Komersialisme Halal: Pengetahuan dan
Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal
Oleh:
Muhammad
Habibul Musthofa, Amalia Sofia Manhofa, Paidillah, dan Ahmad Shofiyullah.
A.
Pendahuluan
Dunia
Islam tidak bisa lepas dari halal atau haram akan sesuatu. Konsep itulah yang secara tegas bisa membedakan agama Islam dengan
agama lainnya. Dimana dengannya Islam akan hadir dalam kehidupan sosial
umatnya. Dalam hal ini, MUI adalah lembaga yang juga menaungi dalam permasalahan
tersebut. MUI atau Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli
1975 di Jakarta, Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu’ama (pemimpin organisasi), dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. [1]
Dimana
peran MUI tersebut sangatlah besar terhadap dinamika agama Islam di Indonesia.
Sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan mewakili Islam, kebijakan MUI
kadangkala menimbulkan pro dan kontra. Dimana legitimasi MUI di era sekarang
yang semakin kompleks dipertaruhkan. Apakah keberadaannya juga kebijakannya
relevan dengan kondisi sekarang, serta bagaimana MUI melakukan
adaptasi dan sosialisasi guna tetap dipercaya umat Islam di masa sekarang perlu
dilakukan.
Sementara
itu, telah banyak penelitian yang membahas terkait problem yang timbul mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan MUI di Indonesia ini. Penelitian yang akan kami
jelaskan di bawah ini menunjukkan bahwa proses konstruksi realitas sosial atas serifikasi halal terbentuk dengan cara dialektis. Nilai-nilai yang subjektif akan
mengalami ketegangan dialektis dengan kegiatan yang objektif diluar individu.
Berger berpendapat bahwa ada realitas dalam kehidupan sehari-hari yang penting,
realitas ini sebagai realitas yang teratur dan berpola, biasanya diterima
begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi yang berpola ini,
realitas sama-sama dimiliki orang lain.[2]Hal serupa di atas kami
temukan juga dalam penelitian ini, terutama kami fokus membahas bagian proses
internalisasi di penelitian yang berjudul “Komersialisme Halal: Pengetahuan dan
Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal”.
Beberapa
tinjauan penelitian yang terkait isu proses halal atau pun yang berkaitan
dengan MUI dapat dibaca pada beberapa penelitian berikut: Beberapa diantaranya
adalah tulisan Fitta Reszyita dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan
Kalijaga tahun 2015 yang berjudul “Pemaknaan Kartun Label Halal MUI di Majalah
Tempo Nomor 4256 Edisi 24 Februari-2 Maret 2014”, Penelitian Yeni Fariyanto
dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 yang berjudul “Pandangan
Majelis Indonesia (MUI) Yogyakarta terhadap Fatwa MUI Pusat Nomer 4 Tahun 2005
Tentang Aborsi”, Penelitian Puji Wahyuningsih
dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2015 yang
berjudul “Analisis Pengaruh Harga,
Kualitas Produk, Kompensasi, dan Labelisasi Halal terhadap Minat Order Suplemen
Makanan dan Obat-obatan Herbal (Studi Pada Apotek-apotek di Bantul)”.
Dalam
melakukan pembahasan tentang masalah komersialisme halal tersebut, tulisan ini
akan menggunakan salah satu teori yang cukup terkenal membahas realitas sosial yaitu
teori The Social construction of reality
(Kontruksi sosial atas kenyataan) dari Peter
L Berger dan Thomas Luckmann. Menurut Berger, dia menegaskan realitas
kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui
proses ekternalisasi, yang sebagaimana sebelumnya ia mempengaruhinya melalui
proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Berger melihat
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. [3]Misalnya seseorang mahasiswa
belajar di kampus (internalisasi), setelah di masyarakat dia harus mengamalkan atau praktik hasil belajarnya
(eksternalisasi). Dari ekternalisasi ini pada gilirannya orang lain (masyarakat
diajarinya) akan mengalami Internalisasi, bila sudah menyebar di masyarakat
itu akan melahirkan objektifikasi atas
realitas sosial. Realitas sosial ini secara
definitif merujuk pada dialektis di
kehidupan sehari-hari.
