Bahasa sebagai wacana, dengan meminjam bahasa menjadi wacana, Paul Ricoeur, membedakan wacana sebagai peristiwa (event) dan wacana sebagai makna (meaning). Dalam teori interpretasinya, Ricoeur sangat menekankan pembedaan antara semiotik (ilmu tanda, peristiwa, kata) dan semantik (ilmu kalimat, hubungan antar tanda, kata, kalimat). Dari hal ini, bukan berarti tidak akan menemukan meaning dalam kajian semiotik, hanya saja karena semiotik dipandang sebatas abstraksi semantik.
Sebagaimana dalam perkembangannya, ilmu tanda yang dikenal sebagai semiotik, telah terbagi dalam tiga cabang, 1) semantik, 2) sintaktik, dan 3) pragmatik. Namun lebih jauh, jargon utama yang ingin dikatakan Ricoeur adalah: bila kesemua wacana diaktualisasikan sebagai sebuah peristiwa, maka kesemua wacana dapat dipahami sebagai makna. Dalam hal ini wacana dipandang sebagai suatu peristiwa atau proposisi, yakni pertama, sebagai suatu fungsi predikat dan dikombinasikan oleh suatu identifikasi. Kedua, sebagai sesuatu yang abstrak, yang bergantung pada keseluruhan konkrit yang merupakan kesatuan dialektis antara peristiwa dan makna dalam kalimat. Oleh karena sebagai fungsi predikat ini, suatu wacana tidak terlalu fokus pada siapa pembicara atau penanda dalam suatu peristiwa, sebagaimana sering diagungkan dalam kajian umum Hermeneutika dan Semiotika.
Dialektika peristiwa dan makna kini telah dikembangkan sebagai suatu dialektika dalam wacana. Misalnya, memaknai kata adalah apa yang diinginkan (dilakukan) oleh pembicara. Namun memaknai kata adalah juga apa yang dimaksudkan oleh kalimat tersebut. Ini merupakan distingsi yang dapat secara langsung dihubungkan dengan distingsi antara semiotik dan semantik. Melalui tahapan puncak kalimatlah yang semakin memungkinkan kita dapat membedakan antara apa yang dikatakan dan tentang apa yang dikatakan. Karena dalam sistem bahasa sendiri, untuk dikatakan sebagai bentuk leksikon, maka tidak ada masalah dengan referensi; tanda hanya mengacu kepada tanda lain dalam satu sistem. Namun begitu juga dengan kalimat, bahasa diarahkan pada hal di balik dirinya sendiri. Di mana makna akan bersifat imanen terhadap wacana, dan tentunya akan bersifat objektif dalam makna ideal, serta adanya referensi ini justru mengekspresikan adanya pergerakan di mana bahasa mentransendensikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna menghubungkan antara identifikasi fungsi dan fungsi predikat: dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa dengan dunia.
Namun sebagaimana Ricoeur sendiri, mengungkap gagasannya belum final, tapi bila kita berhasil memperlihatkan bahwa suatu teks tertulis adalah satu bentuk wacana, wacana di bawah kondisi inskripsi, maka kondisi-kondisi atau persyaratan yang memungkinkan terjadinya wacana juga merupakan teks. Sebagaimana kajian terhadap kondisi ini telah diperlihatkan di atas, maka pemahaman peristiwa pembicaraan tidaklah harus dihilangkan, namun lebih dimasukkan ke dalam suatu rangkaian polaritas dialektikal yang diringkas di bawah judul; peristiwa dan pemaknaan dan makna dan referensi. Melalui polaritas dialektikal ini memungkinkan kita memberikan antisipasi bahwa konsep tujuan dan dialog tidak bisa dihilangkan dari hermeneutik, namun lebih sebaliknya harus dibebaskan dari ke-satusisian atas suatu konsep non-dialektis wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar