Biografi
Konghucu dan Basis Ajarannya
1.
Biografi Konghucu
Konghucu,
di kalangan Barat sering disebut Confucius. Confucius adalah nama latin
seseorang yang dikenal di Cina dengan nama Kung Tzu (tuan Kung) ataupun Kong
Fuzi. Kung sendiri adalah nama keluarganya, dan nama pribadinya adalah Ch’iu.
Lalu kata Fu merupakan ungkapan penghormatan yang artinya yang agung, yang
mulia dan Zi artinya guru. Ia lahir pada 551 SM. di negara Lu, bagian selatan
provinsi Shantung sekarang ini, Cina bagian timur. Nenek moyangnya termasuk
anggota keluarga bangsawan penguasa negara Sung, yang merupakan keturunan dari
keluarga raja-raja Shang, suatu dinasti sebelum dinasti Chou. Karena kekacauan
politik, sebelum kelahiran Confucius, keluarganya kehilangan posisi
kébangsawanan dan akhirnya bermigrasi ke negara Lu.[1]
Masa
muda Konghucu sangat lekat dengan penderitaan dan kemiskinan, sehingga
menyebabkan dia mempunyai pengalaman ikatan dengan orang kebanyakan kalangan
rakyat. Semenjak kematian ayahnya di usia 17 tahun, Konghucu meninggalkan
sekolah formal dan mulai bekerja untuk meringankan pekerjaan ibunya, ia bekerja
untuk bangsawan Kwisun (sebagai petani, pegawai peternakan, dan hingga pengurus
rumah tangga. Ketika usia 19 tahun dia menikahi Si, putri bangsawan marga Kian
Koan dari negeri Song. Di usia 26 tahun, tahun 525 SM, ibunya wafat. Semenjak
itu, ia mulai mengabadikan diri mendidik generasi muda, tahun 500 SM, usia 51
tahun, ia memimpin pula daerah Tiongto
menjadi daerah yang makmur dan bermoral. Melihat kemampuan Kongzi, raja muda Lu
Ting Kong mengangkatnya menjadi menteri. Sejak itu. Kongzi sangat membantu
dalam menyelesaikan perselisihan antara negeri Lu dan negeri Cee. Sayangnya itu
hanya sementara, dengan siasat negeri Cee, Raja negeri Lu mengalami kesuraman
kembali. Kongzi pun keluar dari kerajaan.[2]
Semenjak
itu, Kongzi beserta muruidnya mulai mengembara sekitar 13 tahun lamanya,
walaupun dalam penggembaraanya sering ditolak negeri-negeri yang dikunjunginya,
isterinya sendiri, Kian Koan, yang ditinggal menggembara meninggal di usia 66
tahun. Akhirnya pada usia 68 tahun ia kembali ke negerinya, tiga tahun
setelahnya anaknya Kong Li meninggal dunia.
Maka, dia merawat cucu anaknya Cu Su, yang ia titipkan ke muridnya Cing
Cu. Sayangnya, di usia 72 tahun, Konghucu wafat pada tanggal 18 bulan 2 ( dalam
imlek) tahun 479SM.[3]
Setelah kematiannya, ajaran Konghucu sendiri banyak disebarkan muridnya, hingga
ada sosok seperti Mencius (379-289SM) yang cenderung idealisitik (terhadap
ajaran Konghucu) dan Hun Tsu (lahir
sekitar 300SM) yang ajaranya cenderung realisitik, semisal memandang manusia
itu cenderung lahir dalam kondisi jahat, dan kebaikan ada setelah
diusahakan/dilatih manusia itu sendiri.
2.
Basis Ajaran Konghucu
Pola
religiusitas Tionghoa secara khas adalah kesadaran akan pentingnya keselarasan
kosmis, menghormati nenek moyang, kepercayaan dibalik segala sesuatu yang ada
di alam semesta ini memiliki Dao/Tao "jalan, hukum, sumber bagi segala-galanya
", dan penghayatan segala sesuatu dalam perspektif Yin dan Yang. Itulah ruh
bagian ajaran kuno Cina yang ditransformasikan sosok Konghucu.
Maka,
agama Khonghucu atau Konfusianisme adalah istilah yang dipakai untuk menyebut
ajaran-ajaran Konfusius atau Kong Fu Tze. Dalam bahasa Tionghoa, istilah ashnya
adalah: Rujiao atau Ji Kaou yang berarti agama dari orang-orang yang lembut
hati, terpelajar dan berbudi pekerti luhur. Maka, sebenarnya Khonghucu memang bukan pencipta agama ini
melainkan dia hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh ribuan tahun
sebelumnya seperti yang dia sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan aku suka
ajaran-ajaran kuno tersebut”. Agama Khonghucu mengajarkan tentang bagaimana
hubungan antar sesama manusia yang disebut Ren
Dao serta hubungan antara manusia dan Pencipta alam semesta (Thian atau
Shang Ti) yang disebut Tian Dao.
Kesemua ajaran Konfusianisme terdapat dalam kitab yang empat (Su Si) maupun
kitab yang lima ( Ngo King). [4]
Menurut
William Theodore de Bray, sebagaimana dikutip Singgih Basuki, inti ajaran
Konghucu itu ada dua, yaitu:[5]
1.
Hsiao, adalah hubungan dalarn kehidupan duniawi yang dirumuskan dalam lima
konsep hubungan yaitu: hubungan anak dengan bapak, isteri dengan suami, saudara
bungsu dengan saudara sulung, karyawan dengan majikan serta rakyat dengan raja.
Pihak pertama dalam konsep hubungan tersebut harus bersikap hormat atau Hsiao
pada pihak kedua: “Kewajiban anak dan kewajiban bapak adalah asas bagi kemanusiaan
yang baik” (Lun Yu, 1:2).
2.
Shu, adalah masalah timbal balik dari pihak atasan terhadap bawahan dalam lima
jenis hubungan sosial tersebut. Untuk mengirnbangi pihak bawahan yang bersikap
hormat, pihak atasan harus bersikap asih dan adil: “Apa yang kamu tidak
inginkan dilakukan orang terhadapmu, jangan lakukan terhadap orang lain”. (Lun
Yu, 15:23).
Jadi,
pola pernikiran di atas berperan besar dalam membentuk peradaban Tiongkok selama
25 abad, di mana banyak mempengaruhi cara hidup bangsa Tiongkok, Korea, Jepang
dan Vietnam. Semenjak 800 tahun terakhir ini, kitab-kitab klasik agama
Khonghucu dijadikan sebagai dasar pendidikan bagi anak-anak sekolah di
Tiongkok.
Kitab
Suci dalam Konghucu
Kitab suci tertua dalam Konghucu berasal dari zaman Raja
Suci Giau (2357-2255 SM) atau bahkan sejak zaman Fu Xi (3000 SM). Adapun yang
termuda ditulis oleh murid Kongzi yaitu Bingcu (wafat 289 SM) yang menjabarkan
dan meluruskan ajaran Kongzi yang waktu itu banyak terselewengkan. Lalu ada kitab
suci yang berasal dari Nabi Purba sebelum Kongzi ditambah Chunqiujing (Kitab atau catatan zaman Cun Ciu/musim semi dan musim
gugur) yang ditulis ulang sendiri oleh Kongzi sesuai wahyu dari Thian dalam sebuah kitab yang disebut Wujing. Beberapa saat sebelum wafat,
nabi Kongzi mempersembahkan Wujing
dalam persembahyangan kepada Thian. Hingga, akhirnya kitab-kitab tersebut
disempurnakan dan dihimpun menjadi kitab suci yang pokok, kini disebut Ngo King (Kitab Suci Yang Lima)
Sedangkan ajaran-ajaran Khonghucu yang dibukukan oleh para muridnya dan
dipertegas oleh Bingcu, terhimpun dalam Su
Si (Kitab Suci Yang Empat).
- Kitab Su Si/ Se Shu
Kitab ini aslinya berbahasa Mandarin (bahasa
nasional Tiongkok) kini sudah diterjemahkan oleh MATAKIN ke dalam bahasa
Indonesia. Bersama kitab Ngo King, kitab berbahasa Tiongkok mulai tahun 1966
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang rohaniawan agama
Khonghucu yang berkedudukan di Solo Jawa Tengah yaitu Haksu Tjhie Thay Ing,
bekerjasama dengan MATAKIN. Pada sampul depan tertulis Pat Sing Ciam Kwi
(delapan pengakuan Iman) dari agama Khonghucu. Untuk kitab Su Si ini ada 823
halaman yang merupakan himpunan empat buah kitab yaitu: Thai Hak/Ta Sie (Ajaran
Besar), Tiong Yong/ Cung Yung (Tengah Sempurna), Luen Gi/Luen Yu(Sabda Suci)
serta Bing Cu/Meng Ce.