Berangkat
dari teori tersebut, penelitian yang menjadi dasar penelitian ini ingin memperlihatkan:
pertama, bagaimana seseorang, dalam
hal ini mahasiswa, memaknai(internalisasi) kosmetik halal dan memposisikannya
dalam kehidupannya. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari pandangan mahasiswa,
setidaknya dari aspek kegiatan mahasiswa seperti belajar, berorganisasi, dan
interaksi sosialnya. Kedua, bagaimana pengetahuannya berkorelasi dengan respon
sosialnya, yakni apakah pengetahuan dari kampusnya mampu berdialektis dalam keadaan
kesehariannya. Hal ini dapat diketahui melalui wawasan-wawasan yang
dimilikinya, serta melalui keterlibatan mereka terhadap lingkungan sosial yang
melingkupinya. Dengan dasar pengetahuan terhadap dua hal tersebut, kami akan
dapat mengukur apakah seorang mahasiswa berdialektis atau tidak.
Sebagaimana
juga pandangan bahwa dalam kepribadian seseorang ada konflik, akan bertabrakan
satu sama lain atau ketika berhadapan dengan kenyataan dari dunia luar yang
tidak bisa diubah.[4]Namun
tidak berhenti sampai aspek tersebut, kami ingin juga akan berusaha menelusuri
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan mahasiswa terkait
komersialisasi halal ini. Harapan subjektif kami sebagai mahasiswa dengan tulisan
ini dapat memberi motivasi agar mahasiswa dapat mengaktualisasikan keilmuannya
di masyarakat.
Sebagaimana,
di era budaya konsumerisme, mahasiswa terasing dengan dunia sosialnya dan
kampus telah menjadi ladang pengail laba belaka. Dijerumuskan mahasiswa dalam
arena pengetahuan yang memuaskan kepentingan modal. Didoktrin bahwa kuliah
adalah apa yang berlangsung dan terjadi di kelas. Kejadian di luar kampus
bukanlah bagian dari pengetahuan. Tidak ada gunanya untuk membincangkan topik
yang tidak memicu minat para dosen. Seolah dosen adalah penegah dari semua
fakta yang dibeberkan oleh kenyataan luar. Seleksi tiap kejadian dilakukan
untuk dipilah mana yang cocok disampaikan , didiskusikan dan jadi bahan ujian.
Lagi-lagi kuliah bukan kegiatan yang penuh perdebatan riuh, tapi dogmatis yang
hanya butuh kepatuhan dan persetujuan.[5]
B.
Teori
Internalisasi Peter Berger
Masyarakat
adalah suatu fenomena dialektik. Dalam pengertian tersebut bahwa masyarakat adalah
suatu produk manusia. Lalu realitas sosial yang terpisah dari manusia (individu), sehingga
dapat dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat. Maka, manusia tidak bisa
eksis tanpa terpisah dari masyarakat.[6] Yakni manusia tidak bisa ikut dalam proses interaksi (dialog) dengan masyarakat.
Proses
dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga langkah, yaitu
eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[7] Sebelum jauh melangkah,
maka ditegaskan bahwa kami di sini hanya ingin memfokuskan dalam menjelaskan
terkait dengan internalisasi.
Melalui
proses Internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi suatu
anggota masyarakat.[8]
Internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu
peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya sebagai suatu
manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian
menjadi bermakna secara subyektif bagi
diri sendiri. Internalisasi atau sosialisasi terbagi menjadi dua macam.
Yang pertama, sosialisasi primer. Sosialisasi primer adalah sosialisasi
yang pertama yang dialami individu di masa kanak-kanak, yang dengan itu ia
menjadi anggota masyarakat. Yang kedua yaitu sosialisasi sekunder. Sosialisasi
sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah
disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya.
Sosialisasi
primer melibatkan diri lebih dari belajar secara kognitif semata. Sosialisasi
ini berlangsung dengan kondisi yang bermuatan emosi tinggi. Adanya alasan kuat
yang menghubungkan bahwa tanpa hubungan sosial seperti itu dengan orang
berpengaruh maka proses belajar akan sulit dilakukan, kalau tidak bisa
dikatakan tidak mungkin sekali.[9] Sebagai contoh dalam ranah
keluarga semisalnya “seorang ibu marah kepada anaknya” lalu “seorang ibu marah
setiap kali anaknya menumpahkan sup”. Sementara orang-orang yang berpengaruh
(ayah, nenek, kakek, kakak, dan sebagainya) mendukung sikap ibunya yang
memarahinya karena sikap menumpahkan sup tersebut maka keumuman norma diperluas
secara subyektif. Norma tersebut digeneralisasi menjadi “orang tidak boleh
menumpahkan sup” – dimana orang tersebut adalah si anak. Langkah tersebut yang
memungkinkan si anak menyadari bahwa orang akan menyetujui perbuatannya. Dan
anak tersebut merupakan bagian dari masyarakat sejauh masyarakat itu bermakna bagi
si anak.[10]
Sosialisasi
sekunder adalah internalisasi sejumlah “sub dunia” yang sifatnya kelembagaan
atau yang berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan dan sifat dari sosialisasi
jenis ini ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi
pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.[11] Contoh dari sosialisasi
sekunder bisa ditarik dari objek penelitian ini yaitu mahasiswa dengan MUI
(komersialisasi halal).
C.
Temuan
Penelitian
Dalam
melakukan penelitian kami mengumpulkan data dengan membuat sebuah kuisioner
yang ditujukan kepada mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kuisioner tersebut berisi beberapa pertanyaan. Dari semua pertanyaan tersebut
telah mendapatkan respons. Dari sejumlah respons tersebut diperoleh bahwa
mereka mengetahui adanya kosmetik halal.
Pada
pertanyaan pertama perihal bagaimana mahasiswa memperoleh pengetahuan adanya
kosmetik halal, dapat kami himpun bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai
kosmetik berlabel halal ini dari media massa dan media sosial. Sebagian besar
responden mengetahui informasi dari media massa, seperti Televisi maupun surat
kabar dan sejenisnya. Sebagian lainnya mengetahui informasi tersebut dari
browsing, sosial media, seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya perihal apakah mahasiswa akan membeli
kosmetik yang berlabel halal, sebagian besar dari mereka menjawab akan membeli
dengan berbagai respons seperti “1)karena lebih terjamin, 2)agar aman dipakai dan sesuai syariat
Islam". lalu yang menolak berargumen seperti "1)karena masih memakai produk bayi, tidak berdandan dengan berlebihan
dengan hanya memakai bedak saja, 2)Karena tidak
suka menggunakan kosmetik”.
Selanjutnya
perihal pertanyaan apakah akan membeli jika kosmetik tidak berlabel halal,
sebagian besar mereka menjawab tidak akan membeli dengan respons sebagai
berikut. “Karena tidak
sesuai syariat Islam, tidak membutuhkannya, jika pun cocok dengan produk tersebut”.
Pertanyaan
selanjutnya perihal apakah yang terpenting dari suatu produk kosmetik, dengan opsi yang kami berikan yaitu berdasarkan merk,
label halal, bahan kosmetik , dan lain-lain (menurut mereka). Dari jawaban yang
kami dapatkan, kami ketahui bahwa jumlah terbesar dari mereka memilih kosmetik juga
berdasarkan bahan kosmetik, menempati jumlah terbesar kedua yaitu mereka baru
memilih berdasarkan label halal dan yang paling sedikit yaitu memilih
berdasarkan pada merk". Dari opsi lain-lain yang dijawab juga terdapat suatu respons yang menolak
yaitu “Karena banyak bahan kosmetik yang berbahaya”.
Pertanyaan
selanjutnya yaitu perihal seberapa penting label halal dalam produk kosmetik
menurut mereka. Kami memberikan opsi yaitu tidak penting, penting dan sangat
penting. Dari pertanyaan tersebut jawaban yang didapat yaitu paling banyak
dipilih yaitu pada opsi penting dan sedikit yang memilih opsi sangat penting.
Sedangkan opsi tidak penting, tidak ada yang memilih.
Pada
jawaban selanjutnya perihal pertanyaan apakah label halal akan meningkatkan
penjualan suatu produk kosmetik menurut mereka. Dari jawaban yang didapatkan
bahwa sebagian besar mereka menjawab “iya” dan sebagian kecil menjawab “tidak”.
Respons yang positif mereka berikan yaitu “karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam
dan sangat membutuhkan kepastian halal atau tidaknya, karena adanya jaminan". Lalu yang bernada negatif masih beralasan "1)Karena
Indonesia mempunyai banyak agama yang dianut oleh masyarakatnya, jadi hal itu
akan di anggap diskrimasi,2) kebanyakan yang halal itu (malah) lebih mahal dan konsumen
itu mencari yang murah dan berkualitas (sertifikasi halal hanya membuat semakin mahal harganya, bukan kualitasnya).”
Pertanyaan yang terakhir perihal pendapat
mereka tentang prospek ke depan mengenai sertifikasi halal produk kosmetik,
hampir semua dari mereka menjawab “bagus” dan sedikit yang menjawab “tidak
bagus”. Respons yang diberikan yaitu “1)Karena sesuai perkembangan zaman masyarakat memiliki
pemikiran yang rasional dan pasti memiliki pendapat jika halal itu pasti baik
dan bagus untuk kita,2) karena memberi kesan yang positif untuk para customer," lalu yang bernada menolak beralasan "ya
mungkin karena banyak yang kontra, selain halal seyogyanya juga thoyyiban.”
D.
Analisis
Perlu
diketahui, Sertifikat
Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan
kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI
ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada
kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.Tujuan Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obat,
kosmetika dan produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status
kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya.
Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara
menerapkan Sistem Jaminan Halal.[12] Dimana sistem jaminan halal ini untuk menembus lika-liku kebudayaan modern yang sangat represif (dan merusak) baik
dalam bentuknya yang-egoistik,nepotistik,feodalistik,konsumeristik,scientistic,
materialistik maupun alkoholistik- maka tata nilai al-Qur’an (seperti konsep halal) terasa masih
aktual dan tetap inspiratif (digunakan) untuk berdialog dengan patologi sosial yang
dihadapi oleh manusia modern dewasa ini.[13]
Menurut Fatwa MUI Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika Dan Penggunaannya diketahui: a. bahwa kosmetika telah menjadi salah satu kebutuhan manusia pada
umumnya; b. bahwa kosmetika yang
akan digunakan oleh setiap muslim harus berbahan halal dan suci; c. bahwa perkembangan teknologi telah
mampu menghasilkan berbagai produk kosmetika yang menggunakan berbagai jenis
bahan, serta memiliki fungsi yang beragam, yang seringkali bahannya tidak jelas
apakah suci atau tidak; d. bahwa
terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai standar
kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya;
e. bahwa oleh karena itu
dipandang perlu menetapkan fatwa tentang standar kehalalan produk kosmetika dan
penggunaannya guna dijadikan pedoman.[14] terlihat, fatwa MUI ini yang awalnya hanyalah nilai agama lalu mengalami kajian ilmiah
dan intelektual, sehingga telah terjadi pola pikir dan tata nilai yang nantinya
dijadikan pegangan, Nilai agama dan kajian ilmiah-intelektual, ibarat dua permukaan dalam sebuah mata uang logam. Kedua
permukaan itu (harus) begitu menyatu, sehingga tata nilai apapun(baik Islami maupun
non-Islami) tidak akan dapat terinternalisir ke dalam jiwa manusia, jika tanpa
melalui dialog intelektual dan dialog kebudayaan serta agama dengan para pribadi pelaku
tata nilai tersebut.[15]
Yang mana pelakunya seperti para ulama, cendikiawan, dan sebagainya yang
tergabung dalam MUI maupun relasinya.
Perlu dipahami bahwa, geliat kosmetika merupakan hasil industri modern, yang mana itu
pengaruh kebudayaan global. Kebudayaan global ini akan masuk ke dalam praktik
sosial dan praktik keagamaan masyarakat, melahirkan nilai dan makna yang
berbeda dari sebelumnya. Namun, modernitas yang masuk tidak boleh serta merta menghancurkan basis
nilai yang ada dalam masyarakat , tetapi justru harus melakukan “negosiasi” dengan
basis nilai di masyarakat. Karenanya, bentuk negosiasi ini perlu diterapkan dalam
praktik-praktik sosial mereka.[16]
Dalam hal ini, praktik sertifikasi halal yang diterapakan MUI ini merupakan
bagian proses “negosiasi” antara praktik keagamaan dengan modernitas yang ada
di masyarakat, dimana itu perlu dilakukan.
