KONVERGENSI,
DIALOG, DAN KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hubungan Antar Agama
Dosen Pengampu: Dr. Ustadi Hamzah, M. Ag.
Oleh:
Ayatullah Bangun (15520030)
Ageng Rohmat Setiawan (15520009)
M. Habibul Musthofa (15520003)
Nadjib Kartapati (15520018)
Ahmad Habib Mukhtar (13520042)
JURUSAN
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
Pendahuluan
a) Latar
Belakang
Konvergensi
dan dialog antar agama telah menjadi wacana yang aktual, baik pada taraf
nasional maupun pada taraf internasional. Karena berbagai konflik dan
ketegangan bernuansa agama, maka wajar apabila ada upaya penyelesaian konflik
itu agama-agama didorong dan merasa tergerak untuk meningkatkan perdamaian
diantara mereka. Maka, selanjutnya wacana kovergensi mula-mula harus
didialogkan dalam antar umat beragama. Suatu dialog antar umat beragama harus
dipahami sebagai hakikat agama itu sendiri dan dalam dialog membutuhkan sebuah
pemahaman tentang hakikat dialog agama itu sendiri. Meskipun di sini muncul
kendala, para tokoh agama telah berusaha membangun dialog antar umat bergama,
namun seringkali umatnya belum tentu memiliki pemahaman dan kesadaran yang
sama. Perbedaan pendidikan, pola pikir, latar belakang budaya, dan keragaman
lainnya menjadikan umat bergama memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda
terhadap wacana toleransi yang diasosialisasikan oleh para tokoh agamanya.
Walaupun
demikian, pada taraf grassroot di masyarakat seringkali perwujudan yang
diwacanakan dalam suatu dialog antar umat beragama dari para tokoh agama sudah
terealisasi dalam kerja sama umat beragama. Meskipun dalam hal ini,
terealisasinya perwujudan kerja sama tersebut justru diwadahi oleh kerangka
sosial, pemikiran maupun lembaga non agama, seperti pemikiran budaya, negara
ataupun dialog dan bekerja sama karena konteks sosial daerah maupun konteks
suku. Hal itulah menjadi tamparan bagi agama-agama yang ada, seharusnya
agama-agama sendirilah yang menginisiasi pertama dialog dan kerja sama antar
umat beragama. Lalu, setelah dialog harus memulai kerja sama. Di sini kerja
sama antar umat beragama bukan berarti mencampuradukan ajaran agama satu sama
lain. Namun kerjasama sama antar agama ialah untuk mewujudkan kerukunan antar
umat bergama. Misalkan dalam agama Islam, kerja sama antar umar beragama bukan
dalam hal ibadah, namun dalam bentuk sosial dan kemasyarakatan guna menghindari
konflik yang sering marak terjadi.
b) Rumusan Masalah
- Apa itu konvergensi agama?
- Bagaimana dialog antar umat beragama?
- Bagaimana bentuk kerjasama antar umat beeragama perspektif Islam?
Pembahasan
A. Konvergensi
Agama
Kata “konvergensi” berasal dari kata Inggris
“converge” yang dalam Kamus
Inggris-Indonesia John
M. Echols dan Hassan Shadily
diartikan bertemu, berkumpul, berjumpa.
Selanjutnya kata ini berkembang menjadi “convergence” yang berarti tindakan bertemu,
bersatu di satu tempat, pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang amat
dekat[1], atau menuju
ke suatu titik pertemuan atau memusat. Dengan demikian yang dimaksud
konvergensi agama di sini adalah upaya untuk memahami agama dengan melihat
intisari persamaan atau titik temu dari masing- masing agama untuk dapat diintegrasikan. Perlu diketahui pula dalam
perkembangan saat ini, konvergensi agama disebut juga dengan istilah teologi
konvergensi, teologi global atau teologi universal. Di sini, tujuan dari
konvergensi agama ialah ingin menyatukan unsur esensial dalam agama-agama
sehingga tidak tampak lagi perbedaan
yang prinsipil. Dalam kondisi
demikian, bukan sinkertisme, di sini agama-agama dan penganutnya dapat dipersatukan dalam konsep teologi universal
dan umatnya dapat dipersatukan dalam satu umat beragama. Berkenaan dengan konvergensi agama atau teologi
konvergensi ini, diharapkan dapat membuat para penganut agama-agama bisa
mengintegrasi, bukan hanya dalam tataran praksis tetapi juga dalam pandangan
teologisnya.[2]
Semisal seluruh umat beragama bersatu dalam hal “sama-sama menyakini eksistensi
tuhan”. Terkait hal ini pula, maka kita harus mengetahui letak titik temu keyakinan agama-agama. Supaya
sebuah pemahaman mengenai konvergensi
agama dapat tercapai. Dalam hal ini perlu kita mengetahui perbedaan antara faith (iman) dengan beliefe (kepercayaan).
Berkenaan dengan perbedaan faith dan beliefe dalam
pendekatan konvergensi agama ini, dijelaskan seorang Wilfred Contwell Smith
menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia
praktis tetapi juga dalam pandangan teologisnya. Sehubungan dengan hal
tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama
itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama. Oleh sebab itu, Smith membedakan
antara “faith” (iman) dengan “belief” (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama
dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Belief seringkali
normatif dan intoleran. Belief bersifat historis yang mungkin secara konseptual
berbada dari satu generasi ke generasi yang lain.[3] Di
dalam faith seperti menyakini adanya
Tuhan, agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Maka, yang menjadi kategori religius
sentral dalam semua agama adalah “iman”, bukan “kepercayaan”. Imanlah yang mengarahkan
terjadinya suatu relasi personal dengan Tuhan, sementara kepercayaan berasal
dari iman, sebagai ekspresi intelektual dari iman.“Percaya kepada Tuhan” tidak memiliki
makna yang sama dengan “beriman kepada Tuhan”.[4] Sebagai
contoh misalkan konvergensi agama antara
agama yang satu dengan yang lain, yakni di dunia terdapat berbagai macam agama,
seperti: Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu dan lain-lain. Secara belief, memang terlihat sekali ada perbedaan
di antara agama-agama tersebut. Namun, pada hakikatnya agama-agama tersebut
menyatu dalam faith, yaitu mengakui
adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta. Mungkin cara-cara beragama mereka berbeda
satu sama lain, namun pada hakikatnya mereka tetap beriman dan mengabdi kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Contoh lain misalnya, dalam masyarakat Islam terdapat
berbagai aliran teologis maupun aliran fikih. Ada yang menganut paham Mu’tazilah,
Asyariyah atau Maturidiyah dan mengikuti imam Syafi’i, Maliki, ataupun Hanbal.
Maka, belief yang berbeda memungkinkan sikap keagamaan
yang berbeda pula, tetapi mereka tetap satu dalam faith, yaitu tetap mengakui
Allah sebagai Tuhan yang Satu dan Muhammad adalah Rasul Allah. Dapat dikatakan
dalam belief dan respon keagamaan
yang berbeda tetapi hakekat menyatu dalam faith,
yaitu mengakui adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta.[5] Dalam faith inilah pula mereka menemukan titik
temu yang dapat menciptakan kerukunan, yakni tetap mengakui Allah sebagai Tuhan
yang Satu dan Muhammad adalah Rasul Allah. Upaya mencari titik temu ataupun
persamaan-persamaan melalui faith
inilah yang diharapkan dalam konvergensi agama untuk mewujudkan kerukunan antar
umat beragama. Jika yang dilihat adalah belief-nya,
lantas kemudian berakibat usaha mencari-cari perbedaan dan larut dalam
perdebatan masalah kepercayaan, maka upaya mewujudkan kerukunan antar umat
beragama adalah sebuah angan-angan yang tidak akan bisa diwujudkan, malah yang muncul
ke permukaan adalah konflik antar umat beragama.[6]
Terutama konflik sebab penyimpangan dan penodaan agama.
Karena konvergensi agama tidak hendak
mencampuradukkan antara ajaran dan tata cara ibadah agama yang satu dengan
agama yang lain. Teologi konvergensi ini hanya menawarkan solusi untuk meredam
ataupun mengatasi gejolak konflik antar umat beragama melalui usaha-usaha mencari
titik temu antar agama melalui kesamaan faith.
Konvergensi agama tetap mengharuskan tiap-tiap pemeluk agama untuk menjalankan
ibadahnya sesuai dengan syariat agamanya masing-masing. Namun, ketika berada
pada tataran kehidupan praksis di masyarakat, perbedaan-perbedaan cara beragama
itu tidak boleh menjadi penghalang dalam mewujudkan masyarakat beragama yang
rukun dan harmonis. Dalam tataran praksis di masyarakat, kesamaan faith-lah yang harus dijadikan patokan
bahwa pada hakikatnya tiap-tiap umat beragama adalah umat yang satu yakni
umatnya Tuhan Yang Maha Esa.[7] Dalam
artian semua agama-agama yang berbeda dalam tataran eksoterik dapat bertemu
pada satu titik, yakni wilayah esoterik atau wilayah ilahiyah. Sebagaimana
menurut Sayyid Hussein Nasr, puncak dari kesamaan agama-agama terletak pada
pada “esensi tertinggi” yang melampaui segala bentuk ritus dan simbol dunia
fisik. Titik temu kesamaan agama-agama di sini adalah kesamaan ajaran
agama-agama yang akan tetap ada, yakni kesamaan ajaran yang merujuk pada
kesatuan transendental yang melampaui keberagaman (pluralitas) agama yang
mempunyai karakteristik berbeda-beda dalam mencari realitas Ilahi (The One).[8] Itulah
perwujudan dari Tuhan yang melampaui historisitas manusia bahkan seluruh
kehidupan di alam semesta dari awal hingga akhir.
