AJARAN KHONGHUCU: ETIS DAN HUMANISENTRIS-SOSIAL


Biografi Konghucu dan Basis Ajarannya
      1.            Biografi Konghucu
Konghucu, di kalangan Barat sering disebut Confucius. Confucius adalah nama latin seseorang yang dikenal di Cina dengan nama Kung Tzu (tuan Kung) ataupun Kong Fuzi. Kung sendiri adalah nama keluarganya, dan nama pribadinya adalah Ch’iu. Lalu kata Fu merupakan ungkapan penghormatan yang artinya yang agung, yang mulia dan Zi artinya guru. Ia lahir pada 551 SM. di negara Lu, bagian selatan provinsi Shantung sekarang ini, Cina bagian timur. Nenek moyangnya termasuk anggota keluarga bangsawan penguasa negara Sung, yang merupakan keturunan dari keluarga raja-raja Shang, suatu dinasti sebelum dinasti Chou. Karena kekacauan politik, sebelum kelahiran Confucius, keluarganya kehilangan posisi kébangsawanan dan akhirnya bermigrasi ke negara Lu.[1]
Masa muda Konghucu sangat lekat dengan penderitaan dan kemiskinan, sehingga menyebabkan dia mempunyai pengalaman ikatan dengan orang kebanyakan kalangan rakyat. Semenjak kematian ayahnya di usia 17 tahun, Konghucu meninggalkan sekolah formal dan mulai bekerja untuk meringankan pekerjaan ibunya, ia bekerja untuk bangsawan Kwisun (sebagai petani, pegawai peternakan, dan hingga pengurus rumah tangga. Ketika usia 19 tahun dia menikahi Si, putri bangsawan marga Kian Koan dari negeri Song. Di usia 26 tahun, tahun 525 SM, ibunya wafat. Semenjak itu, ia mulai mengabadikan diri mendidik generasi muda, tahun 500 SM, usia 51 tahun,  ia memimpin pula daerah Tiongto menjadi daerah yang makmur dan bermoral. Melihat kemampuan Kongzi, raja muda Lu Ting Kong mengangkatnya menjadi menteri. Sejak itu. Kongzi sangat membantu dalam menyelesaikan perselisihan antara negeri Lu dan negeri Cee. Sayangnya itu hanya sementara, dengan siasat negeri Cee, Raja negeri Lu mengalami kesuraman kembali. Kongzi pun keluar dari kerajaan.[2]
Semenjak itu, Kongzi beserta muruidnya mulai mengembara sekitar 13 tahun lamanya, walaupun dalam penggembaraanya sering ditolak negeri-negeri yang dikunjunginya, isterinya sendiri, Kian Koan, yang ditinggal menggembara meninggal di usia 66 tahun. Akhirnya pada usia 68 tahun ia kembali ke negerinya, tiga tahun setelahnya anaknya Kong Li meninggal dunia.  Maka, dia merawat cucu anaknya Cu Su, yang ia titipkan ke muridnya Cing Cu. Sayangnya, di usia 72 tahun, Konghucu wafat pada tanggal 18 bulan 2 ( dalam imlek) tahun 479SM.[3] Setelah kematiannya, ajaran Konghucu sendiri banyak disebarkan muridnya, hingga ada sosok seperti Mencius (379-289SM) yang cenderung idealisitik (terhadap ajaran Konghucu)  dan Hun Tsu (lahir sekitar 300SM) yang ajaranya cenderung realisitik, semisal memandang manusia itu cenderung lahir dalam kondisi jahat, dan kebaikan ada setelah diusahakan/dilatih manusia itu sendiri.
      2.            Basis Ajaran Konghucu
            Pola religiusitas Tionghoa secara khas adalah kesadaran akan pentingnya keselarasan kosmis, menghormati nenek moyang, kepercayaan dibalik segala sesuatu yang ada di alam semesta ini memiliki Dao/Tao "jalan, hukum, sumber bagi segala-galanya ", dan penghayatan segala sesuatu dalam perspektif Yin dan Yang. Itulah ruh bagian ajaran kuno Cina yang ditransformasikan sosok Konghucu.
Maka, agama Khonghucu atau Konfusianisme adalah istilah yang dipakai untuk menyebut ajaran-ajaran Konfusius atau Kong Fu Tze. Dalam bahasa Tionghoa, istilah ashnya adalah: Rujiao atau Ji Kaou yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi pekerti luhur. Maka, sebenarnya  Khonghucu memang bukan pencipta agama ini melainkan dia hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh ribuan tahun sebelumnya seperti yang dia sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan aku suka ajaran-ajaran kuno tersebut”. Agama Khonghucu mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia yang disebut Ren Dao serta hubungan antara manusia dan Pencipta alam semesta (Thian atau Shang Ti) yang disebut Tian Dao. Kesemua ajaran Konfusianisme terdapat dalam kitab yang empat (Su Si) maupun kitab yang lima ( Ngo King). [4]
Menurut William Theodore de Bray, sebagaimana dikutip Singgih Basuki, inti ajaran Konghucu itu ada dua, yaitu:[5]
1. Hsiao, adalah hubungan dalarn kehidupan duniawi yang dirumuskan dalam lima konsep hubungan yaitu: hubungan anak dengan bapak, isteri dengan suami, saudara bungsu dengan saudara sulung, karyawan dengan majikan serta rakyat dengan raja. Pihak pertama dalam konsep hubungan tersebut harus bersikap hormat atau Hsiao pada pihak kedua: “Kewajiban anak dan kewajiban bapak adalah asas bagi kemanusiaan yang baik” (Lun Yu, 1:2).
2. Shu, adalah masalah timbal balik dari pihak atasan terhadap bawahan dalam lima jenis hubungan sosial tersebut. Untuk mengirnbangi pihak bawahan yang bersikap hormat, pihak atasan harus bersikap asih dan adil: “Apa yang kamu tidak inginkan dilakukan orang terhadapmu, jangan lakukan terhadap orang lain”. (Lun Yu, 15:23).
Jadi, pola pernikiran di atas berperan besar dalam membentuk peradaban Tiongkok selama 25 abad, di mana banyak mempengaruhi cara hidup bangsa Tiongkok, Korea, Jepang dan Vietnam. Semenjak 800 tahun terakhir ini, kitab-kitab klasik agama Khonghucu dijadikan sebagai dasar pendidikan bagi anak-anak sekolah di Tiongkok.



Kitab Suci dalam Konghucu

Kitab suci tertua dalam Konghucu berasal dari zaman Raja Suci Giau (2357-2255 SM) atau bahkan sejak zaman Fu Xi (3000 SM). Adapun yang termuda ditulis oleh murid Kongzi yaitu Bingcu (wafat 289 SM) yang menjabarkan dan meluruskan ajaran Kongzi yang waktu itu banyak terselewengkan. Lalu ada kitab suci yang berasal dari Nabi Purba sebelum Kongzi ditambah Chunqiujing (Kitab atau catatan zaman Cun Ciu/musim semi dan musim gugur) yang ditulis ulang sendiri oleh Kongzi sesuai wahyu dari Thian dalam sebuah kitab yang disebut Wujing. Beberapa saat sebelum wafat, nabi Kongzi mempersembahkan Wujing dalam persembahyangan kepada Thian. Hingga, akhirnya kitab-kitab tersebut disempurnakan dan dihimpun menjadi kitab suci yang pokok, kini disebut Ngo King (Kitab Suci Yang Lima) Sedangkan ajaran-ajaran Khonghucu yang dibukukan oleh para muridnya dan dipertegas oleh Bingcu, terhimpun dalam Su Si (Kitab Suci Yang Empat).  
  1. Kitab Su Si/ Se Shu
Kitab ini aslinya berbahasa Mandarin (bahasa nasional Tiongkok) kini sudah diterjemahkan oleh MATAKIN ke dalam bahasa Indonesia. Bersama kitab Ngo King, kitab berbahasa Tiongkok mulai tahun 1966 sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang rohaniawan agama Khonghucu yang berkedudukan di Solo Jawa Tengah yaitu Haksu Tjhie Thay Ing, bekerjasama dengan MATAKIN. Pada sampul depan tertulis Pat Sing Ciam Kwi (delapan pengakuan Iman) dari agama Khonghucu. Untuk kitab Su Si ini ada 823 halaman yang merupakan himpunan empat buah kitab yaitu: Thai Hak/Ta Sie (Ajaran Besar), Tiong Yong/ Cung Yung (Tengah Sempurna), Luen Gi/Luen Yu(Sabda Suci) serta Bing Cu/Meng Ce.
1. Thai Hak/Ta Sie (Ajaran Besar)
Kitab ini dibukukan oleh murid Khonghucu yang terpandai dari angkatan muda yaitu Cingcu/ Cing Cham/Ching Zi. Kitab ini merupakan panduan pembinaan diri yang berisi tentang etika dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Dalam Kata Pengantar kitab tersebut dikatakan bahwa Thai Hak adalah kitab warisan mulia kaum Khong, yang merupakan ajaran permulaan untuk memasuki pintu gerbang kebajikan. Kitab ini menunjukkan cara belajar orang-orang pada zaman dahulu. Kitab ini terdiri dari 10 bab. Dimulai dari Bab Utama yang terdiri dari 9 ayat; Bab I (4 ayat); Bab II (4 ayat); Bab III (5 ayat); Bab IV (1 ayat); Bab V (3 ayat); Bab VI (4 ayat); Bab VII (3 ayat); Bab VIII (3 ayat); Bab IX (9 ayat); Bab X (23 ayat).


2. Tiong Yong/ Cung Yung (Tengah Sempurna)
Sebagaimana di dalam kata pengantar Su Si kitab ini dinamakan “Tengah Sempurna”.Maksudnya, “tengah” artinya “tepat sasaran”. “jalan yang lurus di dunia”, sedangkan “sempurna” maksudnya adalah “hukum tetap dunia”. Maka “Tengah Sempurna” dapat juga diartikan berbuat sesuai/harmonis dengan hukum alam. Kitab Tiong Yang ini terdiri dari 32 bab yang diberi tambahan bab utama. Penulis kitab ini adalah cucu Khonghucu bernama Cu Su atau Kong Khiep yang kemudian dirapikan oleh Cu Hi. Kitab ini memuat ajaran keimanan dalam agama Khonghucu, yaitu: iman pada Tuhan Yang Maha Esa, FirmanNya tentang manusia, Watak Sejati, Jalan Suci serta peranan agama. Di samping itu juga memuat tentang ajaran Kuncu atau manusia yang susila (susilawan).
3. Lun Gie/Luen Yu (Sabda Suci)
Kitab ini dikenal juga dengan The Analects merupakan kumpulan tulisan tentang sabda Khonghucu yang disusun murid-murid Khonghucu setelah dia wafat. Kitab ini berisi percakapan Khonghucu serta para muridnya, tentang orang-orang pada zaman tersebut serta peri kehidupan Khonghucu sehari-hari. Secara umum kitab ini terbagi dalam 20 jilid. Isi kitab ini semisal bab: 1. Hak Ji (belajar), 2. Wi Cing (pemerintahan), 3. Pat Let (Tarian atau seni), 4. Li Jien (Cinta kasih), dan bab lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Luen Yu ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan pernbicaraan dan nasehat Khonghucu ke muridnya yang berkaitan dengan kondisi saat itu.
4. Bing Cu/Meng Ce
Kitab ini dinamakan Bing Cu karena bagian pertama dari kitab ini banyak memuat pembicaraan Bing Cu saat menemui raja Hwi dari negeri Liang dalam rangka menyebarkan dan mengajarkan ajaran Khonghucu. Kitab ini berisi pokok-pokok dan uraian yang mendalam tentang Konfusianisme yang ditulis oleh Bing Cu (Mencius). Mencius adalah seorang penganut agama Khonghucu yang hidup secara terpisah dengan zaman Khonghucu yaitu 372-289 SM. Fungsi kitab ini menegaskan dan meluruskan tafsir agama Khonghucu dalam memerangi penyelewengan. Sebagaimana prinsip Mencius adalah mengungkapkan cinta kasih dan kebenaran, menebarkan jalan suci, kebajikan dan mengakui Tuhan Yang Maha Esa (Thian).
B. Kitab Ngo King/ Wu Cing (Lima Kitab)
Kitab Ngo King/ Wu Cing ini menjadi sumber ajaran utama umat Khonghucu selain kitab Suci Su Si, sebagaimana disinggung di atas. Adapun isinya térdiri dari lima kitab, yaitu:
1. Si King/She Cing (Sanjak)
Kitab ini terdiri dari 305 syair, di antaranya ada yang sudah ada sebelum kelahiran Khonghucu. Isi syair tersebut adalah merupakan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memuat berbagai tradisi dan kehidupan rakyat. Secara umum kitab ini terbagi menjadi empat bagian nyanyian/ pujian untuk mengiringi upacara ibadah yaitu: 1) Kok Hong (nyanyian rakyat dari berbagai negeri), terdiri dari 160 sanjak, 2) Siau Nge (nyanyian atau pujian kecil), terdiri dari 80 sanjak, 3) Tai Nge (nyanyian atau pujian besar), terdiri dari 31 sanjak, dan 4) Siong (nyanyian pujian), digunakan untuk mengiringi berbagai upacara sembahyangan.
2. Su King/Su Cing (Dokumentasi)
Kitab ini berisikan teks-teks dokumentasi sabda, peraturan, nasehat dan maklumat para nabi dan raja-raja suci masa Tiongkok Purba. Kitab tertua berasal dari zaman sekitar abad 23 SM. Sedangkan paling akhir berasal dari dinasti Ciu pada abad 6 SM.
3. Ya King/ I Cing (Perubahan)
Kitab ini tersusun sebelum Khonghucu lahir, berisi tanda-tanda dari gambar delapan diagram (Pat Kwa) yaitu wahyu tentang Hoo Tho (gambar ajaib yang timbul pada tempurung kura-kura yang muncul dari sungai besar, yang diperoleh raja Hok Hi ketika memperhatikan garis-garis guratan pada punggung kura-kura tersebut. Kitab ini berisi unsur-unsur ilmu pengetahuan yang banyak menentukan perubahan-perubahan penting bagi perubahan zaman. Kitab ini mempunyai nilai universal, berisi ajaran tentang penjadian alam semesta. Dengan menghayati kitab ini, umat Khonghucu dapat menyingkap tabir kuasa Tuhan dengan segala aspeknya.
4. Lee King (Kesusilaan dan Peribadatan)
Kitab ini terdiri dari tiga bagian:1). Gi Lee atau tata peribadatan, 2). Ciu Lee atau kesusilaan dinasti Ciu, 3). Lee Ki atau catatan kesusilaan yang ditulis oleh murid dan pengikut Khonghucu.
5. Chun Chiu King/ Ch'uen Ch'iu (Hikayat zaman Chun Chiu)
Kitab ini memuat catatan-catatan kronik sejarah zaman Chun Chiu (musim semi dan musim gugur) di antara tahun 722-481 SM yang disusun oleh Khonghucu. Isi kitab ini adalah segala macam penilaian dan komentar Khonghucu atas berbagai peristiwa pada zamannya. 




Sumber : semua materi dikutip dari A. Singgih Basuki. Sejarah, Etika dan Teologi Agama Konghucu. (Yogyakarta: SUKA Press, 2014). hlm. 105-112.

 
KONSEP KETUHANAN AGAMA KHONGHUCU
Tuhan Yang Maha Esa di dalam ajaran Konfusianisme dikenal dengan sebutan Thien/Thian. Di dalam kitab-kitab Konfusianisme, terdapat banyak ayat atau bagian yang memuat tentang Tuhan Yang Maha Esa. Di antaranya terdapat dalam kitab Tiong Yong/Cung Yun (Tengah Sempurna) Bab Utama pasal 1 terdapat konsep keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: “Firman Thian itulah yang dinamakan Watak Sejati, Berbuat mengikuti watak Sejati itulah dinamakan Jalan Suci, Bimbingan menempuh jalan suci itulah yang dinamakan Agarna”.
`Lalu ada istilah Thian dan Shang Ti di dalam Kitab Sanjak dan Kitab Hikayat (Su Keng /Su Cing) disebut berulang kali. Di dalam kedua kitab tersebut, istilah Thian disebut sebanyak 85 kali dan istilah Shang Ti disebut 336 kali. Hal ini telah membuktikan bahwa Konfusianisme mempunyai konsep ketuhanan yang theistik. Berikut beberapa istilah Thien/Tuhan Yang Maha Esa dapat dilihat dalam berbagai Kitab Suci Ngo King maupun Su Si sebagaimana berikut:
a. Kitab Suci She Cing
Dalam kitab She Cing atau Kitab Puisi, ada beberapa syair yang membicarakan tentang Tuhan Yang Maha Esa, di antaranya sebagai berikut:
 “Kekuasaan dan bimbingan dari Thian sangat luas dan dalam hal ini di luar jangkauan suara, sentuhan atau penciuman” (She cing IV Wen Wang 1/7).
“Oh betapa besarnya Shang Ti (Tuhan Yang Maha Esa), Berkahnya dicurahkan ke bumi. Dengan pandangan yang menyeluruh, dengan perhatian yang seksama, mengatur segala mahluk di dunia agar hidup berkecukupan” (She Cing IV Thang 1/1).
b. Dalam kitab Lun Yu/ Lun Gi (Sabda Suci) atau Analects Confucius (Ajaran Khonghucu dan murid-muridnya), di antaranya:
“Aku tidak menggerutu pada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku hanya belajar dari tempat terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi. Thien-lah yang mengenal diriku”. (Lun Gi XIV:35).
“Apakah Thien berbicara? Empat musim beredar dan segenap mahluk tumbuh dan hidup. Apakah Thien berbicara?” (Lun Gi XVII:17).
“Seorang budiman yang berwatak luhur memuliakan tiga hal: memuliakan Firman Thian/Thien, memuliakan orang-orang besar yang berbudi luhur, dan memuliakan kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang besar yang berbudi luhur”. (Luen Yu Pasal XVI ayat 8).
c. Kitab Suci Tai Hak (Ajaran Besar)
Di dalam Kitab Sanjak tertulis, “sebelum kerajaan Len kehilangan kedaulatannya laksana di bawah pimpinan Tuhan Yang Maha Tinggi (Siang Tee). Baiklah orang meneladani kerajaan Len dan insaf betapa sukar mendapatkan firman yang mulia itu, maka dikatakan yang mendapat (hati) rakyat akan mendapatkan negara, yang kehilangan (hati) rakyat, akan kehilangan negara.” (Tai Hak, X:5).
d. Kitab Suci Tiong Yong (Tengah Sempurna)
“Firman Thian (Tuhan Yang Maha Esa) itulah dinamai watak sejati. Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh jalan suci. Bimbingan menempuh jalan suci itulah dinamai agama”. (Tiong Yong, Bab Utama: 1).
e. Kitab Suci Bing Cu/Meng Ce (Mencius)
‘‘Dengan tiada musuhnya di dunia ini berarti ia berlaku sebagai menteri atau pembantu Tuhan Yang Maha Esa (Thian). Kalau sudah demikian tetapi tidak dapat juga menjadi raja Besar, itu belum pernah ada”. (Bing Cu, II 4, 5, 6).
“Apa yang tidak kita lakukan, tetapi terjadi, itulah kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang kita cari tetapi dapat tercapai, itulah firman (karunia)”. (Bing Cu VA, 6: 2).
Selain itu, dalam konsepsi ketuhanan Konfusianisme juga dikenal istilah Thian Li dan Thian Ming yang dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Thian Li
Thian adalah Tuhan Yang Maha Esa atau sesuatu yang absolut, yang mutlak dan tidak dijadikan oleh siapapun. Segala sesuatu yang berada di alam semesta ini berjalan menurut hukum-hukumnya. Pengaturan hukurn-hukum tersebut inilah disebut Thian Li atau kebenaran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus berusaha untuk mengolah batinnya dan memperbaiki sifat-sifat buruknya agar berjalan selaras dengan Thian Li. Karena itu, Thian Li bukanlah nama lain dari Thian tetapi bisa diartikan sebagai firman Tuhan atau hukum-hukum dan aturan yang berasal dari Thian.
b. Thian Ming
Thien Ming berarti sesuatu yang telah dijadikan atau sesuatu yang bergerak menurut hukum-hukumnya dan sumber yang absolut adalah Thien. Demikianlah, maka manusia dalam kehidupannya menghadapi penderitaan, kematian, kesenangan, kekayaan dan kemiskinan yang semuanya datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bukan berarti bahwa manusia harus menerimanya sebagai sesuatu yang fatal atau memarahi Yang Maha Esa, tetapi sebaliknya setiap manusia harus berusaha untuk mengolah batinnya dan melaksanakan tugas-tugasnya. Siapa yang gagal dalam melaksanakan tugasnya, berarti dia akan kehilangan mandat (amanat atau tugas). Sedangkan seseorang yang dapat menumbuhkembangkan kebajikan akan bisa hidup harmonis dan sukses hidupnya.
Lalu, dilihat latar belakang tradisi kepercayaan masyarakat Tiongkok Kuno pada saat hidupnya Khonghucu. Pada kira-kira seribu tahun SM, pandangan hidup bangsa Tiongkok kuno senantiasa terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan. Kedua unsur itu adalah langit dan bumi yang selalu berkesinambungan. Maksud langit dan bumi di sini bukan dalam arti flsiknya melainkan pribadi yang mendiami kedua-duanya. Orang yang mendiami langit diyakini adalah arwah nenek moyangnya (Ti) yang telah lama meninggal dunia. Mereka itu diperintah oleh seorang nenek moyang yang tertinggi (Shang Ti). Mereka ini akan diikuti oleh para anggota keluarganya yang masih ada di bumi. Langit dan bumi ini saling berhubungan satu dengan lainnya. Langit mengendalikan kesejahteraan bumi, sementara itu bumi melaporkan semua kegiatannya pada langit. Di antara langit dan bumi, yang paling penting adalah langit karena penduduknya lebih terhormat, mulia dan kekuasaannya lebih besar. Oleh karena penduduk langit menuntut penghormatan pada penduduk bumi dan menguasai pikirannya.
Maka, sesuai keyakinan penganut Konfusianisme, segala sesuatu yang ada di alam semesta terdiri dari dua prinsip yang saling bertentangan yaitu Yin (prinsip feminis) dan Yang (prinsip maskulin). Sifat feminis adalah hal-hal yang bersifat menerima dan menghasilkan, sedangkan sifat maskulin adalah hal-hal yang bersifat aktif dan keras hati. Untuk kesenangan pribadi dan sosial, kedua unsur ini harus dijaga keseimbangannya. Oleh karena adanya saling ketergantungan, hubungan antara langit dan bumi ini ditentukan oleh kebutuhan. Cara terbaik bagi bumi untuk berbicara dengan langit adalah dengan korban. Keinginan untuk membagi rezeki di bumi kepada orang yang telah meninggal dunia adalah bukan saja dipandang bijaksana tetapi juga merupakan suatu hal yang bersifat alamiah. Hakekat rezeki akan sampai kepada mereka melalui asap api korban yang membubung naik ke langit.

Sumber: A. Singgih Basuki. Sejarah, Etika dan Teologi Agama Khonghucu. (Yogyakarta: SUKA Press, 2014). hlm. 82-88.



Mazhab dan Murid Khonghucu
      1.            Mazhab
Dalam alam pikiran Cina, kita tahu terdapat dua ajaran utama, yakni Taoisme dan Konfusianisme. Namun sebenarnya, dua ajaran merupakan ajaran diantara dari berbagai mazhab yang ada dari abad 3-5 SM, yang dikatakan dalam periode ini ada banyak mazhab. Oleh karena saking banyaknya maka periode ini disebut periode “mazhab yang seratus”. Namun, setelah periode mazhab seratus, ada seorang bernama Ssu-ma Tan (meninggal 110 SM) bersama ayahnya dalam buku Shi Chi atau catatan-catatan sejarah, telah membagi mazhab-mazhab menjadi enam kategori 6 mazhab yakni:
Pertama, mazhab Yin-Yang, yang merupakan mazhab para penganut kosmologisme. Di mana ajarannya berkisar pada dua prinsip yakni Yin dan Yang. Yin adalah prinsip feminin dan Yang adalah maskulin, di mana dua kombinasi dan interaksi ini dipercaya bangsa Cina merupakan fenomena yang menghasilkan seluruh yang ada di alam semesta.
Kedua,mazhab Ju Chia atau mazhab cendikiawan. Dalam pandangan Barat, mazhab ini disebut sebagai mazhab Konfusianisme. Walau sesungguhnya tidak hanya Konghucu, pengikut mazhab ini adalah para sarjana dan pemikir, dimana merupakan para gur kebudayaan Kuno dan pewaris kebudayaan kuno.
Ketiga, mazhab Mo Chia atau Mazhab Mo. Mazhab ini memiliki organisasi yang ketat dan disiplin keras di bawah pimpinan Mo Tzu. Walau dalam kenyataannya para pengikut mazhab ini menyebut sebagai penganut Mohisme.
Keempat, mazhab Ming Chia atau mazhab nama-nama. Para pengikut mazhab ini memiliki perhatian pada perbedaan dan hubungan antara apa yang mereka sebut dengan “nama-nama” dan “aktualitas-aktualitas”.
Kelima,  Fa Chia atau mazhab penganut Legalisme. Fa sendiri berarti pola atau hukum, jadi mazhab ini dianut para negarawan yang berpendapat pemerintah yang baik harus didasrkan sistem hukum tertentu yang sifatnya tetap, dan bukan berdasarkan atas sekedar institusi-institusi moral.
Terakhir, Tao Te Chia atau mazhab jalan dan kekeuatannya. Para penganut mazhab ini memusatkan metafisika dan filsafat sosial, seperti konsep Yang-Tiada, yaitu Tao atau jalan, dan pengkonsentrasian dalam diri setiap individu sebagai kebajikan kodrati manusia, lalu konsep Te atau kebaikan, tetapi ditekankan sebagai kekuatan yang sudah ada dalam diri setiap individu. Di mana dalam pandangan Barat, mazhab ini disebut Tao yang dalam Barat kurang dibedakan dengan agama Tao dari pemikiran Lao Tse.
      2.            Murid Khonghucu
a.       Mencius/ Meng Tse (379-289 SM)
Mencius dikenal sebagai filosof Konfusianis, sebagai pengganti dan penerus Konghucu, sebagai pemikir besar pada zamannya dan penafsir terbesar agama Khonghucu. Ajaran-ajarannya tertuang dalam Book of Mencius, dia juga dijuluki “the Second Sage” atau manusia bijak kedua setelah khonghucu. Ia hidup setelah 300 tahun kematian Khonghucu. Menurut catatan dinasti Han yang berjudul “catatan-catatan sejarah” mencius adalah salah satu penerus dari tradisi khonghucu disamping penerus lain Hun Tsu.
Selain ide politik atau kenegaraannya yang serupa dengan Khonghucu, Mencius memiliki pandangan tentang kodrat manusia (Hsing) yang pada masa Konghucu tidak terlalu diperhatikan, di mana pada masa Mencius ada 3 pandangan: 1) pada dasarnya manusia itu tidak baik dan buruk, 2) pada dasarnya manusia itu baik dan buruk, 3) sebagian manusia pada dasrnya baik dan sebagian lagi buruk. Lalu di sini Mencius terlihat menekankan pada pandangan kedua yang menyatakan manusia itu baik dan buruk. Menurutnya manusia memiliki pengetahuan bawaan yang baik dan kemampuan bawaan untuk berbuat baik yang tiada lain merupakan pemberian Thian. Namun, jika elemen yang baik dan buruk tidak dapat dikontrol dengan semestinya, maka akan muncul dan berkembang menjadi jahat.
b.      Hun Tzu (300 SM)
Hun Tsu belajar filsafat di negeri Ch’I dan sebagai sarjana memiliki jabatan di istana. Dia dianggap memiliki pemikiran yang berbeda dari Mencius, sebuah antitesis pemikiran Mencius mengenai kodrat manusia. Kalau Mencius menekankan kebebasan individual dn menghargai nilai-nilai super moral sehingga lebih dekat dengan agama. Maka, Hun Tsu menekankan kontrol sosial, juga dia berbicara mengenai naturalisme yang sering bertentangan dengan pemikiran agama manapun. Hun Tsu adalah penerus yang realisitik.
Di mana ia tidak percaya adanya Tien dan melihat Tien bukan sebagai pribadi Tuhan. menurutnya Tien adalah hukum alam yang tidak berubah sebagaimana halnya bintang-bintang, peputaran musim-musim, siklus alam dan sebagainya merupakan hukm yang besar. Menurutnya Tien tidaklah bertanggung jawab atas apa yang menimpa manusia. Karena, jika manusia memiliki sandang dan pangan bersifat ekonomis maka Tien tidaklah membuat negara miskin. Bila manusia terus bekerja keras dengan memadai sesuai musimnya, maka Tien tidaklah menimpa rakyat. Maka, dia terlihat tidak mempercayai takhayul, ilmu firasat maupun ramalan. Sehingga berbeda dengan Mencius, ia melihat kodrat manusia adalah pada dasarnya jahat. Karena seorang menjadi baik karena mendapatkan kerja keras, latihan-latihan dan lingkungannya. Menurutnya pula, manusia lahir membawa sifat kesukaan atas keuntungan. Jika kesukaan ini diikuti, maka manusia akan terus bertengkar dan rakus, tidak peduli orang lain.
Upacara, Kebaktian dan Hari Raya dalam Konghucu
      1.            Upacara
Dalam kepercayaan Cina purba, langit dan bumi saling berkaitan dan senantiasa berhubungan satu dengan yang lainnya. Tapi langit mengendalikan kesejahteraan bumi. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan bumi, digunakanlah sarana korba untuk meminta hujan kepada langit. Maka dalam hal ini, langit menjadi lebih penting, terhormat, dan lebih besar kekuasaannya sehingga bisa menuntut penghormatan kepada bumi. Korban adalah suatu cara yang paling konkret bagi bumi untuk berbicara kepada langit. Akan tetapi lebih jauh, ritual-ritual Tingkok kuno ditujukan tidak hanya berperan penting dalam keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial orang-orang Tiongkok. Diketahui selama masa dinasti Chou, ritual diupayakan untuk menjamin pelaksanaan upacara-upacara secara tepat dalam rangka pemujaan dewa-dewa dan roh-roh leluhur. Lalu menandainya dalam proses kelahiran, pernikahan, kematian dan saat berkabung dalam kehidupan pribadi. Selain itu, mereka membuat ketetapan-ketetapan untuk mengatur hubungan timbal balik dalam masyarakat feodal. Di sini, ibadah kurban dan upacara dikaitkan erat dengan pemerintahan negara dan kesejahteraan setiap klan di masyarakat. Lalu pada masa Khonghucu, menurut ajaran Khonghucu, dikatakan Li (ritual) membimbing hidup manusia, mencegah kecenderungan kepada kejahatan dan menjamin hubungan yang selaras antar manusia dalam masyarakat. [1] Kini, dalam konteks agama Konghucu di Indonesia akan dijelaskan mengenai upacara perkawinan dan kematian.
Upacara Perkawinan, upacara perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia tentunya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya masyarakat Tingkok keturunan serta nilai-nilai agama yang mereka yakini kebenarannya. Dasr ajaran perkawinan tentu bisa dilihat dalam kitab Su Si maupun kitab Lee Ki/kitab kesusilaan, diantarannya misalnya dalam Lee Kii XXVII: 3, “ Bila tidak ada keselarasan langit dan bumi, tak akan tumbuh segenap kehidupan. Upacara pernikahan adalah pangkal peradaban jaman, dia bermaksud memadukan benih-benih kebaikan dua jenis manusia yang berlainan keluarga untuk melanjutkan ajaran-ajaran suci para nabi, ke atas untuk memuliakan Thian, Tuhan Yang Maha Esa, mengabdikan diri pada leluhur dan ke bawah untuk meneruskan keturunan. Maka seseorang paripurna memuliakannya”. Sehingga dalam dalam Munas Rohaniawan agama Khonghucu se Indonesia tahun 1975, ditetapkan pernikahan adalah suatu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian (Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajiakan yang bersemayam di dalam dirinya serta selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra-putrinya.
Lalu konteks Indonesia, sebagaimana telah diatur pula pernikahan dalam Konghucu dengan persyaratan: sudah cukup umur (wanita minimal 16 tahun, laki-laki 19 tahun), persetujuan kedua calon mempelai, tidak terikat dengan rumah tangga lain. Di mana diwajibkan pula melaksanakan pengakuan iman (ada 8 pengakuan) yang diteguhkan di Lithang, dan mendapat persetujuan kedua orang tua dan harus ada saksi. Disamping itu, sebagaimana upacara pernikahan, dalam Khonghucu juga ada upacara pra-perkawinan: melamar, ikatan pertunangan serta penentuan hari pernikahan. Lalu saat menjelang hari pernikahan ada pula kegiatan baik di rumah ataupun Lithang yaitu: mempersiapkan tempat upacara pernikahan, melakukan sembahyang kepada Thian serta melakukan upacara Cio Thau: sembahyang kepada Thian, Nabi Khonghucu serta roh leluhur. Hingga upacara peneguhan pernikahan ditempat yang telah dipersiapkan yakni ada di rumah keluarga dan di tempat ibadah/Lithang. Terakhir, pasca pernikahan pun ada kegiatan semacam bulan madu, yakni upacara pulang tiga hari serta pulang sebulan.
Upacara kematian, dalam ajarannya diyakini orang mati yang semasa hidupnya mampu hidup sesuai watak sejatinya. Rohnya menjadi Sheng: “orang yang sepenuh hati menempuh jalan suci, lalu mati, dia lurus di dalam firman” (Bingcu VII. A), lalu Sheng naik ke surga dan immortal, artinya hidup abadi di alam surga/ Sian Thian di samping Tuhan. sebaliknya orang yang berlumuran dosa, mengingkari jalan suci, rohnya akan menjadi kuei/hantu dan turun ke neraka. Dalam konteks Indonesia, kini secara umum upacara kematian Khonghucu ditujukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal suapaya rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat abadi. Lalu untuk menunjukkan rasa bakti seorang anak terhadap orang tua.
Dalam upacarannya sendiri dianjurkan sebagaimana dalam kitab suci Lun Gi jilid III A: 4/3, “Di dalam upacara, daripada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa sedih yang benar”. Kini dalam agama Khonghucu, sejak seseorang meninggal tiga tahun masa pengkabungan, telah ada 7 bentuk rangkaian upacara: 1) upacara memasukan jenazah ke dalam peti (Jib Bok), 2) upacara malam menjelang pemberangkatan jenazah (Mai Song), 3) upacara pemberangkatan jenazah (Sang Cong), 4) upacara pemakamam jenazah (Jib Gong), 5) upacara membelik meja (Peng Tuh atau Ki Hok), 6) Upacara satu tahun (Siau Siang), dan 7) upacara tiga tahun (Tai Siang).
      2.            Kebaktian
Dalam kebaktian Khonghucu, kebaktian berbentuk sembahyang yang dilakukan oleh umat Khonghucu setiap hari ketika mendapatkan rezeki pada pagi, siang dan sore sesaat sebelum makan sebagai ucapan syukur. Sembahyang ini dilakukan di depan meja sembahyang (altar) yang terdapat di setiap rumah. Meja sembahyang ini pada umumnya diletakkan di ruang tamu. Di samping itu, mereka melakukan sembahyang atau Thiam Hio kepada Thian setiap tanggal, 1 dan 15 penanggalan Imlek/ Lunar pada setiap bulan. Sembahyang ini bisa dilakukan di depan altar keluarga maupun di tempat ibadah umum (Litang).  Dalam rangka kebaktian kepada Thian, umat Khonghucu juga dianjurkan berpuasa yaitu dengan berpantang makan daging pada setiap tanggal 1 dan 15 dari penanggalan Imlek / Lunar. Sementara itu, untuk puasa wajib, dilaksanakan pada hari ke 3 setelah tahun baru Imlek dalam rangka menyongsong sembahyang besar pada Tuhan Yang Maha Esa pada malam tanggal 5 April.
Selain sembahyang seperti di atas, umat Khonghucu juga melakukan sembahyang besar pada hati-hari kemuliaan Thian, yaitu:
1) Sembahyang malam penutupan tahun/ malam menjelang Gwam Tan.
2) Sembahyang King Thi Kong pada tanggal 8 menjelang tanggal 9 Cia Gwee (bulan pertama).
3) Sembahyang saat Siang Gwan atau Cap Go Meh , 15 Cia Gwee (bulan pertama).
4) Sembahyang hari Tangcik (hari di mana letak matahari tepat di atas garis balik 23,5 Lintang Selatan), yakni tepat tanggal 22 Desember.
Juga ada Kebaktian pada Nabi , seperti  Peringatan hari lahir nabi Khonghucu tanggal 27-8 Imlek/ Ci Sing Tan, peringatan hari wafat nabi Khonghucu tanggal 18-2 Imlek/ Ci Sing Ki Sien, peringatan hari Genta Rohani/Bok Tok setiap tanggal 22 Desember.  Lalu ada pula Kebaktian pada Orang-orang Suci, semisal kebaktian yang dilaksanakan pada hari Twan Yang, Twan artinya lurus, terkemuka, terang. Yang artinya sifat positif atau matahari, jadi maksudnya hari ketika matahari memancarkan cahaya paling panas yaitu pada tanggal 5-5 Imlek. Disamping ada kebaktian untuk roh leluhur dan sembahyang kemasyarakatan, semisal King Ho Ping atau sembahyang untuk arwah pada tanggal 29- pada 7 imlek dan sembahyang pada hari persaudaraan/ hari kenaikan malaikat dapur pada tanggal 24- 12 imlek.
      3.            Hari Raya
Hari raya yang diperingati setiap tahun dalam agama Khonghucu di Indonesia menurut ketentuan MATAKIN paling tidak ada 14 jenis perayaan: 1) 1 bulan I (Zheng Yue)- tahun baru KongZi/Yin Li/Yin Zeng- imlek,  2) 4 bulan I Menyambut turunnya Malaekat Dapur / Chao Chun, 3) 8/9 bulan I Jin Tian Gong/ King Thi Kong: Sembahyang Besar kepada Tuhan Yang Maha Esa, 4) 15 bulan I Shang Yuan /Yuan Xiao /Cap Go Meh /Festival Lampion, 5) 18 bulan II -(Erl Yue) -hari Wafat Nabi Kongzi (Zhi Sheng Ji Zhen), 6) 5 April Ching Bing hari Sadranan/ Ziarah, 7) 5 bulan V (Wu Yue) Duan Yang /Duang Wu /Bai Chun -Peh Cun /Lomba Perahu Dayung, 8) 29 bulan VII -King Ho Ping atau Sembahyang Arwah Umum, 9) 15 bulan VII Oi Yue) -Jing He Ping/ Jing Hao Peng /Sembahyang Arwah Leluhur, 10) 15 bulan VIII (Ba Yue) Zhong Qiu (Sembahyang Purnama Raya), 11) 27 bulan VIII (Ba Yue) Zhi Sheng Dan (hari Lahir nabi Kongzi), 12) 15 bulan X -Xia Yuan -Sembahyang Besar Malaekat Bumi, 13) 22 Desember Dong Zhi/Tang Cik/Bok Tok (hari Genta Rohani), dan 14) 24 bulan XII (Shi Erl Yue) hari Persaudaraan dan Naiknya Malaekat Dapur (Chao Chun).
Dalam hal ini sebenarnya, semisal perayaan Imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang sudah ada sejak sebelum Khonghucu lahir. Begitu pula sejak sebelum Imlek diakui sebagai hari besar agama Khonghucu di Indonesia maupun sesudahnya, perayaan Imlek juga menjadi perdebatan apakah sesungguhnya merupakan sebuah ritus agama atau upacara tradisional/ budaya masyarakat Tionghoa. Terlepas itu, MATAKIN telah menetapkan bahwa perayaan Imlek merupakan salah satu dari hari raya keagamaan bagi umat Khonghucu di Indonesia.
Kini, perayaan Imlek adalah sebuah kegiatan “pesta musim semi” atau Chun Cie yang menandai pergantian musim di Tiongkok dari musim dingin yang suram menjadi musim semi yang cerah, sejuk dan penuh harapan. Kebetulan pesta ini bertepatan dengan pergantian sistem kalender Tiongkok memasuki perhitungan awal tahun baru Imlek/Yinli berdasarkan sistem lunar atau peredaran bulan. Oleh karena itu maka perayaan ini disebut dengan pesta musim semi Chunjie yang juga dikenal dengan perayaan Imlek.

Sumber: Singgih Basuki, Sejarah, Etika, dan Theologi Agama Khonghucu, (Yogyakarta: Suka Press), hlm. 146-162.


[1] Singgih Basuki, Sejarah, Etika, dan Theologi Agama Khonghucu, (Yogyakarta: Suka Press), hlm. 139-140

Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia
Istilah Khonghucu atau Kong Fu Zi yang dikenal di Indonesia dengan agama Khonghucu diambil dari dialek Hokian (Fujian) yang berkembang di kalangan warga keturunan Tiongkok di pulau Jawa. Adapun agama Khonghucu adalah agama yang yang mengajarkan suatu kelembutan atau agama kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal lebih awal 2500 tahun sebelum lahirnya Khonghucu. Sebutan resmi agama Khonghucu adalah Ru atau Ru Jiao. Kong zi (Hua Yu), Khongcu (Hokian), atau dalam bahasa latin dikenal dengan Confucius adalah seorang nabi terakhir dalam agama Khonghucu, lahir pada tanggal 27 bulan VIII tahun Imlek 0001/551 SM. Khonghucu diyakin sebagai nabi terbesar dalam agama Khonghucu, sehingga banyak yang menamai Ru Jiao dengan Confuciusme, yang di Indonesia disebut dengan agama Khonghucu.
Menurut Bunsu Candra Setiawan, dalam tulisan Singgih Basuki, sejarah dan masuknya agama Khonghucu terbagi menjadi beberapa zaman:
1. Zaman Akhir Pra-Sejarah
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukannya benda bersejarah di berbagai daerah Indonesia membuktikan bahwa eksistensi agama Khonghucu sudah ada sejak masa akhir pra-sejarah. Para ahli menemukan bukti bahwa telah ada sejenis bangsa Indo Tiongkok pada tahun 300 SM. Mereka mengambil kebudayaan Neolitikum dari kebudayaan Tiongkok, dan kemudian terjadi akulturasi dan dikembangkan sendiri menjadi kebudayaan Dongson (Tongsan/Tengswa).
2. Zaman Hindu                                                
 Percampuran kebudayaan Dongson dan asli sudah terjadi sedemikian rupa ketika orang-orang india datang di nusantara membawa serta sistem budaya tradisi Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 136 SM, agama Khonghucu ditetapkan sebagai agama resmi orang Tionghoa. Sehingga orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia pada saat itu membawa sistem budaya dan nilai-nilai keagamaan Khonghucu sebagaimana dilakukan oleh Fa Hian (414) dan I Tsing (672 dan 685). Pada masa itu orang-orang Tiongkok sudah tinggal diberbagai wilayah Indonesia dengan berbagai jenis mata pencaharian. Orang-orang Tionghoa hidup sebagai pedagang terdapat di kota-kota pantai seperti, Sriwijaya, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Giri, Ujung Pandang, dan Ternate. Sebagai petani di daerah Kalimantan Barat, Bangka Belitung. Sebagai Nelayan terdapat di Bagan Siapi-api; sebagai tukang kayu di Singkawang, Pontianak, dan sekitarnya.
3. Zaman Penjajahan
Seiring dengan berjalannya waktu, agama Khonghucu tumbuh dan berkembang di Nusantara. Untuk itu didirikanlah lembaga-lembaga agama Khonghucu seperti rumah abu untuk menghormati arwah leluhur serta kelenteng sebagai rumah ibadah di berbagai tempat dan wilayah di Indonesia.  Seperti pada tanggal 17 Maret 1900 didirikanlah lembaga sosial kemasyarakatan agama Khonghucu pertama di Indonesia dengan nama Tiong Hoa Hwee Kwan disingkat THHK  di Batavia (Jakarta).  Selain itu, berdiri organisasi Khong Kauw Hwee di Solo pada tahun 1918. Kemudian menyebar ke kota-kota di Indonesia seperti Bandung, Bogor,Malang, Ciamis dan lain-lainnya. Sebelumnya sudah ada lembaga semacam pesantren pada tahun 1729 di Jakarta dengan nama Bing Sing Su Wen (Taman Pendidikan Menggemilangkan Iman).
Dari berbagai sejarah lembaga Khonghucu ini, dua peristiwa sejarah yang memiliki pengaruh besar yakni didirikannya lembaga sosial kemasyarakatan agama Khonghucu/ THHK di Jakarta dan berdirinya organisasi Khong Kauw Hwee di Solo. Pertama, berdirinya THHK, menurut Kwee Tek Hoay, maksud dan tujuan berdirinya adalah: 1) untuk membangkitkan budaya Tiongkok yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran nabi Khonghucu, membangkitkan dan mengembangkan etika Khonghucu, serta meningkatkan pengetahuan bahasa Tiongkok dan mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan Khonghucu, 2) untuk membangun, mempertahankan Batavia (Jakarta) dan tempat-tempat lain di Hindia Belanda. Untukmencapai tujuan ini, minimal tiga tahun sekali diadakan pertemuan di beberapa tempat untuk anggota THHK dalam rangka mendiskusikan beberapa hal terkait dengan organisasi dan persoalan-persoalan lain untuk kepentingan umum dengan membangun dan mempertahankan sekolah-sekolah. 3) menambah koleksi berbagai buku yang berguna bagi kepentingan pengetahuan.
Kedua, berdirinya Khong Kauw Hwee di Solo tahun 1918. Di mana dalam rangka memperingati ulang tahun organisasi ini pada 20 Februari tahun 1938  di seluruh Jawa. Telah terjadi kongres penggabungan Khong Kauw Hwee di seluruh Jawa pada 25 Desember 1938 yang menetapkan Solo sebagai pimpinan pusatnya. Lalu pada 24 April 1940 juga diadakan kongres yang menghasilkan: 1) agama Khonghucu harus berdasarkan kitab suci Su Si, dan semua sekolah Khong Kauw Hwee supaya mengajarkan pelajaran kitab tersebut. 2) penyelenggaran upacara pernikahan dan kematian supaya diteliti dan disesuaikan secara harmonis sesuai kebudayaan Indonesia.
Selanjutnya pada zaman penjajahan Jepang, ditandai pecahnya perang dunia II tahun 1942, yang dibarengi datangnya tentara jepang ke Indonesia, secara praktis aktivitas rohani Khong Kauw Hwee terhenti. Banyak Litang/ Klenteng dipakai sebagai tempat penampungan para pengungsi dari berbagai golongan, suku dan agama.
4. Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Solo diadakan konferensi antar tokoh agama Khonghucu membahas kemungkinan dihidupkan lagi Khong Kauw Hwee. Maka pada 16 April  1955 berhasil ditegakan pusat lembaga tertinggi agama Khonghucu dengan nama “Perserikatan Chiao Hui Indonesia” atau PKHCI. Semenjak itu lembaga itu terus berkembang dan mengadakan Kongres di berbagai daerah. Pada kongres IV di Solo nama PKHCI berubah menjadi Lembaga Sang Khongcu Indonesia (LASKI). Pada kongres V, yang Juga di Solo, LASKI berubah jadi GAPASKI (Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu Indonesia). pada kongres VI di Solo 23-27 Agustus 1967 GAPASKI disempurnakan menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) serta pada juli 1971 terbentuk pula MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) untuk pembinaan di luar Jawa di beberapa daerah seperti Manado, Sambas (kalbar), Ternate, Kisaran (sumut) dan lainnya. Hingga pada 1998, sudah terdapat 89 MAKIN yang tersebar di Indonesia, baik di dalam mapun di luar Jawa.
Karena sebelumnya pada tahun 1965, keluar penetapan Presiden No. 1/ Pn.Ps/1965 oleh presiden Soekarno tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 yaitu:Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha serta Khonghucu. Dengan demikian agama Khonghucu pada era orde lama diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Meski, sejak era orde baru di bawah pemerintahan presiden Soeharto. Pada tahun 1967 presiden mengeluarkan Inpres No.14 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap agama, kepercayaan dan kebudayaan golongan etnis Tiongkok. Pada sidang kabinet tanggal 27 Januari 1979 secara tegas dinyatakan Khonghucu bukanlah agama. Sejak itu, status dan pelayanan umat Khonghucu terkait dengan administrasi kependudukan dan pemerintahan tidak jelas.
Pada masa reformasi, agama Khonghucu memperoleh angin segar dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. sejumlah tokoh nasional (Gus Dur, Amien Rais dan lain-lain) serta organisasi sosial keagamaan, dalam hal ini Muhammadiyah dalam sidang tanwir di Bandung 3-5 Desember 1999, mendorong pemerintah untuk mengakui secara resmi agama Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Harapan besar muncul bagi umat Khonghucu saat pemerintahan RI di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967,digantikan dengan Keputusan Presiden (Kepres) N.6 tahun 2000. Pemerintah juga menetapkan Imlek sebagai hari Libur Nasional. Sejak itu, umat Khonghucu dapat merayakan Ibadah dengan terbuka, seperti merayakan tahun baru Imlek.
TRIDHARMA DI INDONESIA
Kata Tridharma secara harfiah berasal dari kata tri yang berarti tiga dan dharma yang berarti kebenaran. Tiga kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran yang diajarkan Sakyamuni Buddha (Buddhisme), Khonghucu (Konfusianisme), dan Lao Tse (Taoisme). Di sini tridharma bukanlah agama campuran ataupun sintesa dari ketiganya, tetapi agama Buddha Mahayana yang mempelajari juga agama Khonghucu dan Taoisme. Di mana tetap bersumber pada masing-masing kitab suci seperti Tripitaka, Ngo King &Su Si dan Tao Te Cing. Buddha Mahayana mempelajari Konfucianisme dan Laoisme, sebab aliran ini berkembang di Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea dan Jepang. Dengan prinsip Boddhisatva, seorang Boddhisatva yakni orang yang secara hakikat sudah mencapai nirwana, tetapi dengan suka rela bersedia mengorbankan dirinya demi keselamatan manusia dan dunia pada umumnya. Oleh karenanya, aliran ini lebih liberal dalam artian akomodatif terhadap pandangan dan pemikiran di luar dari Buddha Gautama.
Di Indonesia, organisasi Tridharma atau Sam Kauw Hwee berdiri pada 1920-an atas prakarsa Kwee Tek Hoay yang dikenal sebagai bapak Tridharma Indonesia. Yang pada sekitar tahun itu pula berdiri lembaga penerbitan dan percetakan: Moestika di Jakarta, yang mana menerbitkan  majalah Moestika Dharma yang banyak mengupas tentang agama Buddha, Khonghucu dan Tao. Dalam hal ini, organisasi ini bersifat indonesia sentris yakni diciptakan dan dibangun sesuai budaya Indonesia walau ketiga agama dalam tridharma berasal dari luar.
Pada 24 Maret 1934, Kwee Tek Hoay bersama Yosias Van Dienst (director General International Buddhist Mission Bagian Jawa) mendatangkan bikhu dari Sri Langka bernama Bikhu Narada untuk berceramah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta. Beberengan dengan itu, Tridharma juga menerbitkan majalah sam kauw Gwat Po berbahasa Indonesia yang berisi visi misi organisasi. Pada 1952 Sam Kauw Hwee (Tridharma) diperbaharui kembali dengan masuknya Thian Li Hwee sebagai pimpinan Ong Tiang Biauw (Bikhu Jinaputta) dengan berganti nama Gabungan Sam Kauw Indonesia (GAPSKI). Lalu pada 20 Februari 1952 berubah lagi jadi gabungan Tridharma Indonesia (GTI) yang diterima dan terdaftar dalam departemen agama RI berdasarkan Direktur Urusan Agama Hindu dan Buddha No. G-II/I/d-2/7/73 tanggal 10 Januari 1973. Lalu bersamaan berkembangnya GTI, di Lawang,  Jawa Timur, ada usaha melestarikan tridharma dari pertemuan yang diadakan oleh BK PAKEM Jawa Timur dengan para pengurus Klenteng di Surabaya dalam rangka penertiban aliran kepercayaan/kebatinan dan keagamaan, pada tanggal 15 Mei 1967 dengan terbentuknya Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma Indonesia (PTITD) seluruh Jawa Timur, dengan istilah Klenteng diganti menjadi “tempat ibadat tridharma”. Di mana berdasar Dirjen Bimas Hindu Buddha RI, pad 1969 PTITD dikembangkan mengurus dan menjadi di seluruh Indonesia.
Sekarang, hingga saat ini ada 5 organisasi besar dalam ranah Tridharma, yakni: 1) PTITD se Indonesia (Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma Indonesia), 2) GTI (Gabungan Tridharma Indonesia), 3) MATRISIA (Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia) dibawah WALUBI, 4) WTI (Wanita Tridharma Indonesia), dan 5) Pemuda Tridharma Indonesia (termasuk di dalamnya Sekolah Minggu Tridharma dan Remaja Tridharma).

SUMBER: Singgih Basuki,Sejarah, Etika dan TeologiAgama Khonghucu, Yogyakarta: SUKA Press, 2014, hlm. 58-76.
 

 
Agama Konghucu setelah tahun 2000 dan resmi di Indonesia
Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.
Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.  Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia.
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa Presiden Soeharto menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan negara Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu.
Diakuinya keberadaan etnis tionghoa dan agama Konghucu di Indonesia juga berpengaruh pada perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini, bahasa Mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini sering kali bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa bisnis. Kebudayaan Cina juga sudah mulai secara bebas dipertunjukkan di Indonesia. Kebudayaa seperti Barong Sai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan Imlek, saat ini sangat mudah ditemui di Indonesia. Pengakuan agama Khonghucu dan etnis Tionghoa di Indonesia cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Pasca reformasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di bidang kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak sipil bagi kaum minoritas seperti penganu Khonghucu di Indonesia dibandingkan dengan pada masa orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

SUMBER: Pengakuan Agama Khonghucu di Indonesia, oleh Syailendra Wisnu Wardhana, http://wisnu.blog.uns.ac.id/2011/03/10/pengakuan-agama-khonghucu-di-indonesia/, Pada 18 April 2018


NEO KONFUSIANISME (sintesa kosmologi Tao, Buddha dan Khonghucu)
Neo konfusianisme adalah sebuah upaya untuk menciptakan bentuk yang lebih rasional dan sekuler dari konfusianisme dengan menolak unsur-unsur takhayul dan mistis dari pengaruh Taoisme dan Buddhisme selama dan setelah dinasti Han. Dinasti Han (206 SM-220 M) adalah dinasti setelah dinasti Chi’in, dinasti Chi’in ini dinasti yang mampu menyatukan seluruh Cina dengan “pertanian dan peperangan” atau unggul dalam “ekonomi dan militer” sehingga dinasti Chi’in ini terkenal dengan “negaranya para macan dan serigala”, sementara dinasti Han ini adalah dinasrti yang mewarisi konsep kesatuan politik dari Chi’in dan menlanjutkan tugas yang belum selesai, yaitu membangun keteraturan sosial dan politik baru. Tokoh yang berperan dalam dinasti Han salah satunya Tung Chung-shu yang menjadikan Confusianisme sebagai kepercayaan othodok dinasti Han dengan mengorbankan mazhab yang lain. Selain itu ia berperan dalam menciptakan dasar institusional ortodok konfusianisme: sistem ujian Cina yang mashur, sehingga golongan para pegawai pemerintah yang mengatur negara bukan didasarkan dari keturunan /kebangsawanan dan kekayaan lagi tetapi dari hasil yang dicapai dari serangkaian ujian periodik yang diadakan serempak di seluruh negari. Kembali ke inti pembahasan, Neo konfusianisme melihat metafisika sebagai panduan untuk mengembangkan filsafat dan etika rasionalis. Bisa dibilang neo konfusianisme ini juga mengambil bagian filsafat mentafisika dari ajaran Taoisme dan Buddhisme, namun bukan mengambil bagian metafisika sebagai katalis pembangun spiritual, pencerahan agama dan keabadian. Bisa dibilang mengambil bagian dari ajaran ch’an, di mana mazhab ini adalah suatu cabang dari Buddhisme Cina (Mahayana) yang sebenarnya merupakan kombinasi dari aspek yang lebih bersifat lembut, halus baik dari filsafat Buddha maupun dari filsafat Tao.
Maka, neo konfusianisme adalah sintesis antara pandangan kosmologi dari Taoisme dengan konsepsi spiritualitas dari Buddhisme serta pandangan konfusianisme terhadap masyarakat dan pemerintah. Gerakan ini bisa dikatakan merupakan ringkasan atau revisi etika, moral dan kepercayaan masa lampau yang disesuaikan pada semangat zaman. Oleh karenanya, neo konfusianisme ini tidak bisa disamkan dengan kebangkitan konfusianisme sekalipun para penganutnya sarjana konfusianisme karena kegiatan pemikirannya ditentukan spekulasi pemikiran guru aliran Chan (perpaduan Buddha dan Tao). Dimana menurut Fung Yu Lan, ada tiga sumber yang bisa dilacak dalm neo konfusianisme ini: 1) konfusianisme, 2) Buddhisme dan Taoisme yang melahirkan Channisme, 3) Taoisme yang berpandangan kosmologi Yin dan Yang. Dimana ketiganya ini heterogen dan kadang saling kontradiktif, oleh kareanya para filsuf berusaha mengintegrasikannya, sebagaimana dalam neo konfusianisme.
Walaupun sejak dinasti Han diyakini telah ada dasarnya, perkembangan gerakan baru Khonghucu ini baru berkembang setelah dinasti Han, selama dinasti Song dan dinasti Ming. Namun dapat digali juga sejak masa hidup tokoh Hai Yu (768-824) Li Ao (722-841 M) dalam dinasti Tang. Dua orang ini merupakan orang yang sungguh-sungguh menginterpretasikan kembali karya seperti “pelajaran agung” (ajaran besar/Ta Hsueh) dan “jalan tengah” (tengah sempurna/Chung Yung) yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu di Tiongkok, disamping juga akhirnya pemikiran gerakan ini juga berpengaruh dan berkembang di Korea, Jepang dan Vietnam. Walaupun bentuk pemikirannya belum terlalu jelas, tapi semakin lebih jelas pada masa dinasti Sung (960-1279) yang menyatukan Cina kembali setelah ada kekacauan pada dinasti Tang. Di mana sejak dinasti Sung ini, perhatian Neo Konfusianisme ini pada masalah kosmologi. Seperti tokohnya yakni: Chou Tun-yi atau dikenal dengan Guru Lien-his (1017-1073) berlatar pernah mengajar Buddhisme, dia yang mengajarkan prinsip kosmologi yang bersumber dari buku “tentang perubahan” menjadikannya diagram tertulis pada lembaran-lembaran tersendiri lebih singkat atau “Apendiks”. Konsep “Apendiks” ini mirip karya dalam Taoisme yang banyak memiliki sejumlah diagram mistik sebagai grafik pengamalan prinsip-prinsip esoterik. Lalu ada Guru Pai-Ch’un (1011-1077) yang membuat tori kosmologi dari buku tentang perubahan dengan diagram sama halnya Guru Lien-his. Juga tokoh seperti Guru Heng Ch’u (1020-1077) yang juga membuat diagram dari buku “tentang perubahan”(Ya King) dan apendiks dengan mengembangkan juga teori kosmologi.
Kini, neo konfusianisme akhirnya pecah dalam dua mazhab besar yang secara kebetulan dibuat oleh dua orang bersaudara yang dikenal dua Guru Cheng. Sang kakak Ch’eng Hao (1032-1085) membangun mazhab Lu-Wang atau Hsin Hsueh (mazhab Jiwa) dilanjut penerusnya oleh Lu Chiu-yuan (1139-1193) dan disempurnakan Wang Shou-jen(1473-1529). Sementara sang adik Ch’eng (1033-1108) membangun mazhab Ch’eng Chu atau Li Hsueh (mazhab hukum dan prinsip), yang pemikirannya dilanjut oleh Chu His (1130-1200). Sepeninggal keduanya hingga sekarang, kini masih pemikirannya saling dipertentangkan, padahal pada masa keduanya arti penting dan perbedaannya tidak terlalu diperhatikan.

Sumber:
Fung Yu Lan, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, cet. 3 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 250-251, 274-275.
Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Khonghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), hlm.169-173.

 
Nilai-Nilai Konfucianisme dan Tantangan Modern
Sebagaimana materi kuliah sebelumnya, telah diketahui bahwa Kong Hu Cu selalu menghindari pembicaraan mengenai metafisika, ketuhanan, jiwa, dan berbagai hal yang ajaib. Namun ia tidak meragukan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dianut masyarakatnya. Bahkan ia lebih meneguhkan pemujaan terhadap leluhur, dengan kesetiaan terhadap sanak keluarga dan penghormatan terhadap orang tua. Dengan kata lain, pembahasan mengenai metafisika, jiwa, ketuhanan, dan berbagai hal ajaib dalam tradisi Tiongkok merupakan condong mengarah ke bagian ciri khas Taoisme, walaupun dalam Konghucu pun juga ada. Bahkan pemujaan terhadap roh leluhur pun awalnya merupakan tradisi ajaran Shen. Sementara itu, Konghucu sendiri ajarannya lebih cenderung menghadirkan kembali ajaran sebelumnya dengan mengkontekstualisasikan dengan ajaran etika, seperti pemujaan leluhur dengan menekankan prinsip etika sosial, atau hubungan kesetiaan terhadap orang tua, saudara, sesama dan pimpinan. Ia mengajarkan betapa penting artinya penghormatan dan ketaatan istri terhadap suami, ataupun rakyat terhadap penguasanya.
Lalu, pandangan Kong Hu Cu tentang dunia, bahwa dunia itu dibangun atas dasar moral, jika masyarakat dan negara rusak moralnya, maka begitu pula tatanan alam menjadi terganggu, terjadilah bahaya peperangan, banjir, gempa, kemarau panjang, penyakit merajalela dan lainnya. Oleh karenanya manusia mempunyai tempat terhormat yang tinggi yang harus diberkati dengan cahaya ketuhanan. Ia percaya bahwa asal manusia itu baik, dan akan kembali ke sifat yang baik, oleh karenanya tidak diperlukan adanya juru selamat. Yang perlu bagi manusia adalah adanya guru yang berbudi. Guru yang berbudi akan berusaha sungguh-sungguh mengajarkan ajarannya serta menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain. Kong Hu Cu sendiri menyatakan bahwa dirinya adalah seorang guru yang mendapat petunjuk dari Tuhan. Hal mana sebagaimana dikemukakan dalam kitab Lun Yu tentang budi luhur.[1]
Dalam agama Konghucu yang menghadirkan kembali tradisi sebelumnya, yang menjadi pokok diturunkannya agama ini adalah agar manusia hidup di Jalan Suci ( Dao) yaitu agar manusia membina diri, berbudi luhur , berbakti kepada leluhur   dan orang tua, bercinta kasih (Ren), Li (susila), menjunjung Yi (kebenaran), berkebajikan, memuliakan leluhur, para Nabi serta  Tian/Thian ( Tuhan,Yang Maha Esa). Agama Khonghucu sendiri lebih fokus pada perbuatan real ketimbang manusia memikirkan hal yang bukan menjadi tugas dan kewajibannya. Kehendak atau pikiran manusia untuk mengetahui dunia gaib (setelah kematian)  tidak terlalu ditonjolkan, karena itu merupakan hukum Tian ( Tian Li) yang manusia tidak berhak mengetahui juga karena  manusia telah memiliki tugas dan wilayah yang telah ditentukan Tian ( Tuhan). Sebagaimana dengan jelas dikatakan oleh Nabi Khongcu “ Sebelum mengenal hidup, untuk apa mengenal hal setelah mati “ (Lun Gi XI : 12 :2).  Artinya  sebelum manusia di dunia ini mengerti akan makna hidup (kehidupan yang sempurna). Bagaimana manusia bisa mengetahui hal-hal yang gaib, kalau dirinya sendiri tidak mengetahui hal kehidupan yang real, tentu saja sulit untuk mengetahui hal yang gaib itu.  Apa yang akan terjadi pada esok pagi saja manusia tidak akan bisa memahami, apalagi seminggu kemudian, sebulan kemudian bahkan setelah kematian. Inilah mengapa agama Khonghucu meletakkan dasar rasional dalam melihat sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya. [2]Di mana hal ini sangat sesuai dengan tantangan modern yang materialistik, di mana ajaran konghucu memberikan landasan yang benar mengenai kehidupan duniawi yang sejalan dengan hukum Tian. Ajaran konghucu tidak menjauhi hal-hal kekinian, modernitas, justru memandang secara positif dan menikmati proses kehidupan sekarang (dunia).
Maka, dapat disimpulkan bahwa ajaran etika Khonghucu yang bersifat humanism dan kekinian, dan bersifat universal  bisa diterapkan dalam konteks abad modern ini. Hanya dengan belajar secara terus menerus dan melalui pembaharuan diri menjadikan manusia mencapai tujuan hidupnya secara harmonis dan bahagia (hidup didalam Too/Dao). Bagi mereka yang telah memahami etika Confucius dan mampu menerapkan dalam kehidupannya, mereka tidak lagi memiliki keraguan bahkan faktor lingkungan yang membuat dia benci pun akan dianggap sebagai hal yang menyenangkan. Mereka tidak mudah hanyut, melainkan memiliki kekokohan dan keyakinan yang kuat, tabah, tahan bantingan serta tetap hidup dalam keyakinananya meskipun badai dan angin meggoncangnya. Mereka tetap hidup didalam Dao, dialah seorang Junzi sejati (tidak munafik atas dunia).[3]

Sumber:
Bernadetta B, Agama Khonghucu, https://www.kompasiana.com/bernad/agama-kong-hu-cu_551b61bc8133110a0a9de679, diakses 16 Mei 2018
Ongky Setio Kuncono, Kerasionalan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/filsafat/168-kerasionalan-agama-khonghucu.html, 16 Mei 2018
Ongky Setio Kuncono, Khonghucu dan Humanisme, http://www.spocjournal.com/filsafat/127-khonghucu-dan-humanisme.html , 16 Mei 2018.


[1] Bernadetta B, Agama Khonghucu, https://www.kompasiana.com/bernad/agama-kong-hu-cu_551b61bc8133110a0a9de679, diakses 16 Mei 2018,
[2] Ongky Setio Kuncono, Kerasionalan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/filsafat/168-kerasionalan-agama-khonghucu.html, 16 Mei 2018
[3] Ongky Setio Kuncono, Khonghucu dan Humanisme, http://www.spocjournal.com/filsafat/127-khonghucu-dan-humanisme.html , 16 Mei 2018




[1] Fung Yu Lan, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017, cet, 3), 47
[2] Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 39-42
[3]Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 43-44
[4] Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 77
[5] Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 78-79

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...