1. Thai Hak/Ta
Sie (Ajaran Besar)
Kitab ini dibukukan oleh murid Khonghucu yang
terpandai dari angkatan muda yaitu Cingcu/ Cing Cham/Ching Zi. Kitab ini
merupakan panduan pembinaan diri yang berisi tentang etika dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Dalam Kata Pengantar kitab tersebut
dikatakan bahwa Thai Hak adalah kitab warisan mulia kaum Khong, yang merupakan
ajaran permulaan untuk memasuki pintu gerbang kebajikan. Kitab ini menunjukkan
cara belajar orang-orang pada zaman dahulu. Kitab ini terdiri dari 10 bab.
Dimulai dari Bab Utama yang terdiri dari 9 ayat; Bab I (4 ayat); Bab II (4 ayat);
Bab III (5 ayat); Bab IV (1 ayat); Bab V (3 ayat); Bab VI (4 ayat); Bab VII (3
ayat); Bab VIII (3 ayat); Bab IX (9 ayat); Bab X (23 ayat).
2. Tiong Yong/
Cung Yung (Tengah Sempurna)
Sebagaimana di dalam kata pengantar Su Si kitab ini
dinamakan “Tengah Sempurna”.Maksudnya, “tengah” artinya “tepat sasaran”. “jalan
yang lurus di dunia”, sedangkan “sempurna” maksudnya adalah “hukum tetap
dunia”. Maka “Tengah Sempurna” dapat juga diartikan berbuat sesuai/harmonis
dengan hukum alam. Kitab Tiong Yang ini terdiri dari 32 bab yang diberi
tambahan bab utama. Penulis kitab ini adalah cucu Khonghucu bernama Cu Su atau
Kong Khiep yang kemudian dirapikan oleh Cu Hi. Kitab ini memuat ajaran keimanan
dalam agama Khonghucu, yaitu: iman pada Tuhan Yang Maha Esa, FirmanNya tentang
manusia, Watak Sejati, Jalan Suci serta peranan agama. Di samping itu juga
memuat tentang ajaran Kuncu atau
manusia yang susila (susilawan).
3. Lun
Gie/Luen Yu (Sabda Suci)
Kitab ini dikenal juga dengan The Analects merupakan kumpulan tulisan tentang sabda Khonghucu
yang disusun murid-murid Khonghucu setelah dia wafat. Kitab ini berisi
percakapan Khonghucu serta para muridnya, tentang orang-orang pada zaman
tersebut serta peri kehidupan Khonghucu sehari-hari. Secara umum kitab ini
terbagi dalam 20 jilid. Isi kitab ini semisal bab: 1. Hak Ji (belajar), 2. Wi Cing
(pemerintahan), 3. Pat Let (Tarian
atau seni), 4. Li Jien (Cinta kasih),
dan bab lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Luen Yu ini memuat hal-hal
yang berkaitan dengan pernbicaraan dan nasehat Khonghucu ke muridnya yang
berkaitan dengan kondisi saat itu.
4. Bing
Cu/Meng Ce
Kitab ini dinamakan Bing Cu karena bagian pertama
dari kitab ini banyak memuat pembicaraan Bing Cu saat menemui raja Hwi dari
negeri Liang dalam rangka menyebarkan dan mengajarkan ajaran Khonghucu. Kitab
ini berisi pokok-pokok dan uraian yang mendalam tentang Konfusianisme yang
ditulis oleh Bing Cu (Mencius). Mencius adalah seorang penganut agama Khonghucu
yang hidup secara terpisah dengan zaman Khonghucu yaitu 372-289 SM. Fungsi
kitab ini menegaskan dan meluruskan tafsir agama Khonghucu dalam memerangi
penyelewengan. Sebagaimana prinsip Mencius adalah mengungkapkan cinta kasih dan
kebenaran, menebarkan jalan suci, kebajikan dan mengakui Tuhan Yang Maha Esa
(Thian).
B. Kitab Ngo King/ Wu
Cing (Lima Kitab)
Kitab Ngo King/ Wu Cing
ini menjadi sumber ajaran utama umat Khonghucu selain kitab Suci Su Si,
sebagaimana disinggung di atas. Adapun isinya térdiri dari lima kitab, yaitu:
1. Si King/She
Cing (Sanjak)
Kitab ini terdiri dari 305 syair, di antaranya ada
yang sudah ada sebelum kelahiran Khonghucu. Isi syair tersebut adalah merupakan
pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memuat berbagai tradisi dan kehidupan
rakyat. Secara umum kitab ini terbagi menjadi empat bagian nyanyian/ pujian
untuk mengiringi upacara ibadah yaitu: 1) Kok Hong (nyanyian rakyat dari
berbagai negeri), terdiri dari 160 sanjak, 2) Siau Nge (nyanyian atau pujian kecil),
terdiri dari 80 sanjak, 3) Tai Nge (nyanyian atau pujian besar), terdiri dari
31 sanjak, dan 4) Siong (nyanyian pujian), digunakan untuk mengiringi berbagai
upacara sembahyangan.
2.
Su King/Su Cing (Dokumentasi)
Kitab ini berisikan teks-teks dokumentasi sabda,
peraturan, nasehat dan maklumat para nabi dan raja-raja suci masa Tiongkok
Purba. Kitab tertua berasal dari zaman sekitar abad 23 SM. Sedangkan paling
akhir berasal dari dinasti Ciu pada abad 6 SM.
3. Ya King/ I
Cing (Perubahan)
Kitab ini tersusun sebelum Khonghucu lahir, berisi
tanda-tanda dari gambar delapan diagram (Pat Kwa) yaitu wahyu tentang Hoo Tho
(gambar ajaib yang timbul pada tempurung kura-kura yang muncul dari sungai
besar, yang diperoleh raja Hok Hi ketika memperhatikan garis-garis guratan pada
punggung kura-kura tersebut. Kitab ini berisi unsur-unsur ilmu pengetahuan yang
banyak menentukan perubahan-perubahan penting bagi perubahan zaman. Kitab ini
mempunyai nilai universal, berisi ajaran tentang penjadian alam semesta. Dengan
menghayati kitab ini, umat Khonghucu dapat menyingkap tabir kuasa Tuhan dengan
segala aspeknya.
4. Lee King
(Kesusilaan dan Peribadatan)
Kitab ini terdiri dari tiga bagian:1). Gi Lee atau
tata peribadatan, 2). Ciu Lee atau kesusilaan dinasti Ciu, 3). Lee Ki atau
catatan kesusilaan yang ditulis oleh murid dan pengikut Khonghucu.
5. Chun Chiu
King/ Ch'uen Ch'iu (Hikayat zaman Chun Chiu)
Kitab ini memuat catatan-catatan kronik sejarah
zaman Chun Chiu (musim semi dan musim gugur) di antara tahun 722-481 SM yang
disusun oleh Khonghucu. Isi kitab ini adalah segala macam penilaian dan komentar
Khonghucu atas berbagai peristiwa pada zamannya.
Sumber : semua
materi dikutip dari A. Singgih Basuki. Sejarah,
Etika dan Teologi Agama Konghucu. (Yogyakarta: SUKA Press, 2014). hlm.
105-112.
KONSEP
KETUHANAN AGAMA KHONGHUCU
Tuhan
Yang Maha Esa di dalam ajaran Konfusianisme dikenal dengan sebutan Thien/Thian.
Di dalam kitab-kitab Konfusianisme, terdapat banyak ayat atau bagian yang
memuat tentang Tuhan Yang Maha Esa. Di antaranya terdapat dalam kitab Tiong
Yong/Cung Yun (Tengah Sempurna) Bab Utama pasal 1 terdapat konsep keimanan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa: “Firman Thian itulah yang dinamakan Watak Sejati,
Berbuat mengikuti watak Sejati itulah dinamakan Jalan Suci, Bimbingan menempuh
jalan suci itulah yang dinamakan Agarna”.
`Lalu ada istilah Thian
dan Shang
Ti di dalam Kitab Sanjak dan Kitab Hikayat (Su Keng /Su Cing) disebut
berulang kali. Di dalam kedua kitab tersebut, istilah Thian disebut sebanyak 85
kali dan istilah Shang Ti disebut 336 kali. Hal ini telah membuktikan bahwa
Konfusianisme mempunyai konsep ketuhanan yang theistik. Berikut beberapa istilah
Thien/Tuhan Yang Maha Esa dapat dilihat dalam berbagai Kitab Suci Ngo King
maupun Su Si sebagaimana berikut:
a. Kitab Suci She Cing
Dalam kitab She Cing
atau Kitab Puisi, ada beberapa syair yang membicarakan tentang Tuhan Yang Maha
Esa, di antaranya sebagai berikut:
“Kekuasaan dan bimbingan dari Thian sangat
luas dan dalam hal ini di luar jangkauan suara, sentuhan atau penciuman” (She
cing IV Wen Wang 1/7).
“Oh betapa besarnya
Shang Ti (Tuhan Yang Maha Esa), Berkahnya dicurahkan ke bumi. Dengan pandangan
yang menyeluruh, dengan perhatian yang seksama, mengatur segala mahluk di dunia
agar hidup berkecukupan” (She Cing IV Thang 1/1).
b. Dalam kitab Lun Yu/
Lun Gi (Sabda Suci) atau Analects Confucius (Ajaran Khonghucu dan
murid-muridnya), di antaranya:
“Aku tidak menggerutu
pada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku hanya belajar dari tempat
terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi. Thien-lah yang mengenal
diriku”. (Lun Gi XIV:35).
“Apakah Thien
berbicara? Empat musim beredar dan segenap mahluk tumbuh dan hidup. Apakah
Thien berbicara?” (Lun Gi XVII:17).
“Seorang budiman yang berwatak
luhur memuliakan tiga hal: memuliakan Firman Thian/Thien, memuliakan
orang-orang besar yang berbudi luhur, dan memuliakan kata-kata yang diucapkan
oleh orang-orang besar yang berbudi luhur”. (Luen Yu Pasal XVI ayat 8).
c. Kitab Suci Tai Hak (Ajaran Besar)
Di dalam Kitab Sanjak
tertulis, “sebelum kerajaan Len kehilangan kedaulatannya laksana di bawah
pimpinan Tuhan Yang Maha Tinggi (Siang Tee). Baiklah orang meneladani kerajaan
Len dan insaf betapa sukar mendapatkan firman yang mulia itu, maka dikatakan
yang mendapat (hati) rakyat akan mendapatkan negara, yang kehilangan (hati)
rakyat, akan kehilangan negara.” (Tai Hak, X:5).
d. Kitab Suci Tiong Yong (Tengah Sempurna)
“Firman Thian (Tuhan Yang Maha Esa) itulah dinamai
watak sejati. Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh jalan suci.
Bimbingan menempuh jalan suci itulah dinamai agama”. (Tiong Yong, Bab Utama:
1).
e. Kitab Suci Bing Cu/Meng Ce (Mencius)
‘‘Dengan tiada musuhnya di dunia ini berarti ia
berlaku sebagai menteri atau pembantu Tuhan Yang Maha Esa (Thian). Kalau sudah
demikian tetapi tidak dapat juga menjadi raja Besar, itu belum pernah ada”.
(Bing Cu, II 4, 5, 6).
“Apa yang tidak kita lakukan, tetapi terjadi, itulah
kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang kita cari tetapi dapat tercapai, itulah
firman (karunia)”. (Bing Cu VA, 6: 2).
Selain itu, dalam konsepsi ketuhanan Konfusianisme
juga dikenal istilah Thian Li dan Thian Ming yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Thian Li
Thian
adalah Tuhan Yang Maha Esa atau sesuatu yang absolut, yang mutlak dan tidak
dijadikan oleh siapapun. Segala sesuatu yang berada di alam semesta ini
berjalan menurut hukum-hukumnya. Pengaturan hukurn-hukum tersebut inilah
disebut Thian Li atau kebenaran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia
harus berusaha untuk mengolah batinnya dan memperbaiki sifat-sifat buruknya
agar berjalan selaras dengan Thian Li. Karena itu, Thian Li bukanlah nama lain
dari Thian tetapi bisa diartikan sebagai firman Tuhan atau hukum-hukum dan
aturan yang berasal dari Thian.
b. Thian Ming
Thien
Ming berarti sesuatu yang telah dijadikan atau sesuatu yang bergerak menurut
hukum-hukumnya dan sumber yang absolut adalah Thien. Demikianlah, maka manusia
dalam kehidupannya menghadapi penderitaan, kematian, kesenangan, kekayaan dan
kemiskinan yang semuanya datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bukan berarti
bahwa manusia harus menerimanya sebagai sesuatu yang fatal atau memarahi Yang
Maha Esa, tetapi sebaliknya setiap manusia harus berusaha untuk mengolah
batinnya dan melaksanakan tugas-tugasnya. Siapa yang gagal dalam melaksanakan
tugasnya, berarti dia akan kehilangan mandat (amanat atau tugas). Sedangkan
seseorang yang dapat menumbuhkembangkan kebajikan akan bisa hidup harmonis dan
sukses hidupnya.
Lalu,
dilihat latar belakang tradisi kepercayaan masyarakat Tiongkok Kuno pada saat
hidupnya Khonghucu. Pada kira-kira seribu tahun SM, pandangan hidup bangsa
Tiongkok kuno senantiasa terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan. Kedua
unsur itu adalah langit dan bumi yang selalu berkesinambungan. Maksud langit
dan bumi di sini bukan dalam arti flsiknya melainkan pribadi yang mendiami
kedua-duanya. Orang yang mendiami langit diyakini adalah arwah nenek moyangnya
(Ti)
yang telah lama meninggal dunia. Mereka itu diperintah oleh seorang nenek
moyang yang tertinggi (Shang Ti). Mereka ini akan diikuti
oleh para anggota keluarganya yang masih ada di bumi. Langit dan bumi ini
saling berhubungan satu dengan lainnya. Langit mengendalikan kesejahteraan
bumi, sementara itu bumi melaporkan semua kegiatannya pada langit. Di antara
langit dan bumi, yang paling penting adalah langit karena penduduknya lebih
terhormat, mulia dan kekuasaannya lebih besar. Oleh karena penduduk langit
menuntut penghormatan pada penduduk bumi dan menguasai pikirannya.
Maka,
sesuai keyakinan penganut Konfusianisme, segala sesuatu yang ada di alam
semesta terdiri dari dua prinsip yang saling bertentangan yaitu Yin (prinsip
feminis) dan Yang (prinsip maskulin). Sifat feminis adalah hal-hal yang
bersifat menerima dan menghasilkan, sedangkan sifat maskulin adalah hal-hal
yang bersifat aktif dan keras hati. Untuk kesenangan pribadi dan sosial, kedua
unsur ini harus dijaga keseimbangannya. Oleh karena adanya saling
ketergantungan, hubungan antara langit dan bumi ini ditentukan oleh kebutuhan.
Cara terbaik bagi bumi untuk berbicara dengan langit adalah dengan korban.
Keinginan untuk membagi rezeki di bumi kepada orang yang telah meninggal dunia
adalah bukan saja dipandang bijaksana tetapi juga merupakan suatu hal yang
bersifat alamiah. Hakekat rezeki akan sampai kepada mereka melalui asap api
korban yang membubung naik ke langit.
Sumber: A. Singgih
Basuki. Sejarah, Etika dan Teologi Agama
Khonghucu. (Yogyakarta: SUKA Press, 2014). hlm. 82-88.
Mazhab
dan Murid Khonghucu
1.
Mazhab
Dalam
alam pikiran Cina, kita tahu terdapat dua ajaran utama, yakni Taoisme dan
Konfusianisme. Namun sebenarnya, dua ajaran merupakan ajaran diantara dari
berbagai mazhab yang ada dari abad 3-5 SM, yang dikatakan dalam periode ini ada
banyak mazhab. Oleh karena saking banyaknya maka periode ini disebut periode
“mazhab yang seratus”. Namun, setelah periode mazhab seratus, ada seorang
bernama Ssu-ma Tan (meninggal 110 SM) bersama ayahnya dalam buku Shi Chi atau
catatan-catatan sejarah, telah membagi mazhab-mazhab menjadi enam kategori 6
mazhab yakni:
Pertama,
mazhab Yin-Yang, yang merupakan mazhab para penganut kosmologisme. Di mana
ajarannya berkisar pada dua prinsip yakni Yin dan Yang. Yin adalah prinsip
feminin dan Yang adalah maskulin, di mana dua kombinasi dan interaksi ini
dipercaya bangsa Cina merupakan fenomena yang menghasilkan seluruh yang ada di
alam semesta.
Kedua,mazhab
Ju Chia atau mazhab cendikiawan. Dalam pandangan Barat, mazhab ini disebut
sebagai mazhab Konfusianisme. Walau sesungguhnya tidak hanya Konghucu, pengikut
mazhab ini adalah para sarjana dan pemikir, dimana merupakan para gur
kebudayaan Kuno dan pewaris kebudayaan kuno.
Ketiga,
mazhab Mo Chia atau Mazhab Mo. Mazhab ini memiliki organisasi yang ketat dan
disiplin keras di bawah pimpinan Mo Tzu. Walau dalam kenyataannya para pengikut
mazhab ini menyebut sebagai penganut Mohisme.
Keempat,
mazhab Ming Chia atau mazhab nama-nama. Para pengikut mazhab ini memiliki
perhatian pada perbedaan dan hubungan antara apa yang mereka sebut dengan “nama-nama”
dan “aktualitas-aktualitas”.
Kelima, Fa Chia atau mazhab penganut Legalisme. Fa
sendiri berarti pola atau hukum, jadi mazhab ini dianut para negarawan yang
berpendapat pemerintah yang baik harus didasrkan sistem hukum tertentu yang
sifatnya tetap, dan bukan berdasarkan atas sekedar institusi-institusi moral.
Terakhir,
Tao Te Chia atau mazhab jalan dan kekeuatannya. Para penganut mazhab ini
memusatkan metafisika dan filsafat sosial, seperti konsep Yang-Tiada, yaitu Tao
atau jalan, dan pengkonsentrasian dalam diri setiap individu sebagai kebajikan
kodrati manusia, lalu konsep Te atau kebaikan, tetapi ditekankan sebagai
kekuatan yang sudah ada dalam diri setiap individu. Di mana dalam pandangan
Barat, mazhab ini disebut Tao yang dalam Barat kurang dibedakan dengan agama
Tao dari pemikiran Lao Tse.
2.
Murid Khonghucu
a. Mencius/
Meng Tse (379-289 SM)
Mencius dikenal sebagai filosof
Konfusianis, sebagai pengganti dan penerus Konghucu, sebagai pemikir besar pada
zamannya dan penafsir terbesar agama Khonghucu. Ajaran-ajarannya tertuang dalam
Book of Mencius, dia juga dijuluki “the Second Sage” atau manusia bijak kedua
setelah khonghucu. Ia hidup setelah 300 tahun kematian Khonghucu. Menurut
catatan dinasti Han yang berjudul “catatan-catatan sejarah” mencius adalah
salah satu penerus dari tradisi khonghucu disamping penerus lain Hun Tsu.
Selain ide politik atau kenegaraannya
yang serupa dengan Khonghucu, Mencius memiliki pandangan tentang kodrat manusia
(Hsing) yang pada masa Konghucu tidak terlalu diperhatikan, di mana pada masa
Mencius ada 3 pandangan: 1) pada dasarnya manusia itu tidak baik dan buruk, 2)
pada dasarnya manusia itu baik dan buruk, 3) sebagian manusia pada dasrnya baik
dan sebagian lagi buruk. Lalu di sini Mencius terlihat menekankan pada pandangan
kedua yang menyatakan manusia itu baik dan buruk. Menurutnya manusia memiliki
pengetahuan bawaan yang baik dan kemampuan bawaan untuk berbuat baik yang tiada
lain merupakan pemberian Thian. Namun, jika elemen yang baik dan buruk tidak
dapat dikontrol dengan semestinya, maka akan muncul dan berkembang menjadi
jahat.
b. Hun
Tzu (300 SM)
Hun Tsu belajar filsafat di negeri Ch’I
dan sebagai sarjana memiliki jabatan di istana. Dia dianggap memiliki pemikiran
yang berbeda dari Mencius, sebuah antitesis pemikiran Mencius mengenai kodrat
manusia. Kalau Mencius menekankan kebebasan individual dn menghargai
nilai-nilai super moral sehingga lebih dekat dengan agama. Maka, Hun Tsu
menekankan kontrol sosial, juga dia berbicara mengenai naturalisme yang sering
bertentangan dengan pemikiran agama manapun. Hun Tsu adalah penerus yang
realisitik.
Di mana ia tidak percaya adanya Tien dan melihat
Tien bukan sebagai pribadi Tuhan. menurutnya Tien adalah hukum alam yang tidak
berubah sebagaimana halnya bintang-bintang, peputaran musim-musim, siklus alam
dan sebagainya merupakan hukm yang besar. Menurutnya Tien tidaklah bertanggung
jawab atas apa yang menimpa manusia. Karena, jika manusia memiliki sandang dan
pangan bersifat ekonomis maka Tien tidaklah membuat negara miskin. Bila manusia
terus bekerja keras dengan memadai sesuai musimnya, maka Tien tidaklah menimpa
rakyat. Maka, dia terlihat tidak mempercayai takhayul, ilmu firasat maupun
ramalan. Sehingga berbeda dengan Mencius, ia melihat kodrat manusia adalah pada
dasarnya jahat. Karena seorang menjadi baik karena mendapatkan kerja keras,
latihan-latihan dan lingkungannya. Menurutnya pula, manusia lahir membawa sifat
kesukaan atas keuntungan. Jika kesukaan ini diikuti, maka manusia akan terus
bertengkar dan rakus, tidak peduli orang lain.
Upacara,
Kebaktian dan Hari Raya dalam Konghucu
1.
Upacara
Dalam
kepercayaan Cina purba, langit dan bumi saling berkaitan dan senantiasa
berhubungan satu dengan yang lainnya. Tapi langit mengendalikan kesejahteraan
bumi. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan bumi, digunakanlah sarana korba
untuk meminta hujan kepada langit. Maka dalam hal ini, langit menjadi lebih
penting, terhormat, dan lebih besar kekuasaannya sehingga bisa menuntut
penghormatan kepada bumi. Korban adalah suatu cara yang paling konkret bagi
bumi untuk berbicara kepada langit. Akan tetapi lebih jauh, ritual-ritual
Tingkok kuno ditujukan tidak hanya berperan penting dalam keagamaan, tetapi
juga dalam kehidupan sosial orang-orang Tiongkok. Diketahui selama masa dinasti
Chou, ritual diupayakan untuk menjamin pelaksanaan upacara-upacara secara tepat
dalam rangka pemujaan dewa-dewa dan roh-roh leluhur. Lalu menandainya dalam
proses kelahiran, pernikahan, kematian dan saat berkabung dalam kehidupan
pribadi. Selain itu, mereka membuat ketetapan-ketetapan untuk mengatur hubungan
timbal balik dalam masyarakat feodal. Di sini, ibadah kurban dan upacara
dikaitkan erat dengan pemerintahan negara dan kesejahteraan setiap klan di
masyarakat. Lalu pada masa Khonghucu, menurut ajaran Khonghucu, dikatakan Li
(ritual) membimbing hidup manusia, mencegah kecenderungan kepada kejahatan dan
menjamin hubungan yang selaras antar manusia dalam masyarakat. [1]
Kini, dalam konteks agama Konghucu di Indonesia akan dijelaskan mengenai
upacara perkawinan dan kematian.
Upacara Perkawinan,
upacara perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia tentunya tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai budaya masyarakat Tingkok keturunan serta
nilai-nilai agama yang mereka yakini kebenarannya. Dasr ajaran perkawinan tentu
bisa dilihat dalam kitab Su Si maupun kitab Lee Ki/kitab kesusilaan,
diantarannya misalnya dalam Lee Kii XXVII: 3, “ Bila tidak ada keselarasan
langit dan bumi, tak akan tumbuh segenap kehidupan. Upacara pernikahan adalah
pangkal peradaban jaman, dia bermaksud memadukan benih-benih kebaikan dua jenis
manusia yang berlainan keluarga untuk melanjutkan ajaran-ajaran suci para nabi,
ke atas untuk memuliakan Thian, Tuhan Yang Maha Esa, mengabdikan diri pada
leluhur dan ke bawah untuk meneruskan keturunan. Maka seseorang paripurna
memuliakannya”. Sehingga dalam dalam Munas Rohaniawan agama Khonghucu se
Indonesia tahun 1975, ditetapkan pernikahan adalah suatu tugas suci manusia
yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan
benih-benih firman Thian (Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajiakan yang
bersemayam di dalam dirinya serta selanjutnya memungkinkan manusia membimbing
putra-putrinya.
Lalu
konteks Indonesia, sebagaimana telah diatur pula pernikahan dalam Konghucu
dengan persyaratan: sudah cukup umur (wanita minimal 16 tahun, laki-laki 19
tahun), persetujuan kedua calon mempelai, tidak terikat dengan rumah tangga
lain. Di mana diwajibkan pula melaksanakan pengakuan iman (ada 8 pengakuan)
yang diteguhkan di Lithang, dan mendapat persetujuan kedua orang tua dan harus
ada saksi. Disamping itu, sebagaimana upacara pernikahan, dalam Khonghucu juga
ada upacara pra-perkawinan: melamar, ikatan pertunangan serta penentuan hari
pernikahan. Lalu saat menjelang hari pernikahan ada pula kegiatan baik di rumah
ataupun Lithang yaitu: mempersiapkan tempat upacara pernikahan, melakukan
sembahyang kepada Thian serta melakukan upacara Cio Thau: sembahyang kepada
Thian, Nabi Khonghucu serta roh leluhur. Hingga upacara peneguhan pernikahan
ditempat yang telah dipersiapkan yakni ada di rumah keluarga dan di tempat
ibadah/Lithang. Terakhir, pasca pernikahan pun ada kegiatan semacam bulan madu,
yakni upacara pulang tiga hari serta pulang sebulan.
Upacara kematian,
dalam ajarannya diyakini orang mati yang semasa hidupnya mampu hidup sesuai
watak sejatinya. Rohnya menjadi Sheng: “orang yang sepenuh hati menempuh jalan
suci, lalu mati, dia lurus di dalam firman” (Bingcu VII. A), lalu Sheng naik ke
surga dan immortal, artinya hidup abadi di alam surga/ Sian Thian di samping
Tuhan. sebaliknya orang yang berlumuran dosa, mengingkari jalan suci, rohnya
akan menjadi kuei/hantu dan turun ke neraka. Dalam konteks Indonesia, kini
secara umum upacara kematian Khonghucu ditujukan untuk mendoakan orang yang
telah meninggal suapaya rohnya mendapat ketenangan dan kedamaian di tempat
abadi. Lalu untuk menunjukkan rasa bakti seorang anak terhadap orang tua.
Dalam
upacarannya sendiri dianjurkan sebagaimana dalam kitab suci Lun Gi jilid III A:
4/3, “Di dalam upacara, daripada mewah menyolok, lebih baik sederhana. Di dalam
upacara duka, daripada meributkan perlengkapan upacara, lebih baik ada rasa
sedih yang benar”. Kini dalam agama Khonghucu, sejak seseorang meninggal tiga
tahun masa pengkabungan, telah ada 7 bentuk rangkaian upacara: 1) upacara
memasukan jenazah ke dalam peti (Jib Bok), 2) upacara malam menjelang
pemberangkatan jenazah (Mai Song), 3) upacara pemberangkatan jenazah (Sang
Cong), 4) upacara pemakamam jenazah (Jib Gong), 5) upacara membelik meja (Peng
Tuh atau Ki Hok), 6) Upacara satu tahun (Siau Siang), dan 7) upacara tiga tahun
(Tai Siang).
2.
Kebaktian
Dalam
kebaktian Khonghucu, kebaktian berbentuk sembahyang yang dilakukan oleh umat
Khonghucu setiap hari ketika mendapatkan rezeki pada pagi, siang dan sore
sesaat sebelum makan sebagai ucapan syukur. Sembahyang ini dilakukan di depan
meja sembahyang (altar) yang terdapat di setiap rumah. Meja sembahyang ini pada
umumnya diletakkan di ruang tamu. Di samping itu, mereka melakukan sembahyang
atau Thiam Hio kepada Thian setiap tanggal, 1 dan 15 penanggalan Imlek/ Lunar
pada setiap bulan. Sembahyang ini bisa dilakukan di depan altar keluarga maupun
di tempat ibadah umum (Litang). Dalam
rangka kebaktian kepada Thian, umat Khonghucu juga dianjurkan berpuasa yaitu
dengan berpantang makan daging pada setiap tanggal 1 dan 15 dari penanggalan
Imlek / Lunar. Sementara itu, untuk puasa wajib, dilaksanakan pada hari ke 3
setelah tahun baru Imlek dalam rangka menyongsong sembahyang besar pada Tuhan
Yang Maha Esa pada malam tanggal 5 April.
Selain
sembahyang seperti di atas, umat Khonghucu juga melakukan sembahyang besar pada
hati-hari kemuliaan Thian, yaitu:
1)
Sembahyang malam penutupan tahun/ malam menjelang Gwam Tan.
2)
Sembahyang King Thi Kong pada tanggal 8 menjelang tanggal 9 Cia Gwee (bulan
pertama).
3)
Sembahyang saat Siang Gwan atau Cap Go Meh , 15 Cia Gwee (bulan pertama).
4)
Sembahyang hari Tangcik (hari di mana letak matahari tepat di atas garis balik
23,5 Lintang Selatan), yakni tepat tanggal 22 Desember.
Juga
ada Kebaktian pada Nabi , seperti Peringatan hari lahir nabi Khonghucu tanggal
27-8 Imlek/ Ci Sing Tan, peringatan hari wafat nabi Khonghucu tanggal 18-2
Imlek/ Ci Sing Ki Sien, peringatan hari Genta Rohani/Bok Tok setiap tanggal 22
Desember. Lalu ada pula Kebaktian pada
Orang-orang Suci, semisal kebaktian yang dilaksanakan pada hari Twan Yang, Twan
artinya lurus, terkemuka, terang. Yang artinya sifat positif atau matahari,
jadi maksudnya hari ketika matahari memancarkan cahaya paling panas yaitu pada
tanggal 5-5 Imlek. Disamping ada kebaktian untuk roh leluhur dan sembahyang
kemasyarakatan, semisal King Ho Ping atau sembahyang untuk arwah pada tanggal
29- pada 7 imlek dan sembahyang pada hari persaudaraan/ hari kenaikan malaikat
dapur pada tanggal 24- 12 imlek.
3.
Hari
Raya
Hari
raya yang diperingati setiap tahun dalam agama Khonghucu di Indonesia menurut
ketentuan MATAKIN paling tidak ada 14 jenis perayaan: 1) 1 bulan I (Zheng Yue)-
tahun baru KongZi/Yin Li/Yin Zeng- imlek,
2) 4 bulan I Menyambut turunnya Malaekat Dapur / Chao Chun, 3) 8/9 bulan
I Jin Tian Gong/ King Thi Kong: Sembahyang Besar kepada Tuhan Yang Maha Esa, 4)
15 bulan I Shang Yuan /Yuan Xiao /Cap Go Meh /Festival Lampion, 5) 18 bulan II
-(Erl Yue) -hari Wafat Nabi Kongzi (Zhi Sheng Ji Zhen), 6) 5 April Ching Bing
hari Sadranan/ Ziarah, 7) 5 bulan V (Wu Yue) Duan Yang /Duang Wu /Bai Chun -Peh
Cun /Lomba Perahu Dayung, 8) 29 bulan VII -King Ho Ping atau Sembahyang Arwah
Umum, 9) 15 bulan VII Oi Yue) -Jing He Ping/ Jing Hao Peng /Sembahyang Arwah
Leluhur, 10) 15 bulan VIII (Ba Yue) Zhong Qiu (Sembahyang Purnama Raya), 11) 27
bulan VIII (Ba Yue) Zhi Sheng Dan (hari Lahir nabi Kongzi), 12) 15 bulan X -Xia
Yuan -Sembahyang Besar Malaekat Bumi, 13) 22 Desember Dong Zhi/Tang Cik/Bok Tok
(hari Genta Rohani), dan 14) 24 bulan XII (Shi Erl Yue) hari Persaudaraan dan
Naiknya Malaekat Dapur (Chao Chun).
Dalam
hal ini sebenarnya, semisal perayaan Imlek merupakan tradisi masyarakat
Tionghoa yang sudah ada sejak sebelum Khonghucu lahir. Begitu pula sejak
sebelum Imlek diakui sebagai hari besar agama Khonghucu di Indonesia maupun
sesudahnya, perayaan Imlek juga menjadi perdebatan apakah sesungguhnya
merupakan sebuah ritus agama atau upacara tradisional/ budaya masyarakat
Tionghoa. Terlepas itu, MATAKIN telah menetapkan bahwa perayaan Imlek merupakan
salah satu dari hari raya keagamaan bagi umat Khonghucu di Indonesia.
Kini,
perayaan Imlek adalah sebuah kegiatan “pesta musim semi” atau Chun Cie yang
menandai pergantian musim di Tiongkok dari musim dingin yang suram menjadi
musim semi yang cerah, sejuk dan penuh harapan. Kebetulan pesta ini bertepatan
dengan pergantian sistem kalender Tiongkok memasuki perhitungan awal tahun baru
Imlek/Yinli berdasarkan sistem lunar atau peredaran bulan. Oleh karena itu maka
perayaan ini disebut dengan pesta musim semi Chunjie yang juga dikenal dengan
perayaan Imlek.
Sumber:
Singgih Basuki, Sejarah, Etika, dan Theologi Agama Khonghucu,
(Yogyakarta: Suka Press), hlm. 146-162.
[1]
Singgih Basuki, Sejarah, Etika, dan Theologi Agama Khonghucu, (Yogyakarta: Suka
Press), hlm. 139-140
Sejarah Agama Khonghucu
di Indonesia
Istilah Khonghucu atau
Kong Fu Zi yang dikenal di Indonesia dengan agama Khonghucu diambil dari dialek
Hokian (Fujian) yang berkembang di kalangan warga keturunan Tiongkok di pulau
Jawa. Adapun agama Khonghucu adalah agama yang yang mengajarkan suatu kelembutan
atau agama kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal
lebih awal 2500 tahun sebelum lahirnya Khonghucu. Sebutan resmi agama Khonghucu adalah Ru atau
Ru Jiao. Kong zi
(Hua Yu), Khongcu (Hokian), atau dalam bahasa latin dikenal dengan Confucius
adalah seorang nabi terakhir dalam agama Khonghucu, lahir pada tanggal 27 bulan
VIII tahun Imlek 0001/551 SM. Khonghucu diyakin sebagai nabi terbesar dalam
agama Khonghucu, sehingga banyak yang menamai Ru Jiao dengan Confuciusme, yang di Indonesia
disebut dengan agama Khonghucu.
Menurut Bunsu Candra Setiawan, dalam tulisan
Singgih Basuki, sejarah dan masuknya agama Khonghucu terbagi menjadi beberapa
zaman:
1. Zaman Akhir Pra-Sejarah
Berdasarkan bukti-bukti
yang ditemukannya benda bersejarah di berbagai daerah Indonesia membuktikan
bahwa eksistensi agama Khonghucu sudah ada sejak masa akhir pra-sejarah. Para
ahli menemukan bukti bahwa telah ada sejenis bangsa Indo Tiongkok pada tahun
300 SM. Mereka mengambil kebudayaan Neolitikum dari kebudayaan Tiongkok, dan
kemudian terjadi akulturasi
dan dikembangkan sendiri menjadi kebudayaan Dongson (Tongsan/Tengswa).
2. Zaman Hindu
Percampuran kebudayaan Dongson dan asli sudah
terjadi sedemikian rupa ketika orang-orang india datang di nusantara membawa
serta sistem budaya tradisi Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui bahwa pada
tahun 136 SM, agama Khonghucu ditetapkan sebagai agama resmi orang Tionghoa.
Sehingga orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia pada saat itu membawa
sistem budaya dan nilai-nilai keagamaan Khonghucu sebagaimana dilakukan oleh Fa
Hian (414) dan I Tsing (672 dan 685). Pada masa itu orang-orang Tiongkok sudah
tinggal diberbagai wilayah Indonesia dengan berbagai jenis mata pencaharian.
Orang-orang Tionghoa hidup sebagai pedagang terdapat di kota-kota pantai
seperti, Sriwijaya, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Giri, Ujung Pandang, dan Ternate. Sebagai petani di daerah Kalimantan Barat,
Bangka Belitung. Sebagai Nelayan terdapat di Bagan Siapi-api; sebagai tukang
kayu di Singkawang, Pontianak, dan sekitarnya.
3. Zaman Penjajahan
Seiring dengan
berjalannya waktu, agama Khonghucu tumbuh dan berkembang di Nusantara. Untuk
itu didirikanlah lembaga-lembaga agama Khonghucu seperti rumah abu untuk
menghormati arwah leluhur serta kelenteng sebagai rumah ibadah di berbagai
tempat dan wilayah di Indonesia. Seperti
pada tanggal 17 Maret 1900 didirikanlah lembaga
sosial kemasyarakatan agama Khonghucu pertama di Indonesia dengan nama Tiong
Hoa Hwee Kwan disingkat THHK di Batavia (Jakarta). Selain itu,
berdiri organisasi Khong Kauw Hwee di Solo pada tahun 1918. Kemudian menyebar
ke kota-kota di Indonesia seperti Bandung, Bogor,Malang, Ciamis dan lain-lainnya. Sebelumnya sudah ada lembaga semacam
pesantren pada tahun 1729 di Jakarta dengan nama Bing Sing Su Wen (Taman
Pendidikan Menggemilangkan Iman).
Dari berbagai sejarah lembaga Khonghucu ini,
dua peristiwa sejarah yang memiliki pengaruh besar yakni didirikannya lembaga
sosial kemasyarakatan agama Khonghucu/ THHK di Jakarta dan berdirinya
organisasi Khong Kauw Hwee di Solo.
Pertama, berdirinya THHK, menurut Kwee Tek Hoay, maksud dan tujuan berdirinya
adalah: 1) untuk membangkitkan budaya Tiongkok yang sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran nabi Khonghucu, membangkitkan dan mengembangkan etika
Khonghucu, serta meningkatkan pengetahuan bahasa Tiongkok dan mengkaji berbagai
literatur yang berhubungan dengan Khonghucu, 2) untuk membangun, mempertahankan
Batavia (Jakarta) dan tempat-tempat lain di Hindia Belanda. Untukmencapai
tujuan ini, minimal tiga tahun sekali diadakan pertemuan di beberapa tempat
untuk anggota THHK dalam rangka mendiskusikan beberapa hal terkait dengan
organisasi dan persoalan-persoalan lain untuk kepentingan umum dengan membangun
dan mempertahankan sekolah-sekolah. 3) menambah koleksi berbagai buku yang
berguna bagi kepentingan pengetahuan.
Kedua, berdirinya Khong Kauw Hwee di Solo tahun 1918. Di mana dalam rangka
memperingati ulang tahun organisasi ini pada 20 Februari tahun 1938 di seluruh Jawa. Telah terjadi kongres
penggabungan Khong Kauw Hwee di
seluruh Jawa pada 25 Desember 1938 yang menetapkan Solo sebagai pimpinan
pusatnya. Lalu pada 24 April 1940 juga diadakan kongres yang menghasilkan: 1)
agama Khonghucu harus berdasarkan kitab suci Su Si, dan semua sekolah Khong Kauw Hwee supaya mengajarkan
pelajaran kitab tersebut. 2) penyelenggaran upacara pernikahan dan kematian
supaya diteliti dan disesuaikan secara harmonis sesuai kebudayaan Indonesia.
Selanjutnya pada zaman
penjajahan Jepang, ditandai pecahnya perang dunia II tahun 1942, yang dibarengi
datangnya tentara jepang ke Indonesia, secara praktis aktivitas rohani Khong
Kauw Hwee terhenti. Banyak Litang/ Klenteng dipakai sebagai tempat penampungan
para pengungsi dari berbagai golongan, suku dan agama.
4. Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 11-12
Desember 1954 di Solo diadakan konferensi antar tokoh agama
Khonghucu membahas kemungkinan dihidupkan lagi Khong Kauw Hwee. Maka pada 16
April 1955 berhasil ditegakan pusat
lembaga tertinggi agama Khonghucu dengan nama “Perserikatan Chiao Hui
Indonesia” atau PKHCI. Semenjak itu lembaga itu terus berkembang dan mengadakan
Kongres di berbagai daerah. Pada
kongres IV di Solo nama PKHCI berubah menjadi Lembaga Sang Khongcu Indonesia
(LASKI). Pada kongres V, yang Juga di Solo, LASKI berubah jadi GAPASKI
(Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu Indonesia). pada kongres VI di Solo 23-27
Agustus 1967 GAPASKI disempurnakan menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia) serta
pada juli 1971 terbentuk pula MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) untuk
pembinaan di luar Jawa di beberapa daerah seperti Manado, Sambas (kalbar),
Ternate, Kisaran (sumut) dan lainnya. Hingga pada 1998, sudah terdapat 89 MAKIN
yang tersebar di Indonesia, baik di dalam mapun di luar Jawa.
Karena sebelumnya pada tahun 1965, keluar
penetapan Presiden No. 1/ Pn.Ps/1965 oleh presiden Soekarno tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan
atau penodaan agama. Dalam penjelasannya disebutkan
bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6
yaitu:Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha serta Khonghucu. Dengan demikian agama
Khonghucu pada era orde lama diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Meski, sejak era orde baru di bawah pemerintahan
presiden Soeharto. Pada tahun 1967 presiden mengeluarkan Inpres No.14 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap
agama, kepercayaan dan kebudayaan golongan etnis Tiongkok. Pada sidang kabinet
tanggal 27 Januari 1979 secara tegas dinyatakan Khonghucu bukanlah agama. Sejak
itu, status dan pelayanan umat Khonghucu terkait dengan administrasi
kependudukan dan pemerintahan tidak jelas.
Pada masa reformasi, agama Khonghucu memperoleh angin segar dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia. sejumlah tokoh nasional (Gus Dur, Amien
Rais dan lain-lain) serta organisasi sosial keagamaan, dalam hal ini
Muhammadiyah dalam sidang tanwir di Bandung 3-5 Desember 1999, mendorong
pemerintah untuk mengakui secara resmi agama Khonghucu sebagai agama resmi di
Indonesia. Harapan besar muncul bagi
umat Khonghucu saat pemerintahan RI di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang
mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967,digantikan dengan
Keputusan Presiden (Kepres) N.6 tahun 2000. Pemerintah juga menetapkan Imlek
sebagai hari Libur Nasional. Sejak itu, umat Khonghucu dapat merayakan Ibadah
dengan terbuka, seperti merayakan tahun baru Imlek.
TRIDHARMA
DI INDONESIA
Kata Tridharma secara harfiah berasal dari
kata tri yang berarti tiga dan dharma yang berarti kebenaran. Tiga kebenaran
yang dimaksud di sini adalah kebenaran yang diajarkan Sakyamuni Buddha
(Buddhisme), Khonghucu (Konfusianisme), dan Lao Tse (Taoisme). Di sini
tridharma bukanlah agama campuran ataupun sintesa dari ketiganya, tetapi agama
Buddha Mahayana yang mempelajari juga agama Khonghucu dan Taoisme. Di mana
tetap bersumber pada masing-masing kitab suci seperti Tripitaka, Ngo King
&Su Si dan Tao Te Cing. Buddha Mahayana mempelajari Konfucianisme dan
Laoisme, sebab aliran ini berkembang di Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea dan
Jepang. Dengan prinsip Boddhisatva, seorang Boddhisatva yakni orang yang secara
hakikat sudah mencapai nirwana, tetapi dengan suka rela bersedia mengorbankan
dirinya demi keselamatan manusia dan dunia pada umumnya. Oleh karenanya, aliran
ini lebih liberal dalam artian akomodatif terhadap pandangan dan pemikiran di
luar dari Buddha Gautama.
Di Indonesia, organisasi Tridharma atau Sam Kauw
Hwee berdiri pada 1920-an atas prakarsa Kwee Tek Hoay yang dikenal sebagai
bapak Tridharma Indonesia. Yang pada sekitar tahun itu pula berdiri lembaga
penerbitan dan percetakan: Moestika di Jakarta, yang mana menerbitkan majalah Moestika Dharma yang banyak mengupas
tentang agama Buddha, Khonghucu dan Tao. Dalam hal ini, organisasi ini bersifat
indonesia sentris yakni diciptakan dan dibangun sesuai budaya Indonesia walau
ketiga agama dalam tridharma berasal dari luar.
Pada 24 Maret 1934, Kwee Tek Hoay bersama
Yosias Van Dienst (director General International Buddhist Mission Bagian Jawa)
mendatangkan bikhu dari Sri Langka bernama Bikhu Narada untuk berceramah di
Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta. Beberengan dengan itu, Tridharma juga
menerbitkan majalah sam kauw Gwat Po berbahasa Indonesia yang berisi visi misi
organisasi. Pada 1952 Sam Kauw Hwee (Tridharma) diperbaharui kembali dengan
masuknya Thian Li Hwee sebagai pimpinan Ong Tiang Biauw (Bikhu Jinaputta)
dengan berganti nama Gabungan Sam Kauw Indonesia (GAPSKI). Lalu pada 20
Februari 1952 berubah lagi jadi gabungan Tridharma Indonesia (GTI) yang
diterima dan terdaftar dalam departemen agama RI berdasarkan Direktur Urusan
Agama Hindu dan Buddha No. G-II/I/d-2/7/73 tanggal 10 Januari 1973. Lalu
bersamaan berkembangnya GTI, di Lawang,
Jawa Timur, ada usaha melestarikan tridharma dari pertemuan yang
diadakan oleh BK PAKEM Jawa Timur dengan para pengurus Klenteng di Surabaya
dalam rangka penertiban aliran kepercayaan/kebatinan dan keagamaan, pada
tanggal 15 Mei 1967 dengan terbentuknya Perhimpunan Tempat Ibadat Tridharma
Indonesia (PTITD) seluruh Jawa Timur, dengan istilah Klenteng diganti menjadi
“tempat ibadat tridharma”. Di mana berdasar Dirjen Bimas Hindu Buddha RI, pad
1969 PTITD dikembangkan mengurus dan menjadi di seluruh Indonesia.
Sekarang, hingga saat ini ada 5 organisasi
besar dalam ranah Tridharma, yakni: 1) PTITD se Indonesia (Perhimpunan Tempat
Ibadat Tridharma Indonesia), 2) GTI (Gabungan Tridharma Indonesia), 3) MATRISIA
(Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia) dibawah WALUBI, 4) WTI (Wanita
Tridharma Indonesia), dan 5) Pemuda Tridharma Indonesia (termasuk di dalamnya
Sekolah Minggu Tridharma dan Remaja Tridharma).
SUMBER: Singgih Basuki,Sejarah, Etika dan
TeologiAgama Khonghucu, Yogyakarta:
SUKA Press, 2014, hlm. 58-76.
Agama
Konghucu setelah tahun 2000 dan resmi di Indonesia
Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia
mengalami kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman
Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang
Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan
bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia
keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan
keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan bahwa
penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya
Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa,
dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus
sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari
2000.
Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara
Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi
kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif
bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur
Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April
2002. Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi
Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini
mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN
yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi
kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah
Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal
22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia
(MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama
Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia.
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata
pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal.
Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya
pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya
saja, pada masa Presiden Soeharto menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan
menghilang karena tidak diakui oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini
semakin membuka lebar pengakuan negara Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan
bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu.
Diakuinya keberadaan etnis tionghoa dan agama Konghucu di Indonesia juga
berpengaruh pada perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini, bahasa
Mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini
sering kali bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa bisnis. Kebudayaan Cina
juga sudah mulai secara bebas dipertunjukkan di Indonesia. Kebudayaa seperti
Barong Sai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan Imlek, saat ini sangat mudah
ditemui di Indonesia. Pengakuan agama Khonghucu dan etnis Tionghoa di Indonesia
cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Pasca
reformasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di bidang
kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak sipil bagi kaum minoritas seperti
penganu Khonghucu di Indonesia dibandingkan dengan pada masa orde baru di bawah
pimpinan Presiden Soeharto.
SUMBER:
Pengakuan Agama Khonghucu di Indonesia,
oleh Syailendra Wisnu Wardhana, http://wisnu.blog.uns.ac.id/2011/03/10/pengakuan-agama-khonghucu-di-indonesia/,
Pada 18 April 2018
NEO
KONFUSIANISME (sintesa kosmologi Tao, Buddha dan Khonghucu)
Neo
konfusianisme adalah sebuah upaya untuk menciptakan bentuk yang lebih rasional
dan sekuler dari konfusianisme dengan menolak unsur-unsur takhayul dan mistis
dari pengaruh Taoisme dan Buddhisme selama dan setelah dinasti Han. Dinasti Han
(206 SM-220 M) adalah dinasti setelah dinasti Chi’in, dinasti Chi’in ini
dinasti yang mampu menyatukan seluruh Cina dengan “pertanian dan peperangan”
atau unggul dalam “ekonomi dan militer” sehingga dinasti Chi’in ini terkenal
dengan “negaranya para macan dan serigala”, sementara dinasti Han ini adalah
dinasrti yang mewarisi konsep kesatuan politik dari Chi’in dan menlanjutkan
tugas yang belum selesai, yaitu membangun keteraturan sosial dan politik baru.
Tokoh yang berperan dalam dinasti Han salah satunya Tung Chung-shu yang
menjadikan Confusianisme sebagai kepercayaan othodok dinasti Han dengan
mengorbankan mazhab yang lain. Selain itu ia berperan dalam menciptakan dasar
institusional ortodok konfusianisme: sistem ujian Cina yang mashur, sehingga
golongan para pegawai pemerintah yang mengatur negara bukan didasarkan dari
keturunan /kebangsawanan dan kekayaan lagi tetapi dari hasil yang dicapai dari
serangkaian ujian periodik yang diadakan serempak di seluruh negari. Kembali ke
inti pembahasan, Neo konfusianisme melihat metafisika sebagai panduan untuk
mengembangkan filsafat dan etika rasionalis. Bisa dibilang neo konfusianisme
ini juga mengambil bagian filsafat mentafisika dari ajaran Taoisme dan
Buddhisme, namun bukan mengambil bagian metafisika sebagai katalis pembangun
spiritual, pencerahan agama dan keabadian. Bisa dibilang mengambil bagian dari
ajaran ch’an, di mana mazhab ini adalah suatu cabang dari Buddhisme Cina
(Mahayana) yang sebenarnya merupakan kombinasi dari aspek yang lebih bersifat
lembut, halus baik dari filsafat Buddha maupun dari filsafat Tao.
Maka,
neo konfusianisme adalah sintesis antara pandangan kosmologi dari Taoisme
dengan konsepsi spiritualitas dari Buddhisme serta pandangan konfusianisme
terhadap masyarakat dan pemerintah. Gerakan ini bisa dikatakan merupakan
ringkasan atau revisi etika, moral dan kepercayaan masa lampau yang disesuaikan
pada semangat zaman. Oleh karenanya, neo konfusianisme ini tidak bisa disamkan
dengan kebangkitan konfusianisme sekalipun para penganutnya sarjana
konfusianisme karena kegiatan pemikirannya ditentukan spekulasi pemikiran guru
aliran Chan (perpaduan Buddha dan Tao). Dimana menurut Fung Yu Lan, ada tiga
sumber yang bisa dilacak dalm neo konfusianisme ini: 1) konfusianisme, 2)
Buddhisme dan Taoisme yang melahirkan Channisme, 3) Taoisme yang berpandangan
kosmologi Yin dan Yang. Dimana ketiganya ini heterogen dan kadang saling
kontradiktif, oleh kareanya para filsuf berusaha mengintegrasikannya,
sebagaimana dalam neo konfusianisme.
Walaupun
sejak dinasti Han diyakini telah ada dasarnya, perkembangan gerakan baru
Khonghucu ini baru berkembang setelah dinasti Han, selama dinasti Song dan
dinasti Ming. Namun dapat digali juga sejak masa hidup tokoh Hai Yu (768-824)
Li Ao (722-841 M) dalam dinasti Tang. Dua orang ini merupakan orang yang
sungguh-sungguh menginterpretasikan kembali karya seperti “pelajaran agung”
(ajaran besar/Ta Hsueh) dan “jalan tengah” (tengah sempurna/Chung Yung) yang
digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu di Tiongkok,
disamping juga akhirnya pemikiran gerakan ini juga berpengaruh dan berkembang
di Korea, Jepang dan Vietnam. Walaupun bentuk pemikirannya belum terlalu jelas,
tapi semakin lebih jelas pada masa dinasti Sung (960-1279) yang menyatukan Cina
kembali setelah ada kekacauan pada dinasti Tang. Di mana sejak dinasti Sung
ini, perhatian Neo Konfusianisme ini pada masalah kosmologi. Seperti tokohnya
yakni: Chou Tun-yi atau dikenal dengan Guru Lien-his (1017-1073) berlatar
pernah mengajar Buddhisme, dia yang mengajarkan prinsip kosmologi yang
bersumber dari buku “tentang perubahan” menjadikannya diagram tertulis pada
lembaran-lembaran tersendiri lebih singkat atau “Apendiks”. Konsep “Apendiks”
ini mirip karya dalam Taoisme yang banyak memiliki sejumlah diagram mistik
sebagai grafik pengamalan prinsip-prinsip esoterik. Lalu ada Guru Pai-Ch’un
(1011-1077) yang membuat tori kosmologi dari buku tentang perubahan dengan
diagram sama halnya Guru Lien-his. Juga tokoh seperti Guru Heng Ch’u
(1020-1077) yang juga membuat diagram dari buku “tentang perubahan”(Ya King)
dan apendiks dengan mengembangkan juga teori kosmologi.
Kini,
neo konfusianisme akhirnya pecah dalam dua mazhab besar yang secara kebetulan
dibuat oleh dua orang bersaudara yang dikenal dua Guru Cheng. Sang kakak Ch’eng
Hao (1032-1085) membangun mazhab Lu-Wang atau Hsin Hsueh (mazhab Jiwa) dilanjut
penerusnya oleh Lu Chiu-yuan (1139-1193) dan disempurnakan Wang
Shou-jen(1473-1529). Sementara sang adik Ch’eng (1033-1108) membangun mazhab
Ch’eng Chu atau Li Hsueh (mazhab hukum dan prinsip), yang pemikirannya dilanjut
oleh Chu His (1130-1200). Sepeninggal keduanya hingga sekarang, kini masih
pemikirannya saling dipertentangkan, padahal pada masa keduanya arti penting
dan perbedaannya tidak terlalu diperhatikan.
Sumber:
Fung
Yu Lan, Sejarah Filsafat Cina, terj.
John Rinaldi, cet. 3 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 250-251,
274-275.
Singgih
Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama Khonghucu, (Yogyakarta: Suka Press,
2014), hlm.169-173.
Nilai-Nilai
Konfucianisme dan Tantangan Modern
Sebagaimana
materi kuliah sebelumnya, telah diketahui bahwa Kong Hu Cu selalu menghindari
pembicaraan mengenai metafisika, ketuhanan, jiwa, dan berbagai hal yang ajaib.
Namun ia tidak meragukan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dianut
masyarakatnya. Bahkan ia lebih meneguhkan pemujaan terhadap leluhur, dengan
kesetiaan terhadap sanak keluarga dan penghormatan terhadap orang tua. Dengan
kata lain, pembahasan mengenai metafisika, jiwa, ketuhanan, dan berbagai hal
ajaib dalam tradisi Tiongkok merupakan condong mengarah ke bagian ciri khas
Taoisme, walaupun dalam Konghucu pun juga ada. Bahkan pemujaan terhadap roh
leluhur pun awalnya merupakan tradisi ajaran Shen. Sementara itu, Konghucu
sendiri ajarannya lebih cenderung menghadirkan kembali ajaran sebelumnya dengan
mengkontekstualisasikan dengan ajaran etika, seperti pemujaan leluhur dengan
menekankan prinsip etika sosial, atau hubungan kesetiaan terhadap orang tua,
saudara, sesama dan pimpinan. Ia mengajarkan betapa penting artinya
penghormatan dan ketaatan istri terhadap suami, ataupun rakyat terhadap
penguasanya.
Lalu,
pandangan Kong Hu Cu tentang dunia, bahwa dunia itu dibangun atas dasar moral,
jika masyarakat dan negara rusak moralnya, maka begitu pula tatanan alam
menjadi terganggu, terjadilah bahaya peperangan, banjir, gempa, kemarau
panjang, penyakit merajalela dan lainnya. Oleh karenanya manusia mempunyai
tempat terhormat yang tinggi yang harus diberkati dengan cahaya ketuhanan. Ia
percaya bahwa asal manusia itu baik, dan akan kembali ke sifat yang baik, oleh
karenanya tidak diperlukan adanya juru selamat. Yang perlu bagi manusia adalah adanya
guru yang berbudi. Guru yang berbudi akan berusaha sungguh-sungguh mengajarkan
ajarannya serta menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain. Kong Hu Cu
sendiri menyatakan bahwa dirinya adalah seorang guru yang mendapat petunjuk
dari Tuhan. Hal mana sebagaimana dikemukakan dalam kitab Lun Yu tentang budi
luhur.[1]
Dalam
agama Konghucu yang menghadirkan kembali tradisi sebelumnya, yang menjadi pokok
diturunkannya agama ini adalah agar manusia hidup di Jalan Suci ( Dao) yaitu
agar manusia membina diri, berbudi luhur , berbakti kepada leluhur
dan orang tua, bercinta kasih (Ren), Li (susila), menjunjung Yi (kebenaran),
berkebajikan, memuliakan leluhur, para Nabi serta Tian/Thian ( Tuhan,Yang
Maha Esa). Agama Khonghucu sendiri lebih fokus pada perbuatan real ketimbang
manusia memikirkan hal yang bukan menjadi tugas dan kewajibannya. Kehendak atau
pikiran manusia untuk mengetahui dunia gaib (setelah kematian) tidak
terlalu ditonjolkan, karena itu merupakan hukum Tian ( Tian Li) yang manusia
tidak berhak mengetahui juga karena manusia telah memiliki tugas dan
wilayah yang telah ditentukan Tian ( Tuhan). Sebagaimana dengan jelas dikatakan
oleh Nabi Khongcu “ Sebelum mengenal
hidup, untuk apa mengenal hal setelah mati “ (Lun Gi XI : 12 :2). Artinya sebelum manusia di dunia ini
mengerti akan makna hidup (kehidupan yang sempurna). Bagaimana manusia bisa
mengetahui hal-hal yang gaib, kalau dirinya sendiri tidak mengetahui hal
kehidupan yang real, tentu saja sulit untuk mengetahui hal yang gaib itu.
Apa yang akan terjadi pada esok pagi saja manusia tidak akan bisa memahami,
apalagi seminggu kemudian, sebulan kemudian bahkan setelah kematian. Inilah
mengapa agama Khonghucu meletakkan dasar rasional dalam melihat sesuatu yang
bukan menjadi kewajibannya. [2]Di
mana hal ini sangat sesuai dengan tantangan modern yang materialistik, di mana
ajaran konghucu memberikan landasan yang benar mengenai kehidupan duniawi yang
sejalan dengan hukum Tian. Ajaran konghucu tidak menjauhi hal-hal kekinian,
modernitas, justru memandang secara positif dan menikmati proses kehidupan
sekarang (dunia).
Maka,
dapat disimpulkan bahwa ajaran etika Khonghucu yang bersifat humanism dan
kekinian, dan bersifat universal bisa diterapkan
dalam konteks abad modern ini. Hanya dengan belajar secara terus menerus dan
melalui pembaharuan diri menjadikan manusia mencapai tujuan hidupnya secara
harmonis dan bahagia (hidup didalam Too/Dao). Bagi mereka yang telah memahami
etika Confucius dan mampu menerapkan dalam kehidupannya, mereka tidak lagi
memiliki keraguan bahkan faktor lingkungan yang membuat dia benci pun akan
dianggap sebagai hal yang menyenangkan. Mereka tidak mudah hanyut, melainkan
memiliki kekokohan dan keyakinan yang kuat, tabah, tahan bantingan serta tetap
hidup dalam keyakinananya meskipun badai dan angin meggoncangnya. Mereka tetap
hidup didalam Dao, dialah seorang Junzi sejati (tidak munafik atas dunia).[3]
Sumber:
Bernadetta
B, Agama Khonghucu, https://www.kompasiana.com/bernad/agama-kong-hu-cu_551b61bc8133110a0a9de679,
diakses 16 Mei 2018
Ongky Setio Kuncono, Kerasionalan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/filsafat/168-kerasionalan-agama-khonghucu.html, 16 Mei 2018
Ongky Setio Kuncono, Khonghucu dan Humanisme, http://www.spocjournal.com/filsafat/127-khonghucu-dan-humanisme.html
, 16 Mei 2018.
[1]
Bernadetta B, Agama Khonghucu, https://www.kompasiana.com/bernad/agama-kong-hu-cu_551b61bc8133110a0a9de679,
diakses 16 Mei 2018,
[2] Ongky
Setio Kuncono, Kerasionalan Agama Khonghucu, http://www.spocjournal.com/filsafat/168-kerasionalan-agama-khonghucu.html, 16
Mei 2018
[3] Ongky
Setio Kuncono, Khonghucu dan Humanisme, http://www.spocjournal.com/filsafat/127-khonghucu-dan-humanisme.html
, 16 Mei 2018
[1]
Fung Yu Lan, Sejarah Filsafat Cina,
terj. John Rinaldi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017, cet, 3), 47
[2] Singgih
Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama
Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 39-42
[3]Singgih
Basuki, Sejarah, Etika dan Teologi Agama
Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 43-44
[4]
Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan
Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 77
[5]
Singgih Basuki, Sejarah, Etika dan
Teologi Agama Konghucu, (Yogyakarta: Suka Press, 2014), 78-79