Pro Kontra Pluralisme di Indoesia



Pluralisme Agama
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Agama
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Rifa’i Abduh, M.A.
Disusun Oleh:
Abdul Qodir Abdillah                                    (15520001)
Chamid Abdul C.M.                           (15520002)
Muhammad Habibul Musthofa           (15520003)
Dina Qoyyima                                     (15520004)


Jurusan Studi Agama Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017
A.    Latar Belakang
Di dunia Barat, pluralisme pertama kali muncul pada abad ke-12, di masa pemerintahan Yohanes Damasyki. Namun, pada saat itu, istilah pluralisme agama belum terlalu populer. Baru pada tahun 1854, saat gereja Katholik mengeluarkan statement resmi mengenai kebenaran agama selain Kristen, muncul protes dari seorang yang bernama John Hick Dalam statement resmi itu dinyatakan bahwa selain agama Kristen, hanya Islam (agama di luar Kristen) yang tidak meyakini ketuhanan Al Masih dinyatakan memiliki muatan kebenaran kebenaran. Adapun bentuk protes yang dinyatakan oleh John Hick antara lain; mengapa hanya satu agama? Bukankah agama lain pun memiliki hak yang sama? Bukankah setiap pengikut agama jika mengikuti suara tulus hati nurani, mereka juga tidak dikategorikan sebagai kategori pendosa?. Dari pernyataan John Hick tersebut, ia memandang bahwa perlu adanya pengakuan gereja atas semua agama tanpa terkecuali. Berdasarkan Kritisi John terhadap keputusan pihak geraja ini, kemudian lahirlah suatu pemikiran baru tentang konsep pluralisme agama yang kemudian dalam istilah teologi dikenal dengan Revolusi Copernicus.[1]
Sejak kemunculannya di dunia Barat hingga saat ini, pluralisme agama masih menjadi topik yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat beragama, terutama di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi oleh pluralisme agama ini berangkat dari dua faktor, yakni faktor epistimologi dan faktor politik dan budaya masyarakat.[2]  Maka dari itu, kiranya menarik untuk membahas apa sebenarnya pluralisme agama ini, bagaimana sejarahanya, dan bagaimana tanggapan dari berbagai pihak yang pro maupun kontra terhadap pluralisme agama ini
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Pluralisme Agama?
2.      Bagaimana sejarah Pluralisme Agama?
3.      Bagaimana tanggapan terhadap Pluralisme Agama?


PLURALISME AGAMA
A.    Definisi Pluralisme Agama
Secara etimologi, pluralisme agama berasal dari kata “pluralisme” dan “agama”. Pluralisme sendiri berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau berbilang. Dan dalam filsafat, pluralisme itu merupakan paham yang beranggapan bahwa realitas itu tidak hanya terdiri dari satu substansi, atau dua substansi, melainkan terdiri dari banyak substansi.[3]. Sedangkan untuk mendefinisikan “agama”, kiranya masih belum terdapat definisi yang final. Karena definisi agama masih mengundang prdebatan dan polemik yang tak berkesudahan di berbagai bidang keilmuan.[4] Istilah “agama” memiliki pengertian yang berbeda-beda tergantung pada asal kata dan sudut pandang yang digunakan. Secara terminologis, agama biasanya didefinisikan sebagai sejumlah keyakinan berkenaan dengan sebab, hakikat, dan tujuan alam semesta, terutama jika dipandang sebagai ciptaan sebuah kekuatan super manusia, yang biasanya diikuti ketaatan dan pelaksanaan ritual disamping memiliki ketentuan moral yang mengatur perilaku manusia.
Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agama melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa kemudian mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik pada kesimpulan bahwa "semua harus menjadi satu”. Adapun sikap keberagamaan manusia itu dibagi menjadi tiga macam, yaitu: eksklusif, inklusif, dan paralel/plural. Sikap ekslusif artinya seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah. Sikap inklusif artinya seseorang beranggapan bahwa agamanya yang paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran. Sedangkan sikap plural artinya seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.[5]
Dari tiga macam bentuk sikap keberagamaan manusia tersebut, maka lahirlah konsep tentang pluralisme agama. Berbicara mengenai pengertian “pluralisme agama”, kita bisa mengambil salah satu pengertian yang ditegaskan oleh salah seorang bapak Pluralisme Agama, yaitu John Hick. Menurut John Hick, pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata cultural manusia tersebut dan terjadi sejauh yang diamati, sampai pada batas yang sama. Dengan kata lain, Hick ingin mengaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan “manifestasi-manifestasi dan realitas yang satu”. Dengan demikian, semua agama adalah sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain.[6]
Dari pengertian di atas, jika dilakukan analisis secara lebih teliti lagi, terdapat dua macam bentuk pluralisme, yakni pluralisme eksternal agama dan pluralisme internal agama. Pluralisme eksternal agama adalah keyakinan akan kebenaran agama, baik dalam kapasitas yang sama maupun dengan kapasitas kebenaran yang berbeda-beda. Sedangkan pluralisme internal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua sekte atau madzhab dalam satu agama tertentu, yang letak perbedaan sekte atau madzhab itu disebabkan karena perbedaan penafsiran (hermeneutika) terhadap konteks agama.[7]
Dari kedua bentuk pluralisme tersebut (internal dan eksternal), pluralisme dapat memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pertama, pluralisme diartikan sebagai pandangan atas agama atau madzhab sebagai satu hakikat, namun beragai dengan berbagai bentuk dan rupa. Kedua, pluralisme diartikan sebagai esesnsi hakikat yang memiliki berbagai bentuk yang terjelma dalam berbagai agama/madzhab. Ketiga, pluralisme diartikan bahwa hakikat terdiri dari berbagai unsur yang mana dari tiap-tiap unsur tersebut tersimpan dalam sebuahagama/madzhab. Keempat, pluralisme bisa diartikan sebagai saling menghormati antar pengikut umat beragama/bermadzhab, toleransi sosial antarumat beragama/bermadzhab.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pluralisme agama merupakan upaya sadar menghormati pemeluk agama lain, dan bahu-membahu bersama pemeluk agama lain untuk membahas, bergerak, membenahi bangsa, sosial-kemasyarakatan, politik, kebudayaan, hingga pada membela bangsa ketika terjadi intimidasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari pengertian ini, bisa dipahami bahwa pluralisme bukan sekedar dimaknai sebagai penyatuan agama, sebagaimana yang dipahami saat ini. Namun, pluralisme lebih dari itu, nilai-nilai yang hendak ditanamkan oleh pluralisme agama adalah nilai-nilai kemanusiaan.[8]
B.     Sejarah Pluralisme Agama
Pluralisme Agama muncul pada masa pencerahan Eropa, yaitu pada abad ke-19 M, masa ini sering di sebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini di warnai dengan wacana-wacana baru dan pergolakan manusia yang beroientasi pada superioritas akal dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, lalu munculah suatu paham yang di kenal dengan “Liberalisme”, pada awalnya paham ini  awalnya muncul sebagai sosial politik, maka wacana pluralisme lahir dari rahimnya, termasuk juga gagasan pluralisme agama yang kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka kemudian pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik yang merupakan produk dari liberalisme politik.
 Muhammad Legenhausen, seorang pemikir muslim kontemporer, juga berpendapat bahwa pada abad ke-18 munculnya liberalisme politik di Eropa sebagian besar di dorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap intoleran dan konflik-konflik etnis serta sectarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan. Liberalisme jelas tidak lebih merupakan sebuah respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa. Gagasan pluralism agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Masuk abad ke-20, gagasan pluralisme agama makin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi barat. Dan dalam fase ini gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangannya, dan pada gilirannya menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada teologi modern. John hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan popular.
Berikut sebab-sebab timbulnya teori Pluralisme agama:
Secara umum, sebab-sebab timbulnya teori pluralisme agama dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (faktor ideologi) dan faktor eksternal (faktor Sosio-Politis dan faktor Ilmiah).
a)      Faktor Ideologis
Faktor ideologis ini muncul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth-claims) dari agama-agama, baik seperti dalam masalah aqidah dan sejarah. Tuntutan keyakinan absolutisme dan kemutlakan dari agama ini berlaku dalam aqidah, mazhab, dan ideologi, baik yang berasal dari wahyu Tuhan maupun sumber lain. Kenyataan ini hampir tak satu pun yang mempertanyakan atau mempertentangkannya, hingga datangnya era modern di mana faham akan “relativitas agama” mulai dikenal luas oleh para pemikir dan intelektual pada dekade-dekade terakhir abad 20. Namun bila dicermati lagi, para penganut paham relativitas agama yang menolak absolutisme agama pada prinsipnya mulai terjebak akan pahamnya sendiri secara tak sadar ke dalam suatu yang mereka yakini yakni sebuah “keyakinan absolut” tentang “relativitas agama” itu sendiri.[9]
Dari kenyataan ideologi di atas, tampaklah umat manusia terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama mereka yang beriman dengan teguh terhadap wahyu Tuhan, sedangkan kelompok kedua mereka yang tidak beriman kecuali hanya dengan kemampuan akal saja (rasionalis). Perbedaan cara pandang dalam beriman ini secara otomatis akan mengantarkan kepada mereka perebedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam menentukan kebenaran yang mutlak. Terutama kelompok pertama, mereka akan terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak mungkin dikompromikan sama sekali dalam menentukan siapa/apa esensi Zat gaib itu, baik dalam aspek bilangan, substansi, maupun eksistensinya.
Pertama, terdapat perbedaan dalam memahami Zat yang gaib atau kekuatan transendental yang bersifat metafisikal atau yang sering dikenal dengan nama “Tuhan”. Para penganut agama yang mengakui Tuhan (theistic religion) tentunya mengatakan Tuhan itu ada atau wujud, sedangkan pengikut agama atau kelompok yang tidak mengakui tuhan (non-theistic religion) terbagi menjadi dua golongan, yang satu mengatakan tuhan itu murni tidak ada, mereka itu adalah atheis dan berbagai pengikut aliran dan ideologi modern. Sementara golongan yang lain tidak mengatakan tuhan itu ada atau tidak, tetapi cukup diam saja atau berada pada kebimbangan dan keragu-raguan, seperti pengikut agama Budha-kelompok theravada, agnostik, dan skeptik[10].
Kedua, terdapat perbedaan di antara pengikut agama yang mengakui adanya tuhan (theistic religions) mengenai esensi dan bilangan Tuhan itu sendiri. Perbedaan esensi dan bilangan Tuhan itu pada dasarnya timbul dari keyakinan mereka masing-masing bahwa itulah yang diwahyukan dari langit dan tertulis dalam kitab-kitab suci mereka. Di sini perebedaan itu diklasifikasikan ke dalam dua golongan utama. Yang pertama golongan mereka yang beriman kepada Tauhid atau beriman kepada satu Tuhan, yaitu para pengikut agama yang sering disebut agama monotheisme, yang umumnya terdiri dari pengikut agama samawi seperti Yudaisme, Kristen dan Islam. Walaupun kenyataannya terdapat perbedaan fundamental di antara agama satu dengan yang lain dalam mendefinisikan esensi atau hakikat Tuhan yang satu ini.[11] Golongan kedua adalah mayoritas pemeluk agama non-semitik seperti Hindu, Majusi, Taoisme dan lain-lain. Mereka beriman kepada banyak tuhan (politeistik), yaitu golongan yang meyakini banyak tuhan yang biasanya termanifestasikan dalam kekuatan-kekuatan fenomena alam. Tiap-tiap agama mensakralkan tuhan langit, bumi, matahari dan lain-lain, dengan sebutan ataupun nama yang berbeda-beda sesuai bahasa mereka.
Ketiga, perbedaan diantara pengikut agama yang mengakui Tuhan tentang apakah tuhan itu berinkarnasi (menjelma) atau tidak. Dalam hal ini terbagi dalam dua kelompok, pertama agama Islam menyatakan bahwa Tuhan sama sekali tidak menjelma di dalam diri manusia atau apapun (kecuali sebagian kaum sufi, seperti Ibnu ‘Arabi dan Abu Mansur al-Hallaj). Sementara kelompok kedua selain Islam yang menyatakan bahwa Tuhan itu menjelma, seperti di dalam tubuh manusia. Namun di sini terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah penjelmaan Tuhan. Agama seperti Hindu, Budha (golongan Mahayana), meyakini inkarnasi Tuhan berulang-ulang di dalam person yang berbeda-beda. Sedang seperti dalam agama Kristen tidak menyakini pengulangan inkarnasi tersebut.
b)      Faktor Sosio-Politis
Faktor ini adalah faktor eksternal yang mendorong munculnya teori pluralisme, yakni berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa (nation-state), yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenai “liberalisme” yang menyuarakan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme kemudian menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan, hingga populernya suatu istilah yang disebut “demokrasi”.
            Meski dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang sebagai proses sosio-politis dan sekuler, tetapi paham ini mulai tidak lagi terbatas masalah politis saja. Gagasan universal dan komprehensif yang diklaimnya meliputi HAM (yang ada di dalamnya: hak beragama), telah menyeretnya untuk mengintervesi dan mempolitisasi masalah agama secara sistematis (demokratis). Dalam hal ini agama kemudian tak berdaya lagi dan harus tunduk pada kekuatan sistem di luar agama. Yang jelas, politik liberal atau proses sosio-politis, seperti demokratisasi telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia terhadap agama secara umum. Sebagaimana paham liberalisasi politik harus diikuti liberalisme agama, dan jika paham liberalisme politik telah melahirkan “pluralitas politik”, maka liberalisme agama secara otomatis akan melahirkan “pluralisme agama”.[12]
c)      Faktor Ilmiah
Faktor ini adalah faktor eksternal pula, pada hakikatnya faktor keilmuan ini yang memiliki kaitan langsung dan erat dengan timbulnya ide ataupun teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi “ilmiah” modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal dengan studi Perbandingan Agama. Kajian-kajian ilmiah terhadap agama-agama Timur yang telah dirintis dan dikembangkan oleh sarjana Barat di zaman modern adalah kerangka faktor ini. bahkan ini, khususnya fase awal kajian sarjana Barat itu, dapat dimasukkan dalam kajian studi yang sering dikenal dengan Orientalisme.[13]

C. Pro dan Kontra terhadap Pluralisme Agama
Pluralisme agama sebagai sebuah konsep ataupun praktik pada kenyataannya dimaknai bermacam-macam. Pluralisme agama juga menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit di kalangan agamawan dan ilmuan Muslim sampai saat ini. Di satu sisi ada pihak yang mendukung pluralisme agama ini dan berjuang untuk menyebarluaskannya (pendukung), dan di sisi lain ada pihak yang menolak secara sengit (penolak).[14]
Dari perspektif pihak pendukung, maka mereka akan mengatakan bahwa dengan bekal pluralisme agama, hidup rukun dan damai antar umat beragama akan dapat terwujud. Dengan asumsi bahwa, jika seseorang telah meyakini pluralisme agama yang berarti pengakuan akan kebenaran semua agama, ia akan meyakini bahwa setiap pemeluk agama lain jika mereka taat kepada ajaran-ajaran agamanya, niscaya akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan abadi.[15]
Sedangkan dari perspektif pihak penolak, maka mereka akan menunjukkan ketidaksetujuan dan penolakannnya terhadap konsep pluralisme agama ini. Sebagai contoh keputusan MUI yang berisi tentang definisi pluralisme agama. Definisi pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Karena definisi yang semacam ini, maka pluralisme agama harus ditolak.[16] 





Kesimpulan
Pluralisme agama merupakan upaya sadar menghormati pemeluk agama lain, dan bahu-membahu bersama pemeluk agama lain untuk membahas, bergerak, membenahi bangsa, sosial-kemasyarakatan, politik, kebudayaan, hingga pada membela bangsa ketika terjadi intimidasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Pluralisme bukan untuk dimaknai sebagai penyatuan agama, sebagaimana yang dipahami sebagian besar orang saat ini. Namun, pluralisme lebih dari itu, nilai-nilai yang hendak ditanamkan oleh pluralisme agama adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah pluralisme agama dikatakan muncul pada masa pencerahan Eropa, yaitu pada abad ke-19 M, abad sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Di mana akibat pada abad ke-18 muncul liberalisme politik di Eropa, yang sebagian besar di dorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap intoleran dan konflik-konflik etnis serta sectarian yang pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan. Secara umum, sebab-sebab timbulnya pluralisme agama dapat diklasifikasikan dalam beberapa faktor; faktor ideologi, faktor Sosio-Politis dan faktor Ilmiah. Hingga pada akhirnya, masuk abad ke-20, gagasan pluralisme agama makin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi barat.
Tanggapan terhadap pluralisme agama sebagai sebuah konsep ataupun praktik pada kenyataannya dimaknai bermacam-macam. Pluralisme agama juga menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit  hingga di kalangan agamawan dan ilmuan Muslim. Di satu sisi ada pihak yang mendukung pluralisme agama ini dan berjuang untuk menyebarluaskannya, dan di sisi lain ada pihak yang menolak secara sengit.








DAFTAR PUSTAKA

Naim, Ngainun. 2014. Islam dan Pluralisme Agama. (Yogyakarta:Aura Pustaka)
Supriyadi, Dedi dan Mustofa Hasan. 2012. Filsafat Agama. (Bandung: Pustaka Setia)
Wahyuninto, Liza dan Abdul Qadir Muslim. 2010. Memburu Akar Pluralisme Agama (Mencari Isyarat-isyarat Pluralisme Agama dalam Al Qur’an dan Pelbagai Perspektif). (Malang:UIN-MALIKI PRESS)



[1] Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama (Bandung:Pustaka Setia, 2012), hlm 187
[2] Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 189
[3] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama (Yogyakarta:Aura Pustaka, 2014), hlm 22
[4] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama (Mencari Isyarat-isyarat Pluralisme Agama dalam Al Qur’an dan Pelbagai Perspektif) (Malang:UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm 7-8
[5] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, hlm 19
[6] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm 9-10
[7] Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 188-189
[8] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm 4
[9]Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm. 25
[10] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm. 26
[11] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm. 27
[12] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm. 41-42
[13] Liza Wahyuninto dan Abdul Qadir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hlm. 43
[14] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, hlm 47
[15] Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 191
[16] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama, hlm 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...