B. Dialog
Antar Agama
Dialog,
ditinjau dari asal usul kata berasal dari kata Yunani dia yang berarti antara, di antara, bersama, dan legien
yang berarti berbicara, bercakap-cakap, bertukar pemikiran, dan gagasan. Secara
harfiah, dialogos atau dialog
adalah berbicara, bercakap-cakap, bertukar pikiran dan gagasan bersama. Dalam
implementasinya, dialog bukanlah konfrontasi dimana pihak yang satu
mempersoalkan sesuatu dan pihak yang lain memberi pertanggungjawaban. Dialog
juga bukan suatu adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan
mengalahkan pendapat lain.Secara substansial, dialog adalah percakapan dengan
maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerjasama
untuk mencapai kesejahteraan bersama. Adapun aspek lain yang harus diperhatikan
dalam dialog adalah tidak adanya monopoli pembicaraan dan kebenaran. Yang ada
adalah berbagi dan bertukar informasi dan gagasan.[9]
Maka,
sebuah dialog akan berjalan lancar dan menghasilkan hasil maksimal jika
setidaknya dalam dialog memenuhi beberapa syarat:[10]
1.
Mengerti benar makna dan maksud serta
tujuan dialog.
2.
Mempunyai pendidikan dan pengetahuan
setaraf dengan topik yang didialogkan.
3.
Mempunyai tujuan mencari kebenaran dan
bersikap terbuka.
4.
Menciptakan suasana damai dan tenang,
jauh dari rasa emosi dan superior.
5.
Menyampaikan gagasan dengan jelas dan
bijak.
6.
Dalam dialog bersikap jujur, tidak
manipulatif demi tujuan dan kepentingan diri atau kelompoknya.
Tapi,
dalam dialog antar umat beragama konteks Indonesia, pemerintah telah banyak
mendorong pertemuan tokoh-tokoh agama juga mendukung dibentuk organisasi
sosial-agama yang banyak ditangani dan didukung bersama oleh semua unsur
pemeluk agama-agama. Dari hal sendiri, Departemen Agama RI telah memberikan
jenis sikap dalam kehidupan dialog bergama:[11]
1) saling mengakui akan eksistensi antar intern umat beragama, 2) saling
mengakui atas eksistensi antar umat beragama, 3) saling tenggang rasa dalam
berdakwah untuk tidak menyinggung sekelompok agama lain antar umat beragama,
dan 4) saling tenggang rasa dalam berdakwah untuk tidak menyinggung sekelompok
lain dalam intern umat beragama.
Selain
masalah teknik-etik dialog di atas, selanjutnya perlu diketahui dialog biasanya
dilakukan dalam “teks agama”. Lalu dikaitkan dan didialogkan masalah kesalahpahaman
dalam aspek agama menjadi bagian penting dari persoalan sosial yang menimbulkan
keresahan dan konflik sepanjang sejarah manusia. Oleh karenanya, sebagaimana
yang dikatakan oleh Zuhairi Misrawi, harus dilakukan secara serius, sebab dialog
merupakan salah satu prasyarat untuk menjadikan bumi ini sebagai surga dunia
yang didalamnya tidak ada konflik yang dapat merugikan kemanusiaan.[12]
Sementara, menurut Mahmood M. Ayyoub ada dua fase dialog yang harus ditempuh membangun keharmonisan hubungan
beragama. pertama, saling mengenal. Kedua, kesatuan iman. Tujuannya bukan
terletak pada menyakinkan penganut agama lain agar menjadi islam atau
sebaliknya, tetapi bagaimana kita berusaha bersama sama melihat kerja tuhan
dalam sejarah dan peradaban manusia.[13]
Dalam
konteks kehidupan yang sarat dengan pluralitas multikultural, dibutuhkan
pendekatan yang kompatibel dalam memahami agama. Salah satu pendekatan yang
dapat diterapkan adalah pendekatan teologis dialogis, yaitu metode pendekatan
agama dengan dialog nilai nilai normative
masing masing aliran atau agama. Dalam dialog dibutuhkan keterbukaan
antara satu sama lain agar tumbuh rasa saling pengertian dan pemahaman. Dalam
konteks relasi masyarakat yang kompleks, pluralism merupakan kunci penting
untuk memahami realitas kehidupan. Realitas kehiduan merupakan hail dari konstruksi,
karena itu tidak ada realitas tunggal, tetapi plural. Sebab setiap individu dan
komunitas sosial memiliki konstruksi sosil sendiri sendiri.
Dalam
pendekatan dialog teologis ini, secara cukup jelas dialog agama dapat dibagi
dalam empat model. Sebagaimana dijelaskan ulang Mega Hidayati tentang empat
model dialog agama menurut Paul F. Knitter dalam bukunya Introducing Theologies of Religions (2002) membagi model dialog terbagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1.
Model Penggantian
Menurut
Knitter orang yang menggunakan model ini mendasarkan keyakinan mereka pada
pernyataan bahwa Tuhan menginginkan satu agama dan manusia hanya membutuhkan
satu agama. Dengan memberikan alasan sosial dan geopolitis, seperti persoalan
kekerasan, ketidakadilan sangat menghendaki manusia untuk mengatasi
bersama-sama, mereka pengikut model ini akan menekankan bahwa manusia
benar-benar membutuhkan satu agama sebagai pusat. Mungkin pernyataan bahwa
“Tuhan menginginkan satu agama dan manusia hanya membutuhkan satu agama” model
ini bertujuan untuk mengakhiri keberagamaan. Tetapi yang ingin dicapai model
ini adalah menyatukan keberagamaan. Dalam artian keberagamaan perlu dijadikan
dalam satu ikatan yang baru, satu agama yang menang.[14]
Sebagaimana juga termasuk dalam konteks terbaik sebagai: “umat terpilih”
“bangsa terpilih” maupun “agama yang diridhai”, “agama pembawa keselamatan”,”
agama pencerahan”, “agama kasih”, “agama cinta” , “agama suci” “agama langit”
dan sebagainya.
Para
pendukung model ini menyatakan meskipun universal, cinta tuhan itu ditawarkan
melalui satu komunitas khusus dan tunggal. Maka, mereka merasa diperbolehkan
memandang agama lain tidak memiliki nilai, atau tidak ada kehadiran Tuhan, atau
sebagai buatan manusia belaka, hingga sebagai penghalang bagi cinta Tuhan. di mana
dalam istilah teologis, menganggap tidak ada pewahyuan dan keselamatan dalam
dunia agama-agama lain. Meski, dalam model ini tetap mengizinkan pengikut agama
memberikan pernyataan sama bahwa agama mereka satu-satunya agama yang benar.[15]
Dalam
suatu dialog dan klarifikasi pemahaman, maka model dialog dalam penggantian ini
merupakan “kompetisi suci” yakni agama-agama berkompetisi untuk membuktikan
mereka benar-benar memiliki kebenaran final dan universal. Secara teori,
kompetisi ini penuh kedamaian, tulus, terbuka, tanpa kekerasan, dan alami. Yang
menurut Knitter, dalam model ini, akan ditemukan orang-orang ingin belajar dan
menyimak dengan hormat pada para pengikut dari agama lain, tetapi mereka tetap
percaya bahwa agama mereka sendiri yang akan menjadi pemenang.[16]
Model ini meski membolehkan para partisipan dialog memiliki klaim kebenaran,
tapi seharusnya dalam dialog bukanlah sebuah kompetisi di mana masing-masing
partisipan mempertahankan klaim kebenaran dan mecoba mengajak orang lain
memiliki kebenaran yang sama, tetapi dialog adalah kompromi atau dalam istilah
Knitter, dialog adalah kerja sama.[17]
2.
Model Pemenuhan
Pengikut
model ini, menurut Knitter, mereka ingin menciptakan keseimbangan antara
universalitas dan partikularitas cinta Tuhan. keyakinan bahwa Tuhan ingin
menyelamatkan seluruh manusia menjadi latar belakang model ini. karenanya nilai
dapat ditemukan dalam agama lain dan bahkan ada keselamatan dalam agama lain,
sehingga dialog dibutuhkan. [18]Model
ini bertujuan mengajak yang lain agar memiliki kepercayaan yang sama. Maka
dialog yang ditawarkan pun masih dipandang sebagai kompetisi suci, tetapi aspek
keterbukaan lebih jelas dan kuat dibandingkan komitmen kebenaran sendiri. Hal
ini karena pesan yang ingin dicapai dalam dialog ditujukan untuk memperkuat
pemahaman dan pengetahuan agama kita sendiri.[19]
Ibarat kita mengarungi dunia agama-agama
lain, lalu kembali ke dalam agama sendiri. Semacam gaya hermeneutika double movement Fazlur Rahman.
Dalam
artian, jika mereka ataupun kita menerima adanya kehadiran Tuhan dalam agama
lain, mereka akan menyimak, menilai, juga belajar dari agama lain. Tetapi apa yang dipelajari dari agama orang
lain ditujukan untuk membantu mereka memahami agama sendiri. Dengan kata lain
mereka mengambil keuntungan dari agama yang lain demi membersihkan agamanya
sendiri dari ragu ataupun distorsi. Distorsi dari semacam keadaan dari
pertanyaan seperti apakah mereka menyadari
bahwa opini mereka “mengenai agamanya” juga dipengaruhi latar belakang
tradisi, budaya, bahasa, pengalaman, dan kondisi yang lain.
3.
