Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama dan Gender
Dosen
Pengampu : Dr. Inayah Rohmaniyah, M.A.
Oleh :
M
Thoriqul Hidayat (15520010)
JURUSAN
STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berangkat dari pengalaman penulis
pribadi, segala sesuatu yang menyinggung antara lakilaki dan perempuan
sepertinya sudah terkonstruk oleh masyarakat sekitar dan sudah menjadi bahan
acuh bahwa laki-laki harus seperti ini dan perempuan harus seperti ini dalam
masyarakat itu sendiri. Antara laki-laki dan perempuan di bedakan entah itu
dalam hal peran, kedudukan, status, dan sifat yang ada dalam masyrakat itu
sendiri. Konstruk yang terlanjur menyebar di tengah-tengah masyarakat mengenai
laki-laki dan perempuan. kebanyakan lebih condong kepada laki-laki,
artinya dalam tatanan masyarakat yang sudah terkonstruk lebih menguntungkan bagi
laki-laki dari pada perempuan. tapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki
nantinya juga akan di rugikan dalam suatu hal. Oleh karena permasalahan gender
yang ada kebanyakan di alami perempuan, saya di sini akan melihat bagaimana
konstruk masyarakat yang memandang laki-laki sebagai sosok maskulin ataupun
feminin.
Dalam era globalisasi, terjadinya
kontrol perempuan oleh laki-laki di sebabkan oleh konsekuensi praktis kontrol
manusia oleh teknologi yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih peran antara
laki-laki dan perempuan di masyarakat. Itulah sebabnya tidak perlu berbicara
mengenai emansiapasi perempuan tanpa berbicara emansipasi manusia seutuhnya.
Dengan demikian penelitian mengenai
kritik tumpang tindih antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas agar tercipta keadilan yang murni
tanpa memandang entah itu laki-laki ataupun perempuan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana masyarakat memandang peran antara
laki-laki dan perempuan?
2.
Mengapa laki-laki dianggap menjamah peran
perempuan?
C. Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan latar
belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian:
1.
Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya
peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
2.
Dapat mengetahui alasan laki-laki menjamah peran perempuan.
Metode
Penelitian
Dalam metode penelitian
ini, penulis melakukan penelitian bersifat deskriptif-kualitatif dengan
menggunakan cara sebagai berikut:
1.
Pengamatan dan Wawancara
Penelitian dilakukan dengan pengamatan
secara langsung dan wawancara, dalam hal ini kasus yang diteliti diamati berupa
keadaan sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat mengetahui gambaran
peran-peran yang diterima anatara laki-laki dan perempuan.
2.
Buku dan Internet
Buku dan berbagai sumber dari internet
digunakan penulis untuk penambahan dan penjelasan teori,data dan informasi. Sehingga
dapat mengisi kekosongan data yang kurang dalam pengamatan maupun wawancara.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Kata
gender mengalami perkembangan arti dalam perbendaharaan kata yang di gunakan
dalam ilmu sosial, meskipun dalam kamus umumnya kata tersebut diartikan sama
dengan jenis kelamin. Secara leksikal kata gender berasal dari bahasa inggris,
atau geschlecht (bahasa german), genre (bahasa prancis), genero (bahasa
spanyol), yang memiliki arti semacam jenis, ras dan kelas, dan generare (bahasa
latin) yang artinya prokreasi atau bisa bermakna rasa tau jenis. Pengertian
kata gender (menggunakan huruf J karena sudah di adopsi dalam bahasa indonesia)
atau gender dalam kamus-kamus bahasa inggris ataupun bahasa Indonesia tidak di
bedakan dengan pengertian jenis kelamin. [1]Ini
merupakan pengertian pandang secara umum.
Kebanyakan
para ahli menyetujui bahwa gender adalah konstruksi sosial tentang
perbedaan-perbedaan antara pennpuan dan laki-laki, dan bukan sesuatu yang
bersifat biologis. Perbedaan gender adalah perbedaan yang di bangun secara
sosial kultural, baik perbedaan status, sifat, peran, maupun tanggung jawab
laki-laki dan perempuan. Konsep gender sebagai sebuah kategori sosial, kultural
historis dan politis ini mulai di anggap penting pada tahun 70 an. [2]
B.
Wacana Feminim
Muncul
sebuah teori Feminisme radikal sebagai kritik terhadap feminisme liberal dan
hasil dialog parah tokoh feminis dengan perspektif marxis tentang kedudukan
perempuan di masyarakat. Feminisme liberal mendapatkan kritik mendasar dari
feminis radikal dan feminis sosialis. Jika feminis liberal berpandangan bahwa
sumber diskriminasi terhadap perempuan adalah persoalan politik yang tidak
memberikan tempat pada perempuan dan kebijakan yang ada. Feminis sosial melihat
bahwa penindasan perempuan di masyarakat pada dasarnya berakar pada sistem kapitalisme
dan keterkaitannya dengan relasi gender yang patriarki. Sementara, feminis
radikal memandang bahwa penyebab yang paling pokok adalah relasi sosial yang
patriarki.[3]
Feminim
merupakan suatu kesadaran terhadap adanya ketimpangan yang tejadi di dalam suatu
masyarakat, dan orang tersebut mencari akar masalah dari ketimpangan tersebut
kemudian mencari solusi yang kemudian untuk menghentikan atau meminimalisir
ketimpangan sehingga terwujudlha kesetaraan sosial dalam masyarakat.
Dari
pengertian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa feminim bukan hanya di
miliki oleh perempuan saja, banyak yang salah memahami arti dasar dari feminim,
feminim merupakan gerakan atau pemikiran yang bisa di lakukan oleh laki-laki
ataupun perempuan. Feminim atau feminisme lahir karena adanya ketimpangan
sosial yang bertujuan untuk mempertahankan hak perempuan (eropa barat) dari
belenggu agama, budaya, dan sistem hidup yang di rasa tidak seimbang. Adanya
diskriminasi atas dasar jenis kelamin (sexisme) , dominasi laki-laki serta di
tambah lagi dengan system patriarki dan melakukan suatu tindakan untuk
menentangnya di sebut dengan feminism. Namun, setelah lama munculnya gerakan
feminisme ini masih banyak sekali perempuan yang belum sadar dan masih
terbelenggu dalam kebingungan yang tak berujung. Seperti sebuah video yang di
unggah dalam youtube ada seorang perempuan yang duduk di dalam kereta lalu ada
seorang kakek-kakek yang sudah tua berdiri di depannya, lalu salah seorang
penumpang lainnya yang juga kebetulan sedang berdiri berbicara kepada perempuan
yang duduk dan masih muda itu, “permisi mbak apa boleh kakek ini duduk di
tempatnya mbak". Lulu dengan entengnya perempuan muda tersebut menjawab
"saya ini perempuan, saya ini lemah harus di lindungi dan di
prioritaskan“. Di sini kita dapat melihat bahwa bukan hanya sistem masyarakat
saja yang salah, tapi mainset kita untuk maju dan bangkitlah yang perlu di
tumbuhkan.
C. Peran Kerja antara Laki-laki dan
Perempuan
Tugas-tugas
domestik (di dalam rumah) seperti mengasuh dan mendidik anak, memasak,
membersihkan dan merawat rumah dan lain-lain selama ini dianggap merupakan
tugas perempuan, bahkan dianggap sebagai kodrat. Sementara itu laki-laki diberi
peran menjalankan tugas-tugas di ruang publik, mencari nafkah dan menjadi
kepala rumah tangga. Pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
gender dapat dibagi menjadi 4 yaitu:[4]
Pembedaan
peran dalam hal pekerjaan. Misalnya, laki-laki dianggap pekerja produktif dan
perempuan pekerja reproduktif. Kerja produktif adalah jenis pekerjaan yang
menghasilkan uang (dibayar). Kerja reproduktif adalah kerja yang menjamin
pengelolaan dan reproduksi angkatan kerja (termasuk di dalamnya adalah
mengurusi pekerjaan rumah tangga dan melahirkan anak). Kerja reproduktif ini
biasanya tidak menghasilkan uang.
Pembedaan
wilayah kerja. Laki-laki berada di wilayah publik (di luar rumah) dan perempuan
berada di wilayah domestik (di dalam rumah/ruang pribadi) Pembedaan status.
Laki-laki berperan sebagai subyek, sebagai aktor utama, dan perempuan sebagai
obyek atau pemain figuran (pelengkap). Karenanya, laki-laki berperan sebagai
pencari nafkah utama dan perempuan pencari nafkah tambahan. Laki-laki sebagai
pemimpin, perempuan dipimpin.
Pembedaan
sifat. Perempuan dilekati dengan sifat dan atribut feminin misalnya halus,
sopan, kasih sayang, cengeng, penakut, emosional, “cantik”, memakai perhiasan
dan cocoknya berkain panjang atau rok. Sementara laki-laki dilekati sifat
maskulin misalnya, kuat, berani, keras, rasional, kasar, gagah, tegas, berotot,
aktif, dan karenanya memakai pakaian yang praktis seperti celana panjang atau pendek
dan berambut pendek.
Pembedaan
dominasi kaum lelaki di dalam keluarga dan juga di masyarakat luas, pengucilan
kaum perempuan dari semua kegiatan sosial, atas dasar kekurangan dan ketidakmampuan
mental, fisik dan moral mereka, dan pengaturan seluruh kehidupan dan kegiatan
individual dan sosial menjadi dua bidang kehidupan lelaki dan wanita yang
terpisah dan eksklusif satu dari yang lain, dengan alasan bahwa kaum perempuan
tidak saja secara fisik dan intelektual tidak mampu mengunjukkan kegiatan-kegiatan
itu, tetapi juga bahwa semua kegiatan dan prestasi dalam semua lapangan usaha
manusia, apakah dalam sains, pendidikan, seni, kebudayaan, pertanian, industri,
bisnis, pemerintahan, administrasi, politik dan sebagainya, adalah layak bagi
kaum lelaki saja. Apabila kaum perempuan diperbolehkan keluar zona feminin, dan
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan eksklusif kaum lelaki, niscaya mereka
akan mengganggu dan bahkan bisa merusak seluruh prestasi peradaban dan
kebudayaan manusia.
Itulah
anjuran kuat sistem patriarki dan mirip pelecehan yang kuat terhadap seluruh
upaya dan perkembangan ke arah emansipasi perempuan, yang ditopang oleh temuan
dan kesimpulan sains Barat modern yaitu biologi, fisiologi, psikologi dan
berbagai sains sosial. Kini kita akan mengkaji dan menganalisis sistem tersebut
sebagaimana ia telah benar-benar dipraktekkan oleh masyarakatmasyarakat kaum
Muslimin zaman dulu dan sekarang.[5]
Ada
empat Prinsip Masyarakat, sesudah meninjau percabangan alami dalam
fungsi-seksual, dan dengan demikian dalam peran kaum lelaki dan wanita, Maududi
mengemukakan empat prinsip sosial yang di atasnya keluarga dan masyarakat
purdah musti disusun. Keempat prinsip itu ialah:[6]
1.
Pekerjaan kaum lelaki adalah mencari nafkah untuk keluarga, dan melakukan semua
pekerjaan dan pelayanan peradaban dan kebudayaan. Pendidikan dan pelatihannya
harus memungkinkannya meraih semakin banyak tujuan seperti ini.
2.
Pemberian makanan pada anak, tugas memelihara dan mengatur rumah dan menjadikan
kehidupan rumah-tangga surga yang damai dan menggembirakan adalah tanggungjawab
kaum perempuan. Mereka mesti menyiapkan diri mereka untuk meraih tujuan-tujuan
ini melalui pendidikan dan pelatihan terbaik yang memungkinkan.
3.
Individu dianugerahi, dalam batas-batas hukum, kemampuan berkuasa dan
mengambil-keputusan guna memelihara organisasi keluarganya, agar tidak
tenggelam ke dalam anarki dan kebingungan seperti angkatan bersenjata tanpa
komandan. Individu seperti itu kemungkinannya hanya dijabat kaum lelaki, sebab
anggota keluarga yang kepala dan hatinya berulangkali diganggu menstruasi
setiap bulan, juga selama masa hamil, bagaimanapun juga tidak mungkin diamanati
dengan kemampuan-kemampuan seperti itu.
4.
Dalam pengaturan masyarakat dan peradaban, mesti disediakan jaminan dan
penjagaan yang diperlukan, agar dapat mempertahankan dan memelihara percabangan
ke dalam dua bidang fungsi-seksual dan kegiatan ini, supaya tak seorang pun
yang irrasional, karena kebodohannya, dapat merusak atau mengacaukan sistem
peradaban dan masyarakat yang baik (saleh) seperti itu dengan mencampuradukkan
bidang tindakan kaum lelaki dan kaum perempuan.
Namun
perlu diketahui, menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga yang dalam
konteks umumnya sebagai pemimpin, yang dimaksud laki-laki sebagai pemimpin
bukan sebagai penguasa, melainkan memberikan perlindungan, pengarahan dan
bimbingan, bukan penganiayaan dan penindasan.[7]
Sebenarnya perempuan lebih membutuhkan kepemimpinan seorang laki-laki dari pada
laki-laki itu sendiri. Perempuan tidak akan merasakan kebahagiaan jika dia
sejajar atau lebih tinggi dari laki-laki.[8]
Sebgaimana perempuan akan kesulitan bila tanpa arahan dan bantuan laki-laki
saat-saat terjadi seperti perempuan sedang hamil ataupun menstruasi.
D.
Landasan Teori
1. Peran Gender
Kata
gender berarti jenis kelamin, sedangkan gen mengandung arti plasma pembawa
sifat di dalam keturunan. Saptari & Holzner (1997) menjelaskan bahwa gender
adalah keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan,
memperoleh ciri-ciri sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut
maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem
symbol masyarakat yang bersangkutan. Pendapat di atas didukung oleh Christensen
(dalam Duval, 1977) yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda
secara biologis dan kepribadian. Secara biologis yang sering disebut sex,
ciri-ciri seperti prostat, berpenis, berjakun adalah ciri-ciri yang terdapat pada
laki-laki dan tidak dimiliki perempuan. Begitu pula vagina, hamil, menyusui adalah
ciri-ciri dari perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Sedangkan kepribadian, ciri-ciri
seperti kuat, gagah, berani, lemah lembut, halus, sabar, peka, merupakan
ciri-ciri kepribadian pada masing-masing individu sesuai jenis kelaminnya. Jadi
gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan (maskulin dan feminin)
yang diciptakan oleh manusia, dapat ditukar atau diubah sesuai tempat, waktu
dan lingkungan sosial. [9]
Sementara
itu definisi peran menurut Theodore Sarbin (Lindzey & Aronson,1969) adalah
tingkah laku yang diharapkan dan ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi sosial
dimana individu berada. Ward (Hurlock, 1992) merumuskan peran gender dengan
pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan
perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin atau feminin dalam
suatu budaya tertentu. Menurut Berk (1989), peran gender saling berkaitan
dengan stereotip jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran
perempuan berlawanan dengan peran laki-laki. Sejalan dengan pendapat di atas,
Ruble & Ruble (dalam Berk, 1989) menjelaskan bahwa peran gender adalah
stereotip jenis kelamin yang mengacu kepada kepercayaan yang dianut masyarakat
luas tentang karakteristik jenis kelamin laki-laki yang berlawanan dengan
karakteristik jenis kelamin perempuan. Dari ketiga pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa peran gender adalah sekumpulan pola-pola tingkah laku atau
sikap-sikap yang dituntut oleh lingkungan dan budaya tempat individu itu berada
untuk ditampilkan secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan sesuai jenis
kelaminnya.[10]
2.
Teori
Konflik
Untuk
dapat menerangkan mengapa ketaksetaraan jenis kelamin masih ada sampai dengan
hari ini, tampaknya pendekatan konflik sangat baik untuk dipakai. Bagi para
ahli teori konflik, ketaksetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk
lain dari stratifikasi sosial. Namun, bentuk stratifikasi ini tidak lazim
karena laki-laki dan perempuan secara proporsional setara pada setiap level
hierarki kelas sosial, tetapi pada posisi tertentu perempuan biasanya memiliki
status inferior terhadap laki-laki yang berada pada posisi yang sama. Dengan
demikian, seorang perempuan dari kelas atas bisa memiliki status yang lebih
tinggi terhadap perempuan yang berasal dari kelas di bawahnya, tetapi dia tetap
saja inferior terhadap laki-laki yang sekelas dengannya.
Pendukung
teori konflik berargumentasi bahwa laki-laki bisa memiliki status superior
hanya jika perempuan memiliki status inferior. Selain itu, pola-pola peran
jender yang ada memungkinkan mereka mempertahankan privilese-privilese dalam
hal politik, sosial, dan ekonomi. Dengan demikian, bukan berarti tidak ada
persekongkolan yang dibuat oleh laki-laki untuk mempertahankan ketidaksetaraan
ini. Secara sederhana, hal ini berarti bahwa kelompok dominan diuntungkan oleh
pengaturan yang ada sehingga mereka tidak cukup memiliki motivasi untuk
mengubahnya. Karena pengaturan kultural pada setiap masyarakat selalu merefleksikan
kekuasaan kelompok dominan, peran-peran jender malah memperkuat pola dominasi
laki-laki (Chafetz, 1984; Collins, 1985).
Sumber
mendasar dari ketaksetaraan jenis kelamin, dalam pandangan penganut teori
konflik, adalah ketidakadilan ekonomi. Padahal, kekayaan adalah sumber utama
dari status sosial; dan itu dapat dikonversi ke dalam kekuasaan atau prestise.
Karena memberi sumbangan ekonomis yang lebih besar kepada keluarga dan
masyarakat, laki-laki memiliki status sosial yang superior. Dengan demikian,
jika kontribusi ekonomi perempuan bisa paralel dengan kontribusi ekonomi
laki-laki, akan terjadi kesetaraan di antara mereka.[11]
ANALISIS
Apabila
dalam masyarakat dahulu perempuan berstatus inferior terhadap laki-laki,
bagaimana keadaannya dalam masyarakat Indonesia sekarang, yang telah mengalami
era globalisasi?, di dalam masyarakat modern sekarang terdapat perubahan karena
pada masyarakat ini ada kenaikan partisipasi perempuan dalam pasaran tenaga
kerja. Di samping mereka berpartisipasi dalam pekerjaan publik, mereka masih
menuntut kesetaraan dengan laki-laki. Jika kita perbandingkan, di negara-negara
maju (negara-negara industri modern) perempuan bekerja di sektor publik adalah
hal biasa, bahkan sudah menjadi tuntutan. Namun, di negara-negara yang sedang
berkembang, seperti Indonesia, tuntutan ketersediaan pekerjaan bagi perempuan
masih menjadi pemandangan sehari-hari meskipun dalam tuntutan demo buruh dapat
disaksikan betapa banyak perempuan yang mengadu nasib di pasaran tenaga kerja.
Dengan demikian, banyaknya perempuan yang bekerja di sektor publik dapat
dikatakan bahwa pandangan masyarakat telah berubah terhadap perempuan. Kalau
dahulu perempuan dilarang bekerja di luar rumah, tapi sekarang mereka didorong
atau dapat bekerja di luar rumah (sektor publik).
Ada
satu persoalan tentang perempuan bekerja ini, yaitu dimana atau pada sektor apa
mereka bekerja?, apakah sektor bawah?, kalau isu ketidaksetaraan disebabkan
oleh perbedaan pendapatan gaji, dapatkah pembukaan kesempataan bekerja
dijadikan sebagai ukuran semakin terciptaanya kesetaraan gender? Dengan kata
lain, apakah dengan makin terbukanya kesempatan bekerja ini mereka menjadi
semakin setara?.
Untuk
menjawab persoalan di atas, perlu dilihat pada bidang apa perempuan terkonsentrasikan.
Bidang pekerjaan ini akan mempengaruhi pendapatan mereka yang menjadi inti
ketidaksetaraan karena pada pendapatan itulah terletak harga diri dan
ketergantungan seseorang. Dengan kata lain, pihak yang menghasilkan pendapatan
lebih besar cenderung mendominasi, sedangkan pihak yang memiliki pendapatan
lebih kecil menjadi tergantung.[12]
Ranah
Peran Laki-Laki Dan Perempuan
Laki-laki
dan perempuan adalah sebuah klasifikasi yang memiliki tendensi membedakan jenis
kelamin yang didapati secara biologis dimana keduanya memiliki ciri khas
masing-masing. Dilihat dari perspektif biologis pada ciri fisik yang ada pada
laki-laki dan perempuan dapat terlihat bahwa kaum laki-laki memiliki kemampuan
yang lebih baik dibandingkan kaum perempuan yang kemudian acap kali menjadi
dasar pengualifikasian kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam tatanan
sosialnya.
Dalam
kehidupan yang ada, antara laki-laki dan perempuan tersebut memiliki perannya
masing-masing yang pada dasarnya peran tersebut adalah sesuatu yang telah ada
pada setiap individu berdasarkan kodratnya, sebagaimana diketahui bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki kodratnya masing-masing dalam kehidupannya.
Namun dalam masyarakat sosial yang ada, konstruksi masyarakat yang ada pada
laki-laki dan perempuan tersebut dikategorikan pada kasus gender yang melihat
perbedaan jenis kelamin mengacu pada relasi sosial yang terjalin antara laki-laki
dan perempuan dan hal tersebut telah ditetapkan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Peran gender yang ada pada suatu masyarakat yang satu dan lainnya
dapat saling berlainan menyesuaikan pada ideologi, ekonomi, adat, agama, sosial
budaya dan kemajuan IPTEK yang ada pada masyarakat tersebut. Sistem yang dianut
dan berkembang pada sebuah masyarakat akan senantiasa melekat kuat pada setiap
individu didalamnya dalam interaksinya dengan masyarakat. Pada umumnya,
konstruksi yang telah ada pada suatu masyarakat akan mengakibatkan individu di dalamnya
mendapati dirinya pada sebuah kondisi yang terkungkung pada konstruksi tersebut
secara tidak disadari. Adapun beberapa individu yang memiliki kesadaran pola
pikir kemudian mencoba mendobrak konstruksi sosial tersebut akan di anggap
mengalami penyimpangan dan dianggap aneh. Dalam kasus ini saat laki-laki
mencoba memasuki sektor privat rumah tangga yang biasanya dilakukan kaum
perempuan.
Maka laki-laki yang melakukan kerja sektor privat, yang sering dilakukan perempuan akan dianggap aneh, bahkan dihina banci, bahkan ada kaum perempuan yang ikut mencemooh tindakan seperti itu, dengan menganggap laki-laki lemah "jadi laki-laki kok di rumah saja". inilah ketimpangannya, perempuan dibolehkan kerja di sektor publik?, tapi laki-laki tidak boleh kerja di sektor privat, terutama yang menganggap menjamah pekerjaan perempuan, seperti memasak, membeli sayur, dan sebagainya. laki-laki dianggap kuat, dan harus melakukan kerja yang berat, sebagaimana laki-laki itu harus kuat.
Maka laki-laki yang melakukan kerja sektor privat, yang sering dilakukan perempuan akan dianggap aneh, bahkan dihina banci, bahkan ada kaum perempuan yang ikut mencemooh tindakan seperti itu, dengan menganggap laki-laki lemah "jadi laki-laki kok di rumah saja". inilah ketimpangannya, perempuan dibolehkan kerja di sektor publik?, tapi laki-laki tidak boleh kerja di sektor privat, terutama yang menganggap menjamah pekerjaan perempuan, seperti memasak, membeli sayur, dan sebagainya. laki-laki dianggap kuat, dan harus melakukan kerja yang berat, sebagaimana laki-laki itu harus kuat.
Dapat
dilihat pada masyarakat Indonesia dan masyarakat jawa khususnya yang menganut
budaya patriarkhi dalam kehidupannya akan didapati adanya perbedaan yang begitu
kentara antara laki-laki dan perempuan. Selain budaya Patriarkhi dalam
masyarakat Jawa ini juga memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam yang
didalamnya terlihat adanya pembagian yang cukup jelas antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat Jawa dapat ditemui
realita yang menunjukkan bahwa kaum laki-laki memiliki derajat yang lebih
unggul dan lebih mendominasi kaum perempuan. Dalam perspective ini, kaum
laki-laki dianggap berada pada posisi sentral masyarakat dan kaum permpuan
seolah berada pada level dibawah laki-laki dan cenderung dipinggirkan.
Berawal
dari budaya patriarkhi dan agama yang ada pada masyarakat Jawa yang diyakini
tersebut kemudian mulai diterapkan pada lingkup terkecil kehidupan masyarakat
yakni keluarga akan terlihat bahwa kaum laki-laki memiliki kekuasaan di atas
perempuan kemudian merambah dalam ranah kehidupan sosial masyarakat dimana
wanita dianggap tidak memiliki kapasitas yang memadai pada posisi-posisi
tertentu yang pada dasarnya anggapan tersebut hanya beranjak dari suatu
konstruksi sosial belaka. Bila ditilik lebih saksama, perempuan sebenarnya juga
memiliki hak dan kemampuan yang setara dengan laki-laki, hanya saja semua itu
tertutup oleh adanya keyakinan dan aturan keagamaan yang mengharuskan wanita
tetap berada di “belakang" kaum laki-laki. Sebenarnya hal itu merupakan
suatu paradigma umum yang sudah diterima masyarakat dari zaman dahulu dimana
perempuan dahulu diidentikkan dengan sifat lemah dan “nrimo", artinya
bahwa bila diibaratkan sebagai suatu kelas-kelas, perempuan berada di kelas 2
tepat di bawah laki-laki yang menempati kelas pertama yang dianggap memiliki
power yang lebih dan mempunyai kuasa yang lebih dibandingkan perempuan.
Walaupun zaman sudah memasuki masa yang sudah modem, pandangan ini tetap ada
dan terjaga meskipun lama kelamaan sudah mulai dilupakan karena masyarakat
modern saat ini sudah mengenal berbagai macam infomasi dan kecanggihan teknologi
dan tentu saja sejalan dengan kemajuan teknologi, kemampuan berpikir mereka
juga akan turut maju dan mulai menerima adanya sistem kesetaraan gender yang
sekarang sedang giat-giatnya digemborkan di tengah masyarakat dunia yang mulai
faham akan kesetaraan tersebut. Sehingga dengan demikian masyarakat sudah
memiliki pemahaman yang kehidupan yang ada di kehidupan bermasyarakat.
KESIMPULAN
Perjuangan
kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang menarik perhatian
dunia terutama setelah dimulainaya era globalisasi pada abad 21 ini. Perubahan
tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan
dan kestabilan menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (Kementerian
Pemberdayaan Perempuan, BKKBN & UNFPA 2005). Sebagaimana tujuan ketiga
Millenium Development Goals (MDG) adalah mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan. Untuk mencapai target tersebut, salah satunya dengan meningkatkan
kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan
berwawasan gender sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
kesetaraan gender (Bappenas 2003).
Secara
umum kesimpulan penelitian ini adalah diketahui bagaimana masyarakat memandang
peran antara laki-laki dan perempuan masih tumpang tindih. Saat perempuan dapat
memperoleh pekerjaan di sektor publik di era sekarang ini, terlihat sudah
semakin terjadi kesetaraan, walaupun masih terjadi permasalahan perihal
perbedaan pendapatan gaji yang secara umum ini sebenarnya bukan menyangkut perihal
gender lagi. Seperti kita tahu, baik laki-laki ataupun perempuan yang memilih
bekerja disektor publik kelas bawah tentunya akan mendapatkan gaji rendah. Hal
tersebut dikarenakan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang sehingga
mempengaruhi dalam pekerjaannya, walaupun kadang masih ada pembedaan terhadap
perempuan dalam memperoleh pendidikan di masyarakat.
Namun
diketahui pula, saat laki-laki mencoba masuk peran kerja di sektor privat,
sebagaimana seolah-olah dianggap menjamah pekerjaan yang hanya untuk perempuan,
masyarakat umumnya dan terkhusus perempuan sendiri menganggap hal tersebut aneh
dilakukan untuk laki-laki, yang disebabkan tidak tahu atau kurang fahamnya arti
kesetaraan gender sebagaimana bertujuan keadilan untuk manusia seutuhnya. Sehingga
dalam hal tersebut tentunya akan menciptakan terjadinya lagi ketidaksetaraan
gender, yang kali ini menimpa kaum laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Inayah, Rahmaniyah. 2014. Konstruksi Patriarki dalam tafsir agama.
Yogyakarta:Diandra pustaka Indonesia.
Khan,Mazhar ul-Haq. 1994. Wanita
Islam Korban Patologi Sosial. Bandung: Pustaka.
Jamal,Ahmad Muhammad. 1995. Problematika Muslimah di era Globalisasi.
Kairo: Maktab Ibnu Sina.
Asy-Syaikh, Abdullah bin Wakil.
1992. Wanita dan Tipu Daya Musuh. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Gunaryo, Achmad . Kesetaraan Gender: Antara cita dan fakta . dalam
Bias Jender Dalam Pemahaman Islam. 2002.Ed.
Sri Suhandjati Sukri. Yogyakarta:
Gama Media.
Internet :
Supriyantini, Sri. Hubungan
Antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah
Tangga. 07 Januari 2017. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3631/1/psiko-sri.pdf
[1]
Rahmaniyah Inayah, Konstruksi Patriarki
dalam tafsir agama, (Yogyakarta:Diandra pustaka Indonesia, 2014), hlm.
[2]
Rahmaniyah Inayah, Konstruksi Patriarki
dalam tafsir agama, hlm.
[3]
Rahmaniyah Inayah, Konstruksi Patriarki
dalam tafsir agama, hlm.
[4] Pembagian
Peran Berdasarkan Gender,
diakses dari http://pkbi-diy.info/?page_id=3504
,07 Januari 2017
[5]
Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban
Patologi Sosial, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 31-32
[6]
Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban
Patologi Sosial, hlm. 30-31
[7]
Ahmad Muhammad Jamal,Problematika
Muslimah di era Globalisasi, (Kairo: Maktab Ibnu Sina, 1995), hlm.33
[8]
Abdullah bin Wakil Asy-Syaikh, Wanita dan
Tipu Daya Musuh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 38
[9]
Sri Supriyantini, Hubungan antara
Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga,
diakses http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3631/1/psiko-sri.pdf , 07 Januari 2017
[10]
Sri Supriyantini, Hubungan antara
Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga,
diakses http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3631/1/psiko-sri.pdf, 07 Januari 2017
[11]
Ed. Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender
Dalam Pemahaman Islam, dalam
Kesetaraan Gender: Antara cita dan fakta oleh Achmad Gunaryo, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 12-13
[12]
Ed. Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender
Dalam Pemahaman Islam, dalam
Kesetaraan Gender: Antara cita dan fakta oleh Achmad Gunaryo, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 13-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar