kasus ini akar-akar diskriminasi terletak pada kultur “patriarki” yang terlegimitasi dalam agama atau pun tradisi-tradisi di masyarakat.  Sehingga dalam hal ini wanita mengalami ketidakadilan berupa otoritas rendah dan kekerasan.
3.       Kesimpulan        :
 peran ganda yang hanya ditujukan kepada wanita, peran dimana selain sebagai ibu rumah tangga, wanita juga bekerja di luar rumah mencari penghasilan. Juga stereotip yang mengatakan wanita emosional, lemah yang seakan-akan menjadi “kodrat wanita”.  Telah membuat wanita menjadi termarginalisasi dan penomorduaan, yang mana telah menciptakan kultur “patriarki”. Kultur dimana laki-laki mendominasi (mayoritas) dan wanita menjadi minoritas. Sehingga menciptakan kekerasan terhadap wanita dan berbagai bentuk ketidakadilan.  

Maka itu, diperlukan dekonstruksi ,seperti yang dikerjakan Helen Cixous. Dimana berusaha menumbangkan ketertutupan oposisi biner hirarkis antara laki-laki dan wanita yang selama ini terlanjur dianggap sesuatu yang “kodrati”.[2]





[1] Kris Budiman, Feminografi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), viii
[2] Kris Budiman, Feminografi,125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...