Model Mutualitas
Menurut
Knitter, model ini bagi mereka yang lebih menitikberatkan pada cinta dan kehadiran universal Tuhan
dalam agama lain. Model ini bertujuan menjawab tiga persoalan: tentang dialog
yang lebih otentik, tataran dialog yang lebih sejajar, pemahaman yang lebih
baik tentang keunikan agama yang membuat dialog dapat terus berlangsung. Dalam
model ini, klaim kebenaran satu agama sebagai sebagai agama pemberian Tuhan
dihindari karena akan mengarahkan penganut mengklaim agama mereka sebagai
pemegang kebenaran absolut dan juga menyebabkan mereka memandang agama lain
inferior.[20]
Model
yang mencari kesamaan dalam agama-agama ini, memberikan tiga hubungan untuk bisa
memilih model dialog ini, yakni model persamaan: hubungan historis-filosofis,
hubungan mistis, dan hubungan praktis-etis. Pertama, dalam sudut
historis-filosofis, agama kelihatannya menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda,
arah yang beragam dan tak ada tujuan umum bagi agama-agama. Kenyataannya,
sejarah memperlihatkan seluruh agama memiliki “orang suci” yang membawa ajaran
tentang bagaimana manusia seharusnya hidup damai di dunia. Ini berarti seluruh
agama memiliki satu tujuan umum, tapi karena diekspresikan dengan beragam kata,
banyak orang mengasumsikan agama memiliki tujuan yang berbeda.[21]
Kedua,
hubungan mistis, di mana banyak mendiskusikan bagaimana misteri dan realitas
ilahi yang sama dialami dalam agama yang berbeda-beda. Sudut pandang mistis ini
memperlihatkan bahwa orang yang sadar pengalaman mistis tidak dapat dibatasi
dalam agama milik mereka sendiri dan mendorong mereka lebih terbuka dan
sensitif dalam mengakui misteri yang sama dalam agama lain. Selain itu, mistik
juga membuat sadar bahwa bentuk ketuhanan tidak penting, tapi sadar bahwa Yang
Ilahi bernapas dalam manusia dan benda, dan jika masih tidak menyadari ini,
mereka tidak akan tahu dirinya dan dunia.[22]
Ketiga, hubungan praktis-etis, menitikberatkan pada sesuatu yang sama. Atau
istilah yang digunakan adalah “tanggung jawab global” atas penderitaan,
kemiskinan, kekerasan dan sebagainya. Dari hubungan praktis-etis ini mereka
dari agama yang berbeda akan terpanggil berdialog dan mencoba menemukan etika
global tentang martabat, integritas, tanggung jawab, keadilan dan sebagainya.[23]
Jadi, melalui model mutualis ini, keberagaman yang tampak tidak ada pengalaman
agama yang sama, melalui ketiga ide hubungan di atas membuat orang mengetahui
pengalaman yang sama dapat terlihat melalui tiga hubungan ini.
4.
Model Penerimaan
Model
penerimaan menurut Knitter, menekankan bahwa keberagaman tradisi religius harus
diterima, tetapi model ini menolak model mutualitas yang mencari sesuatu yang
sama, karena bagi model ini pencarian hal yang sama ini tidak mungkin dan
berbahaya. Dalam menolak model mutualis, penganut model ini menentang
kemajemukan dapat menjadi satu. Meskipun keberagaman dapat dihubungkan dan
diarahkan menjadi hubungan yang menyatukan, keberagaman tidak pernah terpisah
dari kita. Dengan kata lain, kehidupan manusia selalu bersama dengan
keberagaman di mana pun berada. Model ini mengingatkan kita bahwa jika berpikir
“ada satu kebenaran absolut”, ada yang tidak pernah mengakuinya bersama karena
pengalaman dan pengetahuan manusia mengalami beragam saringan. Apa yang disebut
sebagai kebenaran universal selalu untuk saringan tertentu. Ada perbedaan yang
besar dalam saringan kultural dan agama membuat saringan tersebut tidak dapat
dibandingkan, manusia melihat melalui kacamata kultural religius yang
berbeda-beda. Selain itu, menyatakan kebenaran universal ada berarti menyingkirkan
budaya lain, dan inilah mengapa model mutualitas sebelumnya menjadi berbahaya.[24]
Model
penerimaan ini bukan bertujuan menciptakan dinding antaragama, melainkan
berusaha memelihara dan peduli dengan perbedaan yang ada di antara agama-agama
dan keyakinan-keyakinan. Karena alasan inilah, dalam model ini agama-agama
harus menjadi tetangga yang baik. Agama-agama harus menjadi tetangga yang baik
satu sama lain. Namun di sini, mereka harus menyadari pula “dengan pagar yang
baik, mereka dapat bertetangga dengan baik”. Oleh karenanya masing-masing agama
memiliki halaman sendiri, yang berbeda satu sama lain. Untuk menjadi tetangga
yang baik dalam kehidupan, maka masing-masing harus menjaga halamannya agar
tetap bersih dan baik.[25]
Demikian,
dari empat model ini, terlihat kenyataan realitas empiris dalam masyarakat adalah
realitas kehidupan yang plural, tetapi dengan dialog agama tetap juga dapat selalu
berubah ubah. Implikasinya pluralitas itu menampakkan dirinya semakin kompleks.
Kompleksitas dari realitas yang plural memerlukan kearifan yang tinggi. Tanpa
kearifan yang tinggi, pluralitas yang kompleks akan membingungkan. Kearifan
yang tinggi diperoleh dari pandangan tauhid atau teologis yang akan menerangi penglihatan
terhadap adanya kesatuan yang plural.
Namun,
kearifan tinggi ini diperlukan tidak semata-mata untuk melihat kompleksitas
agama. Namun, setiap umat agama ditantang untuk senantiasa menyelidiki
ajaran-ajarannya. dalam hal ini, agama harus memberikan kemungkinan kepada
interpretasi dan pengalaman konkret dari setiap penganutnya, juga dari kritik
umat yang lain. Hal itu harus dilakukan terutama dalam rangka keprihatinan
bersama atas persoalan umat beragama, umat manusia. Untuk itu, dibutuhkanlah
kerjasama kritis setiap agama dengan semua kehidupan manusia.[26]
C. Dialog
dan Kerjasama Antar Umat Beragama-Perspektif Islam
Konsepsi yang menyangkut hubungan antar agama
seharusnya bersifat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk semua umat bergama
mencari titik temu yang kreatif sangat tergantung pada situasi dan kondisi
sejarah yang menyelimutinya. Namun, menciptakan kondisi ideal dan untuk
tercapainya titik temu antar umat beragama adalah kepentingan bersama dan
tanggung jawab semua pihak. Untuk umat Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama
dalam masyarakat plural religius, sejak awal telah dibangun dalam landasan
normatif dan historis sekaligus.[27] Dalam
hal hubungan antar umat beragama, di dalam al-Qur’an sendiri sudah ada
ayat-ayat yang menyangkut masalah ini. Al-Qur’an pun sebenarnya tidak mencegah
umat Islam melakukan kerja sama dengan umat agama lain. Teks-teks yang seolah
melarang hal itu, bila diteliti secara cermat dan bertanggung jawab tentang
makna dan konteks historisnya, justru memperlihatkan signifikasi bagi konteks
hermeneutika dan juga adanya pluralisme agama. Di sini al-Qur’an justru
mengarahkan pada solidaritas dan pembelaan kaum tertindas dan minoritas serta
mendukung kerja sama dengan umat agama lain sepanjang hal itu dilakukan atas
perjuangan menegakkan keadilan dan kesejahteraan bersama.[28]
Menurut Amin Abdullah, hanya lewat pemahaman
al-Qur’an secara komprehensif dan utuh akan dapat ditemukan pokok-pokok ajaran
yang berkaitan dengan pluralisme keberagamaan manusia, lantaran dari semula
al-Qur’an memang telah berdialog dengan berbagai fundamental values yang dianut oleh berbagai kelompok agama dan
non-agama yang tumbuh berkembang sebelum hadirnya tawaran Islam yang teraktualisasi
melalui perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dalam hal ini, maka
meminjam istilah das sollen dan das sein, Islam tertuju pada dimensi
normativitas wahyu (al-Qur’an) dan dimensi historis kenabian (As-Sunnah). Di
mana keduanya ibarat dua sisi permukaan koin yang tidak dapat dipisahkan.[29] Maka,
jika ada hambatan atau anomali mengenai dua dimensi di atas, penyebab utamannya
bukan karena inti ajaran Islam yang bersifat intoleran dan eksklusif, tetapi
lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis
yang menyelimuti komunitas umat Islam di berbagai tempat.[30] Jika
demikian pula, usaha kerja sama antar umat beragama harus difokuskan dalam
kerjasama bidang historis-ekonomis-politis, bukan dalam hal kerjasama yang
bertujuan sinkretisme ajaran agama.
Selain itu, secara khusus dalam pandangan dunia,
Islam sering dipandang sebagai ideologi politik, seperti pengaruh besarnya
dalam perang kemerdekaan umat Islam (dari penjajahan) yang melahirkan
negara-negara Islam. Namun, ideologi seperti ini bagi seorang Fethullah Gulen
dianggap juga cenderung memisahkan (separate),
padahal agama bertujuan pencerahan pikiran bersama dengan keyakinan, kepuasan,
dan ketenangan hati, kepekaan hati nurani dan pemahaman melalui pengalaman
nyata. Dengan begitu, agama akan menampakan dalam keimanan, cinta, rahmat kasih
dan kasih sayang. Sebab, mereduksi agama menjadi ideologi keras politik dan
massa akan menciptakan dinding antara Islam dan Barat, hal inilah yang
menyebabkan Islam menjadi disalahpahami.[31]
Apalagi sampai dianggap melakukan tindakan teror terhadap umat agama lain.
Maka dari itu, dialog, kerjasama, ataupun interaksi
umat Islam terhadap umat lain harus dilandasi prinsip-prinsip yang baik dan
adil. Dalam artian Islam dalam kehidupan antar umat bergama juga terdapat
batasan-batasan tertentu yang harus dijalankan. Selain kita dituntut untuk
berkolaborasi dan solidaritas. Kolaborasi dalam artian seseorang bekerja sama
satu dengan yang lainnya. Sedangkan solidaritas sebagai keniscayaan pada komunitas
yang bersatu dalam beberapa hal terutama demi kepentingan umum dan kemanusiaan.
[32]Sebagaimana
disebut dalam al-Qur’an al-Ankabut ayat 46 (29:46) yang artinya :
46. Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli
Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada
(kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan
kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Dalam ayat ini, al-Qur’an menjelaskan metode dan
pendekatan yang digunakan dan cara yang harus ditampilkan dalam berdialog. Di
mana ahli tafsir Said Nursi menafsirkan ayat ini dalam penjelasan “siapa saja
yang senang terhadap kekalahan lawan dalam debat tidaklah memiliki belas
kasihan”. Maka, dapat dikatakan debat tidaklah berusaha mementingkan ego, tapi
yang terpenting berusaha menampilkan kebenaran.[33]
Lalu disebutkan pula prinsip adil dalam berhubungan
dengan umat lain dalam al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8 (60:8) yang
artinya:
8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.
Konteks ayat ini
adalah ketika Esma binti Abu Bakar menayakan ke Rasulullah perihal jika
dia bertemu dengan ibunya yang beragama polyteistik, yang datang dari Mekah ke
Madinah untuk menemui anaknya. Dan turunlah ayat ini yang menyarankan
menyambutnya dengan sambutan sempurna (adil) dan dia harus bersikap baik untuk
ibunya. Dalam hal ini, bila kita memahaminya sebagai pendekatan berinteraksi
dengan umat lain apakah pendekatan ini hanya harus digunakan kepada mereka yang
percaya Tuhan, hari akhir dan rasul. Padahal pula, masih ada ratusan ayat dalam
al-Qur’an yang menjelaskan dialog sosial dan toleransi. Di mana perhatian dan
kehati-hatian harus diambil untuk menciptakan keseimbangan dalam kesabaran dan
toleransi.[34]
Demikianlah bagaimana prinsip dan tantangan
dalam dialog dan kerjasama umat Islam dengan umat lain dijelaskan dalam
ajaran agama Islam. Hal bisa terlihat dari contoh kerja sama kekinian umat
Islam dengan non muslim yang dilakukan Farid Esack, dia membangun Islam
Progresif, kerja sama antar umat
beragama, mealawan apartheid pemerintah melalui organisasi politik keagamaan
yang dia bentuk bersama kawan bernama Call
of Islam tahun 1983 hingga sekarang di Afrika Selatan. Sebagaimana misalnya
Esack merumuskan langkah kerja sama umat Islam dengan umat lain yang berdasar
Al-Qur’an dan kekinian, yakni:[35]
- Bahwa kerja sama yang dilakukan dengan non-muslim tidak boleh sampai meninggalkan orang-orang mukmin sendiri (QS. Ali Imran: 28)
- Bahwa pihak non muslim yang diajak kerja sama adalah pihak yang telah terikat perjanjian damai dengan umat Islam atau tidak menunjukan permusuhan terhadap Islam (QS. An-Nisa: 90, QS. Al-Mumtahanah:8)
- Pihak yang diajak kerja sama bukan pihak-pihak yang membuat agama Islam sebagai bahan ejekan dan mempermainkan tanda-tanda Tuhan ( QS.Al Maidah:59, QS. An-Nisa: 140)
- Pihak yang diajak kerja sama bukanlah orang yang memerangi dan mengusir umat Islam, Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 9).
Kesimpulan
Konvergensi agama adalah upaya untuk memahami agama
dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing- masing agama untuk dapat diintegrasikan. Tujuan dari
konvergensi agama sendiri ialah ingin memperlihatkan kesatuan unsur esensial
dalam agama-agama sehingga dapat berkerja sama menciptakan perdamaian dan tidak
tampak lagi perbedaan yang prinsipil terutama dalam ruang publik.
Sebagaimana seperti kesadaran kesatuan sebagai sama-sama sebagai makhluk
bertuhan dan memiliki tanggung jawab membawa kebaikan ke semua makhluk.
Lalu dialog antar agama harus dipahami sebagai
percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai
dan bekerjasama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dalam konteks kehidupan
yang sarat dengan pluralitas multikultural, dibutuhkan pendekatan yang
kompatibel dalam memahami agama. agama harus memberikan
kemungkinan kepada interpretasi dan pengalaman konkret dari setiap penganutnya,
juga dari kritik umat yang lain.
Begitu
pun dengan kerjasama antar umat beragama, hal itu harus bersifat terbuka dan dialogis, mencari titik temu yang kreatif dalam
berbagai konteks, dan atas dasar kepentingan bersama dan tanggung jawab semua
pihak. Dalam perspektif Islam, pluralisme keberagamaan manusia harus melalui
pemahaman al-Qur’an secara komprehensif dan utuh. Memahami problem bidang historis-ekonomis-politis
untuk mewujudkan kerja sama di dalamnya. Menggunakan metode, cara dan
pendekatan yang paling baik, sesuai ajaran agama yakni menggunakan prinsip berbuat baik dan
berlaku adil.
Daftar
Pustaka
Naim, Ngainun . Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman.Yogyakarta:
Teras.2011.
Kleden, Paulus Budi .Dialog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses
Alferd North Whitehead.Maumere: Ledalero.2002.
Abdullah, Amin .Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2011.
Gulen,Fethullah .Advocate of Dialogue, compiled and
translated Ali Unal dan Alphonse Williams.Virginia: The Fountain.2000.
Hidayati, Mega. Jurang di Antara
Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat
Multikultural.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Khudori, Ahmad dan Erik Sabti Rahmawati. Kerjasama Umat Beragama dalam AlQuran Perspektif Hermeneutika Farid
Esack. Malang: UIN Maliki Press. 2011.
Departemen Agama RI. Masalah
Hubungan Antar Umat Bergama di Indonesia. Jakarta: CV Arga Karya. 1978.
Kunawii. Titik Temu Agama Agama
dalam Analisis Interpretatif, Dalam Religio: Jurnal Studi Agama-Agama, Volume
2, Nomor 2, September 2012. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Zuhriyah, Lailatuz. Teologi Konvergensi dan Kerukunan Antar Umat
Beragama, dalam Religio: Jurnal Studi
Agama-Agama Volume 4, Nomor 1, Maret
2014.Tulungagung: IAIN Tulungagung.
Mustafa, Muhtadin Dg. Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks
Pluralisme Beragama (Telaah kritis dengan pendekatan teologi normatif,
dialogis, dan konvergensif), dalam Jurnal
Hunafa Vol. 3 No. 2, Juni 2006:129-140 . Palu: STAIN Datokrama Palu.
[1]
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), HLM. 145.
[2]
Lailatuz Zuhriyah, Teologi Konvergensi
dan Kerukunan Antar Umat Beragama, dalam Religio: Jurnal Studi Agama-Agama Volume 4, Nomor 1, Maret 2014, (Tulungagung:
IAIN Tulungagung), hlm. 81-82.
[3]
Muhtadin Dg. Mustafa, Reorientasi Teologi
Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama (Telaah kritis dengan pendekatan
teologi normatif, dialogis, dan konvergensif), dalam Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 2, Juni 2006, (Palu: STAIN Datokrama Palu),
hlm. 137.
[4]
Lailatuz Zuhriyah, Teologi Konvergensi
dan Kerukunan Antar Umat Beragama, dalam Religio: Jurnal Studi Agama-Agama Volume 4, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 82.
[5]
Muhtadin Dg. Mustafa, Reorientasi Teologi
Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama (Telaah kritis dengan pendekatan
teologi normatif, dialogis, dan konvergensif), dalam Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 2, Juni 2006, hlm. 138.
[6]
Lailatuz Zuhriyah, Teologi Konvergensi
dan Kerukunan Antar Umat Beragama, dalam Religio: Jurnal Studi
Agama-Agama Volume 4, Nomor 1, Maret
2014, hlm. 84.
[7]
Lailatuz Zuhriyah, Teologi Konvergensi
dan Kerukunan Antar Umat Beragama, dalam Religio: Jurnal Studi
Agama-Agama Volume 4, Nomor 1, Maret
2014, hlm. 85.
[8]
Kunawii, Titik Temu Agama Agama dalam
Analisis Interpretatif, Dalam Religio: Jurnal Studi Agama-Agama, volume 2,
nomor 2, September 2012, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel), hlm. 183-184.
[9]
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman,
(Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 106-107.
[10]
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman, hlm.
110
[11] Departemen Agama RI, Masalah Hubungan Antar Umat Bergama di Indonesia, (Jakarta: CV Arga
Karya, 1978), hlm. 101.
[12]
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari
Titik Temu dalam Keragaman, hlm. 112
[13]
Ngainun Naim, Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman, hlm.
119
[14]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 106-107
[15]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 109
[16]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 110
[17]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 113-114
[18]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 114
[19]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 116-117
[20]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 117-118
[21]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 120
[22]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 122
[23]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 126
[24]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 128-130
[25]
Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita:
Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multikultural,
hlm. 131-132
[26]
Paulus Budi Kleden, Dialog Antaragama dalam Terang Filsafat Proses Alferd
North Whitehead, (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 194-195.
[27]
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 74.
[28]
Ahmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama
Umat Beragama dalam AlQuran Perspektif Hermeneutika Farid Esack, (Malang:
UIN Maliki Press, 2011), hlm. 144.
[29]
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas
atau Historisitas?, hlm. 63.
[30]
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas
atau Historisitas?, hlm. 75.
[31]
Fethullah Gulen, Advocate of Dialogue,
compiled and translated Ali Unal dan Alphonse Williams, (Virginia: The
Fountain, 2000), hlm. 244.
[32]
Ahmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama
Umat Beragama dalam AlQuran Perspektif Hermeneutika Farid Esack, hlm. 131.
[33]
Fethullah Gulen, Advocate of Dialogue,
compiled and translated Ali Unal dan Alphonse Williams, hlm. 258.
[34]
Fethullah Gulen, Advocate of Dialogue,
compiled and translated Ali Unal dan Alphonse Williams, hlm. 259-260.
[35]
Ahmad Khudori dan Erik Sabti Rahmawati, Kerjasama
Umat Beragama dalam AlQuran Perspektif Hermeneutika Farid Esack, hlm.
134-138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar