Filsafat Islam pasca Ibn Rushd



Kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya tidak benar-benar hilang oleh serangan yang dilakukan Al-Ghazali terhadap tokoh filsafat Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ataupun para filosof Yunani. Bahkan ketika Ibn Rusyd juga tidak berhasil menghadang pengaruh al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi di kalangan sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dengan lahirnya gagasan-gagasan filosofis dan orisional yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan ajaran isyraqi (illuminasi), Ibn Arabi (1165-1240) dengan doktrin wahdat al-wujud-nya, dan Mulla Sadra (1570-1640 M) dengan konsepnya tentang hikmah al-muta’aliyah. Ide-ide para tokoh ini bahkan melebihi prestasi filosof-filosof sebelumnya. Perbedaannya, pada masa pasca Ibn Rusyd ini pemikiran filsafat berkembang dengan cara bersatu dengan pengalaman mistik atau sufisme,sementara pada masa sebelum al-Ghazali lebih mendasarkan diri pada kekuatan rasionalitas murni. Kenyataan ini yang tidak disadari oleh umat Islam, ataupun para Sarjana dan peneliti, sehingga sebagian besar menganggap bahwa filsafat Islam telah berhenti setelah Ibn Rusyd. Pada masa Ibn Rusyd (1126-1198), filsafat Yunani, khususunya Aristotelian muncul lagi dalam dunia pemikiran Islam. Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun usaha ini kurang berhasil, sebagaimana dalam kutipan tulisan ini, menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian, sementara serangan al-Ghazali lebih bersifat Neo-Platonis. Dari hal itu diketahui pula, dalam bandingan epistemologi,Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika yang dipakai dalam teologi dan yurisprudensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menegah dan kalangan awam. Walaupun setelah Ibn Rusyd, seiring hilangnya pengaruh Islam di Andalusia ,pemikiran filsafat ini tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. [1]


a.      Hadirnya Mistisisme dan Kaitannya dengan Filsafat Islam
            Berbicara tentang tradisi mistik Islam, yang perlu diketahui pertama-tama adalah makna mistisisme dalam konteks Islam. Kita dapat berbicara tentang mistisisme Islam hanya jika kita memahami makna orisinal istilah itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi. Kita harus ingat bahwa makna dasar kata Yunani kuno dari akar kata mysterion dan mistisisme adalah diam atau tutup mulut. Bagaimanapun, orang dapat mengaitkannya dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrar (misteri-misteri) atau bathin (esoterik atau batin), mengingat bahwa kaum sufi menyebut diri mereka sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrar Ilahi. Dalam konteks Islam, mistisisme berarti dimensi esoterik Islam yang di sebagian besar ,wilayah Dunia Islam disamakan dengan tasawuf, dan juga dengan esoterisme Syi‘ah, baik dua belas Imam maupun Isma‘iliyyah.[2]
Irfan teoretis ini berkenaan dalam pengertiannya yang terdalam dengan realitas wahyu dan agama. Pertanyaan tentang hubungan antara gnosis dan esoterisme, di satu sisi, dengan aspek formal dan eksoterik agama di sisi lain, adalah hubungan rumit dalam pembahasan ifran di sini. Yang jelas adalah bahwa dalam setiap masyarakat tradisional gnosis dan esoterisme tidak terlepas dari iklim agama tempat mereka berada. Sebagai contoh dimana  ini terbukti benar pada esoterisme Luria dan Yahudi maupun pada gnosis Sankara dan Hindu serta semua yang ada di antara agama-agama. Singkatnya, dalam tulisan ini, yang berkenaan dengan gnosis dalam tradisi Islam, kita perlu menekankan perhatian utama pada irfan, seperti kaum Sufi pada umumnya, dengan realitas agama dan penjelasan tentang ajaran-ajarannya pada tingkatan yang paling mendalam, seperti yang ada dalam banyak Sufi terkenal tentang makna batin Al-Quran, dan juga tentang ritual-ritual Islam serta doktrin inti Islam tentang Keesaan(Tauhid).[3]
