Fenomena
aksi bela Islam pada 4 November 2016 dan aksi bela Islam 2 Desember 2016, bisa dibilang
merupakan naiknya dinamika ketegangan
antara golongan umat Islam Indonesia dan aparatur pemerintah. Dimana mulai
terjadi lagi perbenturan ideologi yang sebelumnya cukup terintegrasi dan
terkoneksi menjadi goyah akibat fenomena tersebut. Aksi bela Islam tersebut
diikuti banyak kalangan umat Islam, terutama mereka yang bergabung dalam
kelompok organisasi agama Islam seperti FPI, MMI, HTI dan sebagainya yang
kebanyakan tergolong wajah ormas Islam baru.[i] Kegaduhan
di masyarakat pun tidak dapat dihindarkan, masyarakat Indonesia bahkan sampai
Internasional menyorot fenomena
tersebut. Isu-isu seperti intoleransi,
SARA banyak disematkan pada kelompok masyarkat yang mendukung aksi itu. Dari
fenomena itu, lalu mempengaruhi citra bangsa Indonesia dalam menanggapi isu-isu
intoleransi dan SARA di mata Media Internasional.
Media
Intenasional ramai-ramai menuliskan berita perihal fenomena tersebut, apalagi
atas diberikan hukuman 2 tahun penjara terhadap tersangka kasus penista agama.
Dunia Internasional seakan-akan menarik kembali penghargaannya atas negara Indonesia
sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia.[ii]
Oleh karenanya, banyak media di dunia
Internasional mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjunjung
tinggi toleransi dan pluralisme. Dimana sebelumnya negara Indonesia sudah
dikenal akan kemajemukan berbagai suku, agama, tradisi dan adat istiadatnya,
sebagaimana terlegitimasi dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Maka,
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia saat itu pun terus menerus menarik banyak perhatian masyarakat dan
media. Pemerintah Indonesia pun mulai mengambil tindakan tegas atas krisis yang
menyangkut demokrasi di Indonesia ini. Fenomena aksi bela Islam 411 bisa
dibilang krisis demokrasi, sebagaimana telah disebutkan yakni menyangkut
perbenturan ideologi antara Pancasila dan Islam. Ketegasan Pemerintah mulai
tampak jelas pasca Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia
sudah keblablasan.[iii]
Entah berkaitan atau tidak, tak lama hal itu dibuktikan dengan pembubaran dan
pelarangan kegiatan organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia oleh
Pemerintah Indonesia melalui jumpa pers Menteri Koordinator bidang Politik,
Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto pada Rabu,12 Juli 2017.[iv] Dimana
Ormas HTI terindikasi bertentangan dengan Perppu no. 2 tahun 2017 tentang
perubahan atas UU no. 17 tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan.
Di era modern ini, mau tidak mau kita
akan bertemu dengan arus globalisasi. Kemajuan iptek akibat “kontak teknologi”
menjadi bukti akan hal tersebut, kemajuan-kemajuan tersebut tentunya bermanfaat
dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan kata lain, kontak adat, budaya, ideologi,
agama dan sebagainya sejatinya lumrah terjadi, namun dalam permasalahannya ada
sisi yang secara tegas tidak dapat diganggu gugat, baik itu dalam adat, budaya,
ideologi maupun agama. Dimana sisi itu bisa tergambarkan dalam masalah truth claim agama[v],
hanya agamanya lah yang diyakini paling benar (truth claim). Sering kali, turth
claim konteks superioritas pemikiran teologis tersebut, bila mengingkari
realitas sosial dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang lain akan mengurangi
wibawa dari ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan
kontekstualisasi ajaran agama dalam ruang dan waktu zaman guna kepentingan
kemanusiaan.
Agama
dalam konteks kemanusiaan, bila dibiarkan secara politis dan sosiologis tanpa
adanya kontrol (dari luar maupun dalam) akan cenderung menumbuhkan sikap
fanatis dan dogmatis.[vi]
Di masa lalu Islam, selepas kepergian Nabi Muhammad SAW, Ijtihad para sahabat
nabi (ahli agama) mampu menjadi sumber (pengontrol) keagamaan masyarakat
sebagaimana contohnya usaha kodefikasi Al-Quran di zaman Usman bin Afffan. Lalu
di masa Islam Umayyah dan Abbasiyah, hadirnya pemikiran filsafat Yunani menjadi
sumber luar (pengontrol) keagamaan umat Islam, dimana saat itu sangat
dibutuhkan akibat sebelumnya muncul perdebatan pemikiran aliran di dalam intern umat Islam (Khawarij, Mu’tazilah,
dsb) serta juga dibutuhkan guna membantu untuk counter balik bagian
pemikiran yang destruktif dari luar itu sendiri.
Dari
masa lalu Islam itu, terbukti dalam masalah historis kemanusiaan, Islam mampu mengakulturasi
berbagai lokalitas falsafah dan pemikiran saat itu- termasuk filsafat- guna
mengatasi tantangan zaman itu. Dalam konteks Indonesia, para walisanga mampu
mengadopsi lokalitas sehingga tersebarnya ajaran Islam di Indonesia. Di masa
sekarang yang semakin kompleks, konteks lokalitas Islam arab tentunya kurang
pas di Indonesia, penggunaan filsafat
sebagaimana masa lalu (di masa sekarang ilmu pengetahuan modern) tentu juga
masih kurang dengan konteks Indonesia, karena itu perlunya disarikan dalam lokalitas
Indonesia, dimana dalam bernegara telah ditetapkan Pancasila sebagai pedoman
bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, sebagai umat Islam (begitu pula umat
lainnya), sebagai muslim tentunya tidak boleh
menanggalkan jiwa Islami. Oleh karena itu, dengan cara-cara bermartabat,
memahami arti bernegara dan berbangsa, kita harus mampu mensarikan nilai-nilai
Islam di dalam Pancasila guna kepentingan bersama sebagaimana umat Islam terdahulu juga
mengkontekstualisasikan (mensarikan nilai-nilai Islam) dengan lokalitas
zamannya.
Nuansa
Islamis, Pancasilais hingga Sekuler di
Indonesia
Merunut
SK pembubaran ormas HTI,[vii]
pembubaran semacam ormas di Indonesia sendiri sebenarnya juga sudah dilakukan
oleh pemerintah sebelumnya. Semisal di masa orde lama ada pembubaran partai
politik yakni Masyumi dan PSI lalu di masa orde baru ada pembubaran partai PKI.
Pembubaran semacam ormas dan partai politik di atas terbilang cukup
kontroversial karena sebelumnya sudah diakui oleh negara tetapi akhirnya
dilarang atau dibubarkan. Selain itu ada
pula pembubaran dan pelarangan aliran
keagamaan yang dinyatakan sesat semacam Gafatar dan Salamullah, padahal banyak
pula aliran kepercayaan lokal yang tentunya sering dianggap sesat bagi golongan
6 agama yang diakui negara Indonesia. Hal di atas telah menunjukkan dimana
dasar negara Pancasila Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika pertemuan, perbenturan,
dan pertentangan dengan ideologi, ajaran, dan hal-hal yang ada dalam
perkembangan masyarakat.
Kembali
ke ranah agama Islam, berdasar sejarah awal berdirinya negara Indonesia, dasar
negara Pancasila sudah ditetapkan sejak berdirinya negara Republik Indonesia,
lalu banyak peran dari orang Islam sebagai bagian terbentuknya dasar negara
Pancasila. Bahkan jauh sebelumnya, dimana umat Islam Indonesia telah banyak
berjuang mengusir penjajahan Hindia Belanda sampai akhirnya kemerdekaan bangsa
Indonesia. Tokoh Islam seperti Pangeran Diponegoro (1785-1855), Tuanku Imam
Bonjol (1772-1864), Cut Nyak Dhien (1848-1908) dan tokoh Islam lainnya tidak
dapat dipungkiri telah menjadi benih pijakan dalam perjuangan pengusiran
penjajahan walaupun perjuangan mereka sebatas dalam skala lokal. Lalu di masa
kemerdekan, telah banyak tokoh Islam yang berkumpul guna membahas kemerdekaan
bangsa Indonesia dari cengkraman penjajahan serta usaha merumuskan dasar-dasar
negara. Dimana kini sudah tertuang dalam bentuk UUD 1945 sebagai pedoman dalam
berbangsa dan bernegara.
Dalam
sejarah masa awal kemerdekaan, Ir Soekarno memiliki ide gabungan nasakom
(nasionalis,agama dan komunis) cetusan dalam partainya. Dalam usaha perumusan
dasar negara, beliau pun menyumbangkan rumusan dasar negara serta usulan nama Pancasila. Setelah itu, dengan
musyawarah serta mengkombinasikan berbagai usulan rumusan dasar negara dari
para tokoh pendiri negara lainnya, terbentuklah pembukaan UUD 1945. Selain itu,
sebagai ketua panitia sembilan tak lama terpilihlah Soekarno sebagai
proklamator kemerdekaan serta sebagai
presiden
pertama RI karena dianggap paling cocok dan mampu menyatukan berbagai golongan,
dimana saat masa kemerdekaan hingga kepemimpinannya, masih ada kegaduhan
politik hingga ideologi. Sebagaimana awal pemerintahannya terjadi perubahan
dasar negara sehari setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana dalam kondisi
itu, beliau mencoba mengakomodir berbagai golongan, yang saat itu terjadi
polemik ideologi dalam masa awal kemerdekaan Indonesia.
Dari
pergumulan panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu kesepakatan bersama dengan merumuskan
suatu gentlements agreement tentang Pembukaan Undang-undang Dasar yang
oleh Yamin dokumen ini dinamakan Piagam Jakarta – The Jakarta Charter. Dalam Piagam Jakarta ini tujuh kata yang
berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
masih ada. Ini bisa berarti keinginan
kelompok Islam sampai pada detik itu paling tidak cukup terakomodasi dan bisa
dianggap sebagai kemenangan politik kelompok Islam. Kemenangan kubu umat Islam
ini berubah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia
merdeka, dalam rapat PPKI akhirnya 7 kata tersebut diganti menjadi “ketuhanan
yang maha Esa”. Dimana sebelumnya atas keberatan dari kelompok nasionalis dan
orang Kristen dari Indonesia bagian Timur tujuh kata dalam Piagam Jakarta
tersebut harus dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945. Peristiwa tersebut
menyebabkan sejumlah kelompok Islam merasa dikhianati.[viii]
Hal ini oleh generasi Islam berikutnya dipandang sebagai kekalahan dan
kelemahan politik wakil-wakil umat Islam.
Pasca
peristiwa itu, bentuk kekecewaan awal umat Islam pada keputusan tersebut lalu
muncul kepermukaan dalam bentuk pemberontakan di beberapa daerah dengan tujuan
mendirikan negara Islam. Misalnya, di
Jawa Barat Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan Negara
Islam Indonesia. Lalu Kahar Muzakar mengadakan pemberontakan di Sulawesi
Selatan pada tahun 1952 dan Daud Beure’eh memproklamasikan Negara Islam di Aceh
sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo. Namun, pemberontakan-pemberontakan fisik ini
justru semakin melemahkan perjuangan politik Islam dan menguntungkan bagi
kelompok abangan dan Kristen serta pemerintah RI tentunya karena
penguasa selalu curiga terhadap politik Islam. Hal ini tampakpada kebijakan
militer saat itu, selain memerangi kekuatan yang dianggap “ekstrim
kiri”(komunis) juga “ekstrim kanan”(separatis Muslim).[ix] Hingga
masa reformasi kini, terlihat perjuangan politik Islam Indonesia masih ada,
sebagaimana mereka seperti memperjuangkan
para pendahulu sebelumnya walaupun dengan cara yang berbeda-beda.
Saat
masa orde lama, usaha pemberontakan-pemberontakan di kalangan umat Islam dapat
diatasi. Terbukti dengan dapat diatasinya para tokoh seperti Kartosuwiryo
(dihukum mati), Kahar Muzakkar (tertembak mati) dan lain sebagainya. Selain
itu, banyak juga tokoh Islam yang bergerak dalam partai politik dijebloskan ke
penjara seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto
Mangkusesmito (Masyumi), Sutan Syahrir (PSI) dan lain sebagainya karena
dianggap bersebrangan dalam pandangan politik. Sayangnya di masa orde lama,
pemberontakan dikalangan PKI tidak dapat diatasi sebagaiamana akhirnya terjadi
demo Tritura (1966) dan barulah di masa pemerintah selanjutnya, PKI dapat
ditumpas dengan dibantu rakyat, terkhusus kelompok umat Islam. Dimana karena
kelompok Islam santri juga mengalami ketegangan dalam bentuk konflik
fisik dengan kelompok abangan pendukung PKI yang sudah terjadi sejak
September 1948. Pada tahun itu para
milisi-milisi PKI membantai para pejabat yang terkait dengan Masyumi dan PNI.[x] Walaupun demikian, terlihat selama orde lama
politik Islam tidak juga menjadi sangat diuntungkan. Usaha depolitisasi Islam
tetap nampak, para tokoh Islam yang
berseberangan dengan pemerintah dicekal hingga dijebloskan penjara meskipun
dinamika ketegangan keagamaan saat itu mulai lebih diperhatikan dan diakomodasi.
Sebagaimana
pada masa orde baru, pemerintah RI saat itu mengambil tindakan, bermula juga
dari munculnya berbagai ketegangan antar berbagai agama terutama antara Islam
dan Kristen/Katolik di beberapa daerah (dimana banyak dugaan adanya
kristenisasi, yakni kelompok Islam abangan yang pro PKI pindah agama), maka
diselenggarakan[xi]
Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967 oleh Pemerintah dan
berlangsung di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta. Presiden Soeharto
dalam musyawarah tersebut juga memberikan pokok-pokok pikiran yang mendasar
tentang perlunya tata cara atau dapat dianggap sebagai pokok-pokok kode etik
penyiaran agama, dan keharusan mematuhi ketentuan hukum dan segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Presiden mengharapkan semua pemuka agama dan
masyarakat: “Benar-benar melaksanakan jiwa dan semangat toleransi yang jelas
diajarkan oleh setiap agama dan Pancasila”.
Pada
masa orde baru, pemerintah mengusahakan pertemuan dan konsultasi dengan
pemimpin agama-agama di Indonesia. lalu dibentuk Wadah Musyawarah Umat Beragama
(WMAUB), serta hasilnya melalui menteri Agama dikeluarkan SK Menteri Agama N0.
35 tahun 1980, setelah 13 tahun lalu diadakan Musyawarah Antar Agama yang
pertama tanggal 30 November tahun 1967.[xii] Setelah
itu, keberadaan organisasi kemasyarakatan pada umumnya dan ormas keagamaan pada
khususnya di Indonesia didukung oleh konstitusi (UUD 1945) dan UU No. 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta aturan pelaksanaannya, PP No. 18
Tahun 1986, yakni dalam rangka memberikan ruang bebas bagi penyaluran pendapat
dan pikiran bagi anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia. Pemerintah
juga sangat mendukung keberadaan organisasi kemasyarakatan, yang melaluinya
masyarakat dapat diikutsertakan secara aktif dalam mewujudkan masyarakat
Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat pentingnya peranan
organisasi kemasyarakatan tersebut dan dalam rangka menjamin pemantapan
persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan
nasional; pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.[xiii]
Sepanjang
kekuasaan rezim Orde Baru, mengikuti kebutuhan dinamika perkembangan zaman, akhirnya
muncul juga peraturan lainnya seperti contoh [xiv]1)
Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965, tanggal 25 Januari 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama beserta penjelasannya, yang
kemudian disahkan dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1969, 2) Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB)
Nomor 1 Tahun 1979, tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, 3) Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun
1979, tanggal 27 September 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan
terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran
Islam (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Kepala Badan Litbang Agama,
Inspektur Jenderal, Kepala Kantor Departemen Agama (Kemenag) Provinsi,
Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri (Kemendagri), BAKIN dan aparatur
Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lain sejenisnya.
Pada
masa reformasi, mengikuti juga dinamika perkembangan kehidupan bernegara dan
berbangsa, dalam masalah keagamaan
beberapa peraturan tambahan ataupun pembaharuan
dikeluarkan pemerintahan selanjutnya seperti; 1) Peraturan Bersama
Menteri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006 yang ditandatangani oleh Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri. PBM yang sebenarnya nama lain dari SKB (minus
Kejaksaan agung) ini mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.
2) SKB Menteri Agama, Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008
terkait peringatan pemerintah terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia(JAI).
3) Surat Edaran Sekjen Kemenag Nomor SJ/B.V/BA.01.2/2164/2007 tentang
kewaspadaan terhadap aliran sempalan dan SJ/B.V/HK.0071.08/2014 tentang Pedoman
Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia, dan UU Nomor 7
Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial yang terkait faham keagamaan yang
memicu konflik sosial. Bahkan di dalam Pasal 165 KUHP sendiri telah ada
pasal-pasal yang mencegah kekerasan dan hasutan kebencian (hate speech)
berdasarkan agama atau latar belakang lainnya. Dan 4) SKB Menteri Agama,
Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 93 Tentang Kelompok Gerakan
Fajar Nusantara (Gafatar) pada 26 Februari 2016.[xv]
Dan pada tahun 2017, lagi-lagi pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah
peraturan yakni Perppu no 2 tahun 2017. Tentang organisasi kemasyarakatan, dimana
dalam aturan yang baru itu, organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) termasuk organisasi terlarang di Indonesia karena dianggap bertentangan
dengan ideologi Pancasila, meskipun sebelumnya sejak tahun 2014 menjadi
organisasi legal yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham)
republik Indonesia.
Harmonisasi Ideologi
Pancasila di Indonesia
Semenjak
Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia, telah banyak usaha para
negarawan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang benar-benar
membumi di Nusantara. Karena sejatinya, nilai-nilai filosofis dari pancasila
berakar dari falsafah masyarakat Indonesia sendiri. Boleh jadi nama Pancasila,
Bhineka Tunggal Ika, dan Garuda sudah ada sejak zaman Hindu Buddha di Indonesia
sebagaimana contoh kata-kata “Bhineka tunggal ika” telah ada dalam sastra Sutasoma.
Akan tetapi, perlu diketahui dasar negara Pancasila lahir pada tahun 1945,
dimana lahir dari berbagai keragaman
untuk persatuan. Dimana tidak ada nilai-nilai dalam Pancasila bertentangan
dengan ajaran Islam. Masa Kemerdekaan
dan orde lama, dasar negara telah dibentuk, Pancasila telah ditetapkan sebagai
nama dari ideologi dasar negara Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan
pancasila dalam program P4 yakni pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila
serta pada masa reformasi ideologi Pancasila dikontektualisasi kembali guna
mampu mengatasi tantangan zaman saat ini agar tetap menjadi ideologi yang
terbuka dan berkeadilan.
Namun
sejak awal hingga kini, dalam sebagian kalangan umat Islam sendiri masih banyak
yang mempersoalkan masalah “kelegalan pancasila” di dalam diri umat Islam. Dari
nama pancasila sendiri sudah memperbanyak
alasan untuk menjegal pancasila berdampingan dengan Islam. Sebagaimana
mungkin kita tahu, Pancasila dianggap bukan berasal dari Islam, lalu ada
kekhawatiran dari kalangan umat Islam tak terkecuali mungkin umat agama lain,
seakan-akan Pancasila itu akan menggantikan posisi agama terkhusus dalam
masalah bersosial dan bermasyarakat. Sebagaimana contoh, masih ada anggapan
bahwa penghormatan terhadap bendera merah putih akan menggangu bahkan
menjadikan keimanan seseorang terhadap tuhan akan berubah, mereka yang demikian
akan dianggap menyekutukan tuhan. Oleh karenanya, baik pemerintah maupun
masyarakat Indonesia masih harus terus melakukan pemahaman bahwa pancasila
tidak bertentangan dengan agama, terkhusus juga dalam umat Islam. Para
negarawan, agamawan, budayawan, dan tokoh-tokoh masyarakat serta masyarakat itu
sendiri harus bisa menginternalisasikan nilai-nilai pancasila, mendialogkan
dengan nilai-nilai agama demi membumikan pancasila di masyarakat serta akhirnya
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap harmonis dan
dinamis.
Tentu saja membuminya pancasila sebagai dasar
negara Indonesia dikarenakan ada
pengaruh ruh ataupun spirit dari Bhineka Tunggal Ika. Dimana, di masa lalu
spirit Bhineka Tunggal Ika ini sudah terbukti mampu mengharmonisasikan
kehidupan masyarakat Nusantara kala itu. Pada masa kerajaan Majapahit sudah
terjadi harmonisasi antara Buddha dan Hindu Siwa di Nusantara. Hal itu
dibuktikan dalam teks Kakawin Sutasoma, pada masa Majapahit, yakni : Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa,
Bhineka rakwa ring apan parwanosen, Mangkang jinatwa kalwan siwatatwa tunggal,
Bhineka Tunggal Ika tan hana dharmma magrwa.( Dikatakan bahwa Buddha dan
Syiwa berbeda, memang berbeda tetapi bagaimana membedakan sekilas, karena
kebenaran Buddha dan Syiwa itu tunggal, berbeda tapi manunggal tanpa mencampur
antar dharma).[xvi]
Keharmonisan antara Buddha dan Siwa telah memahamkan kita bahwa falsafah
nusantara ini harus kita pertahankan, bagaimana tidak, Buddha dan Siwa yang di
kawasan India yang sering berseteru berbanding terbalik di Nusantara yang mampu
berdamai berkat falsafah nusantara ini. Karenanya, di era bernegara sekarang, tidak hanya antar
dua golongan ataupun agama, falsafah Bhineka Tunggal Ika yang telah disarikan
menjadi salah satu empat pilar kebangsaan Indonesia diharapkan selalu mampu
mengharmonisasikan berbagai golongan dan agama di tengah ancaman konflik dan
perseturan yang bisa datang kapan saja.
Barang
kali dalam kalangan umat beragama masih ada anggapan bahwa Pancasila adalah
perwujudan dari thoghut ataupun sinkertisme.
Yang mana itu mengacu pada falsafah Bhineka Tunggal Ika yang mengambil makna
dari satu kompleksanya tempat Ibadah antara candi Hindu dan Buddha di kawasan
Prambanan. Hal tersebut mungkin saja tidak salah akan tetapi lebih tepat
sinkertisasi ini dalam artian harmonisasi dalam urusan bermasyarakat yang
kompleks. Pancasila adalah konsensus bersama masyarakat Indonesia, konsensus
Pancasila ini cukup mirip dengan Piagam Madinah pada zaman Nabi Muhammad,
banyak peran umat Islam dalam pembentukannya. Piagam Madinah sendiri merupakan
konsensus yang ditanda tangani oleh seluruh komponen masyarakat yang terlibat
seperti Nasrani, Yahudi, dan Muslim. Piagam Madinah tersebut menunjukkan
karakter masyarakat yang majemuk baik ditinjau dari segi asal keturunan, maupun
segi budaya dan agama.[xvii]
Begitupun dengan Pancasila, yang mewakil seluruh komponen bangsa. Berisi
nilai-nilai universal seperti ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan,persatuan,
musyawarah dan keadilan sangat bersesuaian dengan nilai-nilai Islam dan mungkin
juga dimiliki ajaran agama lainnya. Oleh
karenanya, kita tidak boleh menentang nilai-nilai universal yang telah
disepakati bersama, daripada itu, kita bisa merekonstruksi dan mengkontekstualisasi
dengan nilai-nilai Islam namun tetap sesuai dengan keadaan masyarakat
Indonesia.
Sayangnya
dalam wajah demokrasi Pancasila di Indonesia, masih ada perbedaan kubu yang
ingin memberikan arah demokrasi di Indonesia. kubu pertama adalah mereka yang
menginginkan adanya negara berbasiskan demokrasi sekuler. Kubu ini melihat
negara-negara Barat sebagai contoh negara demokrasi yang memisahkan urusan
agama dengan negara. Sementara kubu kedua adalah mereka yang tidak menganut
sistem demokrasi sekuler. Walaupun demokrasi adalah konsep barat, akan tetapi
dalam ajaran Islam pun ditemukan beberapa konsep yang sama maksudnya dengan
demokrasi ala barat.[xviii]
Dari hadirnya dua kubu itu, bisa dibilang falsafah kehidupan masyarakat
Indonesia seakan-akan menjadi terlupakan. Kita telah menggunakan cara berpikir
ala Barat, lalu beriman dengan ala Timur, itu semua tidaklah salah. Begitupun
terlihat Islam mampu berharmonisasi di Indonesia, pengetahuan dan teknologi
diterima di Indonesia akan tetapi hasil akhirnya ada perebutan dalam ranah
demokrasi, dimana antara Islamis, Pancasilais hingga sekuler. Ide negara sekuler di Indonesia yang
memisahkan urusan agama seakan-akan hanya digunakan untuk sekulerisasi terhadap
Islam, apakah negara Barat benar-benar negara sekuler pun masih bisa
dipertanyakan. Sementara bila ide negara Islam di Indonesia yang hanya
berpatokan dari negara Timur Tengah sejatinya kurang pas dalam konteks
keindonesiaan. Jadi, baik ide menjadikan Indonesia negara Islam ala Timur
Tengah, maupun menjadikan Indonesia negara sekuler ala Barat perlu disesuaikan
kembali dengan dasar negara Pancasila sehingga pas untuk konteks di Indonesia.
Penutup
Terbitnya
Perppu no. 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU no. 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan merupakan perwujudan
dari peran pemerintah menjaga eksistensi ideologi Pancasila. Setiap usaha-usaha
dari organisasasi masyarakat (dan sebagainya) yang mencoba menyimpang dari
ideologi pancasila akan medapatkan hukuman dan pelarangan. Itulah salah satu
cara efektif dari pemerintah menjaga
keutuhan NKRI. Dimana dalam hal ini ada masalah politik Islam antara Islamis
dan Pancasilais. Hadirnya Perppu di atas tentunya bukan berarti politik Islam di Indonesia
harus berhenti, namun juga tidak boleh menjadikannya perjuangan politik Islam
berubah menjadi cara yang lebih keras dan radikal. Akan tetapi, dapat menjadi
pembelajaran ataupun mengintropreksi bahwasanya perjuangan politik Islam harus
dengan cara yang sopan dan santun. Cara-cara seperti dengan menebar kebencian,
politik uang, politik kepentingan pribadi haruslah dihilangkan, karena sudah
jelas tidak berasakan keislaman. Selain itu, perlunya umat Islam kembali
melihat tujuan sebenarnya dari politik Islam sendiri, yakni mencapai
kemaslahatan umat yang berasaskan keislaman.
Dari
hal diatas, umat Islam harus mulai menunjukkan satu suara yakni suara untuk
kemaslahatan umat. Langkah yang harus
dilakukan salah satunya memulai persatuan di dalam kalangan umat Islam sendiri,
fanatisme buta terhadap kelompok dan aliran harus dihilangkan. selain itu, umat Islam harus fokus usaha
merumuskan kembali dasar-dasar nilai Islam yang dapat dimanfaatkan untuk
memperkokoh dan memajukan kehidupan umat di tengah arus globalisasi. Umat Islam
tidak boleh mengabaikan dan hanya menolak secara membabi buta terhadap arus
globalisasi. Sebagaimana kita telah dingatkan dalam ayat Al-Qur’an Surah
Al-Qasas(28) ayat 77: (Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan).[xix] Dengan
demikian pula, umat Islam haruslah didukung dengan mandiri dan penguasaan
bidang non-agama seperti mandiri ekonomi, penguasaan ITE, penguasaan media informasi serta terus
melakukan inovasi dan penelitian guna mendukung kemaslahatan umat daripada
melakukan hal-hal yang merusak dan mengganggu kedamaian umat manusia.
[i] Arbi Sumandoyo dan Dieqy Hasbi
Widhana, Mereka yang Bersatu dan
berseteru pada Demo 4 November, https://tirto.id/mereka-yang-bersatu-dan-berseteru-pada-demo-4-november-b1NY. 08 Agustus 2017.
[ii] Indonesia, Negara Demokrasi dan Bertoleransi Tinggi, http://nasional.kompas.com/read/2016/02/11/10222411/Indonesia.Negara.Demokrasi.dan.Bertoleransi.Tinggi. 01 Agustus 2017.
[iii] Jokowi: Demokrasi Kita Sudah Keblablasan, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/12031291/jokowi.demokrasi.kita.sudah.keblablasan. 02 Agustus 2017.
[iv] Pemerintah Bubarkan Ormas Hizbut
Tahrir Indonesia, https://polkam.go.id/pemerintah-bubarkan-ormas-hizbut-tahrir-indonesia/, 06 Agustus 2017.
[v] Mohammmad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas,
(Jakarta: Gema Insani, 2012), hlm.18
[vi] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
cet. Ke-5,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 50-51.
[vii] Kementrian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) mencabut Surat Keputusan (SK) Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Sebagaimana karena 1) HTI tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan
Hukum NKRI, 2)Hasil keputusan sinergi berbagai pihak baik politik, hukum dan
keamanan, 3) Menindaklanjuti Perppu nomor 2 tahun 2017, 4) kemenkumham memiliki
kewenangan legal dalam aturan pengesahan perkumpulan atau organisasi
kemasyarakatan (ormas). Lihat di www.kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/1342-kewenangan-legal-administratif-kemenkumham-sebagai-tindak-lanjut-perppu-nomor-2-tahun-2017 , 06 Agustus 2017.
[viii] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa
Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai
Konflik Fisik, dalam Jurnal Teologi
Indonesia, (Bandung: STT Bandung, 2013) , hlm. 27-28.
[ix] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa
Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai
Konflik Fisik, dalam Jurnal Teologi
Indonesia, hlm. 29
[x] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa
Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai
Konflik Fisik, dalam Jurnal Teologi
Indonesia, hlm. 30-31.
[xi] Tim Penyusun Puslitbang
Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan
Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm.8
[xii] Tim Penyusun Puslitbang
Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan
Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm. 9
[xiii] Tim Penyusun Puslitbang
Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan
Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm. 28
[xiv] M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:
Mengelola Keragaman dari Dalam, dalam
Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia,(Jakarta:
Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 124
[xv] M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:
Mengelola Keragaman dari Dalam, dalam
Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia,(Jakarta:
Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 125.
[xvi] Al Makin, Keragaman dan
Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia, (Yogyakarta:
Suka-Press), hlm. 225.
[xvii] Nurul Muhsisnin, Agama dan Hak Asasi Manusia: Peran Agama
Dalam Mewujudkan Civil Society di Indonesia, dalam Antologi Lomba Essai Mahasiswa Nasional Mahasiswa Menggugat (Pemikiran
Mahasiswa Menuju Indonesia berdaulat), (Yogyakarta: SEMA UIN Sunan
Kalijaga), hlm. 85.
[xviii] Bustaman Ahmad Kamaruzzaman, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 2004), hlm. 168-169.
[xix] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Q.S.
Al-Qasas(28): ayat 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar