Komersialisme Halal: Pengetahuan dan
Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal
Oleh:
Muhammad
Habibul Musthofa, Amalia Sofia Manhofa, Paidillah, dan Ahmad Shofiyullah.
A.
Pendahuluan
Dunia
Islam tidak bisa lepas dari halal atau haram akan sesuatu. Konsep itulah yang secara tegas bisa membedakan agama Islam dengan
agama lainnya. Dimana dengannya Islam akan hadir dalam kehidupan sosial
umatnya. Dalam hal ini, MUI adalah lembaga yang juga menaungi dalam permasalahan
tersebut. MUI atau Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli
1975 di Jakarta, Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu’ama (pemimpin organisasi), dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. [1]
Dimana
peran MUI tersebut sangatlah besar terhadap dinamika agama Islam di Indonesia.
Sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan mewakili Islam, kebijakan MUI
kadangkala menimbulkan pro dan kontra. Dimana legitimasi MUI di era sekarang
yang semakin kompleks dipertaruhkan. Apakah keberadaannya juga kebijakannya
relevan dengan kondisi sekarang, serta bagaimana MUI melakukan
adaptasi dan sosialisasi guna tetap dipercaya umat Islam di masa sekarang perlu
dilakukan.
Sementara
itu, telah banyak penelitian yang membahas terkait problem yang timbul mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan MUI di Indonesia ini. Penelitian yang akan kami
jelaskan di bawah ini menunjukkan bahwa proses konstruksi realitas sosial atas serifikasi halal terbentuk dengan cara dialektis. Nilai-nilai yang subjektif akan
mengalami ketegangan dialektis dengan kegiatan yang objektif diluar individu.
Berger berpendapat bahwa ada realitas dalam kehidupan sehari-hari yang penting,
realitas ini sebagai realitas yang teratur dan berpola, biasanya diterima
begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi yang berpola ini,
realitas sama-sama dimiliki orang lain.[2]Hal serupa di atas kami
temukan juga dalam penelitian ini, terutama kami fokus membahas bagian proses
internalisasi di penelitian yang berjudul “Komersialisme Halal: Pengetahuan dan
Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal”.
Beberapa
tinjauan penelitian yang terkait isu proses halal atau pun yang berkaitan
dengan MUI dapat dibaca pada beberapa penelitian berikut: Beberapa diantaranya
adalah tulisan Fitta Reszyita dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan
Kalijaga tahun 2015 yang berjudul “Pemaknaan Kartun Label Halal MUI di Majalah
Tempo Nomor 4256 Edisi 24 Februari-2 Maret 2014”, Penelitian Yeni Fariyanto
dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 yang berjudul “Pandangan
Majelis Indonesia (MUI) Yogyakarta terhadap Fatwa MUI Pusat Nomer 4 Tahun 2005
Tentang Aborsi”, Penelitian Puji Wahyuningsih
dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2015 yang
berjudul “Analisis Pengaruh Harga,
Kualitas Produk, Kompensasi, dan Labelisasi Halal terhadap Minat Order Suplemen
Makanan dan Obat-obatan Herbal (Studi Pada Apotek-apotek di Bantul)”.
Dalam
melakukan pembahasan tentang masalah komersialisme halal tersebut, tulisan ini
akan menggunakan salah satu teori yang cukup terkenal membahas realitas sosial yaitu
teori The Social construction of reality
(Kontruksi sosial atas kenyataan) dari Peter
L Berger dan Thomas Luckmann. Menurut Berger, dia menegaskan realitas
kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui
proses ekternalisasi, yang sebagaimana sebelumnya ia mempengaruhinya melalui
proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Berger melihat
masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. [3]Misalnya seseorang mahasiswa
belajar di kampus (internalisasi), setelah di masyarakat dia harus mengamalkan atau praktik hasil belajarnya
(eksternalisasi). Dari ekternalisasi ini pada gilirannya orang lain (masyarakat
diajarinya) akan mengalami Internalisasi, bila sudah menyebar di masyarakat
itu akan melahirkan objektifikasi atas
realitas sosial. Realitas sosial ini secara
definitif merujuk pada dialektis di
kehidupan sehari-hari.
Berangkat
dari teori tersebut, penelitian yang menjadi dasar penelitian ini ingin memperlihatkan:
pertama, bagaimana seseorang, dalam
hal ini mahasiswa, memaknai(internalisasi) kosmetik halal dan memposisikannya
dalam kehidupannya. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari pandangan mahasiswa,
setidaknya dari aspek kegiatan mahasiswa seperti belajar, berorganisasi, dan
interaksi sosialnya. Kedua, bagaimana pengetahuannya berkorelasi dengan respon
sosialnya, yakni apakah pengetahuan dari kampusnya mampu berdialektis dalam keadaan
kesehariannya. Hal ini dapat diketahui melalui wawasan-wawasan yang
dimilikinya, serta melalui keterlibatan mereka terhadap lingkungan sosial yang
melingkupinya. Dengan dasar pengetahuan terhadap dua hal tersebut, kami akan
dapat mengukur apakah seorang mahasiswa berdialektis atau tidak.
Sebagaimana
juga pandangan bahwa dalam kepribadian seseorang ada konflik, akan bertabrakan
satu sama lain atau ketika berhadapan dengan kenyataan dari dunia luar yang
tidak bisa diubah.[4]Namun
tidak berhenti sampai aspek tersebut, kami ingin juga akan berusaha menelusuri
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan mahasiswa terkait
komersialisasi halal ini. Harapan subjektif kami sebagai mahasiswa dengan tulisan
ini dapat memberi motivasi agar mahasiswa dapat mengaktualisasikan keilmuannya
di masyarakat.
Sebagaimana,
di era budaya konsumerisme, mahasiswa terasing dengan dunia sosialnya dan
kampus telah menjadi ladang pengail laba belaka. Dijerumuskan mahasiswa dalam
arena pengetahuan yang memuaskan kepentingan modal. Didoktrin bahwa kuliah
adalah apa yang berlangsung dan terjadi di kelas. Kejadian di luar kampus
bukanlah bagian dari pengetahuan. Tidak ada gunanya untuk membincangkan topik
yang tidak memicu minat para dosen. Seolah dosen adalah penegah dari semua
fakta yang dibeberkan oleh kenyataan luar. Seleksi tiap kejadian dilakukan
untuk dipilah mana yang cocok disampaikan , didiskusikan dan jadi bahan ujian.
Lagi-lagi kuliah bukan kegiatan yang penuh perdebatan riuh, tapi dogmatis yang
hanya butuh kepatuhan dan persetujuan.[5]
B.
Teori
Internalisasi Peter Berger
Masyarakat
adalah suatu fenomena dialektik. Dalam pengertian tersebut bahwa masyarakat adalah
suatu produk manusia. Lalu realitas sosial yang terpisah dari manusia (individu), sehingga
dapat dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat. Maka, manusia tidak bisa
eksis tanpa terpisah dari masyarakat.[6] Yakni manusia tidak bisa ikut dalam proses interaksi (dialog) dengan masyarakat.
Proses
dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga langkah, yaitu
eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[7] Sebelum jauh melangkah,
maka ditegaskan bahwa kami di sini hanya ingin memfokuskan dalam menjelaskan
terkait dengan internalisasi.
Melalui
proses Internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi suatu
anggota masyarakat.[8]
Internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu
peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya sebagai suatu
manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian
menjadi bermakna secara subyektif bagi
diri sendiri. Internalisasi atau sosialisasi terbagi menjadi dua macam.
Yang pertama, sosialisasi primer. Sosialisasi primer adalah sosialisasi
yang pertama yang dialami individu di masa kanak-kanak, yang dengan itu ia
menjadi anggota masyarakat. Yang kedua yaitu sosialisasi sekunder. Sosialisasi
sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah
disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya.
Sosialisasi
primer melibatkan diri lebih dari belajar secara kognitif semata. Sosialisasi
ini berlangsung dengan kondisi yang bermuatan emosi tinggi. Adanya alasan kuat
yang menghubungkan bahwa tanpa hubungan sosial seperti itu dengan orang
berpengaruh maka proses belajar akan sulit dilakukan, kalau tidak bisa
dikatakan tidak mungkin sekali.[9] Sebagai contoh dalam ranah
keluarga semisalnya “seorang ibu marah kepada anaknya” lalu “seorang ibu marah
setiap kali anaknya menumpahkan sup”. Sementara orang-orang yang berpengaruh
(ayah, nenek, kakek, kakak, dan sebagainya) mendukung sikap ibunya yang
memarahinya karena sikap menumpahkan sup tersebut maka keumuman norma diperluas
secara subyektif. Norma tersebut digeneralisasi menjadi “orang tidak boleh
menumpahkan sup” – dimana orang tersebut adalah si anak. Langkah tersebut yang
memungkinkan si anak menyadari bahwa orang akan menyetujui perbuatannya. Dan
anak tersebut merupakan bagian dari masyarakat sejauh masyarakat itu bermakna bagi
si anak.[10]
Sosialisasi
sekunder adalah internalisasi sejumlah “sub dunia” yang sifatnya kelembagaan
atau yang berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan dan sifat dari sosialisasi
jenis ini ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi
pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.[11] Contoh dari sosialisasi
sekunder bisa ditarik dari objek penelitian ini yaitu mahasiswa dengan MUI
(komersialisasi halal).
C.
Temuan
Penelitian
Dalam
melakukan penelitian kami mengumpulkan data dengan membuat sebuah kuisioner
yang ditujukan kepada mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kuisioner tersebut berisi beberapa pertanyaan. Dari semua pertanyaan tersebut
telah mendapatkan respons. Dari sejumlah respons tersebut diperoleh bahwa
mereka mengetahui adanya kosmetik halal.
Pada
pertanyaan pertama perihal bagaimana mahasiswa memperoleh pengetahuan adanya
kosmetik halal, dapat kami himpun bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai
kosmetik berlabel halal ini dari media massa dan media sosial. Sebagian besar
responden mengetahui informasi dari media massa, seperti Televisi maupun surat
kabar dan sejenisnya. Sebagian lainnya mengetahui informasi tersebut dari
browsing, sosial media, seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya perihal apakah mahasiswa akan membeli
kosmetik yang berlabel halal, sebagian besar dari mereka menjawab akan membeli
dengan berbagai respons seperti “1)karena lebih terjamin, 2)agar aman dipakai dan sesuai syariat
Islam". lalu yang menolak berargumen seperti "1)karena masih memakai produk bayi, tidak berdandan dengan berlebihan
dengan hanya memakai bedak saja, 2)Karena tidak
suka menggunakan kosmetik”.
Selanjutnya
perihal pertanyaan apakah akan membeli jika kosmetik tidak berlabel halal,
sebagian besar mereka menjawab tidak akan membeli dengan respons sebagai
berikut. “Karena tidak
sesuai syariat Islam, tidak membutuhkannya, jika pun cocok dengan produk tersebut”.
Pertanyaan
selanjutnya perihal apakah yang terpenting dari suatu produk kosmetik, dengan opsi yang kami berikan yaitu berdasarkan merk,
label halal, bahan kosmetik , dan lain-lain (menurut mereka). Dari jawaban yang
kami dapatkan, kami ketahui bahwa jumlah terbesar dari mereka memilih kosmetik juga
berdasarkan bahan kosmetik, menempati jumlah terbesar kedua yaitu mereka baru
memilih berdasarkan label halal dan yang paling sedikit yaitu memilih
berdasarkan pada merk". Dari opsi lain-lain yang dijawab juga terdapat suatu respons yang menolak
yaitu “Karena banyak bahan kosmetik yang berbahaya”.
Pertanyaan
selanjutnya yaitu perihal seberapa penting label halal dalam produk kosmetik
menurut mereka. Kami memberikan opsi yaitu tidak penting, penting dan sangat
penting. Dari pertanyaan tersebut jawaban yang didapat yaitu paling banyak
dipilih yaitu pada opsi penting dan sedikit yang memilih opsi sangat penting.
Sedangkan opsi tidak penting, tidak ada yang memilih.
Pada
jawaban selanjutnya perihal pertanyaan apakah label halal akan meningkatkan
penjualan suatu produk kosmetik menurut mereka. Dari jawaban yang didapatkan
bahwa sebagian besar mereka menjawab “iya” dan sebagian kecil menjawab “tidak”.
Respons yang positif mereka berikan yaitu “karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam
dan sangat membutuhkan kepastian halal atau tidaknya, karena adanya jaminan". Lalu yang bernada negatif masih beralasan "1)Karena
Indonesia mempunyai banyak agama yang dianut oleh masyarakatnya, jadi hal itu
akan di anggap diskrimasi,2) kebanyakan yang halal itu (malah) lebih mahal dan konsumen
itu mencari yang murah dan berkualitas (sertifikasi halal hanya membuat semakin mahal harganya, bukan kualitasnya).”
Pertanyaan yang terakhir perihal pendapat
mereka tentang prospek ke depan mengenai sertifikasi halal produk kosmetik,
hampir semua dari mereka menjawab “bagus” dan sedikit yang menjawab “tidak
bagus”. Respons yang diberikan yaitu “1)Karena sesuai perkembangan zaman masyarakat memiliki
pemikiran yang rasional dan pasti memiliki pendapat jika halal itu pasti baik
dan bagus untuk kita,2) karena memberi kesan yang positif untuk para customer," lalu yang bernada menolak beralasan "ya
mungkin karena banyak yang kontra, selain halal seyogyanya juga thoyyiban.”