Dengan kata lain, mistisisme Islam yang dipahami dalam pengertian seperti di atas adalah jalan pengetahuan (al-ma’rifah, irfan) yang dengannya terkait dan sesuai dengan struktur wahyu Islam, juga lain dengan mistisisme yang sentimental dan individualistik. Itulah sebabnya mengapa mistisisme Islam mempunyai pertalian erat dengan filsafat Islam selama berabad-abad. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa kendatipun ada kritik yang dilakukan oleh banyak sufi terhadap para filosof Islam, khususnya sejak abad ke-6-9 H/ke-12-15 M, tetapi para filosof, khususnya yang berasal dari periode setelahnya, dapat dimasukkan ke dalam rumpun spiritual yang sama dengan para sufi, karena keduanya mempunyai tujuan bersama ke arah pencapaian pengetahuan puncak.Tidak butuh waktu terlalu lama, intelek (al-’aql)-nya filosof Islam lalu diidentikkan dengan ruh al-qudus, Ruh Suci, dan malaikat alam religius dengan akalnya para filosof. Dimana kita harus ingat bahwa pada masa itu ada sejumlah sufi diberi gelar Ibn Aflathun, yang secara harfiah berarti "anak Plato".[4]
Lalu Irfan teoretis pada tingkat intelektual diketahui berkenaan dengan cara tertentu tidak hanya dengan aspek praktis agama, tetapi juga dengan doktrin dasar Islam seperti penciptaan, kenabian, akhirat, dan bahkan fiqih. Guru-guru makrifat Islam berbicara tentang mengapa dan bagaimananya penciptaan. Sebagaimana, mereka berbicara tentang “penciptaan didalam Allah” serta “penciptaan oleh Tuhan”. Mereka menjelaskan secara terperinci doktrin tentang arketipe kekal (al-a'yan al-tsabitah) (bersesuaian dalam berbagai cara dengan ide-ide Platonik) dan peniupan nyawa ke dalamnya yang terkait dengan Rahmat Ilahi, yang memunculkan tatanan makhluk. Mereka melihat penciptaan itu sendiri sebagai Pengungkapan-Diri Allah. Mereka juga membicarakan pembaruan ciptaan (tajdid al-kalq) pada setiap saat. Selain itu, irfan teoretis banyak berbicara tentang akhir serta awal sesuatu. Penjelasan terdalam tentang eskatologi Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis juga ditemukan dalam tulisan-tulisan seperti AI-Futuhat al-Makkiyah karya Ibn ‘Arabi. [5]
b.      Sentuhan Tasawuf dan Pertalian dengan Filsafat di Wilayah Islam Barat (Andalusia)
Dari penjelasan mistisisme di atas, yang paling penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa esoterisme Islam, dan khususnya tasawuf, masih tetap hidup dan penuh gairah selama berabad-abad. Ini memberikan sarana praktis bagi kesadaran akan Yang Riil (Al-Haqq) dan pengaktifan potensi fakultas intelek dalam diri manusia. Keduanya terus menunjukkan kemungkinan pencapaian suatu pengetahuan yang disadari, yaitu gnosis atau sapiens, sesuatu yang sulit diabaikan begitu saja oleh para filosof Islam. Pada kenyataannya, sejak Revolusi Ilmiah, filsafat Barat kian menjadi budak sains yang didasarkan pada data-data empiris yang ditarik dari indra-indra lahiriah. Sebaliknya, filsafat Islam menjadi makin terkait, bahkan lebih erat, dengan hasil dari "cara mengetahui” lainnya yang didasarkan pada indra-indra dalam (batiniah) dan terbukanya ”mata hati" (’ain al-qalb dalam bahasa Arab, dan chism-i dil dalam bahasa Persia) yang dapat ”melihat” dunia tak kasatmata yang tak terlihat oleh mata lahiriah.[6] Itulah yang dimaksud dengan gnosis, atau mungkin kita lebih mudah menyebutnya dengan irfan. Irfan berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa yang semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (‘ilm).Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) dan atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan dapat diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (Kasyf)  setelah adanya olah nurani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta.[7] Dan biasanya hal itu hanya dimiliki filosof yang sekaligus sufi, dengan mengunakan corak tasawufnya masing-masing.
Filosof Islam besar pertama yang mungkin kita dapat melihat minat langsung pada tasawuf adalah Al-Farabi, yang ternyata juga mempraktikkan tasawuf. Namun, pengaruh tasawuf dalam tulisan-tulisannya kurang begitu jelas kecuali dalam Fushush Al-Hikmah, yang oleh sebagian orang dinisbahkan pada Ibn Sina. Kehadiran tasawuf sebagian besar tampak dalam kehidupan pribadi Al-Farabi, yang tentu memengaruhi pemikirannya dan juga komposisi musiknya. Tidak banyak yang menyadari bahwa sebagian komposisi musik Al-Farabi ini dikembangkan dan dalam periode yang bersamaan waktunya dengan kehadiran filsafat Peripatetik awal. Kemunculan awal figur-figur, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ini, darinya kita dapat menyaksikan kelahiran filsafat Ismailiyyah, yang mencapai puncaknya pada abad ke-4 H/ke-10 M dan ke-11 M dengan tokoh-tokoh semacam Hamid Al-D’in Al-Kirmani dan Nashiri Khusraw. Keduanya alirannya  menyamakan filsafat dengan dimensi esoterik Islam. Darinya diketahui doktrin-doktrin dasar filsafat atau teosofi lsmailiyyah seperti interpretasi hermeneutik (ta'wil, hubungan antara iman dan akal manusia, baiat, siklus (daur) kenabian dan  imamologi serta kosmologi dan antropologi, menunjukkan pertalian eratnya dengan dimensi tertentu dalam esoterisme Islam. Lebih jauh lagi, ajaran mistik Yunani-Aleksandrian seperti ajaran mistik Pythagorean  dan Hermetisis (berhubungan dengan ajaran Hermes) bergema dalam filsafat Ismailiyyah, sebagaimana dapat kita lihat dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa' yang banyak menekankan signifikansi mistik bilangan-bilangan.[8]
Memang ada yang berpendapat corak filsafat mistik ini juga ada dalam tradisi Yunani,khususnya neo-paltonisme dan Hermes. Menurut Al-Jabiri, irfan diadopsi dari ajaran Hermes,sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur’an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqamat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur’an (QS.Al-Fusilat:164),tapi lebih identik dengan konsep Hermes tentang, mi’raj , yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah raga untuk menyatu dengan Tuhan. dimana konsep maqamat dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar.[9] Walaupun, hal ini karena corak tasawuf atau irfani berkaitan dengan kesadaran dan perasaan. Yang mana perasaan dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras dan bangsa. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, melalui latihan-latihan ruhani, bisa jadi satu sama lain sama, meski tanpa ada kontak di anatara keduanya, sehingga adanya kesamaan antara irfan dengan corak irfani (gnostisisme) asing bukan berarti pasti menunjukkan adanya keterpengaruhan. Namun karena itulah, pada aspek esoteris ini, Ibn Arabi mengungkapkan ide tersirat wahdat al-adyan (kesatuan agama-agama).[10] Dimana bila dilihat dalam pembahasannya termasuk dalam kategori filsafat perennial.
Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfisafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud (kesatuan realitas).  Hal itu karena, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung parapatetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah “patokan” segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya  bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkret tetapi pada yang tansenden dan itu hanya ada satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujud), dengan corak Ibn Arabi tentunya.[11] Demikian bagaimana Arabi memadukan Filsafat paripatetik dengan konsep tasawuf.
Saat filsafat Peripatetik dikritik, baik oleh para teolog Asy‘ariyyah maupun para sufi seperti Al-Ghazali dan Sana’i di wilayah-wilayah Timur Islam, namun perkembangan filsafat Islam peripatik di wilayah-wilayah Barat Islam ditandai pertalian eratnya dengan tasawuf. Walaupun sebenarnya, seluruh fenomena filsafat Islam di Spanyol sudah mempunyai jejak tasawuf pada pemikiran filosofis yang ditanamkan oleh Ibn Masarrah. Hampir semua filosof Islam Spanyol terkemuka, kecuali Ibn Rusyd (Averroes), mempunyai dimensi mistik kuat yang tecermin jelas dalam tulisan-tulisan mereka. Kita cukup menyebut cinta mistik Ibn Hazm, mistisisme matematis Ibn Al-Sid dari Badajoz, doktrin kontemplasi intelektual Ibn Bajjah, dan peran Akal Aktif  dari Ibn Thufail untuk menekankan fakta ini. Tetapi, di antara semua filosof besar Andalusia terakhir, pada diri seorang Ibn Sab’in kita dapat mengamati gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas. Sebagai seorang sufi dan sekaligus filosof, Ibn Sab‘in menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam.[12]
c.       Pertalian Tasawuf dan Filsafat di wilayah Islam Timur (Persia)
Pada abad ke-6 H/ke-l2 M, pertalian erat antara tasawuf dengan filsafat muncul kembali ke wilayah-Wilayah Timur Islam dan khususnya Persia sehingga sintesis yang paling signifikan dan berpengaruh antara mistisisme dan filsafat terjadi di tangan Syihab Al-Din Suhrawardi, pendiri Mazhab Iluminasi (al-isyraq). Dia sudah menjadi sufi dan menguasai filsafat Ibn Sina pada usia sangat muda, Suhrawardi menciptakan perspektif filosofis baru yang didasarkan pada pengetahuan melalui iluminasi (pencerahan) dan upaya mengawinkan latihan pikiran rasional dan penyucian jiwa. Suhrawardi sendiri sadar sepenuhnya akan sentralitas sintesis antara pengetahuan rasional dan pengalaman mistis ini dan memasukkan para sufi bersama para filosof Peripatetik sebagai kategori-kategori dan tahapan-tahapan yang mengantarkan kepada kategori dan tahapan ”teosof” (hakim muta’allih) yang merupakan ideal doktrin isyraqi. Melalui Suhrawardi, filsafat Islam terpaut erat dengan realisasi spiritual dan pembersihan jiwa yang diasosiasikan dengan kehidupan mistik selama hampir sepanjang periode sejarah Islam setelah itu. Para filosof isyraqi berikutnya seperti para komentator utamanya yaitu Muhammad Syahrazuri dan Quthb Al-Din Syirazi, dan juga para wakil utama doktrinnya terkemudian, seperti Ibn Turkah Ishfahani, adalah filosof sekaligus sufi.[13]
Perlu diketahui, pemikiran Israqiyyah (Illuminatif) secara ontologis maupun epistemologis, lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatik Aristotelian. Menurut Suhrawardi,filsafat peripatetik yang saat itu dianggap paling unggul, ternyata mengandung bermacam kekurangan. Secara epistemologis, ia tidak tidak bisa menggapai realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, bahkan silogisme rasional pula, pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Sementara dari sisi ontologis,Suhrawardi tidak bisa menerima paripatetik, antara lain mengenai eksistensi-essensi. Baginya, yang fundamental dari realitas adalah essensi,bukan eksistensi seperti diklaim kaum paripatetik. Essensilah yang primer sedang eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dari essensi dan hanya ada dalam pikiran. Dimana ini sekaligus mengembalikan konsep Plato bahwa eksistensi hanyalah bayangan dari ide dalam pikiran.[14]
Pertalian erat antara filsafat dan tasawuf sesungguhnya menjadi ciri hampir semua filsafat Islam terkemudian. Pembangun kembali filsafat Peripatetik Ibn Sina pada abad ke-7 H/ke-13 M, yaitu Nashir Al-Din Al-Thusi, yang merupakan salah seorang matematikawan dan pada saat yang sama astronom besar sepanjang sejarah, juga menulis Aushaf Al-Asyraf tentang kebajikan sufi. Tokoh semasanya, Afdhal Al-D’in Kasyani, yang filosof sekaligus penyair, adalah seorang sufi yang makamnya banyak dikunjungi para peziarah hingga sekarang karena dianggap sebagai seorang wali, dan Jalal Al-Din Dawani, yang filosof sekaligus teolog, juga berminat besar pada doktrin-doktrin isyraqi dan esoterik dan bahkan menyusun komentar atas Suhrawardi.Pada periode Shafawiyyah, dengan berdirinya Mazhab Ishfahan pada abad ke-10 H/ke-16 M, hubungan antara filsafat dan tasawuf menjadi hampir diterima apa adanya oleh sebagian besar filosof. Selain itu, pengalaman akan Al-Haqq melalui praktik dan perenungan menjadi hampir tak terpisahkan dari pembicaraan filosofis tentang Al-Haqq; dari sini dapat diketahui betapa pentingnya hubungan antara haqiqah al-wujud (realitas wujud) dan mafhum al-wujud (konsep tentang wujud) dalam metafisika Islam periode ini. Pendiri Mazhab Isfahan, Mir Damad, yang merupakan salah seorang filosof rasional yang teguh, juga menulis puisi mistik dengan nama samaran Isyraq dan menyusun sebuah risalah tentang pengalaman mistik-ekstatik.[15]
Figur utama mazhab ini, yakni Mulla Shadra, menjalani suatu periode panjang pembersihan diri yang diikuti dengan studi formal dan menganggap iluminasi dan wahyu sebagai sumber Vital pengetahuan di samping penggunaan rasio. Perspektif intelektual baru yang diciptakannya dan disebut al-hikmah al-muta’dliyyah didasarkan atas tiga landasan: wahyu, iluminasi batin, dan penalaran logis, dan banyak di antara doktrin-doktrin paling mendasar yang disebut dalam karya-karyanya dinilainya telah disingkapkan oleh Tuhan kepadanya. Oleh karena itu, ia menyebutnya dengan istilah hikmah ’arsyiyyah (hikmah yang turun dari Singgasana Tuhan). Sebagian karya-karya Mulla Shadra, Seperti Al-Syawdhid Al-Rububiyyah, mempunyai warna ’irfani atau Warna gnostik, dan pengarangnya adalah pembela gigih para sufi besar terdahulu seperti Ibn ’Arabi yang dikutipnya secara luas dalam magnum opus-nya, Al-Asfar AI-Arba’ah. Mulla Shadra juga menulis karya biografis, Si ashl, dan Kasr Al-Ashnam Al-jahiliyyah Yang meski menyerang sebagian bentuk tasawuf populer yang menyimpang, ia membela dengan gigih kaum sufi yang autentik serta doktrin-doktrin mereka. Kenyataannya, filsafat atau teosofi Shadrian (mazhab Mulla Shadra) sulit dipahami tanpa pengaruh mendalam doktrin-doktrin Ibn ’Arabi dan ajaran-ajaran Sufi lainnya termasuk juga pengaruh Al-Ghazali pada Mulla Shadra.[16] Dimana tertuang dalam konsep hikmah muta’aliyah.
walaupun sebagaimana dikutipan pendapat menurut Jalaludin Rakhmat mengenai transendent theosophy (hikmah muta’aliyah) Mulla Shadra.  Pemikiran Shadra tersebut dari sisi epistemologis didasarkan atas tiga prinsip: intuisi intelektual, pembuktian rasional, dan syariat, sehingga hikmah adalah wisdom yang diperoleh lewat pencerahan ruhani, disajikan dalam bentuk dan argumen-argumen rasional, dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syariat. Sementara dari sisi ontologis, hikmah muta’aliyah didasarkan atas tiga hal, prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak substansial.[17] Pemikirannya itulah mungkin yang menjadi alternatif cara berpikir umat Islam tentang persoalan yang dialami umat Islam, terutama dalam Islam di Persia.
Diketahui, filsafat Islam melanggengkan keterkaitan erat dengan mistisisme ini terutama sepanjang para pendukung mazhab Mulla Shadra terkemudian dikaji. Meski murid-murid langsung Mulla Shadra, Abdul Al-Razzaq Lahiji dan Mulla Mullsin Faidh Kasyani, mengambil jarak agak jauh dari Mulla Shadra karena iklim politik masa itu dan banyak mencurahkan diri pada ilmu-ilmu agama dan teologi. Tetapi, mereka tetap menulis beberapa karya yang diilhami oleh guru mereka. Keduanya pun menulis puisi mistik. Kasyani juga menulis sejumlah risalah prosa mistik penting seperti Kalimati Maknunah. Murid mereka, Qadhi Sa'id Qummi, juga menyusun risalah mistik penting dan layak dianggap sebagai seorang filosof mistik terkemuka. Kecenderungan ini terus berlanjut hingga abad ke-14 H/ke 20 M. Banyak filosof Islam terkemuka Persia abad yang lalu, seperti Mirza Mahdi Asytiyani, Sayyid Muhammad Kazhim Ashshar. Allamah Thabathaba’i dan Mahdi Ilahi Qumsya’i adalah filosof sekaligus mistikus, yang mengikuti dengan setia jalan spiritual. Jadi, dalam periode ini ada bukti-bukti yang terlihat antara pertalian yang sudah berumur panjang dan perkawinan antara filsafat dan tasawuf yang dimulai oleh tokoh seperti Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra.[18]
d.      Perkembangan Pertalian Tasawuf dan Filsafat Era sekarang
Situasi pertalian tasawuf dan filsafat tidak hanya terbatas di Persia. Di India, ketika filsafat Islam baru mulai tumbuh, khususnya selama periode Mughal, hubungan yang juga erat antara mistisisme dan filsafat dapat diamati di kalangan figur-figur penting, yang menonjol di antaranya adalah Syah Wal’iyullah dari Delhi, yang boleh jadi merupakan pemikir Islam terbesar Anak Benua India-Pakistan. Jika kita membaca karya-karyanya, sulit ditetapkan apakah ia seorang teolog, filosof, ataukah sufi. Yang benar adalah ia ketiganya sekaligus, seorang pemikir yang menciptakan sintesis dari ketiga disiplin ini. Lebih dari itu, kita dapat mengamati figur-figur semacam ini di Imperium ’Utsmaniyyah dan juga di dunia Arab modern. Salah satu figur religius terpenting Mesir abad ke-14 H/ke-20 M, 'Abd Al-Halim Mahmud, yang juga Syaikh Al-Azhar, adalah sufi sekaligus filosof Islam dan banyak menulis karya penting tentang kedua subjek itu. Pada zaman modern, pengaruh pemikiran Barat telah menjauhkan banyak orang di Dunia Islam, baik dari tasawuf maupun filsafat Islam. Namun, sejauh filsafat berakar pada tradisi berumur 1200an tahun ini masih tetap hidup, maka  hubungan antara tasawuf dan filsafat Islam akan tetap berlangsung. Bagaimanapun, sifat dasar filsafat Islam seperti yang telah berkembang berabad-abad ini tidak sepenuhnya dapat dipahami tanpa menghayati signifikansi realitas yang disebut tasawuf Islam dan pengaruhnya atas banyak figur terkemuka filsafat Islam mulai dari Al-Farab’i dan Ibn Sina hingga figur-figur masa kini.[19]Sebagaimana Muhammad Ridha (w.1888-89),Ismail Al-Faruqi (1921-1986),M. Iqbal (1877-1938) serta berbagai tokoh Islam kontemporer terkait lainnya.
Oleh Karenanya Irfan teoretis telah memberikan dalam kriteria tertinggi untuk menilai apa yang merupakan philosophia vera. Itu merupakan fondasi dalam pengembangan filsafat tradisional dan ilmu pengetahuan tradisional, serta merupakan kunci untuk pernahaman terdalam tentang semua sains kosmologis tradisional, termasuk “ilmu-ilmu tersembunyi” (al-‘ulum al-khafiyyah atau gharibah). Seperti yang telah diketahui, dimana mazhab filsafat tradisional yang terkemudian yang telah bertahan di dunia Islam sampai hari ini, yang paling utama di antaranya adalah Mazhab Iluminasi yang didirikan oleh Suhrawardi dan Teosofi atau Filosofi Transenden yang didirikan oleh Mulla Shadra, yang terkait erat dengan irfan. Kita bisa mengatakan bahwa meskipun setelah Abad Pertengahan dan Renaisans di Barat filsafat menjadi semakin erat terkait dan juga ikut pada sains modern, bisa dilihat jelas dalam pemikiran Kant, di dunia Islam filsafat menjadi lebih erat terkait dengan irfan, yang darinya ia memperoleh dukungan dan visinya tentang realitas yang berperan sebagai basis untuk berfllsafat. [20]




PENUTUP
a)    Kesimpulan
Perkembangan Filsafat Islam pasca Ibn Rusyd bisa dibilang mengalami perubahan yang cukup elemental. Corak filsafat saat masa Ibn Rusyd yang paripatetik Aristotelian atau menggunakan metode Burhani (demonstratif) telah berganti dengan metode Irfani yang dimulai dikalangan Islam Syiah, serta kemungkinan kembali digunakannya metode Bayani dikalangan Arab Sunni sebagaimana Al Ghazali.
Namun, mungkin hanya corak Filsafat Irfani yang mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dimana perpaduan mistisisme tasawuf Islam dengan filsafat telah menghasilkan corak Filsafat Irfani ini. Diawali oleh tokoh seperti Ibn Sina, Al Farabi dan Ibn Arabi yang sedikit tampak corak tasawuf dalam pemikiran filsafatnya, lalu mengalami perkembangan yang pesat pasca Ibn Rusyd saat masa Suhrawardi dan Mulla Shadra.













DAFTAR PUSTAKA

Nasr,Seyyed Hossein.“Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.).2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.Bandung: Mizan.
Nasr,Seyyed Hossein.2010. The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Penerbit Mizan.
Soleh,A. Khudori .2012. Wacana Baru Filsafat Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), 12-13
[2]Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),459
[3] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 281
[4]Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460
[5] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 281
[6] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460
[7] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),194
[8] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460-461
[9] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),195-196
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),198
[11] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),150
[12] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),462
[13] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),462-463
[14] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),116
[15] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),463
[16] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),463-464
[17]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),157
[18] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),464-465
[19] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),465
[20] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 283

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...