TANTANGAN "HALAL" SEBUAH PRODUK

Komersialisme Halal: Pengetahuan dan Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal
Oleh:
Muhammad Habibul Musthofa, Amalia Sofia Manhofa, Paidillah, dan Ahmad Shofiyullah.

A.    Pendahuluan
Dunia Islam tidak bisa lepas dari halal atau haram akan sesuatu. Konsep  itulah yang secara tegas bisa membedakan agama Islam dengan agama lainnya. Dimana dengannya Islam akan hadir dalam kehidupan sosial umatnya. Dalam hal ini, MUI adalah lembaga yang juga menaungi dalam permasalahan tersebut. MUI atau Majelis Ulama Indonesia yang berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama (pemimpin organisasi), dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. [1]
Dimana peran MUI tersebut sangatlah besar terhadap dinamika agama Islam di Indonesia. Sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan mewakili Islam, kebijakan MUI kadangkala menimbulkan pro dan kontra. Dimana legitimasi MUI di era sekarang yang semakin kompleks dipertaruhkan. Apakah keberadaannya juga kebijakannya relevan dengan kondisi sekarang, serta bagaimana MUI melakukan adaptasi dan sosialisasi guna tetap dipercaya umat Islam di masa sekarang perlu dilakukan.
Sementara itu, telah banyak penelitian yang membahas terkait problem yang timbul mengenai hal-hal yang berkaitan dengan MUI di Indonesia ini. Penelitian yang akan kami jelaskan di bawah ini menunjukkan bahwa proses konstruksi realitas sosial  atas serifikasi halal terbentuk dengan  cara dialektis. Nilai-nilai yang subjektif akan mengalami ketegangan dialektis dengan kegiatan yang objektif diluar individu. Berger berpendapat bahwa ada realitas dalam kehidupan sehari-hari yang penting, realitas ini sebagai realitas yang teratur dan berpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi yang berpola ini, realitas sama-sama dimiliki orang lain.[2]Hal serupa di atas kami temukan juga dalam penelitian ini, terutama kami fokus membahas bagian proses internalisasi di penelitian yang berjudul “Komersialisme Halal: Pengetahuan dan Respon Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Tentang Kosmetik Halal”.
Beberapa tinjauan penelitian yang terkait isu proses halal atau pun yang berkaitan dengan MUI dapat dibaca pada beberapa penelitian berikut: Beberapa diantaranya adalah tulisan Fitta Reszyita dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga tahun 2015 yang berjudul “Pemaknaan Kartun Label Halal MUI di Majalah Tempo Nomor 4256 Edisi 24 Februari-2 Maret 2014”, Penelitian Yeni Fariyanto dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2009 yang berjudul “Pandangan Majelis Indonesia (MUI) Yogyakarta terhadap Fatwa MUI Pusat Nomer 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi”, Penelitian Puji Wahyuningsih  dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga tahun 2015 yang berjudul  “Analisis Pengaruh Harga, Kualitas Produk, Kompensasi, dan Labelisasi Halal terhadap Minat Order Suplemen Makanan dan Obat-obatan Herbal (Studi Pada Apotek-apotek di Bantul)”.
Dalam melakukan pembahasan tentang masalah komersialisme halal tersebut, tulisan ini akan menggunakan salah satu teori yang cukup terkenal membahas realitas sosial yaitu teori The Social construction of reality (Kontruksi sosial atas kenyataan) dari Peter  L Berger dan Thomas Luckmann. Menurut Berger, dia menegaskan realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses ekternalisasi, yang sebagaimana sebelumnya ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif). Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. [3]Misalnya seseorang mahasiswa belajar di kampus (internalisasi), setelah di masyarakat dia harus  mengamalkan atau praktik hasil belajarnya (eksternalisasi). Dari ekternalisasi ini pada gilirannya orang lain (masyarakat diajarinya) akan mengalami Internalisasi, bila sudah menyebar di masyarakat itu  akan melahirkan objektifikasi atas realitas sosial.  Realitas sosial ini secara definitif  merujuk pada dialektis di kehidupan sehari-hari.
Berangkat dari teori tersebut, penelitian yang menjadi dasar penelitian ini ingin memperlihatkan: pertama, bagaimana seseorang, dalam hal ini mahasiswa, memaknai(internalisasi) kosmetik halal dan memposisikannya dalam kehidupannya. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari pandangan mahasiswa, setidaknya dari aspek kegiatan mahasiswa seperti belajar, berorganisasi, dan interaksi sosialnya. Kedua, bagaimana pengetahuannya berkorelasi dengan respon sosialnya, yakni apakah pengetahuan dari kampusnya mampu berdialektis dalam keadaan kesehariannya. Hal ini dapat diketahui melalui wawasan-wawasan yang dimilikinya, serta melalui keterlibatan mereka terhadap lingkungan sosial yang melingkupinya. Dengan dasar pengetahuan terhadap dua hal tersebut, kami akan dapat mengukur apakah seorang mahasiswa berdialektis atau tidak.
Sebagaimana juga pandangan bahwa dalam kepribadian seseorang ada konflik, akan bertabrakan satu sama lain atau ketika berhadapan dengan kenyataan dari dunia luar yang tidak bisa diubah.[4]Namun tidak berhenti sampai aspek tersebut, kami ingin juga akan berusaha menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan mahasiswa terkait komersialisasi halal ini. Harapan subjektif kami sebagai mahasiswa dengan tulisan ini dapat memberi motivasi agar mahasiswa dapat mengaktualisasikan keilmuannya di masyarakat.
Sebagaimana, di era budaya konsumerisme, mahasiswa terasing dengan dunia sosialnya dan kampus telah menjadi ladang pengail laba belaka. Dijerumuskan mahasiswa dalam arena pengetahuan yang memuaskan kepentingan modal. Didoktrin bahwa kuliah adalah apa yang berlangsung dan terjadi di kelas. Kejadian di luar kampus bukanlah bagian dari pengetahuan. Tidak ada gunanya untuk membincangkan topik yang tidak memicu minat para dosen. Seolah dosen adalah penegah dari semua fakta yang dibeberkan oleh kenyataan luar. Seleksi tiap kejadian dilakukan untuk dipilah mana yang cocok disampaikan , didiskusikan dan jadi bahan ujian. Lagi-lagi kuliah bukan kegiatan yang penuh perdebatan riuh, tapi dogmatis yang hanya butuh kepatuhan dan persetujuan.[5]

B.     Teori Internalisasi Peter Berger
Masyarakat adalah suatu fenomena dialektik. Dalam pengertian tersebut bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia. Lalu realitas sosial yang terpisah dari manusia (individu), sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat. Maka, manusia tidak bisa eksis tanpa terpisah dari masyarakat.[6] Yakni manusia tidak bisa ikut dalam proses interaksi (dialog) dengan masyarakat.
Proses dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga langkah, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.[7] Sebelum jauh melangkah, maka ditegaskan bahwa kami di sini hanya ingin memfokuskan dalam menjelaskan terkait dengan internalisasi.
Melalui proses Internalisasi atau sosialisasi inilah orang menjadi suatu anggota masyarakat.[8] Internalisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif  bagi diri sendiri. Internalisasi atau sosialisasi terbagi menjadi dua macam. Yang pertama, sosialisasi primer. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami individu di masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Yang kedua yaitu sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya.
Sosialisasi primer melibatkan diri lebih dari belajar secara kognitif semata. Sosialisasi ini berlangsung dengan kondisi yang bermuatan emosi tinggi. Adanya alasan kuat yang menghubungkan bahwa tanpa hubungan sosial seperti itu dengan orang berpengaruh maka proses belajar akan sulit dilakukan, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin sekali.[9] Sebagai contoh dalam ranah keluarga semisalnya “seorang ibu marah kepada anaknya” lalu “seorang ibu marah setiap kali anaknya menumpahkan sup”. Sementara orang-orang yang berpengaruh (ayah, nenek, kakek, kakak, dan sebagainya) mendukung sikap ibunya yang memarahinya karena sikap menumpahkan sup tersebut maka keumuman norma diperluas secara subyektif. Norma tersebut digeneralisasi menjadi “orang tidak boleh menumpahkan sup” – dimana orang tersebut adalah si anak. Langkah tersebut yang memungkinkan si anak menyadari bahwa orang akan menyetujui perbuatannya. Dan anak tersebut merupakan bagian dari masyarakat sejauh masyarakat itu bermakna bagi si anak.[10]
Sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah “sub dunia” yang sifatnya kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan dan sifat dari sosialisasi jenis ini ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.[11] Contoh dari sosialisasi sekunder bisa ditarik dari objek penelitian ini yaitu mahasiswa dengan MUI (komersialisasi halal).
C.    Temuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian kami mengumpulkan data dengan membuat sebuah kuisioner yang ditujukan kepada mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Kuisioner tersebut berisi beberapa pertanyaan. Dari semua pertanyaan tersebut telah mendapatkan respons. Dari sejumlah respons tersebut diperoleh bahwa mereka mengetahui adanya kosmetik halal.
Pada pertanyaan pertama perihal bagaimana mahasiswa memperoleh pengetahuan adanya kosmetik halal, dapat kami himpun bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai kosmetik berlabel halal ini dari media massa dan media sosial. Sebagian besar responden mengetahui informasi dari media massa, seperti Televisi maupun surat kabar dan sejenisnya. Sebagian lainnya mengetahui informasi tersebut dari browsing, sosial media, seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya.
Pada pertanyaan selanjutnya perihal pro dan kontra mereka terkait kosmetik halal. Sebagaian besar dari mereka menyetujui adanya kosmetik halal. Lalu sebagian kecil dari mereka menolaknya.  mereka menjawab  dengan berbagai alasan seperti “1)Karena yang halal itu pasti akan berbuah manis pada kulit manusia maksudnya jika bahan-bahan kosmetik itu halal pasti akan terhindar dari berbagai penyakit, 2) Karena akan membuat penggunanya merasa nyaman dan yakin jika memakainya , 3)Karena sebagai pembeda antara muslim dan non-muslim , 4) Bukan tidak setuju, namun belum setuju sebelum dipaparkan bahan-bahan pengolahan yang digunakan itu halal , karena tidak etis aja ,Halal itu penting".
Pertanyaan selanjutnya perihal apakah mahasiswa akan membeli kosmetik yang berlabel halal, sebagian besar dari mereka menjawab akan membeli dengan berbagai respons seperti  “1)karena lebih terjamin, 2)agar aman dipakai dan sesuai syariat Islam". lalu yang menolak berargumen seperti "1)karena masih memakai produk bayi, tidak berdandan dengan berlebihan dengan hanya memakai bedak saja, 2)Karena tidak suka menggunakan kosmetik”.
Selanjutnya perihal pertanyaan apakah akan membeli jika kosmetik tidak berlabel halal, sebagian besar mereka menjawab tidak akan membeli dengan respons sebagai berikut. “Karena tidak sesuai syariat Islam, tidak membutuhkannya, jika pun cocok dengan produk tersebut”.
Pertanyaan selanjutnya perihal apakah yang terpenting dari suatu produk kosmetik, dengan opsi yang kami berikan yaitu berdasarkan merk, label halal, bahan kosmetik , dan lain-lain (menurut mereka). Dari jawaban yang kami dapatkan, kami ketahui bahwa jumlah terbesar dari mereka memilih kosmetik juga berdasarkan bahan kosmetik, menempati jumlah terbesar kedua yaitu mereka baru memilih berdasarkan label halal dan yang paling sedikit yaitu memilih berdasarkan pada merk". Dari opsi lain-lain yang dijawab juga terdapat suatu respons yang menolak yaitu “Karena banyak bahan kosmetik yang berbahaya”.
Pertanyaan selanjutnya yaitu perihal seberapa penting label halal dalam produk kosmetik menurut mereka. Kami memberikan opsi yaitu tidak penting, penting dan sangat penting. Dari pertanyaan tersebut jawaban yang didapat yaitu paling banyak dipilih yaitu pada opsi penting dan sedikit yang memilih opsi sangat penting. Sedangkan opsi tidak penting, tidak ada yang memilih.
Pada jawaban selanjutnya perihal pertanyaan apakah label halal akan meningkatkan penjualan suatu produk kosmetik menurut mereka. Dari jawaban yang didapatkan bahwa sebagian besar mereka menjawab “iya” dan sebagian kecil menjawab “tidak”. Respons yang positif mereka berikan yaitu “karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan sangat membutuhkan kepastian halal atau tidaknya, karena adanya jaminan". Lalu yang bernada negatif masih beralasan "1)Karena Indonesia mempunyai banyak agama yang dianut oleh masyarakatnya, jadi hal itu akan di anggap diskrimasi,2) kebanyakan yang halal itu (malah) lebih mahal dan konsumen itu mencari yang murah dan berkualitas  (sertifikasi halal hanya membuat semakin mahal harganya, bukan kualitasnya).”
Pertanyaan yang terakhir perihal pendapat mereka tentang prospek ke depan mengenai sertifikasi halal produk kosmetik, hampir semua dari mereka menjawab “bagus” dan sedikit yang menjawab “tidak bagus”. Respons yang diberikan yaitu “1)Karena sesuai perkembangan zaman masyarakat memiliki pemikiran yang rasional dan pasti memiliki pendapat jika halal itu pasti baik dan bagus untuk kita,2) karena memberi kesan yang positif untuk para customer," lalu yang bernada menolak beralasan "ya mungkin karena banyak yang kontra, selain halal seyogyanya juga thoyyiban.”

Apa Kabar Filsafat Islam?


Tulisan in hanyalah sebuah refleksi saya tentang Filsafat, khususnya Filsafat Islam yang diajarkan dalam perkuliahan di sebuah universitas Islam. Sebelum mengenal Filsafat Islam pada semester 4 ini, saya telah memperoleh perkuliahan Filsafat Umum dan Filsafat Ilmu. Dari perkuliahan Filsafat Umun dan Filsafat Ilmu, kesan saya mengenai filsafat ini hanya cukup sekedar tahu saja, awalnya saya sedikit tahu sejarah filsafat dan tokoh-tokohnya. Misalnya saja seperti Socrates, Plato maupun Aristoteles ataupun Descrates. Sayangnya, entah saya yang salah ataupun materi pelajarannya, saya tetap saja masih bingung mengenai filsafat ini. Saya tahu filsafat ini dasar dari ilmu pengetahuan, filsafat tidak bisa lepas dari kehidupan kita,tapi saya masih tidak paham tujuan dari filsafat ini. Ketika dosen mengajarkan filsafat ini, entah kenapa menurut saya pengajaran filsafat hanya sekedar untuk akademik saja, apakah belajar filsafat di universitas hanya sekedar formalitas saja?. Para Dosen sendiri menyampaikan perkuliahan filsafat kurang menyeluruh, hanya sekedar sejarah,bagian-bagian (ruang lingkup) filsafat, dan tokoh-tokohnya, pengaplikasian di kehidupan masyarakat tidak dijelaskan, hanya dijelaskan filsafat itu berpikir, filsafat itu seni bertanya.  Menurut saya, jika hanya mengatakan berfilsafat itu berpikir ataupun bertanya, saya rasa tidak perlu mendalami filsafat.  Saya selalu bertanya-tanya, apakah hanya ini yang diajarkan? Apakah dosen filsafat juga cuma mengetahui seperti ini?, namun saya tetap memaklumi, saya tahu pembelajaran filsafat tetap harus sesuai Satuan Acara Perkuliahan. Oleh karenanya, awalnya saya mecoba mempelajari filsafat diluar perkuliahan, karena kurang menguasai Bahasa Inggris, referensi yang saya peroleh sama saja yang ada di perkuliahan,  namun saya belum menyerah, tapi akhirnya, kalaupun saya dapat materi filsafat yang berbeda, saya sendiri kurang memahami apalagi malah mengarah ke masalah Ateis dan sejenisnya.   Saya menyadari  ruang lingkup filsafat ini terlalu luas, karenanya pula saya merasa akan memperoleh pemahaman filsafat yang utuh hanya jika masuk jurusan Aqidah dan Filsafat.jadi, sekali lagi dikatakan, saya cukup sekedar tahu saja apa itu filsafat sesuai yang diajarkan.
Tapi setelah mempelajari Filsafat Islam ini, saya langsung merasa pembelajaran filsafat Islam agak berbeda. Bagaimana tidak, dalam pembelajaran Filsafat Ilmu sendiri dikatakan dan berpandangan hubungan filsafat dan agama sulit menyatu, jika toh benar-benar harus menyatu, pada akhirnya salah satu harus mengikuti yang lainnya. Tentunya dalam Islam, filsafatlah yang harus mengikuti, tapi jika demikian filsafat tidak berkembang. Namun, bila Islam harus mengikuti filsafat akan kehilangan legitimasi seperti halnya agama Kristen. Dalam hal ini, dalam pengajaran Filsafat Ilmu ini dosen berpandangan hubungan seperti berdiri sendiri  hal yang ideal dan mungkin, namun walau demikian, dosen tetap memberikan kebebasan pada kita berpandangan seperti apapun. Saya sendiri melihat, hubungan seperti sekulerisasi bahkan privatisasi agama sudah terbukti memberikan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia barat, tapi bila demikian bagaimana akhirnya Islam?.
Akhirnya, saya seperti menemukan jawabannya dalam perkuliahan Filsafat Islam ini. Bagaimana pembahasannya cukup jelas, hanya fokus menjelaskan satu problematika yakni adanya tension (ketegangan) antara agama dan filsafat, serta membahas metodologinya yakni burhani, bayani dan irfani. Sangat berbeda dengan pembelajaran filsafat sebelumnya yang permasalahannya kemana-mana, seperti berulang-ulang sibuk dengan pengertian filsafat,sejarah,ruang lingkup, bebas nilai atau tidak, serta penjelasan aliran dan teori yang terlalu banyak. Ibarat menurut saya, penjelasan burhani, bayani dan irfani dijelaskan hanya dalam satu perkuliahan di mata kuliah filsafat lain, padahal dalam kuliah filsafat Islam satu semester. Walaupun juga , dalam SAPnya Filsafat Islam ada penjelasan sejarah, saya merasa dosen tetap memfokuskan maasalah adanya ketengangan dan metode burhani, bayani dan irfani, yang menurut saya pembahasannya sedikit namun menjadi jelas dan luas.
Tapi, walaupun demikian, saya sendiri masih bertanya-tanya mengenai problem tension Filsafat Islam sendiri. Penjelasan filosofisnya cukup jelas, dikatakan filsafat Islam ini adalah ilmu yang masih hidup dan tetap diperlukan sampai sekarang bahkan kapan pun. Dengan kata lain, filsafat islam ini hanya mengatasi permasalahan dasarnya yakni adanya tension, ya seperti sebagai spirit, semangat ataupun gairah untuk mengembangkan Sains. Sayangnya, tidak ada legitimasi yang jelas mengenai filsafat dalam (dalil)Islam ini, bahkan mungkin masih ada yang mengharamkannya.Tokoh Islam seperti Al-Ghazali sendiri malah banyak mengkritiknya, di dunia Fiqih ada yang mengatakan pintu Ijtihad telah ditutup menambah tidak ada ruang bagi filsafat, yang menurut saya filsafat (harus) Lahir dari sana untuk memperoleh legitimasinya. Jika tidak, Filsafat Islam hanya mentok pada penerimaan kita pada Sains, bukan sebagai pelaku Sains walaupun di dunia akademik formal (Universitas) diajarkan pula atau tapi  hanya tidak atau kurang berinovasi.
            Terakhir, saya melihat corak filsafat Islam cenderung hanya menunggu adanya tension yang besar atau bisa disebut reaksioner, padahal tension akan selalu muncul dan ada. Jadi, filsafat Islam itu cenderung pasif yakni tidak mencoba menemukan tension walaupun hanya akar-akar masalah kecil, tetapi hanya menunggu tension itu menjadi masalah yang serius lalu baru diatasi. Misalnya saja hadirnya Islam adalah sebagai reaksi atas adanya krisis moral, kemanusiaan pada masa zaman jahiliyah, Kekhalifahan adalah reaksi adanya Romawi, terbentuknya negara-negara Islam adalah reaksi dari adanya penjajahan dan sebagainya. sementara pemikiran filsafat sering diabaikan, dicap keduniawian, menyesatkan sehingga lebih mementingkan akhirat, padahal tanpa sukses dunia, apa mungkin sukses akhirat?, karena banyak yang menganggap bekal akhirat hanya ibadah atau ritual keagamaan saja.


Filsafat Islam pasca Ibn Rushd



Kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya tidak benar-benar hilang oleh serangan yang dilakukan Al-Ghazali terhadap tokoh filsafat Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ataupun para filosof Yunani. Bahkan ketika Ibn Rusyd juga tidak berhasil menghadang pengaruh al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi di kalangan sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi. Kenyataan ini bisa dilihat dengan lahirnya gagasan-gagasan filosofis dan orisional yang disampaikan tokoh-tokoh seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan ajaran isyraqi (illuminasi), Ibn Arabi (1165-1240) dengan doktrin wahdat al-wujud-nya, dan Mulla Sadra (1570-1640 M) dengan konsepnya tentang hikmah al-muta’aliyah. Ide-ide para tokoh ini bahkan melebihi prestasi filosof-filosof sebelumnya. Perbedaannya, pada masa pasca Ibn Rusyd ini pemikiran filsafat berkembang dengan cara bersatu dengan pengalaman mistik atau sufisme,sementara pada masa sebelum al-Ghazali lebih mendasarkan diri pada kekuatan rasionalitas murni. Kenyataan ini yang tidak disadari oleh umat Islam, ataupun para Sarjana dan peneliti, sehingga sebagian besar menganggap bahwa filsafat Islam telah berhenti setelah Ibn Rusyd. Pada masa Ibn Rusyd (1126-1198), filsafat Yunani, khususunya Aristotelian muncul lagi dalam dunia pemikiran Islam. Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun usaha ini kurang berhasil, sebagaimana dalam kutipan tulisan ini, menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian, sementara serangan al-Ghazali lebih bersifat Neo-Platonis. Dari hal itu diketahui pula, dalam bandingan epistemologi,Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika yang dipakai dalam teologi dan yurisprudensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menegah dan kalangan awam. Walaupun setelah Ibn Rusyd, seiring hilangnya pengaruh Islam di Andalusia ,pemikiran filsafat ini tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam, kecuali dalam mazhab Syiah. [1]


a.      Hadirnya Mistisisme dan Kaitannya dengan Filsafat Islam
            Berbicara tentang tradisi mistik Islam, yang perlu diketahui pertama-tama adalah makna mistisisme dalam konteks Islam. Kita dapat berbicara tentang mistisisme Islam hanya jika kita memahami makna orisinal istilah itu, yang berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi. Kita harus ingat bahwa makna dasar kata Yunani kuno dari akar kata mysterion dan mistisisme adalah diam atau tutup mulut. Bagaimanapun, orang dapat mengaitkannya dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrar (misteri-misteri) atau bathin (esoterik atau batin), mengingat bahwa kaum sufi menyebut diri mereka sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrar Ilahi. Dalam konteks Islam, mistisisme berarti dimensi esoterik Islam yang di sebagian besar ,wilayah Dunia Islam disamakan dengan tasawuf, dan juga dengan esoterisme Syi‘ah, baik dua belas Imam maupun Isma‘iliyyah.[2]
Irfan teoretis ini berkenaan dalam pengertiannya yang terdalam dengan realitas wahyu dan agama. Pertanyaan tentang hubungan antara gnosis dan esoterisme, di satu sisi, dengan aspek formal dan eksoterik agama di sisi lain, adalah hubungan rumit dalam pembahasan ifran di sini. Yang jelas adalah bahwa dalam setiap masyarakat tradisional gnosis dan esoterisme tidak terlepas dari iklim agama tempat mereka berada. Sebagai contoh dimana  ini terbukti benar pada esoterisme Luria dan Yahudi maupun pada gnosis Sankara dan Hindu serta semua yang ada di antara agama-agama. Singkatnya, dalam tulisan ini, yang berkenaan dengan gnosis dalam tradisi Islam, kita perlu menekankan perhatian utama pada irfan, seperti kaum Sufi pada umumnya, dengan realitas agama dan penjelasan tentang ajaran-ajarannya pada tingkatan yang paling mendalam, seperti yang ada dalam banyak Sufi terkenal tentang makna batin Al-Quran, dan juga tentang ritual-ritual Islam serta doktrin inti Islam tentang Keesaan(Tauhid).[3]
Dengan kata lain, mistisisme Islam yang dipahami dalam pengertian seperti di atas adalah jalan pengetahuan (al-ma’rifah, irfan) yang dengannya terkait dan sesuai dengan struktur wahyu Islam, juga lain dengan mistisisme yang sentimental dan individualistik. Itulah sebabnya mengapa mistisisme Islam mempunyai pertalian erat dengan filsafat Islam selama berabad-abad. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa kendatipun ada kritik yang dilakukan oleh banyak sufi terhadap para filosof Islam, khususnya sejak abad ke-6-9 H/ke-12-15 M, tetapi para filosof, khususnya yang berasal dari periode setelahnya, dapat dimasukkan ke dalam rumpun spiritual yang sama dengan para sufi, karena keduanya mempunyai tujuan bersama ke arah pencapaian pengetahuan puncak.Tidak butuh waktu terlalu lama, intelek (al-’aql)-nya filosof Islam lalu diidentikkan dengan ruh al-qudus, Ruh Suci, dan malaikat alam religius dengan akalnya para filosof. Dimana kita harus ingat bahwa pada masa itu ada sejumlah sufi diberi gelar Ibn Aflathun, yang secara harfiah berarti "anak Plato".[4]
Lalu Irfan teoretis pada tingkat intelektual diketahui berkenaan dengan cara tertentu tidak hanya dengan aspek praktis agama, tetapi juga dengan doktrin dasar Islam seperti penciptaan, kenabian, akhirat, dan bahkan fiqih. Guru-guru makrifat Islam berbicara tentang mengapa dan bagaimananya penciptaan. Sebagaimana, mereka berbicara tentang “penciptaan didalam Allah” serta “penciptaan oleh Tuhan”. Mereka menjelaskan secara terperinci doktrin tentang arketipe kekal (al-a'yan al-tsabitah) (bersesuaian dalam berbagai cara dengan ide-ide Platonik) dan peniupan nyawa ke dalamnya yang terkait dengan Rahmat Ilahi, yang memunculkan tatanan makhluk. Mereka melihat penciptaan itu sendiri sebagai Pengungkapan-Diri Allah. Mereka juga membicarakan pembaruan ciptaan (tajdid al-kalq) pada setiap saat. Selain itu, irfan teoretis banyak berbicara tentang akhir serta awal sesuatu. Penjelasan terdalam tentang eskatologi Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis juga ditemukan dalam tulisan-tulisan seperti AI-Futuhat al-Makkiyah karya Ibn ‘Arabi. [5]
b.      Sentuhan Tasawuf dan Pertalian dengan Filsafat di Wilayah Islam Barat (Andalusia)
Dari penjelasan mistisisme di atas, yang paling penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa esoterisme Islam, dan khususnya tasawuf, masih tetap hidup dan penuh gairah selama berabad-abad. Ini memberikan sarana praktis bagi kesadaran akan Yang Riil (Al-Haqq) dan pengaktifan potensi fakultas intelek dalam diri manusia. Keduanya terus menunjukkan kemungkinan pencapaian suatu pengetahuan yang disadari, yaitu gnosis atau sapiens, sesuatu yang sulit diabaikan begitu saja oleh para filosof Islam. Pada kenyataannya, sejak Revolusi Ilmiah, filsafat Barat kian menjadi budak sains yang didasarkan pada data-data empiris yang ditarik dari indra-indra lahiriah. Sebaliknya, filsafat Islam menjadi makin terkait, bahkan lebih erat, dengan hasil dari "cara mengetahui” lainnya yang didasarkan pada indra-indra dalam (batiniah) dan terbukanya ”mata hati" (’ain al-qalb dalam bahasa Arab, dan chism-i dil dalam bahasa Persia) yang dapat ”melihat” dunia tak kasatmata yang tak terlihat oleh mata lahiriah.[6] Itulah yang dimaksud dengan gnosis, atau mungkin kita lebih mudah menyebutnya dengan irfan. Irfan berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa yang semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (‘ilm).Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) dan atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan dapat diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (Kasyf)  setelah adanya olah nurani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta.[7] Dan biasanya hal itu hanya dimiliki filosof yang sekaligus sufi, dengan mengunakan corak tasawufnya masing-masing.
Filosof Islam besar pertama yang mungkin kita dapat melihat minat langsung pada tasawuf adalah Al-Farabi, yang ternyata juga mempraktikkan tasawuf. Namun, pengaruh tasawuf dalam tulisan-tulisannya kurang begitu jelas kecuali dalam Fushush Al-Hikmah, yang oleh sebagian orang dinisbahkan pada Ibn Sina. Kehadiran tasawuf sebagian besar tampak dalam kehidupan pribadi Al-Farabi, yang tentu memengaruhi pemikirannya dan juga komposisi musiknya. Tidak banyak yang menyadari bahwa sebagian komposisi musik Al-Farabi ini dikembangkan dan dalam periode yang bersamaan waktunya dengan kehadiran filsafat Peripatetik awal. Kemunculan awal figur-figur, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ini, darinya kita dapat menyaksikan kelahiran filsafat Ismailiyyah, yang mencapai puncaknya pada abad ke-4 H/ke-10 M dan ke-11 M dengan tokoh-tokoh semacam Hamid Al-D’in Al-Kirmani dan Nashiri Khusraw. Keduanya alirannya  menyamakan filsafat dengan dimensi esoterik Islam. Darinya diketahui doktrin-doktrin dasar filsafat atau teosofi lsmailiyyah seperti interpretasi hermeneutik (ta'wil, hubungan antara iman dan akal manusia, baiat, siklus (daur) kenabian dan  imamologi serta kosmologi dan antropologi, menunjukkan pertalian eratnya dengan dimensi tertentu dalam esoterisme Islam. Lebih jauh lagi, ajaran mistik Yunani-Aleksandrian seperti ajaran mistik Pythagorean  dan Hermetisis (berhubungan dengan ajaran Hermes) bergema dalam filsafat Ismailiyyah, sebagaimana dapat kita lihat dalam Rasa’il Ikhwan Al-Shafa' yang banyak menekankan signifikansi mistik bilangan-bilangan.[8]
Memang ada yang berpendapat corak filsafat mistik ini juga ada dalam tradisi Yunani,khususnya neo-paltonisme dan Hermes. Menurut Al-Jabiri, irfan diadopsi dari ajaran Hermes,sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur’an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqamat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur’an (QS.Al-Fusilat:164),tapi lebih identik dengan konsep Hermes tentang, mi’raj , yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah raga untuk menyatu dengan Tuhan. dimana konsep maqamat dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar.[9] Walaupun, hal ini karena corak tasawuf atau irfani berkaitan dengan kesadaran dan perasaan. Yang mana perasaan dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras dan bangsa. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, melalui latihan-latihan ruhani, bisa jadi satu sama lain sama, meski tanpa ada kontak di anatara keduanya, sehingga adanya kesamaan antara irfan dengan corak irfani (gnostisisme) asing bukan berarti pasti menunjukkan adanya keterpengaruhan. Namun karena itulah, pada aspek esoteris ini, Ibn Arabi mengungkapkan ide tersirat wahdat al-adyan (kesatuan agama-agama).[10] Dimana bila dilihat dalam pembahasannya termasuk dalam kategori filsafat perennial.
Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfisafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud (kesatuan realitas).  Hal itu karena, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung parapatetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah “patokan” segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya  bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkret tetapi pada yang tansenden dan itu hanya ada satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujud), dengan corak Ibn Arabi tentunya.[11] Demikian bagaimana Arabi memadukan Filsafat paripatetik dengan konsep tasawuf.
Saat filsafat Peripatetik dikritik, baik oleh para teolog Asy‘ariyyah maupun para sufi seperti Al-Ghazali dan Sana’i di wilayah-wilayah Timur Islam, namun perkembangan filsafat Islam peripatik di wilayah-wilayah Barat Islam ditandai pertalian eratnya dengan tasawuf. Walaupun sebenarnya, seluruh fenomena filsafat Islam di Spanyol sudah mempunyai jejak tasawuf pada pemikiran filosofis yang ditanamkan oleh Ibn Masarrah. Hampir semua filosof Islam Spanyol terkemuka, kecuali Ibn Rusyd (Averroes), mempunyai dimensi mistik kuat yang tecermin jelas dalam tulisan-tulisan mereka. Kita cukup menyebut cinta mistik Ibn Hazm, mistisisme matematis Ibn Al-Sid dari Badajoz, doktrin kontemplasi intelektual Ibn Bajjah, dan peran Akal Aktif  dari Ibn Thufail untuk menekankan fakta ini. Tetapi, di antara semua filosof besar Andalusia terakhir, pada diri seorang Ibn Sab’in kita dapat mengamati gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas. Sebagai seorang sufi dan sekaligus filosof, Ibn Sab‘in menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam.[12]
c.       Pertalian Tasawuf dan Filsafat di wilayah Islam Timur (Persia)
Pada abad ke-6 H/ke-l2 M, pertalian erat antara tasawuf dengan filsafat muncul kembali ke wilayah-Wilayah Timur Islam dan khususnya Persia sehingga sintesis yang paling signifikan dan berpengaruh antara mistisisme dan filsafat terjadi di tangan Syihab Al-Din Suhrawardi, pendiri Mazhab Iluminasi (al-isyraq). Dia sudah menjadi sufi dan menguasai filsafat Ibn Sina pada usia sangat muda, Suhrawardi menciptakan perspektif filosofis baru yang didasarkan pada pengetahuan melalui iluminasi (pencerahan) dan upaya mengawinkan latihan pikiran rasional dan penyucian jiwa. Suhrawardi sendiri sadar sepenuhnya akan sentralitas sintesis antara pengetahuan rasional dan pengalaman mistis ini dan memasukkan para sufi bersama para filosof Peripatetik sebagai kategori-kategori dan tahapan-tahapan yang mengantarkan kepada kategori dan tahapan ”teosof” (hakim muta’allih) yang merupakan ideal doktrin isyraqi. Melalui Suhrawardi, filsafat Islam terpaut erat dengan realisasi spiritual dan pembersihan jiwa yang diasosiasikan dengan kehidupan mistik selama hampir sepanjang periode sejarah Islam setelah itu. Para filosof isyraqi berikutnya seperti para komentator utamanya yaitu Muhammad Syahrazuri dan Quthb Al-Din Syirazi, dan juga para wakil utama doktrinnya terkemudian, seperti Ibn Turkah Ishfahani, adalah filosof sekaligus sufi.[13]
Perlu diketahui, pemikiran Israqiyyah (Illuminatif) secara ontologis maupun epistemologis, lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatik Aristotelian. Menurut Suhrawardi,filsafat peripatetik yang saat itu dianggap paling unggul, ternyata mengandung bermacam kekurangan. Secara epistemologis, ia tidak tidak bisa menggapai realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, bahkan silogisme rasional pula, pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Sementara dari sisi ontologis,Suhrawardi tidak bisa menerima paripatetik, antara lain mengenai eksistensi-essensi. Baginya, yang fundamental dari realitas adalah essensi,bukan eksistensi seperti diklaim kaum paripatetik. Essensilah yang primer sedang eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dari essensi dan hanya ada dalam pikiran. Dimana ini sekaligus mengembalikan konsep Plato bahwa eksistensi hanyalah bayangan dari ide dalam pikiran.[14]
Pertalian erat antara filsafat dan tasawuf sesungguhnya menjadi ciri hampir semua filsafat Islam terkemudian. Pembangun kembali filsafat Peripatetik Ibn Sina pada abad ke-7 H/ke-13 M, yaitu Nashir Al-Din Al-Thusi, yang merupakan salah seorang matematikawan dan pada saat yang sama astronom besar sepanjang sejarah, juga menulis Aushaf Al-Asyraf tentang kebajikan sufi. Tokoh semasanya, Afdhal Al-D’in Kasyani, yang filosof sekaligus penyair, adalah seorang sufi yang makamnya banyak dikunjungi para peziarah hingga sekarang karena dianggap sebagai seorang wali, dan Jalal Al-Din Dawani, yang filosof sekaligus teolog, juga berminat besar pada doktrin-doktrin isyraqi dan esoterik dan bahkan menyusun komentar atas Suhrawardi.Pada periode Shafawiyyah, dengan berdirinya Mazhab Ishfahan pada abad ke-10 H/ke-16 M, hubungan antara filsafat dan tasawuf menjadi hampir diterima apa adanya oleh sebagian besar filosof. Selain itu, pengalaman akan Al-Haqq melalui praktik dan perenungan menjadi hampir tak terpisahkan dari pembicaraan filosofis tentang Al-Haqq; dari sini dapat diketahui betapa pentingnya hubungan antara haqiqah al-wujud (realitas wujud) dan mafhum al-wujud (konsep tentang wujud) dalam metafisika Islam periode ini. Pendiri Mazhab Isfahan, Mir Damad, yang merupakan salah seorang filosof rasional yang teguh, juga menulis puisi mistik dengan nama samaran Isyraq dan menyusun sebuah risalah tentang pengalaman mistik-ekstatik.[15]
Figur utama mazhab ini, yakni Mulla Shadra, menjalani suatu periode panjang pembersihan diri yang diikuti dengan studi formal dan menganggap iluminasi dan wahyu sebagai sumber Vital pengetahuan di samping penggunaan rasio. Perspektif intelektual baru yang diciptakannya dan disebut al-hikmah al-muta’dliyyah didasarkan atas tiga landasan: wahyu, iluminasi batin, dan penalaran logis, dan banyak di antara doktrin-doktrin paling mendasar yang disebut dalam karya-karyanya dinilainya telah disingkapkan oleh Tuhan kepadanya. Oleh karena itu, ia menyebutnya dengan istilah hikmah ’arsyiyyah (hikmah yang turun dari Singgasana Tuhan). Sebagian karya-karya Mulla Shadra, Seperti Al-Syawdhid Al-Rububiyyah, mempunyai warna ’irfani atau Warna gnostik, dan pengarangnya adalah pembela gigih para sufi besar terdahulu seperti Ibn ’Arabi yang dikutipnya secara luas dalam magnum opus-nya, Al-Asfar AI-Arba’ah. Mulla Shadra juga menulis karya biografis, Si ashl, dan Kasr Al-Ashnam Al-jahiliyyah Yang meski menyerang sebagian bentuk tasawuf populer yang menyimpang, ia membela dengan gigih kaum sufi yang autentik serta doktrin-doktrin mereka. Kenyataannya, filsafat atau teosofi Shadrian (mazhab Mulla Shadra) sulit dipahami tanpa pengaruh mendalam doktrin-doktrin Ibn ’Arabi dan ajaran-ajaran Sufi lainnya termasuk juga pengaruh Al-Ghazali pada Mulla Shadra.[16] Dimana tertuang dalam konsep hikmah muta’aliyah.
walaupun sebagaimana dikutipan pendapat menurut Jalaludin Rakhmat mengenai transendent theosophy (hikmah muta’aliyah) Mulla Shadra.  Pemikiran Shadra tersebut dari sisi epistemologis didasarkan atas tiga prinsip: intuisi intelektual, pembuktian rasional, dan syariat, sehingga hikmah adalah wisdom yang diperoleh lewat pencerahan ruhani, disajikan dalam bentuk dan argumen-argumen rasional, dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syariat. Sementara dari sisi ontologis, hikmah muta’aliyah didasarkan atas tiga hal, prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak substansial.[17] Pemikirannya itulah mungkin yang menjadi alternatif cara berpikir umat Islam tentang persoalan yang dialami umat Islam, terutama dalam Islam di Persia.
Diketahui, filsafat Islam melanggengkan keterkaitan erat dengan mistisisme ini terutama sepanjang para pendukung mazhab Mulla Shadra terkemudian dikaji. Meski murid-murid langsung Mulla Shadra, Abdul Al-Razzaq Lahiji dan Mulla Mullsin Faidh Kasyani, mengambil jarak agak jauh dari Mulla Shadra karena iklim politik masa itu dan banyak mencurahkan diri pada ilmu-ilmu agama dan teologi. Tetapi, mereka tetap menulis beberapa karya yang diilhami oleh guru mereka. Keduanya pun menulis puisi mistik. Kasyani juga menulis sejumlah risalah prosa mistik penting seperti Kalimati Maknunah. Murid mereka, Qadhi Sa'id Qummi, juga menyusun risalah mistik penting dan layak dianggap sebagai seorang filosof mistik terkemuka. Kecenderungan ini terus berlanjut hingga abad ke-14 H/ke 20 M. Banyak filosof Islam terkemuka Persia abad yang lalu, seperti Mirza Mahdi Asytiyani, Sayyid Muhammad Kazhim Ashshar. Allamah Thabathaba’i dan Mahdi Ilahi Qumsya’i adalah filosof sekaligus mistikus, yang mengikuti dengan setia jalan spiritual. Jadi, dalam periode ini ada bukti-bukti yang terlihat antara pertalian yang sudah berumur panjang dan perkawinan antara filsafat dan tasawuf yang dimulai oleh tokoh seperti Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra.[18]
d.      Perkembangan Pertalian Tasawuf dan Filsafat Era sekarang
Situasi pertalian tasawuf dan filsafat tidak hanya terbatas di Persia. Di India, ketika filsafat Islam baru mulai tumbuh, khususnya selama periode Mughal, hubungan yang juga erat antara mistisisme dan filsafat dapat diamati di kalangan figur-figur penting, yang menonjol di antaranya adalah Syah Wal’iyullah dari Delhi, yang boleh jadi merupakan pemikir Islam terbesar Anak Benua India-Pakistan. Jika kita membaca karya-karyanya, sulit ditetapkan apakah ia seorang teolog, filosof, ataukah sufi. Yang benar adalah ia ketiganya sekaligus, seorang pemikir yang menciptakan sintesis dari ketiga disiplin ini. Lebih dari itu, kita dapat mengamati figur-figur semacam ini di Imperium ’Utsmaniyyah dan juga di dunia Arab modern. Salah satu figur religius terpenting Mesir abad ke-14 H/ke-20 M, 'Abd Al-Halim Mahmud, yang juga Syaikh Al-Azhar, adalah sufi sekaligus filosof Islam dan banyak menulis karya penting tentang kedua subjek itu. Pada zaman modern, pengaruh pemikiran Barat telah menjauhkan banyak orang di Dunia Islam, baik dari tasawuf maupun filsafat Islam. Namun, sejauh filsafat berakar pada tradisi berumur 1200an tahun ini masih tetap hidup, maka  hubungan antara tasawuf dan filsafat Islam akan tetap berlangsung. Bagaimanapun, sifat dasar filsafat Islam seperti yang telah berkembang berabad-abad ini tidak sepenuhnya dapat dipahami tanpa menghayati signifikansi realitas yang disebut tasawuf Islam dan pengaruhnya atas banyak figur terkemuka filsafat Islam mulai dari Al-Farab’i dan Ibn Sina hingga figur-figur masa kini.[19]Sebagaimana Muhammad Ridha (w.1888-89),Ismail Al-Faruqi (1921-1986),M. Iqbal (1877-1938) serta berbagai tokoh Islam kontemporer terkait lainnya.
Oleh Karenanya Irfan teoretis telah memberikan dalam kriteria tertinggi untuk menilai apa yang merupakan philosophia vera. Itu merupakan fondasi dalam pengembangan filsafat tradisional dan ilmu pengetahuan tradisional, serta merupakan kunci untuk pernahaman terdalam tentang semua sains kosmologis tradisional, termasuk “ilmu-ilmu tersembunyi” (al-‘ulum al-khafiyyah atau gharibah). Seperti yang telah diketahui, dimana mazhab filsafat tradisional yang terkemudian yang telah bertahan di dunia Islam sampai hari ini, yang paling utama di antaranya adalah Mazhab Iluminasi yang didirikan oleh Suhrawardi dan Teosofi atau Filosofi Transenden yang didirikan oleh Mulla Shadra, yang terkait erat dengan irfan. Kita bisa mengatakan bahwa meskipun setelah Abad Pertengahan dan Renaisans di Barat filsafat menjadi semakin erat terkait dan juga ikut pada sains modern, bisa dilihat jelas dalam pemikiran Kant, di dunia Islam filsafat menjadi lebih erat terkait dengan irfan, yang darinya ia memperoleh dukungan dan visinya tentang realitas yang berperan sebagai basis untuk berfllsafat. [20]




PENUTUP
a)    Kesimpulan
Perkembangan Filsafat Islam pasca Ibn Rusyd bisa dibilang mengalami perubahan yang cukup elemental. Corak filsafat saat masa Ibn Rusyd yang paripatetik Aristotelian atau menggunakan metode Burhani (demonstratif) telah berganti dengan metode Irfani yang dimulai dikalangan Islam Syiah, serta kemungkinan kembali digunakannya metode Bayani dikalangan Arab Sunni sebagaimana Al Ghazali.
Namun, mungkin hanya corak Filsafat Irfani yang mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dimana perpaduan mistisisme tasawuf Islam dengan filsafat telah menghasilkan corak Filsafat Irfani ini. Diawali oleh tokoh seperti Ibn Sina, Al Farabi dan Ibn Arabi yang sedikit tampak corak tasawuf dalam pemikiran filsafatnya, lalu mengalami perkembangan yang pesat pasca Ibn Rusyd saat masa Suhrawardi dan Mulla Shadra.













DAFTAR PUSTAKA

Nasr,Seyyed Hossein.“Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.).2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.Bandung: Mizan.
Nasr,Seyyed Hossein.2010. The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Penerbit Mizan.
Soleh,A. Khudori .2012. Wacana Baru Filsafat Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), 12-13
[2]Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),459
[3] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 281
[4]Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460
[5] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 281
[6] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460
[7] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),194
[8] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),460-461
[9] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),195-196
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),198
[11] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),150
[12] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),462
[13] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),462-463
[14] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),116
[15] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),463
[16] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),463-464
[17]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012),157
[18] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),464-465
[19] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik : Sebuah Pengantar,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,(Bandung: Mizan,2003),465
[20] Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Penerbit Mizan, 2010), 283

Musik Pop dan Realitas Sosial Anak Muda


Analisis Framing terhadap Lirik Lagu “Bad” dalam Musik  Rap Hip-Hop Young Lex


Musik adalah realitas yang ada di masyarakat. Realitas yang ada itu adalah konstruk akan sesuatu. Realitas  sering mencerminkan akan sesuatu hal yang ingin disampaikan, karena itu pula realitas yang selalu dibingkai pasti memiliki tujuan tertentu. Tidak terkecuali adalah musik yang hadir dalam kehidupan masyarakat pasti dibingkai sedemikian rupa. Banyak usaha dan cara dilakukan agar musik selalu hadir di masyarakat, selain itu musik dapat berperan sebagai sarana untuk transformasi sosial. Entah sadar atau tidak, musik kadang membawa pesan tertentu untuk masyarakat.
Dalam hal ini, ada suatu peristiwa dunia musik di Indonesia pada akhir tahun 2016, tepatnya tanggal 18 September 2016 dirilis lagu “Bad” dari Young Lex bersama Awkarin, lagu tersebut termasuk menghebohkan kala itu. Karena tidak lama, pada saat yang sama lagu itu langsung menaruh perhatian namun juga menuai banyak kritikan. Karena pada bulan yang sama,dalam situs Change.org sebuah situs internasional untuk mengumpulkan petisi tanda tangan, Menteri Komunikasi dan Informasi RI Rudiantara melakukan petisi terhadap lagu “Bad” ini supaya dihapus dari peredaran. Lalu sampai bulan Mei 2017, sudah ada 277 orang yang mendukung penghapusan lagu ini.[1] Walaupun, dilihat dari hasil petisi masih butuh banyak dukungan minimal 500 dukungan untuk menghapus lagu tersebut.
Namun, dalam makalah ini, tidak untuk memutuskan benar atau salah, disini hanya akan  berusaha memaparkan dan meneliti serta menganlisa lagu “Bad” ini yang dibawakan seorang rapper muda Indonesia ini dengan analisis framing.

A.   Kerangka Teori
Dalam tulisan Edelman “ Contestable Categories and Public Opinion” , menurutnya apa yang kita ketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung pada bagaimanana kita membingkai dan mengkonstruksi realitas sosial. Realitas yang sama bisa jadi berbeda tergantung ketika realitas tersebut dibingkai, lalu terjadilah berbagai pilihan.  Tapi ,pada akhirnya realitas yang dipahami khalayak umum adalah realitas yang telah terseleksi, khalayak didikte untuk memahami realitas dengan cara tertentu atau bingkai tertentu.[2]
Kategorisasi
Edelman dalam framing, menggunakan kategorisasi: pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana realitas dipahami. Kategori merupakan abstraksi dan fungsi pikiran, dimana membantu memahami realitas yang beragam  dan tidak beraturan menjadi realitas yang mempunyai makna. Namun juga sebaliknya, kategorisasi juga dapat berarti penyederhanaan realitas yang kompleks dan berdimensi banyak lalu ditekankan pada satu sisi dimensi, sehingga dimensi lain dari suatu peristiwa atau fakta menjadi tidak terliput. Sehingga perubahan terjadi karena abstraksi pikiran yang diperoleh dan dipahami. Kategorisasi kadang juga lebih halus dari sebuah propaganda, sehingga khalayak tidak sadar bahwa alam pikirannya telah didikte. Karena itu sering kategorisasi itu sering digunakan untuk menipu atau hal-hal yang salah.[3]
Kesalahan Kategorisasi
Edelman menolak asumsi yang mengatakan bahwa opini seolah sesuatu yang tetap. Sebaliknya, opini harus dilihat sebagai sesuatu yang dinamis yang dapat diciptakan terus menerus. Karakter dan sebab akibat dari peristiwa bisa berubah secara radikal dengan pemakaian kategorisasi tertentu. Bagaimana peristiwa dilihat dan bagaimana pengamatan diklasifikasikan pada titik tertentu, yang aplikasinya dari hal itu mendukung dan mengarahkan pada kebijakan atau kepercayaan tertentu.[4]
Rubrikasi,Klasifikasi, dan Ideologi
Rubrikasi melihat bagaimana suatu peristiwa dikategorisasikan dalam rubrik-rubrik tertentu. Rubrikasi  menentukan bagaimana peristiwa dan fenomena harus dijelaskan. Lalu klasifikasi, berhubungan dengan bagaimana suatu peristiwa dipahami dan dikomunikasikan. Karenanya ,klasifikasi menentukan dan berpengaruh terhadap dukungan atau oposisi. Selain itu, menurut Edelman, banyak klasifikasi dibuat tidak menyertakan aspek diskriminasi, seakan-akan realitas dunia berjalan secara apa adanya. Klasifikasi tersebut dibuat bersifat netral dan membuat seakan-akan tidak ada yang diuntungkan dan dirugikan dalam suatu proses sosial. Dalam pandangannya juga, kategori juga berhubungan dengan ideologi. Kategorisasi tidaklah menunjukkan realitas yang sebenarnya, karena bukanlah representasi realitas yang utuh. Edelman yakin, khalayak hidup dalam dunia citra. Kata-kata tertentu mempengaruhi bagaimana realitas atau seseorang dicitrakan dan pada akhirnya membentuk pendapat umum mengenai suatu peristiwa atau masalah. Bahasa tertentu memperkuat pandangan seseorang, prasangka, dan kebencian tertentu.[5]
B.     Musik Pop dan Realitas Sosial Anak Muda
Sesuai dengan namanya, musik pop ada di mana-mana, sehingga sangat populer bagi setiap orang. Hampir semua orang dapat menemuinya, terutama di televisi, radio, juga di tempat tertentu seperti kafe dan restoran pun kita kadang bisa mendengarkannya serta di dunia inernet pun kita dapat mendapatkannya. Lebih khusus, kita dapat menemukannya dalam acara-acara musik ataupun di berbagai konser dan festival. Bahkan sekarang, hampir setiap orang mendengarkan musik dan lagu, atau memiliki koleksinya dalam bentuk kaset, CD, ataupun dalam mp3 di smartphone dan komputer mereka.
Seperti pandangan Adorno, musik pop memilki tiga ciri spesifik. Pertama, musik pop itu distandarisasikan yakni meluas mulai dari segi-segi yang paling umum hingga segi-segi yang sangat spesifik. Sekali pola musikal dan lirikal ternyata sukses, lalu akan dieksploitasi hingga kelelahan komersial. Selain itu, detail-detail dari satu lagu pop bisa saling dipertukarkan dengan detail-detail lagu pop lainnya. Musik pop ini bersifat mekanis dalam pengertian bahwa detail tertentu dapat bisa diganti dari satu lagu ke lagu lainnya tanpa efek real apa pun pada struktur (musik pop) sebagai satu keseluruhan. Karena industri musik, menggunakan standarisasi hit-hit lagu guna menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya, yang oleh Adorno disebut Pseudo-individualisasi. Kedua, musik pop mendorong pendengaran pasif. Konsumsi musik pop itu pasif dan repetitif yang menegaskan dunia sebagaimana adanya. Musik pop punya “korelasi non-produktif” dengan kehidupan seperti di kantor ataupun pabrik. Sebagaimana saat terjadi ketegangan dan kebosanan dalam kerja, orang akan menghindari penggunaan energi fisik dan mental. Karena itu orang membutuhkan stimulan, yang mana musik pop dapat memuaskan mereka. Dengan kata lain, musik pop beroperasi di dalam semacam dialektika letih: untuk mengkonsumsinya menuntut pengalihan dan pemalingan perhatian, atau lalu konsumsi musik pop menghasilkan pengalihan dan pemalingan perhatian dalam diri pendengarnya.  Ketiga, klaim bahwa musik pop bekerja seperti “semen sosial”. Yakni “fungsi sosial-psikologis”nya adalah meraih penyesuaian fisik dengan mekanisme kehidupan saat ini. Penyesuaian ini termanifestasi dalam dua tipe sosial perilaku massa, yaitu tipe penurut yang ritmis dan tipe emosional. Yang pertama menari-nari dalam pemalingan perhatian pada ritme eksploitasi dan operasinya sendiri. Yang kedua berkubang dalam kesengsaraan yang sentimentil, lupa akan kondisi eksistensi yang nyata.[6] Dalam poin ketiga, musik pop ini dapat berefek pada diri seseorang, seperti contoh membuat seseorang optimis (positif) maupun dapat membuat seseorang pesimis (negatif).
Dalam karya Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964). Sebagaimana ditegaskan, potret anak muda sebagai orang Iugu yang dieksploitasi oleh industri musik-pop terlalu disederhanakan. Menanggapi hal ini, Hall dan Paddy berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara penggunaan teks atau praktik yang dipahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksudkan oleh para produser. Secara signifikan, mereka mengakui bahwa meskipun konflik ini secara khusus menjadi ciri ranah hiburan remaja sampai pada tingkat tertentu, konflik ini juga jamak bagi keseluruhan wilayah hiburan massa dengan sebuah setting komersial. Karena itu, Budaya musik-pop-Iagu, juga melalui majalah, konser, festival, komik, para bintang pop (Artis), film, dan sebagainya membantu memperlihatkan pemahaman akan identitas di kalangan kaum muda.[7]
Budaya musik pop mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada di masyarakat, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang melalui simbol itu sikap tersebut bisa diproyeksikan. Budaya remaja merupakan sebuah paduan kontradiktif antara yang autentik dan yang dimanufaktur: ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial. Lalu juga merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional dan seksual. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara Iangsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti bahwa lagu dan setting itu kekurangan autentisitas (keaslian). Kendati demikian, lagu-lagu itu mendramatisasi perasaan-perasaan autentik. Lagu-Iagu itu mengekspresikan dilema emosional remaja dengan jelas. Musik jenis pop mempertontonkan 'realisme emosional’; lelaki dan perempuan muda 'mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan representasi kolektif ini ...dan menggunakannya sebagai fiksi-fiksi penuntun. Fiksi simbolik tersebut adalah cerita rakyat yang dengan cara itu anak usia belasan, sebagian, membentuk dan menyusun pandangan dunianya. Hall dan Paddy juga mengidentifikasi suatu cara yang dengan itu para anak usia belasan tahun menggunakan cara berbicara tertentu, tempat nongkrong tertentu,cara menari tertentu, dan cara berbusana tertentu, untuk memperlihatkan jarak dengan dunia orang dewasa, mereka menggambarkan gaya busana sebagai seni pop minor yang digunakan untuk mengekspresikan sikap kontemporer tertentu misalnya arus pemberontakan dan nonkonformitas (menyimpang) sosial yang kuat.[8]
a)      Biografi Young Lex
Young Lex memiliki nama asli Samuel Alexander Pieter, dia lahir pada tanggal 18 April 1993 di Jakarta, Indonesia. Young Lex merupakan Rapper muda yang sedang naik daun ,dia memulai karirnya di tahun 2011 dengan menjadi seorang Hip Hop. Young Lex sendiri suka sekali dengan lagu-lagu dari Iwan Fals dan juga Slank yang isi lagunya kebanyakan dari fakta atau kejadian yang ada (Nyata). Young Lex saat sekolah dulunya sangat nakal sekali, sering ikut tawuran dan pernah suatu ketika dia kena lempar batu yang mengakibatkan kepalanya bocor atau berdarah. Young Lex mulai mendalami lagu Hip Hop saat menginjak SMA tepatnya di SMA 30 Rawasari Jakarta. Setelah lulus dari SMA dengan jangka waktu yang lumayan panjang akhirnya Young Lex bertemu dengan Felix (seorang Rapper) yang membuatnya lebih semangat lagi untuk mendalami lagu Hip Hop. Semenjak itulah Young Lex mulai rajin untuk membuat lagu beserta video klipnya. [9]
Banyak halangan dan rintagan yang dilalui oleh Young Lex mulai dari persaingan sampai modal yang dia punya untuk berkarier di dunia musik.Diketahui, Young Lex juga sempat bekerja sebagai Staff Gudang dan Office Boy untuk modal buat rekaman. Lalu dia mulai meraih kesuksesan, lagunya yang berjudul “ Ini gaya Gue “ dipilih jadi Soundtrack Film “King Of Rock City” yang sebelumnya harus dirilis ulang (aransemen ulang) bersama Rapper yang bernama Iwa K. Dari kesuksesan itu, Young Lex semakin semangat dan Eksistensinya di dunia music Hip Hop mulai dikenal luas. Lalu muncul Lex Sugar, yang mana adalah panggilan untuk Fansnya Young Lex yang selalu memberi semangat untuk membuat karya-karya baru. Dimana saat itu bulan April 2015 Young Lex membuat Mini Konser yang diadakan di Gor Bulungan kawasan Blok M Jakarta Selatan dengan merilis Album baru yang berjudul Y.O.G.S (Young Original Gila Swag).[10]
      Lalu muncul pula lagu-lagu baru sebanyak 40 lagu sampai sekarang, lagu-lagunya misal seperti: “Anjing (Feat. Zero One), Bad (Feat. AwKarin), Bekasi Swag (Feat. Doms Dee), BPJS (Badget Pas Pas an Jiwa Sosialita) [Feat. Dycal], Cabs Pake Motor, Cewe Kece (Feat. Lil Gucci), Dat Dough, Delete Contact (Feat. Dycal),Far Away (Tyga Cover), Ga Peka (Feat. Chris Celo), Gas Lah (Feat. Jaypey), GC Dong (Feat. Igor Saykoji), GGS (Feat. SkinnyIndonesia24, Reza Octovian, Kemal Palevi, Dycal), Goyang Bos (Feat. Razi & Dooms Dee), Gue Balik Lagi (Feat. Jeri AppMc), Gue Lo Mereka (GLM) [Feat. Ben Utomo & Edgar], Indo Girl (Feat. Mack'G), Ini Gaya Gue, Kaca, Kok Gatel?!!”. Serta lagu-lagu baru yang muncul pada tahun 2017.Namun, dari berbagai lagunya ada beberapa lagu yang ngehits yakni salah satunya lagu dengan Judul “Bad”  yang juga sangat populer.
b)    Lagu Bad
Lirik lagu “Bad” yang dibawakan Young Lex Ft Awkarin sebagai berikut:
Mereka bilang diriku tak berguna-Tapi sejak remaja-Ku tak pernah meminta-Biaya untuk bergaya-Bukan duit dari orang tua-Lulus sekolah tak mau manja-Ku kerja tuk biaya kuliah-2011 mereka bertanya-Nanti besar elo itu mau jadi apa-Mereka mengejek,-Mereka mencela-Ini anak nakal-Masa depan nggak ada-Memang sekarang aku tak bekerja-Bisnisku lebih dari mereka-Yes-Memang gue anak nakal-Seringkali ngomong kasar-Tapi masih batas wajar-Loe semua lah yang paling benar-Loe semua nilai kita dari luar-Tatoan tapi tak pakai narkoba-Jangan nilai kami dari covernya-I'm bad girl-Bila kau tak pernah buat dosa-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa-I'm bad boy-Kau benci ku yang apa adanya-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-I'm bad girl-Bila kau tak pernah buat dosa-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa-I'm bad boy-Kau benci ku yang apa adanya-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-Mereka bilang aku penuh drama-Tak punya bakat aku vlogger biasa-Gak niat tuk kenal iseng aja-Tapi fenomenal kini ku mulai berkarya-Namun kuraih yang sebaliknya-Gue matre yang bayarin dia-Padahal bukan itu faktanya-Dasar loe banci potong aja itunya-Gue cuma pengen tetep jadi apa adanya-Dari pada disukai tapi munafik aslinya-Yes-Memang gue anak nakal-Seringkali ngomong kasar-Tapi masih batas wajar-Loe semua lah yang paling benar-Loe semua nilai kita dari luar-Tatoan tapi tak pakai narkoba-Jangan nilai kami dari covernya-I'm bad girl-Bila kau tak pernah buat dosa-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa-I'm bad boy-Kau benci ku yang apa adanya-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-I'm bad girl-Bila kau tak pernah buat dosa-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa-I'm bad boy-Kau benci ku yang apa adanya-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa-Dan silahkan sukai mereka-Yang berlaga baik didepan kamera-Silahkan hina ku sepuasnya-Kalian semua suci aku penuh dosa”.[11]
Diantara kita pasti ada yang tahu sosok Young Lex dan Awkarin. Yaitu, dua orang yang cukup fenomenal di sosial media ini memang terkenal setelah mengeluarkan sebuah lagu kolaborasi bertajuk "Bad". Lagu ini diluncurin pada 18 September 2016 kemarin dan sudah dilihat pemirsa Youtube sebanyak 700.000 lebih. Menarik untuk diketahui lagu lagu dan liriknya sedikit menyinggung para haters Young Lex karena merupakan jawaban Young Lex atas kritik yang diberikan hatersnya. Lalu sepertinya lirik lagu tersebut juga mengandung pesan tersirat untuk para haters mereka yang sering memberi komentar buruk kepadanya. Ada beberapa pesan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut:[12]
1.Belajar mandiri
Young Lex ingin menempatkan dirinya sebagai sosok yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, sekalipun itu adalah orang tuanya. Background Young Lex memang tergambar seorang pekerja keras sejak duduk dibangku sekolah. Menurut video Draw My Life nya yang bisa dilihat di Youtube, dia mengaku kalau sejak sekolah sudah mencoba berjualan nasi uduk, dan lain sebagainya hanya untuk menambah uang jajannya.
2.Uang dari orang tua bukan untuk hura-hura
Pada lagu ini Young Lex dan Awkarin juga menyampaikan pesan tersirat bahwa uang dari orang tua itu bukan untuk hura-hura dan untuk bergaya. Karena seperti yang kita tahu, bahwa hura-hura dan bergaya itu bukan suatu hal yang penting dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
3. Jangan ragu untuk bercita-cita
Semua orang sepertinya punya cita-cita. Begitu juga Young Lex dan Awkarin yang memiliki cita-cita sebagai public figure dan pebisnis. Disini Young Lex dan Awkarin membuktikan bahwa apa yang mereka cita-citakan sudah terwujud.
4. Penampilan bukanlah sudut pandang yang baik untuk menilai seseorang
Penampilan Young Lex dan Awkarin ini adalah  dengan tattoo, pakaian minim, urakan dan omongan yang kasar. Namun, Young Lex dan Awkarin menganggap bahwa perilaku mereka tidak melanggar hukum seperti menggunakan narkoba.
5. Jangan sok suci, semua manusia punya dosa
Kesucian dan dosa seseorang memang hanya Tuhan yang tahu. Dan Mereka berdua seperti mengingatkan para haters bahwa semua orang itu mempunyai dosa dan kesalahan.
6. Menjadi diri sendiri itu lebih baik daripada menjadi orang lain.
Pesan tersirat ini seperti ditujukan kepada selebriti layar kaca yang sering menjadi orang lain ketika tampil dimuka umum.
7. Berkarya, berkarya dan berkarya
Bila kita mempunyai bakat terpendam, berkarya-lah sebebas-bebasnya. Jangan  memperdulikan ocehan orang lain, asal tidak merugikan juga tidak merugikan orang lain.



ANALISIS
Pola Kategorisasi tentang lagu “Bad”
Fans Young Lex
Haters Young Lex
Anak Mandiri, (Kerja untuk bayar Kuliah)
Anak Urakan
Cita-Cita  Anak Muda
Cita-cita “Merusak” Generasi Muda
Nakal tapi Wajar
“Memang” Nakal
Jangan Nilai Orang Dari Luarnya (Tatoan)
Penampilan tidak Sopan
Sukses Berkarya
Berkarya tapi tidak berbudaya “sopan”



Anak Mandiri atau Anak Urakan
Dalam lagu itu ada lirik "Sejak remaja ku tak pernah meminta-Kerja untuk bayar Kuliah-Lulus sekolah tak mau manja, Ku kerja tuk biaya kuliah"
Lirik ini terlihat lebih mengarah tentang dunia belajar. Bagaimana liriknya mencerminkan beberapa remaja di Indonesia yang membiayai kuliahnya dari bekerja, tanpa minta dari orang tua,  kalau yang masih dibiayai dan ada yang membiayai fokus saja sekolah atau kuliah tanpa memikirkan bayarnya, yang penting hasil dari pembelajaran atau sekolah itu ada. Sementara bagi Haters, banyak yang mengatakan bahwa itu hanyalah pembenaran saja, para haters melihat masa remaja Young Lex yang melakukan tawuran antar pelajar.
Cita-cita Anak Muda atau “Cita-cita” yang merusak generasi muda
Di dalam lirik itu, terdapat kalimat, "2011 mereka bertanya, Nanti besar elo itu mau jadi apa". Disini Young Lex mengajak para anak muda untuk memiliki cita-cita. Lalu dalam hal ini diperlihatkan Young Lex sendiri sudah berhasil mengapai atau menemukan cita-citanya, seperti jadi rapper, vlogger, dan sejenisnya. Sementara para hater mungkin melihat, pekerjaan Young Lex tidak baik, seperti memposting video di youtube (vlogger) hal-hal yang dianggap tidak baik ataupun sia-sia, misalnya anak muda bertato, bicara kasar.
Nakal Tapi Wajar atau Memang Nakal
Dalam lagu bad ada lirik ,"Memang gue anak nakal, Seringkali ngomong kasar, Tapi masih batas wajar". Disini Young Lex seperti mengatakan anak muda nakal itu tidak apa-apa, yang penting wajar atau tidak melampai batas. Sementara bagi haters Young Lex, menganggap perilaku nakal tidak boleh ada toleransinya.
Jangan Nilai Orang Dari Luarnya (Tatoan) atau Penampilan tidak Sopan
Maksud jangan nilai orang dari luarnya dimana dalam liriknya dituliskan seperti "Tatoan tapi tak pakai narkoba, Jangan nilai kami dari covernya". Disini mungkin Young Lex mengajak untuk jangan menilai orang dengan sembarangan, dia membuktikan dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri.Sementara bagi Haters, memandang setiap bertatoan pasti negatif, antara pernah dipenjara atau pakai narkoba. Padahal mereka yang bertato hanya ingin mengapresiasikan seni tatto,karena mungkin dia anak yang suka seni.[13]
Sukses Berkarya atau Berkarya tapi tidak berbudaya “sopan”
Lewat karya-karya lagunya serta usaha-usahanya itu Young Lex membuktikan mampu sukses. Dimana dia bekerja dan menghasilkan uang yang banyak dari menjadi vlogger walaupun juga menjadi rapper. Hanya mencari ide, membuat video, musik sesuai konsepnya,lalu unggah di Youtube, di likes atau disukai dan dikomen positif, dan bisa mendapat iklan.[14] Sementara bagi haters, karya-karya yang dibuat Young Lex ini tidak mendidik, apa yang yang ditampilkan tidak sesuai budaya yang sopan, seperti menampilkan kebebasan anak muda, bertato, dan berbicara kasar.
Demikian sedikit gambaran bagaimana lagu “bad” ini mencerminkan kehidupan diri Young Lex sendiri, namun karena dikemas menjadi sebuah musik yang juga disukai anak muda, bisa jadi mencerminkan realitas sosial anak muda, karena mampu menjadi motivasi anak muda sebagaimana kesuksesan Young Lex ini.




Kesimpulan
Musik Hip Hop atau lebih khusus Rap yang dibawakan Young Lex ini terlihat sangat mencerminkan dengan keadaan realitas kehidupan yang ada. Sebagaimana Young Lex menyukai lagu yang isinya berdasarkan fakta atau kejadian yang nyata.
Lagu “Bad” yang dibawakan Young Lex sendiri terlihat menceritakan kehidupan Young Lex sendiri, tapi secara umum lagu ini dapat menggambarkan realitas anak muda terutama mereka yang meniru ataupun mendukung gaya Young Lex.



















DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto.2009. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media.Yogyakarta: LKIS.
Storey,John.2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.Yogyakarta:Jalasutra.
Sumber internet:
Rudiantara. 9 Mei 2017. Hapuskan Lagu BAD yang dibawakan oleh Young Lex Ft Awkarin. https://www.change.org/p/rudiantara-hapuskan-lagu-bad-yang-dibawakan-oleh-young-lex-ft-awkarin.
Widhastomo, Harsodo. 5 Mei 2017. 7 Pesan Tersirat Yang Ingin Disampaikan Young Lex Dan Awkarin Lewat Lagu "Bad". http://dagelan.co/7-pesan-tersirat-yang-ingin-disampaikan-young-lex-dan-awkarin-lewat-lagu-bad&ei=
8 Mei 2017. Biodata dan Karir Young Lex Youtuber Indonesia, diakses dari http://www.anakkost.tv/biodata-dan-karir-young-lex/
7 Mei 2017. Lirik Lagu Young Lex ft Awkarin Bad. http://www.azliriklagu.com/2016/09/liriklaguyounglexftawkarinbad.html
2 Mei 2017. Maksud dan Tujuan dalam Lirik Badnya Young Lex Ft Awkarin. http://www.hipwee.com- Maksud-dan-Tujuan-dalam-Lirik-Bad-nya-Young Lex-ft-Awkarin.




[1]Rudiantara, Hapuskan Lagu BAD yang dibawakan oleh Young Lex Ft Awkarin, diakses dari https://www.change.org/p/rudiantara-hapuskan-lagu-bad-yang-dibawakan-oleh-young-lex-ft-awkarin , 9 Mei 2017
[2] Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS,2009),185
[3] Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS,2009), 186-188
[4] Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS,2009),189-190
[5] Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS,2009), 192-198
[6] John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta:Jalasutra,2010),118-119
[7] John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta:Jalasutra,2010),125-126
[8] John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta:Jalasutra,2010),126-127
[9] Biodata dan Karir Young Lex Youtuber Indonesia, diakses dari http://www.anakkost.tv/biodata-dan-karir-young-lex/ ,pada 8 Mei 2017
[10] Biodata dan Karir Young Lex Youtuber Indonesia, diakses dari http://www.anakkost.tv/biodata-dan-karir-young-lex/ ,pada 8 Mei 2017
[11] Lirik Lagu Young Lex ft Awkarin Bad, diakses dari http://www.azliriklagu.com/2016/09/liriklaguyounglexftawkarinbad.html , pada 7 Mei 2017
[12]Harsodo Widhastomo, 7 Pesan Tersirat Yang Ingin Disampaikan Young Lex Dan Awkarin Lewat Lagu "Bad" ,http://dagelan.co/7-pesan-tersirat-yang-ingin-disampaikan-young-lex-dan-awkarin-lewat-lagu-bad&ei= ,diakses tanggal 5 Mei 2017
[13]Maksud dan Tujuan dalam Lirik Badnya Young Lex Ft Awkarin, diakses dari  http://www.hipwee.com- Maksud-dan-Tujuan-dalam-Lirik-Bad-nya-Young Lex-ft Awkarin diakses tanggal 2 Mei 2017
[14]Maksud dan Tujuan dalam Lirik Badnya Young Lex Ft Awkarin, diakses dari  http://www.hipwee.com- Maksud-dan-Tujuan-dalam-Lirik-Bad-nya-Young Lex-ft Awkarin diakses tanggal 2 Mei 2017

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...