Mengkaji Strategi: Tantangan Teologi Kemiskinan Di Asia



Daniel J. Adam,  dalam Cross Cultural Theology: Western reflection in Asia. Memberikan 6 metode dalam pendekatan teologi di Asia berdasarkan refleksi dan kajiannya atas pengalaman Thomas Merton untuk menghadapi tantangan teologi di Asia, berikut metode berdasarkan pengalamannya ini:[1]
      1.            Mengetahui warisan kerohanian sendiri, baik secara intelektual maupun pengalaman. Tujuannya bukan sekedar untuk mempelajari, tapi menemukan bentuk spiritualitas-spiritualitas baru, serta dialog untuk kedua belah pihak agar bisa saling memberi.
      2.            Jangan mulai membahas sesuatu yang mereka berbeda dengan milik kita, tetapi mulailah dengan sesuatu yang mereka sama dengan kita. Misalnya, jangan melompat dari arus tengah gereja-gereja Protestan ke Tao atau Buddhis, tetapi mulailah dengan menghargai bentuk spiritualitas yang ada di dalam tradisi Kristen, seperti tradisi biara dalam gereja Roma Katolik, tradisi pentakosta dalam gereja Protestan, tradisi keheningan dalam gereja Quaker, dan tradisi mistik gereja Orthodoks Timur.
      3.            Berusahalah mengetahui spiritualitas non-Kristen lainnya dan bersikap terbuka untuk mengubah kedudukan sendiri dari apa yang telah  dipelajari. Misalnya, setelah persiapan intelektual dari membaca buku ataupun belajar, lalu carilah pengalaman pribadi seperti meluangkan waktu minimal sepekan ke kuil Hindu maupun Vihara Buddhis dan sebagainya, lalu amatilah dan jangan segan bertanya. Sehingga di sini akan mendapat pandangan mengenai spiritualitas agama lain.
      4.            Jangan mulai memfokuskan pada doktrin, melainkan pada pola sikap keagamaan yang umum dan pengalaman sehari-hari. Hasilnya adalah suatu penghargaan baru ataspengalaman kerohanian dan kemanusiaan.
      5.            Hadapilah secara terbuka masalah-masalah yang bersifat doktrin dan bersedia mendiskusikannya. Namun, jangan sampai mengabaikan masalah pengalaman mereka baik secara rohani dan manusiawi. Doktrin memang penting, tapi manusia jauh lebih penting. Kristen datang untuk menyelamatkan manusia, bukan doktrin-doktrin.
      6.            Bersedialah menghadapi paradoks dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Pengalaman manusia sangatlah kompleks, apa yang disebut di sini hanyalah suatu metodologi. Jangan ragu menerima pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab  dan  jangan ragu menggunakan bermacam-macam pendekatan dan metodologi.
Itulah bagaimana pandangan teologi Kristen di Asia menurut Kristen orang Barat (outsider). Sementara itu, dari pandangan Kristen orang Asia, seorang teolog Kristen  Aloysius Pieris dari Sri Langka, memberikan pandangan kenyataan kemiskinan di Asia tidak dapat dilepaskan dari sifat religius Asia, begitupun sebaliknya. Menurut Pieris, pengkaji teologi kemiskinan di Asia mengatakan bahwa Asia tetap memiliki ciri tersendiri dalam Dunia Ketiga, yakni: 1) Keanekaragaman bahasa, 2) banyak integrasi unsur Kosmis dan metakosmis dalam kereligiusan Asia, dan 3) adanya banyak ajaran penyelamatan non-Kristiani di Asia.

a)      Keanegaragaman Bahasa
Menurut Pieris, Asia setidaknya memiliki tujuh wilayah bahasa besar. 1) wilayah bahasa semitis di pinggir Asia Barat, 2) wilayah kelompok ural-altais di wilayah Uni Soviet bagian Asia (Rusia dan sekitarnya), 3) wilayah kelompok Asia Barat Laut indo-iranis (Iran dan sekitarnya), 4) wilayah dravidis di Asia Selatan (India dan sekitarnya), 5) wilayah melayu-polinesia di Asia Tenggara,6) wilayah bahasa Jepang di Asia Timur, 7) daerah Sino-Tibet di Asia Tengah sampai Timur Jauh.
Bagi Pieris, bahasa merupakan pengalaman realitas dan agama sebagai pengungkapnya. Oleh karena itu, keanekaragaman bahasa menjadi suatu petunjuk untuk memahami perbedaan agama, budaya hingga kehidupan sosial-politik. Hal ini terlihat pada kenyataan budaya Asia melalui adat istiadat, kidung-kidung, simbol-simbol , mitos, legenda, dan sebagainya. Di mana bahasa yang mereka pergunakan menghubungkan penduduk Asia dengan kebenaran dasariah yang digeluti oleh setiap agama dengan caranya masing-masing, yakni sebagai makna dan tujuan hidup manusia. Selain itu, bagi teolog keanekaragaman bahasa langsung mengena bagi teolog di Asia. Di mana tugas teolog di Asia lebih kompleks daripada rekan-rekan mereka di Eropa maupun di benua Amerika, yang berpikir, bertindak, dan berkomunikasi satu sama lain dalam ungkapan umum Eropa yang kurang lebih sama.[2]
b)      Integrasi unsur kosmis dan metakosmis di asia
Unsur kosmis yang juga tidak kasat mata ini dapat terlihat dalam tradisi deva-deva di India, Nat di Burma, Phis di Thailand, Laos, Kamboja, kami di Jepang, serta arwah leluhur di ajaran konfucianis. Namun, menurut Pieris, unsur kosmis ini tidak tampil murni dan primordial, tetapi terintegrasi dalam agama besar seperti Hinduisme dan Buddhisme. Agama-agama besar itulah yang memberikan gambaran perwujudan lengkap metakosmis.
Maka, dalam hal ini Pieris melihat banyak cara penyelamatan non Kristiani di Asia, yang dapat terlihatat dalam tradisi Buddhisme, Hinduisme dan sebagainaya. Oleh karena itu, Pieris mengatakan: “ setiap pembicaraan tentang Teologi Asia harus bergerak antara dua kutub, yaitu sifat ke- Dunia Ketigaan benua kita dan sifat ke-Asia-aanya yang khas. Kesamaan umum antara Asia dan Dunia ketiga adalah kemiskinaannya yang tumpah ruah (overhelming poverty), sedangkan sifat khas yang membedakan Asia dengan Negara-Negara miskin yang lain adalah kereligiusan yang majemuk (multifaceted religiousness).”Sebagai bentuk nyata teologi kemiskinan di Asia, terlihat dalam pandangan Pieris mengenai konsep kemiskinan bagi agama di Asia. Terutama dia membandingkan antara teologi Kristen dengan Buddhisme. Secara keseluruhan Pieris membuat tabel bipolaritas agama dan kemiskinan:[3]
Dimensi
Psikologis (individual)
Sosiologis (politis)
Kutub
Agama yang memperbudak
Takhayul, ritualisme, dogmatisme, dll
Tendensi agama untuk melegitimasi status quo yang menindas, tendensi agama yang mengabdi Mamon atau anti Allah atau komersialisme.
Agama yang membebaskan
Pembebasan batin dari dosa (mamon, Anti Allah, tanha, nafsu, kerakusan dsb)
Organisasi dan motivasi agama yang potensial untuk perubahan sosial ke arah positif (misal. Gerakan kemerdekaan di Asia, dsb)
Kemiskinan yang memperbudak
Kemiskinan yang menindas, menjamah keluhuran martabat pribadi manusia (alienasi)
Kemiskinan karena manusia diperbudak oleh Mamon ( misal. Pencabutan warisan, hak milik, kolonisasi, dsb)
Kemiskinan yang membebaskan
Kemiskinan sukarela sebagai pembebasan batin dari mamon, yakni sebagai penanggulangan spiritual (ditekankan oleh agama-agama Timur)
Kemiskinan sukarela sebagai strategi politis dalam pembebasan manusia dari Mamon atau dosa terorganisasi (posisi teolog-teolog pemerdekaan).

Dari tabel di atas,  Pieris juga telah melakuakan penafsiran ganda tentang kemiskinan. Yakni “menjadi miskin” dan “demi kaum miskin”. Walaupun secara umum, dalam pandangan keagamaan mengenai kemiskinan di Barat condong diartikan “demi kaum miskin”, sementara di Asia “menjadi miskin”.  Dalam konteks Asia, hal ini akan mempertemukan antara agama Kristen dan Buddha. Orang Kristen dapat bekerja sama dengan orang Budhis dalam sikap lepas bebasnya yang bijaksana (kemiskinan sukarela), sementara orang Budhis dapat bekerja sama dengan orang Kristiani dalam keterlibatan penuh cinta kasih (melawan kemiskinan yang dipaksakan).[4]
c)      Banyak ajaran Penyelamatan non-Kristiani di Asia
Pieris melihat bahwa gereja-gereja masih bersekutu dengan Mamon dan menolak untuk masuk dalam semangat kebiaraan dari ajaran-ajaran penyelamatan non-Kristiani. Karena menurutnya itu masih kelanjutan sifat khas masa kolonial. Dalam hal ini perlulah usaha revolusi eklesiologis seperti: Pembaptisan ganda dalam agama dan kemiskinan di dalam tradisi Yordan dan Kalvari yakni tindak pemberian diri Yesus sebagai “menjadi murid Yohanes pembaptis”.
Maksud dari hal itu adalah, ada versi pandangan yang dipercayai Pieris, dikatakan sebelum menerima misi kenabian, Yesus memang menjadi murid Yohanes pembaptis.  Hal ini terimplikasi sebagaimana opsi Yesus dihadapan tradisi  keagamaan pada zamannya ketika ia menjawab panggilan kenabiannya. Yesus tidak menjatuhkan pilihan pada gerkan ideologis kaum Zelot, tidak pada puritanisme sekte Esseni, atau bahkan semangat kaum Farisi dan ataupun para Saduki yang aristokratik, melainkan memilih tradisi asketis kenabian Yohanes pembaptis yang di dalamnya dipertemukan spiritualitas otentik dengan unsur liberatif dari agama Yahudi. sifat ajaran Yesus yang seperti inilah yang menurut Pieris harus dilakukan pula gereja-gereja Asia dihadapan bermacam ideologis dan religius di Asia.
Barulah, setelah kenabian, Yesus memiliki misi kenabian: perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk kaum miskin. Sebagaimana ajaran dari gurunya Yohanes pembaptis yang semangat pengingkaran dunia yang radikal dan pengikutnya, kaum miskin/awawim yang tertarik gaya hidup dan pewartaanya. Di mana Yesus telah mewartakan misinya, sebagaimana misinya menentang Mamon, yang dinyatakannya sebagai saingan Allah (Mat 6:24), kerajaan yang diwartakannya bukan untuk kaum Kaya (Luk 6: 20-26) hingga penghakiman terakhirnya kepada seluruh bangsa manusia (Mat 25: 31-46). Dimana bagi Pieris, baptisan di salib, atau ditancapkan di Kalvari pada masa suatu keagamaan yang terpolusi uang dan kekuasaan kolonial yang dilakukan Yesus. Dalam hal ini terdapat misi-misi kenabian Yesus tentang kemiskinan. Bila di Yordan dinyatakan sebagai “anak yang terkasih”, pada baptisan di Kalvari Yesus diproklamirkan sebagai “anak Allah”.[5] Dengan melihat misi kenabian dari perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk kaum miskin, gereja-gereja Asia harus melakukan hal demikian pula, sebagaimana yang diinginkan Pieris mengenai revolusi eklesiologis.

Daftar Pustaka
Adams, Daniel J. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia, terj. Dachlan Sutisna dan Hamakonda, K.G.Jakarta: Gunung Mulia. 1996.
Rubianto, Vitus            . Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997.



[1] Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia, terj. Dachlan Sutisna dan Hamakonda, K.G., (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), hlm. 40-43.
[2] Vitus Rubianto,                 Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997), hlm. 34
[3] Vitus Rubianto,                 Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris, hlm. 45
[4] Vitus Rubianto,                 Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris, hlm. 89
[5] Vitus Rubianto,                 Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan dalam teologi Aloysius Pieris, hlm. 75-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...