Lalu, walaupun
proses sertifikasi halal produk kosmetik ini, terlihat sudah melalui tahap intelektual
dan ilmiah, bukan berarti proses "negoisasi" sudah berakhir. Negoisasi tetap perlu dilakukan guna mengawal hasil "negoisasi" itu sendiri. Dimana misalnya tetaplah butuh suatu kritikan atau setidaknya peran dialog
mahasiswa, terutama solusi dari mahasiswa terhadap problem sertifikasi halal
ini. Sebagaimana isu komersialisme halal, juga problem lainnya seperti
dampaknya dalam industrialisasi dan ekonomi tetap perlu dilihat dan dikaji.
Dalam
penelitian kami terhadap mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, sebagai mahasiswa
berlatar belakang Islam, namu tetap serta juga telah menjadi mahasiswa yang telah mendapat (terbuka terhadap) pengetahuan duniawi. Sebagai mahasiswa disini, memiliki peran penting yakni harus mampu memerankan fungsi Islam menjadi dialektis konstruktif,
perlu mengembangkan reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil normatif yang ada
dalam Al-Qur’an dan Hadist harus dijabarkan dalam bentuk teori-teori sosial
yang dapat diaplikasikan. Atau lebih tepatnya, mahasiswa harus mampu mengkonteksrualisasi
nilai-nilai agama, agar juga berfungsi historis, kekinian dan membumi.[17] Terutama ditulisan ini dikaitkan memiliki peran dalam proses
sertifikasi halal yang dilakukan MUI ini.
Sebagaimana Berger
dan Luckmann menunjukkan bahwa dunia institusional yang obyektif membutuhkan legitimasi atau “cara pembenaran” atas 1)asal usul pengertian pranata sosial
(dalam hal ini fatwa ataupun sertifikasi halal) dan 2) proses pembentukannya. Akan
tetapi orang-orang mengaitkan makna-makna pada lembaga atau praktek-praktek
institusional keagamaan itu dengan “penerimaan bersama" menjadi bagian proses
legitimasi. Proses legitimasi tersebut dapat dikatakan berasal dari proses interaksi
anatar individu (dialog) yang meluas, dengan begitu deskripsi-deskripsi atas legitimasi
menjadi obyektif. Karena itu legitimasi merupakan “tanda terima” bagi hadirnya
dunia sosial objektif.[18] Namun, sebagai besar sudah nyaman atas "tanda terima" karena dianggap telah selesai, tapi mereka tidak melihat bahwa harus ada peran mengikuti prosesnya , dimana proses itu tetap berlanjut selama "legitimasi" masih ada, dan hanya akan berakhir pula bila itu sudah tidak ada.
Menurut
Berger, agama merupakan "benteng" untuk melawan eksistensi tanpa arti (tidak dapat diganggu gugat). Lalu bahwa masyarakat selalu membangun dunia dengan cara
nomizing. yang mana terdapat makna atau
nomizing bersama bagi masyarakat luas, tapi juga terdapat makna-makna subjektif
atau individu. Padahal kita selalu berperan dalam interpretasi nilai-nilai agama. Karena di Era Modern sejak agama dinternalisir oleh manusia maka ada
bentuk agama yang tidak sama lagi dengan yang dahulu. Sebab, perubahan-perubahan dunia
modern selalu dibarengi perubahan penerimaan realitas keagamaan secara subjektif lalu
darinya melahirkan perubahan objektif dalam suatu lembaga. Manusia lalu
mengeksternalisir dan mewujudkan perubahan dalam objektivasi realitas
keagamaan.[19]
Bila melihat bagaimana temuan penelitian kami, sudah jelas MUI dalam
menginternalisir nilai-nilai keagamaan cukup berhasil, dimana hampir semua
mahasiswa mengetahui akan adanya sertifikasi halal sebuah kosmetik, bahkan juga sedikit yang mengkritisinya. Mereka memperoleh internalisasi atau realitas akan sertifikasi halal ini biasanya melalui
media massa, juga sosial media mahasiswa memperoleh informasi mengenai hal
tersebut.
Lalu ada mahasiswa yang mengkritisi ataupun menolak akan hadirnya sertifikasi kosmetik halal,
walaupun sudah jelas ada Undang-undang yang menguatkan legitimasi halal ini. Namun, entah bagaimana, masih ada penolakan akan adanya sertifikasi halal ini. Walaupun
juga MUI dengan otoritas dan relasi dengan negara, sehingga MUI ini menggunakan legitimasinya
untuk menetapakan legitimasi akan sertifikasi kosmetik halal ini. Bisa
dikatakan, agama dalam hal ini MUI, masih pula melakukan eksternalisasi atau bisa dibilang
masih terjadi internalisir pemahaman terhadap mahasiswa akan sertifikasi kosmetik halal ini.
Berdasar temuan penelitian tadi, penerimaan
(internalisasi) akan kosmetik halal ini, secara umum mahasiswa berpendapat agar
kosmetik ini sesuai dengan syariat Islam, mencegah kosmetik yang berbahaya
sementara yang sedikit menolak mengatakan agar tidak ada diskriminasi di
Indonesia yang multi agama, serta ada juga mahasiswa yang masih mempertanyakan jamianan atau proses
akan bahan-bahan kosmetik yang halal. Bagi mahasiswa umumnya yang terpenting dari
kosmetik sendiri adalah kualitas bahannya, baru label halal maupun merknya.
Walaupun demikian, hampir secara keseluruhan, mahasiswa menganggap penting
sertifikasi halal, namun dengan catatan-catatan tertentu.
E.
Kesimpulan
Sebagaimana
realitas akan sertifikasi kosmetik halal ini akan terus menginternalisir orang-orang
untuk menerima realitas “sertifikasi halal ini”, dimana yang terlibat di
dalamnya berusaha berusaha membuat suatu dunia bersama dengan membuat sebuah
legitimasi. Namun, hadirnya dunia objektif bersama itu, sudah barang tentu
terjadi dialektis bahkan mungkin konflik. Dimana menurut Berger, selain
menuntut peranan tertentu yang terlibat di dalamnya, realitas yang muncul ini perlu
penyesuaian timbal balik, dimana dituntut usaha yang seimbang diantara beberapa
pihak yang terlibat.
F.
Daftar
Pustaka
Abdullah,M.
Amin. 2011. Studi Agama Normativitas atau
Historisitas?. Cet. V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berger,
Peter L. dan Thomas Luckmann.2012. Tafsir
Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:
LP3ES.
Berger,
Peter L.1991.Langit Suci: Agama Sebagai
Realitas Sosial.Jakarta: LP3ES.
Baharun,Mohammad.
2012. Islam Idealitas Islam Realitas.
Jakarta: Gema Insani
Luthfi,
Asma. Aji Modereng: Dialektika Agama dan Modernitas
pada Masyarakat Bugis di Pedesaan, dalam Cultural Studies di PTAI Teori dan Praktek. 2014. Yogyakarta: Label
Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Poloma,Margaret
M. 1987. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Prasetyo,Eko.2014. Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Yogyakarta:Social
Movement Institut.
Pals,
Daniel L.2012. Seven Theoriesof Religion.Yogyakarta:Ircisod.
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26 Tahun
2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika Dan Penggunaannya.
Sumber Internet:
[1] Sejarah
MUI , diakses
dari, http://mui.or.id/id/category/profile-organisasi/sejarah-mui/ , pada 9 Mei 2017
[4] Sigmund Freud, Agama dan Kepribadian, dalam “Seven Theories of Religion” oleh
Daniel L. Pals, (Yogyakarta: Ircisod,2012), Hlm. 91
[5] Eko Prasetyo, Bangkitlah Gerakan Mahasiswa,(Yogyakarta:Social Movement
Institut,2014), hlm.64-65
[6] Peter L. Berger. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES,1991. Hlm. 3-4
[7] Peter L. Berger. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES,1991. Hlm.4
[8] Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1987. Hlm. 307
[9] Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES (2012). Hlm. 179-180
[10] Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES (2012). Hlm. 181-182
[11] Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan:
Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES (2012). Hlm. 188
[12] Sertifikasi Halal, diakses dari http://mui.or.id/id/produk/sertifikasi-halal-3/ , pada tanggal 8 Mei 2017
[13]M.
Amin Abdullah,Studi Agama Normativitas
atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011), hlm.218-219
[14]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26
Tahun 2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika Dan Penggunaannya ,
diakses dari http://mui.or.id/id/produk/standar-kehalalan-produk-dan-penggunaan-kosmetika/
, pada tanggal 8 Mei 2017
[15] M.
Amin Abdullah,Studi Agama Normativitas
atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2011), hlm. 220
[16]
Asma Luthfi, Aji Modereng: Dialektika
Agama dan Modernitas pada Masyarakat Bugis di Pedesaan, dalam Cultural Studies di PTAI Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Label Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), hlm. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar