Apa
itu Hinduisme?
Hinduisme
merupakan salah satu tradisi religius utama tertua di dunia, serta
eksistensinya masih ada hingga sekarang. Hinduisme muncul sekitar tahun 1800 SM
di daerah yang disebut India, akan tetapi dasar berdirinya tidak pasti. Riwayat
sejarah paling dini diketahui yakni terdapat pada peradaban Lembah Sungai
Indus. Pendiri hinduisime sendiri tidak diketahui dan dikarenakan awal
berdirinya diperkirakan masa pra-sejarah dimana tradisi tulis menulis belum
ada. Menurut seorang ahli bernama Yong
Choon Kim, Hinduisme sendiri sering disebut sebagai Agama a-historis dan
non-historis, karena tidak memiliki awal sejarah dan tidak ada pendiri
tunggalnya.
Tradisi
Barat yang memisahkan secara tajam antara agama dan filsafat, membuat kajian
terhadap tradisi Asia, khususnya dalam hal ini hinduisme membuat sukar dalam
mempelajarinya. Dimana tradisi asia sendiri mengandung 2 unsur, baik itu agama (religius) dan
filosofis. Di mana tradisi asia ini sangat kuat mengarah pada pemahaman dan
pengertian akan relaitas tertinggi, yang secara praktis terkait dengan
transformasi hidup manusia serta kepentingan realitas ini untuk menuntun hidup
manusia. Sebagaimana dalam tradisi India terdapat istilah sansekerta darsana, yang sejajar artinya sebagai
pandangan, visi, teori, kelompok pendengar, dan sistem filsafat. Namun, secara
harfiah diartikan sebagai apa yang dilihat. Yang mana dalam tradisi Hinduisme
sebagai “satu visi tentang realitas” yakni visi tentang apa yang dilihat secara
tepat dan tak salah oleh para resi, di mana dikukuhkan sebagai ajaran kebenaran.
Dalam harfiahnya sendiri resi/rsi (Sansekerta) berarti orang yang melihat.
Ajaran kebenaran yang dilihat resi ini “diingat” dan “didengar”. Apa yang
diingat disebut smriti dan apa yang
didengar disebut shruti. Oleh karena
itu Hinduisme di India identik dengan darshana,
smriti, dan shruti.
Kata
Hindu yang kita kenal sendiri diadopsi dari bahasa Sansekerta untuk Sungai
Indus, Siddhu, yang oleh orang-orang
Persia kuno diucapkan sebagai “Hindu”. Namun akhirnya, kata Hindu sendiri
digunakan untuk penyebutan semua bangsa India pada keseluruhanya, lalu dalam kacamata
Barat, kata itu juga digunakan untuk sebutan pengikut Hinduisme sendiri. Oleh
karena itu, bagi orang luar pada umumnya menganggap Hindu sebagai salah satu
agama utama di dunia, akan tetapi bagi pemeluknya sendiri hinduisme lebih dari
sebuah kriteria agama. Hinduisme meerupakan sebuah cara hidup (a way of life), sebuah budaya yang
besar dan kaya, sebuah lingkungan yang meliputi kaum Hindu dari lahir sampai
mati. Bagi kaum hindu hal hal-hal di
atas adalah karena merujuk pada istilah Sanatha
Dharma yakni sebuah “hukum” atau ”kebenaran abadi”.
Maka, sebelum
disebut Hindu, yang disebutkan oleh orang luar seperti Persia, Yunani maupun
Inggris. Sebagaimana istilah Sanatha
Dharma pula, umat ini menyebut tradisi mereka itu sebagai Vaidika Dharma yang artinya dharmanya
weda. Weda sendiri berarti pengetahuan (wid= tahu). Lalu Dharma sendiri
merupakan kata yang sulit dicari padanan katanya, karena memiliki sejumlah
besar arti dalam konteks aslinya. Namun, kata itu sering disama artikan sebagai
agama. Walaupun dharma weda sendiri bermaksud menyusun sebuah hukum universal yang
diyakini mengatur semua hal dan hukum ini ada bahkan sebelum proses penciptaan.
Tapi secara khusus, hukum weda ini adalah penerapan hukum universal kepada
masyarakat India serta pengaturan semua aspek kehidupan menurut prinsip hukum
itu sendiri. Sebagaimana terdapat pembagian masyarakat India dalam empat
hirarki kasta (varnas) yang terkait
juga kelahiran, perkawinan, kematian, kesucian. lalu ritual kurban (yajna), penghafalan dan pembacaan weda dan serta model baru yang
menggantikan kepercayaan tertentu tentang kehidupan setelah kematian dalam
bentuk pemujaan yang lebih modern sebagaimana diungkapkan dalam kitab-kitab epos dan puranas. Sementara itu sering juga hindu sendiri disebut agama
Brahmana, lalu terkait juga tradisi upanisaad (yang berarti duduk di bawah kaki
guru, yaitu untuk mendengarkan ajarannya), dimana istilah keduanya memiliki
perincian penjelasannya masing-masing. Namun, dari hal-hal di atas tersebut, karenanya apa yang kita
kenal Hinduisme sering disebut sebagai “sekeluarga agama-agama”.
REFERENSI:
-Michele Keene, Agama-Agama
Dunia, terj. F.A. Soeprapto. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hlm. 8-10.
-Matius Ali, Filsafat
Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme. Tangerang: Sanggar Luxor,
2013. Hlm. 3-9.
-John. M. Koller,
Filsafat Asia, terj. Donatus
Sermada. Filsafat Asia. Flores: Ledaredo, 2010.
Hlm. vii-xi.
Sufa’at Mansur, Agama-Agama
Besar Masa Kini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011. 4-20.
Asal
Usul Hinduisme
Bumi India
dipisahkan dari bagian Asia oleh bukit ataupun gunung yakni di Barat oleh tanah
pegunungan Hindu Kush, di utara oleh pegunungan Himalaya, di timur dibatasi
oleh pegunugan yang memisahkan dengan daerah Birma (Mynamar). Lalu India
sendiri dibagi menjadi India Utara dan Selatan dengan batas pegunungan Windhya.
Di India Utara terdapat dua lembah sungai yakni Indhus di Barat dan Gangga di
Tengah dan Timur. Di mana kedua lembah ini dibatasi padang pasir Thar/Rajasthan
dan dataran tinggi Kuruksetra, di mana sebagai tempat kuno medan tempur
peperangan bangsa-bangsa yang ingin merebut ataupun mempertahankan India. Namun,
di masa sekarang India hanyalah mengacu pada negara India, padahal daerah
India, di mana disebut tempat lahir hinduisme di masa lalu meliputi daerah
seperti Nepal, Pakistan, Bhutan, Bangladesh serta sekitarnya. Dengan kata lain,
penganut hinduisme tidak hanya sebatas mereka yang tinggal di negara India,
akan tetapi penganut hindu yang juga
bermukim di luar negara India bahkan termasuk di Indonesia.
Penduduk asli India
sendiri diketahui terdiri dari banyak suku bangsa. Akan tetapi agama Hindu
timbul dan berkembang akibat dua bangsa utama yakni agama (bangsa) Dravida dan agama (bangsa)
Arya. Namun, di samping itu terdapat suku-suku asli India yang berdiam di India
utara. Di antara semua itu, diketahui penduduk tertua dari India disebut bangsa
Negrito lalu akhirnya bercampur dengan bangsa-bangsa yang medatangi India
seperti Dravida dan Arya.
Peradaban bangsa Dravida,
diketahui memasuki India sekitar 3000 SM. Berdasarkan penemuan dan penggalian
tanah di Mohenjo Daro dan Harappa (suatu wilayah di India) diketahui bahwa
bangsa Dravida masyarakatnya berkultur matriarki (adat kuasa ibu) dan tidak
mengenal kasta. Mereka diketahui menyembah dewi yang tertinggi yakni apa yang
dianggap sebagai ibu-alam, lalu juga menyembah binatang-binatang seperti ular,
lembu. Bangsa Dravida ini tersebar di seluruh India, akan tetapi kemudian terdesak
oleh bangsa Arya, dan akhirnya bercampur dengan bangsa Arya.
Lalu
peradaban bangsa Arya di India,
dimulai sekitar 1500 SM, bangsa Arya (IndoGerman) dari daerah barat laut
menduduki wilayah orang-orang Indhus dan akhirnya menguasai India pada
setelahnya. Diketahui bangsa Arya datang membawa bahasa sansekerta, mereka
jugalah yang memperkenalkan sistem kasta. Bangsa ini sendiri lebih dikenal
sebagai bangsa penggembara, peternak dan ahli perang, baru setelah di India
menetap belajar bertanam dari bangsa dravida. Begitupun kehidupan beragama yang
akhirnya bercampur pula dengan keperacayaan bangsa sebelumnya, baik dravida
maupun negrito.
Agama- Agama asli India, setelah
bersintesis dan saling kompromi inilah tradisi yang menjadi cikal bakal lahirnya
Hinduisme. Diketahui Hinduisme ini menyerap dari agama weda(1500SM-500SM)
sistem korban dan dewa-dewa alam. Sebagaimana kedewaan Siwa dari kitab weda
yang dianggap sebagai dewa angin badai yang disebut sebagai Rudra. Dari agama
Brahmana(1000SM-750SM) Hindu ini menyerap kepercayaan akan kekalnya kitab weda,
sistem kasta, upacara dan perayaan keagamaan. Dari Upanishad(750SM-500SM)
menyerap konsep realitas tertinggi, juga tentang kesatuan dengan tuhan . Dari
ajaran-ajaran sri Krishna menyerap tentang avatara Wisnu, dari Bhagavadghita
menyerap suatu konsep monotheisme dan etika. Akan tetapi masih banyak
ajaran-ajaran suku asli India seperti
kepercayaan arwah nenek moyang,hantu, sungai, gunung, pohon, pohon, dan
binatang yang juga diserap ke dalam Hinduisme. Sebagaimana kepercayaan dewi
Kali dalam suku India ini, dimana dalam mitologinya sebagai isteri Siwa dan ibu
dewa Ganesha.
Dari
kompleksitas agama-agama dalam Hinduisme
di atas. Periodesisasi sejarah
India, dapat dibatasi dalam munculnya Buddhisme.Dimana dibagi dalam 1).zaman
weda(1500SM-500SM) yakni sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga munculnya
Buddhisme, atau masa agama Weda, agama Brahmana dan agama Upanisad. 2). Zaman
Hindu masa sekarang (300M-Sekarang) yang mana menghasilkan akan pemujaan patung
dewa lebih menonjol, dimana muncul kitab Purana, serta kasustraan
Itihasa(Ramayana,Mahabharata, Bhagavadgita).
Referensi
:
Agama-Agama Dunia.
ed. Roni Ismail, dkk. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama, 2012. Hlm. 56-57.
H.M.
Arifin.Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama
Besar Dunia.Jakarta: Golden Terayon Press, 1986. Hlm. 56-58.
Michele
Keene. Agama-Agama Dunia, terj. F.A.
Soeprapto. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hlm. 10-11.
Sufa’at Mansur. Agama-Agama Besar Masa Kini, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011. Hlm. 1-6.
Harun
Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. Hlm. 9-12.
Ajaran
Pokok Hinduisme
Tujuan
Beragama dalam Hinduisme
Tujuan
agama Hindu adalah “Moksartham
jagaddhitaya ca iti dharmah”. Artinya, “tujuan beragama atau Dharma adalah
untuk mendapatkan Moksa dan Jagaddhita”. Dimana menurut Swami Vivekananda, guru
rohani India, yaitu: Atmanam moksartham
jagaddhitaya ca, yang berarti tujuan agama adalah untuk mencapai kelepasan,
kebebasan, atau kesempurnaan roh (moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian
dan kelestarian dunia (jagaddhita).
Moksa
itu sendiri adalah kebebasan roh dari ikatan duniawi; atau kelepasan, bebas
dari dosa. Moksa juga dapat diartikan sebagai manunggalnya roh dengan Tuhan,
Roh Yang Maha Agung, di akhirat (manunggaling kawula lan Gusti), serta sebagai
pengalaman kebahagiaan batin berupa ketentraman ilahi, yang dianggap sebagai pengalaman
hidup paling mulia bagi umat manusia. Lalu Jagaddhita sendiri mengandung pengertian
kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran
umat manusia, kelestarian serta kedamaian dunia dan lain sebagainya. Begitulah
tujuan utama beragama umat Hindu, yakni mencapai Moksa dan Jagaddhita.
Panca
Sraddha
Dalam
agama Hindu, iman disebut dengan Sraddha, Panca berarti Lima, jadi secara
sederhana Panca Sraddha dapat diartikan 5 ajaran keimanan dalam Hindu. Pokok-pokok
keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi dalam 5 (lima) bagian yang disebut
Panca Sraddha, yang terdiri dari:
1) Percaya terhadap adanya Brahman
(Sang Hyang Widhi)
Sang
Hyang Widhi ialah Ia (satu Tuhan) yang kuasa atas segala yang ada di alam ini.
Tidak ada yang luput dari kemahakuasaan-Nya.
Percaya terhadap Atman
Atman
adalah percikan kecil dari Paratman, Atman yang tertinggi (Brahman). Bila Atman
meninggalkan badan, maka makhluk itu akan mati. Atman yang menghidupi badan
disebut jiwatman. Jiwatman inilah
yang dipengaruhi oleh karma, hasil perbuatan di dunia ini. Karena itu Atman
tidak akan selalu kembali ke asalnya, yaitu Paratman. Menurut ajaran agama
Hindu, jiwatman seseorang yang meninggal dunia sementara dapat mencapai surga
atau jatuh ke neraka.
Percaya terhadap Hukum
Karmaphala
Hasil
dari perbuatan (karma) itu disebut phala. Hasil perbuatan itu tidak selalu
langsung dapat dirasakan atau dinikmati, seperti halnya tangan yang menyentuh
api segera merasakan panasnya api. Tetapi, tidak demikian halnya dengan phala,
yang kadang-kadang baru diterima hasilnya setelah kehidupan yang akan datang,
sebagaimana seperti proses menanam padi yang harus menunggu beberapa bulan
untuk dapat menikmati hasilnya.
Percaya terhadap Adanya
Punarbawa
Diketahui
Jiwatman atau roh tidak selamanya berada di surga ataupun neraka. Ia akan lahir
kembali ke dunia. Lalu terjadi kelahiran kembali yang disebut Punarbawa atau
kemudian terjadi Samsara (lingkaran kelahiran). Bagaimana kelahiran kembali
akan tergantung dari karmawasana
(bekas-bekas perbuatan) terdahulu. Kalau ia membawa karma yang baik lahirlah ia
menjadi orang yang bahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya.
Sebaliknya, bila ia membawa karma yang buruk (kurang baik) ia akan lahir
sebagai orang yang menderita. Kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk
memperbaiki diri dan segala dosa yang telah diperbuat pada kehidupan yang
terdahulu.
Percaya terhadap Adanya Moksa
Bila
seseorang berhasil lepas dari ikatan dunia (Karma, Kelahiran kembali, Samsara)
ia akan mencapai moksa. Moksa artinya kelepasan. Inilah tujuan akhir pemeluk
agama Hindu. orang yang telah mencapai moksa tidak lahir lagi ke dunia, karena
tidak ada apa pun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Paratman, Atman
yang tertinggi atau Sang Hyang Widhi.
Selain
Panca Sraddha di atas, ada Sraddha atau iman lain dalam Hindu sebagai
kepercayaan dapat dirumuskan sebagaimana termuat dalam Atharwa Weda XII 1. 1.
sebagai berikut:
Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo
brahma yajna prthiwim dharayanti.
Artinya:
Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa,
brahma dan yajna Yang menyangga
dunia.
Dari
ayat di atas dapat dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh satya, rta, diksa,
tapa, brahma dan yajna. Dijelaskan bahwa alam semesta ini disangga oleh dharma.
Adapun dharma yang menyangga dunia ini terdiri dari satya, rta, diksa, tapa,
brahma dan yajna itu, sehingga keenam unsur tersebut merupakan unsur dharma
yang memelihara kehidupan ini.
Ajaran
pokok lain: Satya
Salah
satu unsur keimanan yang merupakan landasan ajaran agama Hindu menurut Atharwa
Weda XII.1.1. adalah ajaran mengenai satya. Kata ini dalam bahasa Sansekerta
dipergunakan dalam banyak hubungan karena dapat berarti macam-macam. Adapun
arti kata satya antara lain:
1)
Satya yang berarti kebenaran, yaitu merupakan sifat hakekat darl Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga kata itu diartikan sama sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)
Satya berarti kesetiaan atau kejujuran. Dengan pengertian tersebut maka ajaran
Satya Tattwa, menurut kitab Atharwa Weda yang merupakan pokok pertama dari
ajaran Sraddha, jadi harus pula diartikan sama dengan Widhi Tattwa(Brahma
Tattwa) dalam ajaran Panca Sraddha.
Ajaran
pokok lain: Rta
Rta
atau Reta merupakan bentuk hukum Tuhan yang murni, yang bersifat absolut
transendental. Bentuk hukumnya yang dijabarkan ke dalam amalan manusiawi
disebut dharma. Hukum agama yang disebut dharma ini bersifat relatif karena
selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia dan bersifat mengatur tingkah laku
manusia untuk mencapai kebahagiaan di dalam hidup. Diketahui, ajaran rta dan
dharma menjadi landasan ajaran karma dan phala karma. Karena rta inilah yang
mengatur akibat dari tingkah laku manusia sebagai kekuatan yang tak tampak oleh
manusia. Ia hanya dapat dilihat berdasarkan keyakinan atas adanya kebenaran.
Dengan keyakinan atas kebenaran itu rta dapat dihayati, lalu dengan penghayatan
itu akan tercipta keyakinan akan adanya rta dan dharma.
Ajaran
pokok lain: Diksa
Diksa
berarti pensucian atau penyucian, pentahbisan atau inisiasi. Sebagai unsur
pokok keimanan, bersama-sama dengan tapa dan yadnya, diksa dianggap merupakan
satu rangkaian pengertian yang arti dan fungsinya sama sebagai alat untuk
sampai pada kesucian. Dalam kitab Yajur Weda XX.25 dinyatakan: “Dengan
melakukan brata seseorang memperoleh Diksa, Dengan melakukan Diksa, seseorang
memperoleh Daksina, Dengan Daksina seseorang memperolah Sraddha dan Dengan
Sraddha seseorang memperoleh Satya”.
Dari
pernyataan tersebut diksa dapat dikatakan ditempuh melalui brata, dan dengan
brata itulah seseorang itu melakukan diksa. Dengan telah di diksa seseorang
menjadi Diksita, yakni orang yang memiliki wewenang untuk melakukan upacara,
yaitu ngelokapalasraya. Jadi, diksa
adalah cars untuk melewati satu fase kehidupan menuju fase kehidupan yang baru,
dari fase yang belum sempurna ke dalam dunia yang lebih Sempurna. Dengan dan
melalui diksa seseorang akan dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan karena
dengan melalui diksa ia akan dapat mempelajari sifat-sifat Tuhan. Dari
penjelasan tersebut maka tujuan diksa diketahui untuk menyucikan seseorang
secara lahir dan batin lalu dengan upacara diksa itu ia akan dapat melakukan
tugas pokok ngelokapalasraya dan belajar serta mengajarkan Weda.
Ajaran
pokok lain: Tapa
Tapa
dapat disebut sebagai pengendalian diri. Kata tapa mempunyai arti penguasaan
atas nafsu atau menjalani kehidupan suci. Dimana untuk dapat hidup baik atau
suci, seseorang harus dapat menguasai dirinya sendiri. Penguasaan terhadap diri
sendiri adalah penguasaan atas panca indra dan pikiran (manah). Sebagaimana
dalam kitab Yajur Weda XIX.30 dinyatakan bahwa kesucian (diksa) diperoleh
karena melakukan pengendalian indra (bratha). Adapun bratha adalah bentuk dari
tapa. Di dalam kitab Dharmasasta dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan
dosa berkewajiban untuk selalu membersihkan diri. Membersihkan diri disebut
dengan wisuddha atau melakukan parisuddha yakni dengan jalan melakukan
tapa (misalnya bratha). Jadi, kata tapa mempunyai pengertian luas menurut
penggunaannya.
Ajaran
pokok lain: Brahman
Brahman
disini adalah pujian yakni semacam mantra doa yang dalam sehari-hari, yang
disebut mantra atau stuti. Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk
melakukan pemujaan. Karena itu mantra itu juga dinamakan doa. Kata lain yang
sering dipergunakan yang sama artinya ialah stortra atau stawa. stawa adalah
ayat-ayat yang dipergunakan untuk menyampaikan pujian kepada Tuhan atau Iainnya.
Tanpa percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya
doa itu. Oleh karena itu, disadari bahwa doa itu penting, maka doa merupakan
bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu.
Ajaran pokok lain: Yajna
Secara
populer istilah ini sering disebut rituil atau ritual. Maka, pengertian yadnya
yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari dimaksudkan sébagai upacara
keagamaan, dapat disebut juga dengan samskara.
Disamping
yadnya yang diterjemahkan sebagai samskara, terdapat. juga terjemah lain di
mana kata itu diterjemahkan atau diganti dengan istilah karman. Kata karman ini
berarti upacara keagamaan, yang di dalam
bahasa Jawa Kuno ditulis krama, misalnya dipergunakan dalam penulisan Wedaparikrama. Perlu diketahui pula
bahwa ajaran yadnya bukan sekedar ajaran formalistis, melainkan masalah ibadah
yang hukumnya adalah wajib.
Sumber:
Ida Bagus Agung, Djamannuri (ed) Agama Kita…, hlm. 50-55.
Sumber Ajaran dalam
Hinduisme
Kitab
suci ajaran Hinduisme adalah Kitab Weda. Dimana kitab suci Hinduisme dibagi
menjadi 2 bagian besar, yaitu kitab-kitab Shruti dan kitab-kitab Smriti.
1.
Kitab
Shruti (Wahyu)
Shruti
(apa yang didengar) ini dianggap
kitab yang paling suci (wahyu). Kitab-kitab Shruti berisi pujian-pujian kuno
dari kitab-kitab Weda yang ditulis dalam bahasa Sansekerta (bahasa India Kuno)
pada akhir milenium kedua BCE (300-200SM). Yakni, RigWeda yang dianggap kitab
paling suci adalah kitab suci yang berisi 1028 puisi yang merefleksikan:
kehidupan penggembaraan bangsa Arya yang berperang, kegembiraan karena
terbitnya matahari setiap pagi, dan merefleksikan keheningan malam sunyi.
Selama
ribuan tahun, sebelumnya diperkirakan ajaran Weda ini (Shruti) diturunkan
secara lisan. Dimana menghafal adalah satu-satunya cara untuk memperoleh
pengetahuannya. Ajaran Weda ini dulunya hanya diberikan kepada para resi,arif
bijaksana dalam bentuk suara.
2.
Kitab
Smriti (Tradisi)
Kitab
Smriti (apa yang diingat) adalah
kitab-kitab suci tentang asal usul manusia. Kitab suci ini berisi tentang
cerita rakyat yang diceritakan oleh para penutur terlatih. Dalam ari sempit
Smriti terdiri dari Dharmasastra
yakni teks yang menjelaskan secara rinci tentang kewajiban dan hak umat Hindu
menurut status mereka. Dalam arti luas Smriti juga mencakup Itihasa-purana dan Puranas, berisi epos Ramayana dan Mahabaratha, dan juga 18 puranas; dimana selain berisi
mitologi dan legenda, juga mengandung isi tentang tingkah laku yang benar dari
berbagai pengikut jalan spiritual.
Secara
garis besar Smriti terbagi menjadi dua yakni kelompok Wedangga dan Upaweda.
Dimana kelompok Wedangga ini berisi Siksa (phonetika/pengucapan), wyakarana(tata
bahasa),Chanda (lagu), Nirukta (tentang cara penafsiran), Jyotisa (astronomi)
dan Kalpa (Dharmasastra, Srautasastra, Gryhasastra, dan Sulwasastra). Lalu
kelompok Upaweda yakni berisi Itihasa (epos Ramayana dan Mahabaratha), Puranas
(cerita kuno penciptaan dunia dan silsilah raja dan dengan dewa), Arthasastra
(ilmu pemerintahan [politik} negara/kerajaan), Ayur Weda (tentang Kesehatan dan
Rohani), dan Gandharaweda (tentang ilmu seni).
Yang
paling sering diketahui dalam Smriti ini yakni bagian kitab Ramayana adalah
salah satunya, kitab ini memuat 48.000 baris puisi, menceritakan kisah Rama dan
Shinta.Selain itu, terdapat Mahabharatha, yang berisi 100.000 ayat (puisi
terpanjang dalam bahasa apapun) berisi tentang kepahlawanan yakni perang antar
2 keluarga (kerajaan) Pandawa (ras Arya) dan Kurawa (saudara sepupu Pandawa). Dimana
dari keduanya dapat diambil hikmah dari tingkah laku yang benar tokohnya untuk
diterapakan bagi yang mengikutinya.
3.
Kitab
Weda
Kitab Weda Secara luas mencakup
yang berisi: empat Samhitas yakni RigWeda, YajurWeda, SamaWeda, AtharwaWeda;
lalu terdiri dari 3 bagian yakni bagian Brahmanas (karma Kanda), bagian
Arayankas, dan Bagian Upanishad. Namun secara sempit adalah Weda hanya terdiri
dari keempat Samhita yang dipahami untuk ritual korban (yajna) yakni rigWeda
(mantra-mantra dalam puji-pujian untuk dewa), samaWeda (puji-pujian yang
berlagu/berirama musik dalam persembahan
upacara kurban untuk dewa), yajurweda (rapal-rapal mantra saat
melaksanakan upacara kurban, menjadikannya benda kurban sakral dan diterima
oleh dewa), atharwaWeda( mantra-mantra sakti seperti sihir dan tenung untuk
selain upacara kurban).
Lebih
luasnya,bagian Samhita ini berisi: RigWeda ini berisi mantra-mantra yakni
rumusan sakral yang penting dan tidak dapat diubah. Dengan kata lain RigWeda
ini menduduki posisi yang khusus sebagai Sruti. Pujian-pujian didalamnya harus
dibaca dengan benar. Para pembacanya (penganutnya) harus mempelajari
aturan-aturan pengucapan, ritual, tata bahasa, etimologi dan astronomi. Semenara
untuk YajurWeda ini memberi ajaran dasar mengenai upacara yang harus diikuti,
SamaWeda memberi ajaran rahasia nada untuk melantunkan kidung-kidung, yang
hanya akan efektif dengan dinyanyikan dengan nada yang tepat, AtharwaWeda ini
berisi kumpulan berbagai macam jimat dan mantra yang sebagian diluar untuk
ritual korban.
Selanjutnya
bagian Brahmanas merupakan bagian dari Sruti dimana bagian ini merupakan teks
yang menjelaskan tentang upacara korban dan mengandung mitos-mitosnya. Lalu
bagian Arayankas merupakan bagian yang berisi teks-teks dari hutan (Arayanka).
Dan terakhir bagian Upanishad dimana sebagian ajaran Sruti yang menunjukkan
karakter yang berbeda. Dimana diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah mundur
dari kehidupan aktif sosial dan lebih mengabadikan diri untuk latihan spiritual
dan pandangan mistis.
4.
Kitab
Upanishad
Kitab-kitab
Upanishad ini adalah bagian terakhir dari kitab-kitab Weda (Vendnta:bagian
akhir weda). Judul kitab ini mengacu pada cara ajaran ini yakni murid yang
duduk di kaki Guru untuk mendapatkan kebijaksanaan. Jumlah yang paling otentik
kitab ini sulit ditentukan. Karena versi terjemahan modern biasanya terdiri
atas 10-15 Upanishad, ada juga versi 108 Upanishad dan juga terdapat ratusan
Upanishad kecil atau sekunder. Jelasnya, kitab-kitab ini memuat 120 percakapan
antara guru dan muridnya serta berisi semua ajaran Hindu yang dianggap paling
penting yakni mengenai Brahman dan Atman.
Sumber:
Michele Keene, Agama-Agama Dunia, Terj. F.A. Soeprapto,Yogyakarta: Pt kanisius, 2014,
hlm. 20-21.
Matius Ali, Filsafat
Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, Tangerang: Sanggar Luxor,
2013, hlm. 8-14.
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap
Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: Ircisod, 2015, hlm. 78-87.
Konsep
Ketuhanan
a)
Brahma
Widya
Ajaran
ketuhanan di dalam Hindu disebut Brahma
Widya, yang membahas tentang Tuhan yang Maha Esa dan ciptaan-Nya, termasuk
manusia dan alam semesta ini. sumber ajaran Brahma Widya ini adalah kitab Weda.
Karena semangat ajaran Veda ini meresapi seluruh ajaran Hindu. Ia laksana mata
air yang mengalir terus menerus melalui sungai-sungai panjang sepanjang abad,
dan melalui daerah yang sangat luas. Oleh karena panjang dan luasnnya daerah
yang dilalui, maka wajahnya dapat berubah namun intinya selalu sama dan
dimana-mana sebenarnya sama.
Dimana
kitab Veda, juga cabang kitab Veda seperti Ittihasa, Purana dan lainnya telah
menyebut Tuhan yang Maha Esa, walaupun dengan berbagai nama. Misalnya dalam
Veda 1. 1164.64 “Mereka menyebut Indra, Mitra, Waruna, Agni dan dia yang
bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok. Yang Maha Esa ituoleh
orang-orang yang bijaksana disebutnya dengan banyak nama, seperti Agni, Yama
dan Matariswan”. Sekilas yang dipuja ini adalah kekuatan alam, atau Natural
Polytheism menurut Max Muller, padahal dalam mantra Yajur Veda XL.17 berisi “Kekuatan
yang menjadi matahari bersinar itu adalah Aku yang tunggal”. Begitupun dalam
Chadogya Upanishad VI.21 “Ia Maha Esa, tidak ada duanya, dari padaNya semua
makhluk tercipta. Dengan kata lain anggapan bahwa Hinduisme adalah politeisme
adalah keliru, bila kita melihat isi ajaran di dalam kitabnya Hinduisme ini
cenderung Monotheisme ataupun ada yang menyebut Henoteisme (ada satu tuhan yang
tertinggi diantara banyak (nama) tuhan/dewa).
b)
Beberapa
Kesalahpahaman Konsep Ketuhanan Hinduisme
Walaupun
tidak semua penganut Hinduisme dari yang berjuta-juta orang itu percaya kepada
Allah, Brahman. Apakah ajaran Hindu ini percaya kepada satu Allah, Yakni hanya
Brahman atau malah percaya dewa-dewi (Polytheisme)?. Bahkan dalam Rigweda
menyebut ada 33 dewa-dewi, namun dalam bagian kitab lain menyangkal adanya.
Namun, tampaknya yang pasti bahwa di Hinduisme hanya ada satu Allah, (Brahman)
yang dipuja, hanya saja melalui berbagai bentuk dan cara. Dimana untuk
memahamiNya, ada umat yang menempuh Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga,
Yoga marga dan sebagainya.
Untuk
memudahkan umat sujud bakti kepada Tuhan, maka Tuhan disembah melalui berbagai
sarana bakti atau sarana keagamaan, seperti membuat arca, pratima, pura (tempat
pemujaan), upakara (sesajen), dan berbagai upacara persembahan. Sepintas Hindu
ini politeistis, karena ada penyembahan berhala, patung, batu dan sebagainya.
Namun, itu adalah keliru, karena mereka memuja Tuhan Yang Maha Esa itu
tergantung dengan kemapuan dan bakat mereka, ada yang melaui Bakti marga, Karma
Marga dan lain sebagainya.
Jadi
kita harus paham, bahwa kata dewa dalam Hinduisme ini mengandung dua pengertian
besar. Yakni dewa sebagai Tuhan yang Maha Esa dan dewa sebagai makhluk
tertinggi ciptaanNya dengan berbagai tingkatannya.
c)
Wujud
Ketuhanan
Dalam
Hindusime ada satu Allah yaitu Brahman, yang menggunakan banyak wujud yang
dapat dilihat. Hinduisme ini adalah agama monoteistis yang prngikut-pengikutnya
percaya pada satu Allah, yaitu Brahman (roh yang mutlak), yang tak dapat
dijangkau dan dimengerti oleh manusia. Ada berjuta-juta gambar yang membuat
Brahman bisa dilihat dan dikenal oleh para pemujanya. Brahman adalah roh yang
paling tinggi, diluar jangkauan manusia, tidak terbatas ruang dan waktu.
Brahaman ini dapat dijumpai di seluruh alam semesta, di di atas segalanya. Dia
adalah asal dari segala ciptaan sebagai hakikat manusia, hakikat sukacita, dan
sang sejati.
Dalam
Hinduisme ini Allah bukan laki-laki ataupun perempuan, tetapi karena Brahman
melingkupi segala makhluk. Ia bisa berwujud laki-laki, perempuan bahkan
binatang. Dimana seperti banyak dewa yang diberi hak untuk memperlihatkannya.
Brahman, dewa pencipta, misalnya, juga selalu disebut Saraswati, dewi
pengetahuan. Bahkan Saraswati ini oleh para pemujaanya lebih terkenal daripada
Brahman.
d)
Kedudukan
Tuhan
Kedudukan
Tuhan di dalam Hinduisme dilihat melalui pandangan Veda. Tuhan dikatakan
bersifat viapi viapka, berada
dimana-mana. Maka sebenarnaya tuhan dapat dijumpai dimana-mana dan dapat
menjadi apa saja. Misalnya saja dalam RigVeda X. 82-3 dan Atharwaweda, II,1.3)
dituliskan yang artinya “Bapak kami, pencipta kami, penguasa kami; yang
mengetahui semua tempat, segala yang ada, dialah satu-satunya, memakai nama
dewa yang berbeda-beda, dialah yang dicari oleh semua makhluk dengan renungan”.
Dimana terlihat Tuhan sebagai bapak, penguasa, pencipta. Dalam Rigweda X. 186.2
juga dinyatakan sebagai kawan, saudara. Juga di Bhagavadgita Tuhan atau
avatarnya itu kedudukannya sebagai bapak, teman dan kekasih dari seseorang.
Namun
kita harus tahu pula, bahwa hal yang demikian itu jelas tidak lengkap untuk
menggambarkan Tuhan yang segalanya, hanya saja itu menjadi semacam penuntun
untuk mengantarkan umat atas citra kedudukan tuhan yang sangat luas dan
kompleks.
Sebagaimana
sepuluh ajaran pokok ajaran Arya Samaj dituliskan bahwa: Tuhan adalah asal
segala ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang dapat dikenal melalui
tanda-tandaNya. Tuhan adalah segala kebenaran, segala ilmu pengetahuan, segala
kegembiraan, tidak berwujud, yang Mahakuasa, Yang Adil, Yang Murah Hati, Yang
tidak diperanakan, Yang tidak terbatas, Yang tidak dapat berubah, yang tidak
berawal, yang tidak ada yang menyamai. Yang menanggung segala sesuatu dan tuhan
dari segalanya, yang menembus segala sesuatu, yang Mahatahu, yang kekal, yang
Hidup selamanya, yang bebas dari rasa takut, yang abadi, yang kudus, dan asal
salam semesta. Hanya kepadaNyalah kita menyembah.
e)
Sifat
Tuhan
Selain
telah disebut di atas, masih banyak sifat Tuhan menurut konsep konsep Veda dan
sastra-satra hindu lainnya, berikut sifat Tuhan yang ada dalam Hinduisme:1)
Maha Mulia, 2) Maha Agung, 3) Maha Kuasa, 4) Maha Mengetahui, 5) Maha Ada, 6)
Maha Sakti, 7)Maha Adil, 9) Maha Bijaksana, dsb.
Ada
juga dalam pustaka Veda ini disebut sifat Tuhan seperti: 1) Anima (Maha Halus dan Peka), 2) Lghima (Maha Ringan), 3) Mahima (Maha Ajaib dan Besar), 4) Prapti (Maha cepat mencapai tujuan), 5) Prakamya (segala kehendaknya tercapai),
6) Isvara (Maha Raja Diraja), 7) Vasitva (Maha penakluk), 8) Yatrakamavasayitva (Maha kodrati).
Ada
juga sifat Tuhan seperti : 1) Nirguna
(Tanpa sifat guna), 2) Nirkara (Tak
berwujud), 3) Nirvisesa (tanpa ciri),
4) Akarta (tak terwakili), 5) Acinthya (tak terpikirkan), 6) Nirupadhi (tak terbatas), 7) Nirwikara (tak terpengaruh ciptaanNya),
8) Niskalo (tak terbagi), 9) Nirjano (tak terlahirkan), 10) Niskalangko (tak ternodai), 11) Niranjano (tak tercemar/murni).
Sumber:
-Michael
Keene.2014, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta:
Kanisisus, hlm.14-15
-Ida
Bagus, ed. Djamannuri. 2000, Agama Kita
Perspektif Sejarah Agama-Agama, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, hlm.
45-48
-Jendra,
Teologi/Filsafat Agama-Agama, hlm. 105-108
Sistem
Kasta
Sistem
kasta telah mendominasi kehidupan sosial di India selama berabad-abad dan
mendapat dukungan dari Kitab-Kitab Suci Hindu. Sekarang sistem kasta itu
dikatakan ilegal, tidak sesuai nilai kemanusiaan di dunia. Akan tetapi
pembedaan kasta sebenarnya juga masih berpengaruh kuat di daerah-daerah negara
India. Menurut tradisi Hindu, ada empat warna yang diciptakan oleh Brahman,
dewa tertinggi, pada waktu penciptaan. Waktu berjalan terus dan banyak suku
bangsa dipengaruhi oleh Hinduisme dan sistem kasta yang semakin kompleks tumbuh
berkembang. Kasta adalah pembagian-pembagian di dalam masyarakat yang
didasarkan pada kedudukan manusia dan ribuan kasta serta sub-kasta masih terdapat
di India.
Menurut
Rig Weda, jilid 10 dikatakan "Ketika mereka membagi manusia pertama,
menjadi berapa bagiankah mereka dibuat?Siapakah yang dari mulutnya? Siapakah
yang dari lengannya? Kasta Brahmanalah mulutnya. Kasta Kesatriyalah lengannya.
Pahanya menjadi kasta Waisya. Kasta Sudra dari kakinya”.
Di
sini terlihat, kalau kita kembali kepada Rigweda, maka akan ditemukan pengertian-kasta
berdasarkan kurban dewa untuk menciptakan dunia. Dikatakan bahwa ada suatu
makhluk azali yang besar, laki-laki, yang disebut Purusa. Menurut Honig,
makhluk ini memiliki seribu kepala, mata dan kakinya menutupi bumi bahkan masih
menonjol sepuluh dim. Purusa adalah segala yang ada dan yang akan ada, dan
disebut sebagai “dewa yang tidak dapat mati”. Seperempat bagian badannya adalah
makhluk yang makan dan tidak makan, dan tigaperempat lainnya merupakan makhluk
abadi di langit. Para dewa melakukan persembahan korban dengan Purusa ini.
Ketika ia dipotong-potong, mulutnya menjadi brahmana, lengannya menjadi
ksatria, pahanya menjadi waisya, dan dari kakinya muncul sudra. Matanya menjadi
matahari, nafasnya menjadi angin, dari pusatnya ke luar ruang langit, dari
telinganya menjadi mata angin dan seterusnya.
Keempat
macam warna berasal dari sebuah kisah di dalam Rig Veda di mana dewa Brahma,
yang mempunyai kuasa untuk mencipta, menciptakan manusia pertama, Perusha.
Akhirnya, Perusha dikurbankan dan diambillah empat warna dari tubuhnya:
a)
Warna
tertinggi (putih) – Kasta Brahmana
Kasta Brahmana berasal dari mulut
Perusha. Yang termasuk kasta Brahmana adalah para pendeta yang memimpin
pelayanan dan upacara-upacara keagamaan serta menyanyikan ayat-ayat Kitab Suci.
b)
Warna
kedua (merah)- Kesatria
Kasta Kesatria berasal dari lengan Perusha.
Kasta ini telah membentuk para prajurit dan penguasa India.
c)
Warna
ketiga (kuning) – Waisya
Kasta Waisya berasal dari paha Perusha
dan membentuk pusat-pusat kehidupan ekonomi dan sosial negara, seperti petani
dan pedagang.
d)
Warna
keempat (hitam)- Sudra
Kasta Sudra berasal dari kaki Perusha. Kasta ini
membentuk para pekerja, yang memberikan pelayanan di tingkat paling dasar
kepada orang lain.
Prinsip
dasar peraturan catur varna (empat kasta) di atas adalah endogapmis. Yakni erpindahan
kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkinn. Artinya, seorang laki-laki
hams hanya kawin dengan wanita dan' kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam
kasta yang sama dengan orang tuanya. Varna atau kasta yang lebih tinggi selalu
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih “enak”. Hal ini tercantum dalam
dalam kitab undang-undang Manawa Dharma Sastra. Di dalamnya antara lain
ditetapkan bahwa sesuatu kejahatan akan lebih ringan kalau yang melakukannya
seorang brahmana daripada kalau kejahatan tersebut dilakukan oleh seorang
ksatria, dan akan lebih berat lagi kalau yang melakukannya seorang dari
golongan yang lebih rendah. Sebaliknya kejahatan yang dilakukan tcrhadap
seorang brahmana akan lebih berat daripada kalau kejahatan tersebut dilakukan
terhadap orang dari kasta yang lebih rendah.
Walaupun
dikatakan endogamis, dalam kenyataan peramran-peraturan tersebut tidak selalu
dipatuhi sepenuhnya. Perkawinan campur antar varna cukup banyak terjadi. Karena
itu terdapat varna campuran yang memiliki kedudukan tersendiri di samping
keempat vama yang asal. Kelompok ini sering disebut dengan “jati”.
Lalu
juga ada orang-orang yang tidak dan sudah tidak termasuk salah satu kasta. Diri
mereka siaebut, Dailit artinya "yang tertindas". Lalu juga ada istilah
kasta lain juga seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi yakni kaum Harijan yang artinya "anak-anak
dewa". Mereka ini dulunya orang-orang "yang hina Dina" tidak
termasuk salah satu kasta dan melakukan tugas-tugas kasar pun, seperti menyamak
kulit, mengubur jenazah manusia, ataupun bangkai binatang. Oleh karena, kasta
sendiri walaupun awalnya ada empat pembagian, dalam perkembangannya ternyata
terdapat kasta-kasta lain di luar empat kasta tersebut, sebagaimana telah
dicontohkan di atas.
Sumber:
Michael
Keene, Agama-Agama Dunia, …, 12-13
Ed.
Roni Ismail, Agama-Agama Dunia, …, 76-78
Agama
Brahmana
Pada
masa agama ini, dirikan bahwa zaman Brahmana ini mengalami perubahan atau
peralihan dari zaman weda samhita(agama weda kuno). Dimana ciri-ciri zaman ini
yakni: korban mendapat tekanan yang mendalam, para imam menjadi golongan yang
paling berkuasa, perkembangan kasta dan asrama, dewa-dewa berubah perangainya,
dan muculnya kitab-kitab sutra.
a) Kitab Brahmana
Agama
Brahmana ini bersumber kepada kitab Brahmana; yakni bagian kitab Weda yang kedua.
Kitab-kitab ini ditulis oleh para Brahmana (imam) dalam bentuk prosa. Diketahui
isinya memberi keterangan tentang korban dan sesaji. Hal ini disebabkan karena
pada zaman agama Brhmana ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan
rohaninya dalam kurban. Oleh karena itu, kitab-kitab ini menguraikan
upacara-upacara kurban, membicarakan nilainya serta mencoba mencari
asal-usulnya sebagaimana dengan ilustrasi mitos dan legenda (purakalpa, prakerti)tentang manusia dan
para dewa beserta ritus-ritusnya. Dimana dewa dan ritusnya tidak dapat
dipisahkan dalam adhibua(alami), adhiyajna(korban), dan adhyatman (mistis dan
filosofis).
Pada
bagian akhir kitab ini terdapat tambahan yang disebut kitab Aranyaka yang
berisi tentang renungan sekitar maslah korban sehingga dianggap sakti. Karena
itu untuk mempelajarinya harus di tempat-tempat tertentu yang jauh seperti di
hutan-hutan (aranya=hutan). Selain itu ada kitab wedangga, akan tetapi wedangga
ini adalah hasil pemikiran para resi. Contoh kitab yang terkenal seperti karya
kitab paramasastra dari Panini seorang pujangga yang hidup tahun 5 SM.
b) Kurban dalam Agama Brahmana
Cukup
berbeda dengan kurban zaman agama weda kuno, pada zaman ini sudah mulai tampak
gejala-gejala magi; yakni bahwa korban dipandang sebagai alat atau cara untuk
memaksa para dewa untuk menolong manusia. Jadi sebenarnya kurban ini sudah
dipandang memiliki daya magis, yang lebih kuasa dari pada para dewa.
Barangsiapa yang memperoleh daya itu, ia akan menjadi tuhan atau dewa dunia.
Puncaknya
pada zaman ini kurban digunakan untuk menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan
atas dunia sekarang dan akherat, atas yang tampak dan tidak, atas yang bernyawa
dan tidak bernyawa. Dimana kurban ini memiliki keterangan atau tafsiran bahwa
kkurban sebenarnya sudah ada sejak awal. Penciptaan dunia misalnya adalah hasil
kurban yang dilakukan oleh dewa yang tertinggi, Prajapati atau Brahma. Bahkan
kurban ini ditafsirkan lepas dari diri para dewa, dijadikan suatu daya atau
kesakten yang berdiri sendiri, yang senantiasa dapat dari mana-mana, yang dapat
digunakan manusia sebagai jembatan untuk memperoleh kebahagiaan. Mitologis
kurban sendiri digambarkan sebagai suatu makhluk yang hidup, yang memiliki
anggota-anggota seperti tangan, kaki dan sebagainya. Jika hal itu sudah disusun
harmonis dengan perantara mantera-mantera, maka terlihatlah bentuk rupa kurban.
Rupa kurban ini yang dapat menjadikan upacara kurban berhasil.
Dimana
korban dalam zaman ini juga terbagi menjadi dua yakni korban besar dan kecil.
Korban besar sendiri termuat dalam kalpa
sutra/srauta sutra, contohnya korban aswameda (korban kuda). Lalu korban
kecil termuat dalam grhya sutra
seperti korban nitya, naimittika.
Dalam brahmana ini juga snagat menekankan pemujaan terhadap matahari/api,
dimana dalam kitab arayanka
disebutkan rangkaian mantra untuk matahari (suryanamaskara).
c) Imam (Pendeta)
Para
imam atau brahmana dalam zaman ini sangatlah penting. Dimana karena berasil
atau tidaknya upacara kurban tergantung dari rupa kurban, rupa kurban ini
bergantung kepada kecakapan imam untuk menyususnya dengan mantera-manteranya.
Maka, dapat dipahami bahwa para imam menjadi penting sekali. Tanpa imam dalam
agama brahmana ini orang-orang seperti makhluk yang tak dapat hidup.
d) Kasta
Sebagaimana
diketahui, pada zaman ini terdapat kasa-kasta; yaitu kasta brahmana (para
imam), kasta ksatrya (para yang memerintah), kasta waisya (para pekerja) dan
kasta sudra (rakyst jelata). Asal mula kasta ini tidak begitu jelas. Di dalam
rig weda disebutkan bahwa kasta-kasta ini timbul dari anggota purusa, manusia
pertama-pencipta dunia dari dewa Brahma. Dimana purusa ini dikurbankan dan
diambilah empat macam warna dari tubuhnya.
Mulutnya (putih) menjadi kasta brahmana, kedua tanganya (merah) menjadi
ksatrya, kedua pahanya(kuning) menjadi kasta waisya dan kedua kakinya (hitam)
menjadi kasta sudra. Dalam rig weda sendiri hanya ada dua varna kasta yakni
Arya weda (kulit kuning) dan Dasyu weda (kulit hitam). Sebenarnya kasta itu
sangat banyak, akan tetapi menurut Bleeker itu berpangkal dari 4 kasta tua
dalam bangsa suku arya kuno:golongan pendeta (brahmana), perwira (kesatrya),
pedagang/petani(waisya) dan budak(sudra).
Diluar empat itu ada juga golongan kasta paria yang tidak boleh
didekati/disentuh. Dimana menurut Gait, mulanya bangsa Arya tidak suka akan
perkawinan campur antar suku, tidak kumpul bersama apalagi dengan yang lebih
rendah apalagi kulit hitam.
Menurut
para ahli bangsa Arya sebelum masuk India sudah mengenal suatu kasta yakni
golongan imam, prajurit dan pekerja. Kemudian saat diperkenalkan ke India,
bangsa pribumi dimasukan dalam kasta yakni golongan sudra. Hal ini dikuatkan
oleh kenyataan bahwa bangsa Iran juga sudah menhenal dua kasta sejak lama yakni
Imam dan golongan prajurit.
e) Asrama
Sebagaimana
adanya kasta, maka muncul juga aswarnaasramadharma yakni suatu konsep sosial
yang memberikan peraturan-peraturan bagi tindakan yang supaya sesuai dengan
tingkatan hidup orang menurut warna atau kastanya. Asrama dalam agama Brahmana
ini dimaksudkan untuk pembedaan tahap perkembangan kehidupan beragama. Dimana
dibedakan menjadi 4 asrama, atau lebih sering disebut catur asrama sesuai dengan warna
dan dharmanya, yakni:
1.
Brahmacari; yaitu masa belajar mencari
ilmu pengetahuan untuk bekal menjalani keidupan di masa depan/dewasa.
2.
Grhastha; yaitu tahap masa hidup berumah
tangga dan membentuk keluarga.
3.
Wanaprastha; yaitu masa idup menjadi
penghuni hutan atau pertapa.
4.
Sanyasin; yaitu masa hidup dimana
diharuskan meninggalkan segala sesuatu yang berbau duniawi.
f)
Konsep
Dewa
Sebagaimana kurban menjadi lebih
penting di zaman ini, maka banyak dewa menjadi tak penting lagi memegang
peranan yang penting. Pada zaman ini ada bebrapa dewata yang sudah tidak
disebut-sebut lagi dan ada dewa yang diturunkan derajat kedudukannya adan yang
sebaliknya. Umpamanya dewa waruna yang dari pengawas rta ia menjadi dewa laut.
Dewa Indra dan dewi Sawitri disamakan dengan Surya dan sebagainya. Dimana dewa
yang naik kehormatannya seperti dewa wisnu, prajapati dan beberapa dewa
lainnya.
g)
Sutra-sutra
Pada
zaman ini pula muncul kitab-kitab sutra; yakni kitab-kitab pedoman yang berisi
petunjuk-petunjuk tentang banyak hal dan ditulis dalam kalimat-kalimat pendek.
Kitab-kitab ini tidak tergolong weda, melainkan termasuk kitab-kitab yang
disebut wedangga atau anggota weda. Kitab wedangga ini merupakan hasil
pemikiran para resi. Isinya membicarakan hal ilmu bahasa, upacara-upacara, tata
bahasa, ilmu pengetahuan tentang soal dan arti kata, aturan-aturan pergaulan
dan sebagainya. Dimana semua itu diperlukan untuk teknik korban yang memerlukan
mantara-mantra yang tepat.
sumber:
Harun Hadiwijono. 1993. Agama Hindu
dan Budha cet. 15. Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm. 17-20.
Roni Ismail, dkk. 2012. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama. Hlm. 71-79.
Michael Keene. 2014. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm.12-13.
Agama
Upanisad
Agama Upanishad
ini menentang ajaran-ajaran dalam agama Brahmana, terutama mengenai ajaran
korban. Diketahui secara harfiah, Upanisad ini berasal dari kata upa, ni, dan shad. Upani= dekat, di dekatnya, shad= duduk, maka upanishad= duduk
dekat. Kata Upanisad ini lalu berarti duduk di bawah kaki guru, maksudnya yakni
untuk mendengarkan ajaran sang guru. Mula-mula kata ini hanya dipergunakan
untuk menyebut ajaran yang diberikan guru kepada muridnya, tetapi kemudian
dipergunakan juga untuk menyebut segala macam rahasia dan yang bersifat
misitik. Dimana akhirnya kitab-kitab yang memuat ajaran ini disebut kitab
upanisad pula. Hidup keagamaan pada zaman ini bersumber pada bagian akhir weda,
yakni kitab-kitab arayanka dan upanisad. Dimana ada banyak kesamaan diantara
kitab arayanka dengan upanisad, akan tetapi kedudukan kitab-kitab arayanka
sendiri dianatara kitab-kitab brahmana dan kitab-kitab upanisad.
a. Kitab
Upanisad
Kitab-kitab
ini disebut kitab upanisad, karena kitab ini memuat ajaran segala macam yang
rahasia dan bersifat mistik. Sebutan lain untuk kitab ini ialah Wedanta, yang
artinya akhir Weda. Kitab-kitab ini banyak jumlahnya, dimana terdiri lebih dari
100 buah kitab, dan ada yang merupakan tambahan bagi kitab-kitab Arayanka.
Isinya merupakan pemikiran falsafi yang berkisar seputar arti dan tujuan hidup
dan masalah yang berkaitan dengan hakekat manusia dan alam semesta. Dari sini
akan muncul beberapa konsep ajaran pokok agama Hindu, seperti konsep Brahman
dan Atman.
Masalah
asal-usul dan tujuan manusia serta alam semesta digali secara mendalam dan
mendasar Upanisad. Isinya banyak yang tidak lagi bersumber pada para brahmana,
bahkan kitab ini menjadi penentang utama terhadap kekuasaan mutlak para
pendeta. Di beberapa tempat, Upanishad ini mengecam keras dan mengutuk arti
nilai korban serta ritus-ritus yang
diselenggarakan para brahmana. Dimana terlihat misalnya dalam Mundaka Upanisad
1, 2:7,8, dimana dengan sinis dikatakan bahwa perbuatan korban adalah perbuatan
yang sia-sia dan merupakan tindakan kebodohan yang sangat dalam. Para pelakunya
dianggap orang-orang yang tertipu yang menganggap dirinya memperoleh berkah dan
anugerah padahal mereka tahu bahwa para pendeta itu bukanlah dewa.
Ajaran-ajarannya dapat disebut
monisme yang bersifat idealistis, maksudnya ajarannya mengajarkan bahwa segala
sesuatu dapat dikembaliakan kepada satu asas. Adapuan asas yang satu itu adalah
Brahman dan Atman. Brahman ini adalah asas alam semesta, sedangkan Atman ini
adalah asas manusia. Hanya brahman dan atman lah yang memiliki bentuk
kenyataan. Dimana duniawi yang tampak ini tidaklah nyata, keadaannya hanyalah
semu (maya) saja. Dimana juga atman ini pada akhirnya adalah brahman.
b.
Brahman dan Atman
Perlu
diketahui, istilah Brahman ini sudah ada sejak zaman Weda Samhita (weda kuno).
Mula-mula brahman ini adalah ilmu atau ucapan yang suci, suatu nyanyian atau
mantera, sebagai pernyataan yang konkrit dari hikmat rohani. Lalu kemudian
Brahman menjadi doa atau daya yang ada dalam doa. Pada diri sendiri doa itu
dipandang sebagai sudah memiliki “kesakten”, sudah mengandung sari dari hal-hal
yang disebut dalam doa tadi. Daya ini sebenarnya berasal dari rta atau tata
dunia, dan dapat diambil dengan perantaraan korban.
Sekarang
di dalam Upanisad, Brahman adalah sebab adanya dunia, landasan atau sebab
bendani dunia ini. Bahwa Brahman yang tidak tampak itu berada di dalam segala
sesuatu, yang digambarkan sebagai garam yang dilarutkan di dalam air. Hanya
Brahman yang nyata dan bebas, Brahman juga dapat disebut “yang menciptakan
dunia”. Tetapi penciptaan di sini bukan
pekerjaan, sebab segala sesuatu mengalir keluar dari pada Brahman. Sebagaimana
dalam Mundaka Up. 1, 1,7,8 dikatakan “sebagai seekor laba-laba yang mengeluarkan
dan menarik kembali sarangnya, sebagai rumput yang tumbuh di bumi, sebagai
rambut yang tumbuh di kepala dan tubuh orang hidup, demikianlah alam semesta
ini timbul dari pada yang tidak dapat binasa”. Brahman pula sering disebut
sebagai dewa tertinggi, dewa dari segala dewa, dan tuhan dari segala tuhan. dimana
dalam perkembangannya para dewa adalah penjelmaan dari Brahman.
Disamping
itu, ada istilah Atman, bila Brahman adalah asas jiwa universal, maka Atman ini
adalah jiwa individu. Atman bukanjasmani, bukan idrawi, bukan kehidupan,
bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat terdalam jiwa individu itu sendiri.
Selain itu, sering diungkapkan pula bahwa Atman adalah Brahman. Artinya bahwa
tuhan itu manifestasi dalam jiwa setiap individu. Ini memberikan kemungkinan
kesatuan jiwa dengan tuhan dan sesungguhnya itu adalah ekspresi ungkapan
keesaannya. Dengan kata lain setiap makhluk memiliki atmannya sendiri yang
menyebabkan makhluk itu sadar akan “aku”nya; kemudian semakin memperjelas bahwa
Upanisad mengajarkan monisme idealitas, sebagaimana telah disebutkan di atas
sebelumnya.
c. Pengetahuan
Sejati
Ada
ungkapan yang sangat dikenal dalam bahasan ini adalah Parama Atman yakni jiwa tertinggi atau maha jiwa, hanya satu dan
identik benar dengan jiwa perorangan (pratayagatman).
Dalam upanisad ungkapan itu dimaksudkan “pengetahuan adalah brahman”, dan
maksud “aku adalah brahman (ahama brahma
asmi)”. Lalu “jiwa ini adalah brahman”, juga ada ungkapan jasad dan jiwa, yang mengandung
arti jasad adalah kendaraan dan jiwa adalah pengemudinya. Jadi, pengetahuan
yang seperti itu adalah pengetahuan yang sejati (jnana), hanya orang yang
menguasai dirinya saja yang dapat mencapai ilmu sejati semacam itu, karena itu
ilmu ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam menguasai
batin.
d. Karma
Upanisad
mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik
manusia, hewan, tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang
akan datang. Oleh karenanya karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya
sebagai akibat dari perbuatan atau korban sebelumnya. Dimana karma sebenarnya
berarti perbuatan, lalu dalam praktiknya juga sering berarti korban. Dikatakan
menurut Hadiwijono, karma ini berakar dari ajaran rta dalam erda kuno, lalu
dalam agama Brahmana rta ini mempunyai arti yang sama degan korban atau yajna.
Sehingga dapat dikatakan ajaran rta dan yajna ini memberi isyarat akan ajaran
karma.
e. Reinkarnasi
Ajaran
karma dalam Upanisad dikaitkan dengan ajaran tentang kelahiran kembali bisa
dikatakan pula reinkarnasi. Dimana reinkarnasi ini ditentukan oleh keseimbangan
relatif yang ditentukan oleh amal perbuatan baik atau buruk pada masa-masa
sebelumnya. Orang akan menjadi baik atau buruk hanyalah karena karmanya
sendiri.
Dimana
hubungan ajaran karma dan penjelmaan atau perpindahan jiwa sangat penting pula
dalam Upanisad. Vamadewa telah
mengembangkan ajaran ini, yakni manusia menanggung akibat perbuatan atau karma
sebelumnya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan
membimbingnya. Barangsiapa berbuat baik ia akan dilahirkan kembali sebagai
manusia yang baik, dan sebaliknya barangsiapa berbuat jahat, ia akan dilahirkan
kembali sebagai manusia jahat pula. Oleh karena itu manusia perlu dilahirkan
kembali berulang-ulang kali di dunia supaya perbuatan jahatnya dapat tertebus.
Hanya atman yang mulia dan tinggi yang sudah tahu akan maya(semu) saja yang
mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan dan lepas dari samsara.
f. Samsara
Sebagaimana
telah disinggung, karma yang terkait dengan kelahiran kembali, maka akan muncul
pula proses perputaran kelahiran yang disebur samsara. Jadi samsara adalah
ajaran tentang perputaran kelahiran kembali. Samsara ini menyakini kehidupan
bukan hanya berakhir dengan kematian, akan tetapi kematian pun akan berakhir
dengan kehidupan. Dimana nasib yang hidup akan mati, yang mati akan hidup
kembali. Tingkat berkurangnya samsara sendiri tergantung akan karmannya pula.
Mereka yang memiliki karma atau perbuatan yang baik maka dikehidupan
selanjutnya akan lebih baik pula.
Hanya manusia yang telah mencapai
atman yang mulia dan tahu akan maya yang mampu menhgatasi hukum karma dan
mencapai moksa. Untuk dapat lepas dari samsara ini ia harus menghancurkan dan
menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa atman adalah
brahman sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana).
g. Moksa
Setelah
mencapai jnana, seseorang akan mencapai moksa; yaitu kelepasan dan sadar akan
bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman dan
berhak disebut sebagai jiwanmukta.
Dapat
dijelaskan bahwa kelepasan atau moksa ini dapat dicapai dengan memlepaskan diri
dari segala kekuasaan samsara dimana karena karma, mereka dikuasai karena
keinginan-keinginan yang menyebabkan manusia diikuti perbuatan atau karmanya.
Referensi:
Roni
Ismail, dkk. 2012. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama.
Hlm.79-84
Harun
Hadiwijono. 1993. Agama Hindu dan Budha cet. 15. Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm.
20-23/
Kitab
Bhagavad Ghita
a)
Makna
Bhagavad Gita
Bhagavad
Gita berarti nyanyian Tuhan. Bhagavad Gita ini mengajarkan Karma yoga, Bhakti
yoga dan Jnana yoga. Bhagavad Gita ini merupakan bagian epos Mahabharata yakni bagian
parwa yang ke-6 (bismaparwa). Parwa
Bhisma ini dalam Mahabharata dalam bab 23-40 yang terdiri atas 700 ayat. Namun,
di Kashmir juga ada Gita yang terdiri 714 ayat dan di Bali hanya terdiri 86
ayat. Menurut para sarjana dikatakan, biasanya Gita ditulis abad ke-3 SM, lalu
seorang Feurstein berpendapat dituliskan abad ke5 sampai ke 4 SM. Menurut
Radakrishnan sendiri tidak akan keliru jika seseorang menyebut Gita sudah ditulis sejak abad ke-5 SM. Selain itu,
menurut para sarjana bahwa penulis Gita ini seseorang yang bernama Rshi Vyasa. Lalu,
karena merupakan bagian Mahabharata yang mana ditujukan untuk golongan publik
dan orang awam, Gita ini juga dominan karma yoga. Disamping karena Mahabharata
ini dianggap sebagai tambahan atau pelengkap atas kitab weda. Oleh karenanya,
tradisi Weda menerima ketiga jalan (karma, bhakti dan jnana) yang diajarkan
dalam BhagavadGita.
Jadi,
Gita adalah sebuah dialog antara Tuhan Krishna dan muridnya, Arjuna yang
terjadi di padang Kurukshetra. Isi pokoknya menuliskan tentang pembicaraan
Krisna dengan Arjuna pada awal perang Bharatayudda. Dimana ketika perang mulai
dekat Arjuna ragu, oleh karenanya (Tuhan) Krisna sebagai Gurunya memanggil Arjuna kembali kepada
tugasnya sebagai ksatria. Dalam percakapannya itu, Arjuna mempelajari kehidupan
abadi jiwa, tugas kasta Ksatria dalam berperang, dengan menguraikan ajaran tersebut, dimana isi
pokoknya memberitakan hal bhakti (penyerahan diri).
b)
Latar
Belakang
BhagavadGita
ini tidak menghilangkan otoritas Weda, Gita menganggap tatanan otoritas Weda
masih valid bagi manusia dalam status budaya tertentu. Menurut Gita, orang
tidak dapat mencapai kesempurnaan, tanpa mematuhi peraturan kitab Weda.
Tindakan seperti kurban tetap harus dilakukan namun tidak harus mengharapakan
hasilnya. Karena setelah tahap tertentu, ritual kurban cenderung menjadi
penghambat bagi pencapaian kesempurnaan akhir. Dimana sifat-sifat angkuh para
Dewa dalam Weda tidak diterima lagi. Walau ritual ibadat masih bisa memberikan
seseorang kekuatan dan kekayaan, namun hal itu malah sulit membawa langsung
pada pembebasan (moksa).
Semangat
utama Gita ini adalah identik dengan yang ada di Upanishad, namun Gita lebih
menekankan sisi religiusnya. Dianggap bahwa abstraksi singkat teks-teks
Upanishad ini tidak dapat memuaskan banyak sisi kebutuhan jiwa manusia. Penulis
Gita menemukan bahwa manusia tidak dapat dipaksa untuk mencintai logika (yang
dipakai dalam Upanishad). Oleh karenanya, Gita ini mengeluarkan implikasi
religiusnya (Upanishad), serta menyusunnya menjadi sebuah sistem dengan
memasukkan unsur mitologi populer dan imajinasi nasional. Jadi, latar belakang
Gita ini diambil dari Upanishad.
c)
Kaitan
Gita dengan Sistem lain
Dalam
Gita dapat ditemukan ayat-ayat yang sama dengan yang ada di Upanishad. Dimana
Gita banyak menekankan sisi religiusnya, walaupun dalam hal ini, ada hal yang
perlu dicermati. Misalnya dalam praktiknya, Gita meninggalkan kegilaan religius
yang berlebihan seperti para pertapa dan bunuh diri spiritual para suci yang
lebih menyukai kegelapan, kesendirian daripada sinar matahari maupun kehidupan
sosial. Mereka terlihat memilih penderitaan daripada kesenangan. Gita sendiri,
dalam hal ini menyatakan bahwa memang mungkin untuk mencapai keselamatan tanpa
harus mengikuti jalan yang ekstrem.
Menurut
Garbe, hampir ajaran Samkhya-yoga
membangun seluruh pandangan filosofis Gita. Lalu ada ajaran Samkhya
(ajaran dua realitas abadi: kesadaran(purusha)
dan materi primordial (prakrti))
Vedanta (akhir dari Weda). Walaupun samkhya maupun Yoga ini dalam Gita ini
hanya sebagi metode refleksi dan mediatif untuk mencaapai keselamatan, karena
pada Gita, sudah tidak ada perbedaan jelas antara Samkhya, Yoga dan Vedanta.
Dimana
penggunaan istilah buddhi, ahamkara,
manas, prakrti di dalam Gita tidak selalu sama dengan makna dalam Samkhya.
Dimana misalnya ada dua distingsi yang jelas-jelas lain antara purusha dan
prakrti, namun dalam Gita dapat diatasi. Dianggap inteligensi psikis (purusha)
merupakan kodrat yang lebih tinggi. dimana prakrti (materi primordial) walaupun
itu dianggap tidak sadar, dalam aktivitasnya
memiliki tujuan, yakni dianggap masih perlu pembebasan jiwa (moksa).
Terlihat karakter tujuan itu tidak selaras atau sejalan dengan sifat
ketidaksadaraan itu sendiri sebagai sebuah postulat (sebagai premis/dalil).
Dimana dalam Gita hal itu telah diatasi. Yakni ada sebuah fakta dalam prakrti.
Jiwa (purusha) bukan merupakan realitas independen sebagaimana ajaran dalam
sistem Samkhya,kodrat purusha ini tidak hanya kebenaran/kesadaran (chit),
tetapi juga kenikmatan/kebahagiaan (ananda). maka pembebasan jiwa (moksa) ini
menurut Gita juga harus mempertimbangkan kebahagiaan (ananda) alias jangan
terlalu ekstrem/menyiksa diri.
Selain
itu, Gita juga percaya akan eksistensi jiwa (uttama-purusha, supreme soul), dimana juga terpengaruh teori Samkhya.
Yang mana Purusha (jiwa) ini adalah saksi, bukan sebagai pelaku. Prakrti lah
yang melakukan semuanya. Dimana semua entitas di bumi, di langit dan para dewa
pun tidak terbebas dari kualitas yang lahir dari prakrti. Yang mana bila masih
tunduk pada hal itu, semuanya itu masih menggembara dalam lingkaran eksistensi.
Jadi, Kebebasan (moksa) adalah pembebasan dari kualitas tersebut. dimana orang
yang berpikir “saya yang melakukan” adalah hal yang keliru.Dimana seakan-akan
menyadari keterpisahan purusha dengan prakarti atau jiwa dengan kodrat adalah
akhir dari kehidupan ataupun mencapai moksa, padahal tidak.Yang mana Gita
mengajarkannya harus merujuk pada latihan Yoga. Sebagaimana ketika Arjuna
bertanya pada Krishna, bagaimana pikiran yang berubah-ubah dan rumit dapat
dikendalikan?, Krishana menjawab dengan latihan (abhyasa) dan sikap tidak
terpengaruh pada objek-objek dunia (vairagya) maka pengendalian pikiran dapat
tercapai.
d)
Ajaran
Ketuhanan dalam Gita
Bhagavad
Gita ini memiliki sebuah metafisika (Brahma-Vidya) dan sebuah disiplin
(yoga-shastra). Bhagavad gita ini memberikan sebuah yoga shastra yang
komprehensif, lentur serta banyak sisi yang mencakup berbagai fase perkembangan
jiwa menuju yang ilahi. Baik benda (prakrti) dan maupun jiwa (purusa) berasal
dari Tuhan. jiwa dipenjarakan di dalam tubuh. Oleh karenanya dipengaruhi segala
macam pengaruh dan dan perbuatan benda. Jadi, Bhagavad Gita ini mengajarkan
manusia untuk bertindak tanpa ke-aku-an. Dalam tindakan ini, manusia bekerja
sebagai instrumen atau tangan tuhan. Artinya, bertindak tanpa terikat atau
mengharapkan hasil dari tindakannya.
Menurut
Feurstein, Gita adalah dokumen awal Vaishnavisme, yakni tradisi religius yang
memusatkan diri pada penyembahan Wishnu sebagai manifestasi ilahi, terutama
dalam inkarnasinya sebagai Krishna.
e)
Ajaran
Kelepasan (Moksa)
Gita
menjadi mediasi antara ritual korban para pendeta ortodoks (ajaran Weda kuno)
dan ajaran inovatif yang ditemukan dalam ajaran Upanishad, bahkan Buddhisme dan
Jainisme. Dimana teks Gita ini bersifat metafisis dan etis, artinya
Brahman-vidya dan yoga-sastra,atau pengetahuan tentang realitas dan seni
menyatu dengan realitas. Gita mengajarkan sebuah metode yang dapat dicapai oleh
semua orang, yakni jalan Bhakti atau devosi kepada Tuhan, karena sebelumnya
hanya orang yang sudah berbudaya yang dapat ikut jalan pengetahuan (jnana)
serta orang kaya yang dapat melakukan upacara kurban (yajna).
Walaupun
demikian, dalam Gita diajarkan tiga macam jalan kelepasan, yaitu: 1).
Jnana-marga, ialah jalan kelepasan dengan melalui pengetahuan akan kebenaran
yang tertinggi, 2). Bhakti marga, ialah jalan kelepasan dengan melalui kasih
dan pemujaan kepada purusa yang tertinggi, 3)karma marga, ialah jalan kelepasan
dengan penaklukan kehendak sendiri kepada tujuan Tuhan.
Ketiga
jalan itu sejatinya sama-sama menuju satu tujuan yakni kelepasan. Orang dapat
mencaapai kelepasan melalui segala macam kesadaran hidup. Tidak ada perbedaan
yang mutlak antara jalan-jalan itu, hal ini karena sang Ilahi sendiri tak
terpisah-pisah adanya. Tuhan adalah kenyataan, kebenaran dan kebahagiaan(sat,cit dan ananda). Yang jelas, kelepasan ini harus terdiri dari persekutuan
jiwa dengan jiwa yang tertinggi, yaitu menyaksikan, mengalami, dan menghayati
hidup ilahi. Persekutuan ini disebut: berada di dalam Brahman, tak beraksi, dan
sebagainya.
Sumber: Matius Ali,2013. Filsafat Timur…, hlm. 91-100
Harun
Hadiwijono,1993.Agama Hindu dan Buddha,..,
hlm. 29-30
Michael Keene, 2014. Agama-Agama Dunia,…, hlm. 20-21
Agama
Weda
Secara sekilas bila
kita melihat agama Weda, hal-hal yang menonjol di dalamnya terdapat konsep sistem
korban dan dewa-dewa alam. Itulah konsep dalam agama Weda yang diserap ke
Hinduisme yang kita kenal sekarang. Namun agama Weda tidak hanya sebatas itu,
berikut hal-hal mengenai agama Weda:
A. Sumber
agama Weda
Umat
Hindu memiliki naskah suci yang menjadi pegangan dalam beragama, yakni Weda
samhita. Weda samhita ini diyakini berasal dari Brahma, lalu isinya diwahyukan
oleh dewa Brahma kepada para resi mantra-mantra, kemudia disusun dalam
puji-pujian. Lalu dalam bentuk kitab suci terbagi menjadi empat samhita yakni
rigweda (mantra-mantra dalam puji-pujian untuk dewa), samaweda (puji-pujian
yang berlagu/berirama musik dalam persembahan
upacara kurban untuk dewa), yajurweda (rapal-rapal mantra saat
melaksanakan upacara kurban, menjadikannya benda kurban sakral dan diterima
oleh dewa), atharwaweda( mantra-mantra sakti seperti sihir dan tenung untuk
selain upacara kurban).
B. Konsep
dewa dalam agama Weda
Dalam
agama Weda ini ada dua makhluk tinggi yang dibedakan yakni dewa dan roh jahat. Mengenai
dewa sendiri adalah makhluk yang dianggap pemurah terhadap manusia dan berkenan
menerima pujaan dari manusia. Sebagaimana tertulis dalam kitab rigweda
disebutkan ada 33 dewa yang terbagi atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa,
dan dewa-dewa bumi. Diantara dewa-dewa langit itu yakni dewa Waruna, dewa Surya,
dan dewa Wisnu. Dimana Waruna adalah dewa pengawas tata dunia/rta, Surya ini
dianggap dewa yang memperpanjang hidup dan mengusir penyakit, lalu Wisnu
sendiri dalam Weda kuno ini belum memiliki peran yang besar dan digambarkan dia
melangkah tiga kali, langkah ketiga itulah tempat tertinggi(sorga tempat para
dewa). Lalu diantara dewa-dewa angkasa
ini yakni dewa Indra (dewa perang), dewa Marut (dewa angin ribut), dewa Wagu
(dewa angin). Dan diantara dewa-dewa bumi yakni dewi Prthiwi, dewa Agni.
C. Konsep
roh jahat
Sementara
konsep roh jahat dalam pandangan agama Weda ini terbagi atas 2 golongan,
pertama, roh jahat yang tinggi martabatnya yang hanya mampu dilawan oleh para
Dewa seperti roh Wrta penguasa kemarau (musuh Indra). Kedua, roh jahat yang
tergolong rendah seperti roh Raksa (berwujud binatang atau manusia), roh Pisaca
(pemakan daging mentah atau jenazah). Ada pula roh halus seperti gandarwa,
yaksa, bhuta, dan raksasa.
D. Kurban
sebagai praktik keagamaan
Praktik
kurban dalam Weda ini pada dasarnya
dipersembahkan dengan maksud kemurahan dari dewa-dewa, menghindarkan
diri dari ancaman ganguan roh-roh jahat dan memuja para leluhur. Kurban-kurban
yang dilaksanankan ini bersifat permohonan yakni mohon keuntungan-keuntungan di
hari depan, sehingga kurban untuk ucapan syukur atas hal-hal yang sudah dialami tidak ada. Ada dua
macam kurban disini, yakni kurban tetap dan kurban berkala. Kurban tetap
dilakukan tiap pagi dan sore, tiap awal
bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan dan musim dingin.
Dan kurban berkala yakni yang dilakukan jika ada keperluan, seperti kurban
soma, aswameda/kurban kuda, rajasuya dan sebagainya.
E. Konsep
Rta
Rta
adalah konsep tata tertib alam atau kosmos. Rta ini dipandang sebagai
pengejawantahan dari daya-daya kekuatan dan kekuasaan. Setiap daya kekuatan ini
adalah dari dewa yang harus dijaga kelangsungannya. Untuk itu diperlukan
penlaksanaan ritus. Sebagaimana Waruna adalah dewa yang menjaga Rta ini, yang
memisahkan langit dan bumi,perjalanan matahari, bulan, bintang, laut,
sungai-sungai, musim-musim dan sebagainya. Juga rta ini dipandang sebagai tata
tertib susila, dimana mereka yang mengikutinya akan mendapat kebaikan dari
Waruna dan hukuman bagi yang tidak.
F. Konsep
dosa
Konsep
dosa ini adalah konsep yang menyalahi rta atau tata tertib alam dan etis. Mereka
yang melanggar rta ini harus melakukan ritus tertentu agar keadaan alam dan
etis normal kembali. Sebagaimana bila tidak mereka yang melanggar akan mendapat
hukuman dari dewa. Karena orang yang jahat ini mereka melanggar rta.
Sumber
bacaan:
Harun
Hadiwijono. 2008. Agama Hindu dan Budha cet. 15. Jakarta:BPK Gunung Mulia. Hlm.
17-20
Roni
Ismail, dkk. 2012. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama.
Hlm.63-70
Jalan
Mencapai Tuhan
a.
Makna
Kelepasan(Moksa)
Kata
Moksa dalam sansekerta berarti membebaskan, memeredekakan, melepaskan, dan
mengeluarkan. Dalam Weda, moksa ini adalah tujuan akhir dari seluruh umat
Hindu. Moksa adalah kebebasan dari
keterikatan benda-benda duniawi dan terlepasnya atman dari pengaruh maya, serta
bersatu kembali dengan sumberNya, yakni Brahman. Orang yang telah mencapai
moksa tidak akan lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya.
Ia telah bersatu dengan Brahman. Sebagaimana dalam Bhagavad Gita 8.19 “Pada
akhir kelahiran manusia, oramg yang berbudi (orang yang tidak terikat lagi oleh
keduniawian) datang kepadaKu karena (mereka) tahu Tuhan adalah segalanya,
sungguh sukar dijumpai jiwa agung seperti itu”. Dan untuk melakukannya itu ada
cara atau jalannya.
Dalam
Hindu setidaknya ada empat jalan religius atau cara untuk capai keselamatan
pribadi. Terserah pada setiap orang untuk memilih jalan mana yang diambil,
meskipun kadang bebrapa diantarannya lebih sulit dilakukan. Keempat jalan ini
dimaksudkan untuk sarana yang dapat digunakan oleh orang yang ingin menemukan
pembebasan akhir dari lingkarn lahir, hidup,dan mati, berikut keempat jalan
ini:
b.
Jalan
Bhakti
Kata
Bhakti, diturunkan dari kata sansekerta
“Bhaj” yang berarti berbagi, berpartisipasi dan lebih sering diterjemahkan
sebagai devosi ‘kasih”. Jadi merupakan jalan dengan pengabdian dan partisipasi
memlalui kasih dalam pribadi yang dari ilahi.
Bhakti
adalah ibadat penuh kasih untuk salah satu dewa. Biasanya di tempat pemujaan keluarga yang dapat ditemukan di
setiap rumah orang hindu, karena tempat ini memeiliki peranan yang sangat
penting dalam Bhakti, disitulah setiap orang hindu melaksanakan puja sebagai
wujud devosi pribadi. Yakni berupa menyanyiakan lagu pujian, menyampaikan
cerita dewa-dewi, drama religius, menari, dan merayakan perayaan keagamaan,
semua ini ada unsur tradisi bhaktinya.
Sebagaimana
kutipan perkataan Krishna “apa yang kamu lakukan, makan, persembahkanlah
sebagai persembahan, berikanlah sebagai hadiah atau lakukanlah sebagai
penebusan dosa, persembahkanlah semauanya kepadaKu”.
c.
Jalan
Karma
Kata
karma dalam Sansekerta, diturunkan dari akar kata kerja “kri” yang artinya
membuat, melakukan. Kata karma ini memiliki banyak arti, seperti berarti
tindakan, ritual, kerja, produk, sebab akibat, tindakan fisik-verbal dan
mental, kumpulan tindakan masa lalu dan lain-lainnya. Secara khusus, jalan
karma ini menunjukkan sebuah sikap batin terhadap suatu bentuk tindakan.
Sebagiamana berawal dari Bhagavad Ghita
3.4 “bukan dengan tidak bekerja orang mencapai kekbebasan dari
perbuatan, juga tidak dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai
kesempurnaan”.
Yang
dalam Bhagavad Gita, hukum moral kehidupan menyatakan bahwa perbuatan baik
membuahkan kebaikan sedangkan perbuatan jahat membuahkan kejahatan-(hukum
karma). Maka, perbuatan ini seperti halnya mata rantai sebab akibat yang karena
cara manusia hidup di dalam suatu kehidupan akan mempengaruhi bagaimana mereka
akan kembali pada kehidupan selanjtnya. Disini umat hindu percaya bahwa apapun
yang dilakukan oleh seseorang benar-benar akan mempengaruhi karma mereka. Oleh
karena itu, setiap orang harus berhati-hati agar hanya melakukan perbuatan yang
menghasilkan karma yang baik.
d.
Jalan
Jnana
Kata
Jnana berasal dari Sansekerta, yang berarti pengetahuan, kearifan. Dalam
konteks spiritual ini, jalan ini memiliki arti khusus, seperti dalam tradisi
Yunani sering dikenal Gnosis, yakni pengetahuan yang membebaskan. Disini
artinya pengetahuan yang diperoleh melalui jalan intuisi. Kalau dalam tradisi
Vedanta, Jnana ini merupakan sebuah jalan spiritual yang ada dalam sisitim
vedanta, yaitu sebuah nondualisme dalam tradisi hinduisme ini.
Jnana
adalah jalan yang paling sukar bagi seseorang untuk mendapatkan keselamatan.
Jalan ini bukan hanya harus membutuhkan bimbingan terus menerus dari seseorang
guru spiritual, melainkan jga kemampuan untuk menguasai semua kitab suci- tugas
yang hampir mustahil bagi umat Hindu. Oleh karenanya, hanya beberapa orang saja
yang mampu membebaskan diri dari keterikatan duniawi ini melalui penguasaan
kitab suci secara menyeluruh.
e.
Jalan
Yoga
Yoga
adalah disiplin spiritual terhadap latihan-latihan fisik dan mental yang telah
dilaksanakan di India selama beribu-ribu tahun. Latihan-latihan itu dimaksudkan
untuk membangun penguasaan diri terhadap pikiran dan tubh mereka. Kitab suci
kuno juga telah menyediakan sejumlah prasyarat bagi orang-orang yang ingin
menggunakan Yoga untuk mematahkan keterikatan duniawi. Disini, mereka harus
mampu untuk mengendalikan diri, tidak melakukan kekerasan, jujur, suci, dan
meghindari kerakusan. Mereka harus menguasai posisi yoga tertentu, yang paling
penting posisi teratai-sikap duduk bersila dengan kedua kaki ditumpang di atas
paha. Lalu juga ada latihan pernapasan, juga konsentrasi, dan pemusatan pikiran
pada patung/sosok dewa. Mantra juga bisa dinyanyikan untuk membantu membimbing
pikiran maju ke depandan dengan demikian dapat meningkatkan kesadaran akan
kesendiriannya dengan roh tertinggi, Brahman.
Diketahui,
ada 8 langkah terpisah dalam pendekatan Yoga Hindu. Dimana ada 86 macam posisi
tubuh. Lalu juga pada orang yang telah mencapai tahap akhir kontemplasi/semadi,
cirinya orang disamakan dengan bunga teratai yang berada di dalam air kolam
yang kotor, yang tidak tersentuh oleh kotoran disekitarnya. Karena setelah itu,
hanya ada moksha-pembebasan. Selain itu,
seorang hindu suci yang sedang mengikuti jalan ini akan mengenakan pakaian
seminim mungkin, berpuasa, dan melakukan yoga sebagai penebusan dosa. Perihal
makan pun ia dibantu orang-orang awam dengan memberikan makanan dan uang
kepadanya.
Sumber:
Michael
Keene, ter. FA. Soeprapto.2014,…, hlm. 32-33
Matius
Ali, Filsafat Timur.2013,…,hlm.108,112,118
Etika
dalam Hindu
Di
dalam kitab Rigweda, hukum terhadap dosa dan kesalahan adalah wewenang para
dewa. Pelindung moral tertinggi adalah Waruna. Para Resi akan tetap selalu
menyeru dan memuja dewa tersebut supaya menyelamatkan diri mereka dari segala
macam dosa dan kesalahan lain agar tetap dapat mengamalkan hukurn dewa.
Ada tiga istilah panting yang erat kaitannya dengan
pemikiran moral agama Hindu, yaitu (1) rta,
(2) satya, dan (3) dharma. Rta secara bahasa berarti
“pergi”. kemudian menjadi pengertian tata aturan kosmos ataupun tata moral atau
kita sebut “tata tertib moral”. Lawan kata rta
adalah anrta. Lalu Satya berarti “kebenaran”, sementara
dharma adalah hukum-hukum dan ketaatan terhadap agama yang lebih ditekankan
pada sisi kemanusiaan.
Di sini, konsep etika(susila) dalam Hindu masuk ke
dalam kategori dharma. di mana susila sendiri berasal dari kata Su artinya baik dan sila artinya yang
berarti dasar, perilaku, atau tindakan. jadi asusila adalah tingkah laku
manusia yang baik. secara umum kata ini dapat disamakan dengan etika. dengan
begitu, dalam Hindu sendiri, susila merupakan ajaran moral atau cara berprilaku
yang baik, serta tentang landasan filosofis yang mendasari perbuatan baik yang
harus dilakukan dalam kehidupan manusia.
Dalam kitab Bhagavad
Gita, kecenderungan-kecenderungan sifat manusia dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu:
1.
Daiwi Sampat, yaitu kecenderungan
kedewataan. Kecenderungan kedewataan adalah kecenderungan mulia yang
menyebabkan manusia berbudi luhur yang mengantarkan orang untuk mendapatkan
kerahayuan.
2.
Asuri Sampat, yaitu kecenderungan
keraksasaan. Kecenderungan keraksasaan adalah kecenderungn rendah yang
menyebabkan manusia berbudi rendah, dan membuat manusia dapat jatuh ke jurang
neraka. Agar manusia tidak dikuasai oleh kecenderungan keraksasaan ini maka
manusia harus mampu mengendalikan indrianya menuju pada hal-hal yang membawa
pada kerahayuan.
Dijelaskan bahwa, andaikata orang mengatur dirinya
bertingkah laku hanya karena orang lain, maka sewaktu-waktu ia akan berani
berbuat tidak baik apabila tidak ada orang yang melihatnya, karena dengan
demikian tidak ada orang yang memberikan hukuman Tetapi, untunglah tidak
demikian halnya, karena orang-orang yang hidup di dunia ini mempunyai kesadaran
bahwa di samping orang lain dan alam, Hyang Widhi akan menentukan akibat dari
perbuatannya.
Ajaran-ajaran
agama memberikan sanksi hukum yang m'skala atas sesuatu perbuatan yang
ditentukan oleh Tuhan. Orang lebih berani menentang dan melanggar hukum-hukum
yang sakala (nyata) yang ditentukan oleh manusia karena ia dapat membayangkan
akibatnya dibandingkan dengan menentang hukum-hukum niskala. Bagaikan sebuah bangunan yang kuat perlu didirikan di atas
dasar yang kuat demikian pula halnya dengan tata susila perlu didirikan di atas
dasar yang kuat Dasar yang kuat mi adalah ajaran-ajaran agama.
Dalam praktiknya sekarang, etika dalam Hindu,
sebagaimana masyarakat Hindu Bali, konsep etika ini diformulasikan dalam:
- Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran etika agama Hindu yang harus menjadi pedoman setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya.
- Panca Yama dan Niyama Brata, yaitu lima kebaikan yang harus dilakukan dan lima keburukan yang harus dihindari.
- Tri Mala, yaitu tiga sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam sampai sekecilkecilnya.
- Sad Ripu, yaitu enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.
- Catur Asrama, yaitu empat tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan dharmanya.
- Catur Purusa Artha, yaitu empat dasar tujuan hidup manusia. Catur Warna, yaitu empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan keterampilan (karma) seseorang.
- Catur Guru, yaitu empat kepribadian yang harus dihormati oleh setiap umat Hindu.
Demikianlah bagaimana etika di dalam Hindu, yang
mana konsep dasarnya bermula dari Rta,
Satya, dalam kitab-kitab hingga
akhirnya diformulasikan lebih spesifik dalam bentuk dharma atau ajaran,
sebagaimana konsep etika di atas.
Sumber:
Ed.
Djam’annuri, Agama Kita: Perspektif
Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar, …, 59-60
Ed.
Roni Ismail, Agama-Agama Dunia,…., 62-63
M.
Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama
di Dunia,…,95-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar