Hampir setiap kitab yang ditulis para ulama sufi, seperti misalnya Ihyaulum al-Din, Al-Hikam, dan sebagainya, selalu mengungkapkan bahwa ilmu tasawuf itu adalah ilmu Hakikat, yang bisa mengantar manusiajadi Insan Kamil. Yakni bisa mengantar manusia ke drajat yang selapis di bawah tingkat kenabian. Bahkan dengan ilmu tasawuf ini menurut al-Ghazali manusia bisa mendapatkan ilmu yang ladunniyah (ilmu gaib). Dengan demikian wajar apabila orang-orang awam juga sangat berkeinginan untuk ikut belajar dan menikmati kehebatan ilmu semacam ini. Jadi mereka juga menuntut untuk ikut menjalankan ilmu tasawuf, walaupun sebatas kemampuan mereka yang memang awam. Para ulama sufi sebenarnya menyadari bahwa tasawuf adalah ilmu bagi golongan khawas. Yakni ilmu yang memang hanya bisa dicapai dan dinikmati segolongan kecil para elit kerohanian. Tidak mungkin bagi orang awam untuk bisa mengalami secara langsung makrifat kepada Allah SWT. itu. Namun demikian ada segolongan ulama sufi yang berusaha membimbing orang-orang awam untuk bisa ikut ambil bagian dalam menj alankan ajaran tasawuf sejauh yang mungkin dapat mereka lakukan. Untuk memenuhi tuntutan di atas timbullah upaya para guru sufi yang berusaha menciptakan teknik-teknik zikjr dan aurad-aurad yang praktis untuk menuntun sejumlah murid-murid menurut teknik yang mereka ciptakan itu. Maka dengan jalan ini mulai muncul ikatan-ikatan ketarekatan yang oleh sarjana-sarjana orientalis mereka namakan sufi orders (ordo-ordo tarekat).[1]
Dari uraian singkat tersebut di atas, mulai terjadi
perubahan dalam penerapan ajaran tasawuf. Yakni mulai terjadi perubahan fungsi
guru. Pada mulanya para ulama sufi manganjurkan agar orang-orang yang
menempuhjalan tasawuf memerlukan seorang guru yang berpengalaman sebagai
penasihat, terutama dalam upaya penyucian hati dengan lewat maqam-maqam
kenaikan rohani. Yakni guru sangat diperlukan agar tidak sesat ke jalan
kesesatan, dan sebagai pengamat dalam pengendalian hawa nafsu, jangan sampai
masih dihinggapi rasa riya' dan takabur yang sangat rumit dan halus. Kemudian
dengan munculnya ordo-ordo ketarekatan fungsi guru bukan lagi terbatas pada
pengamat dan penasehat, akan tetapi kini guru jadi pengajar dan pembimbing para
murid dalam mengamalkan teknik-teknik zikir dan mengamalkan aurad-aurad
tertentu seperti yang diajarkan oleh sang guru agung pencipta teknik-teknik
zikir dan pembina ordo ketarekatan mereka. Dan nama setiap ordo ketarekatan
selalu dihubungkan dengan nama guru agung pencipta ajaran tarekatnya. Ordo yang
menganut teknik zikir ciptaan Syeh Abdul Qadir al-Jailani, dinamakan tarekat
Qadiriyah.Tarekat yang menganut ajaran Maulana Jalaluddin al-Rumi dinamakan
tarekat Maulawiyah. Sedang tarekat yang dibina oleh Ahmad Badawi di Mesir,
dinamakan tarekat Badawiyah atau tarekat Ahmadiyah. Dan demikian seterusnya
bagi tarekat-tarekat lainnya. [2]Sayangnya sependapat
dengan Martin Van Bruisen, menurut saya,legitimasi dari“silsilah” tarekat yang
dibanggakan gerakan tarekat, ternyata rancu dalam kesejarahan, terutama Tareqat
Naqsabandiyah yang dia teliti Van Bruisen di Indonesia. Namun demikian, dari
abad 18,19,20 , Tarekat ini menjadi spirit gerakan perlawanan terhadap
penjajahan. Contohnya sanusiyah Libya, naqsabandiyah pakistan, juga yang ada di Indonesia.
Di era sekarang abad 21, semula banyak orang terpukau
dengan modernisasi, mereka menyangka bahwa dengan modernisasi itu serta merta
akan membawa kesejahteraan. Mereka lupa bahwa dibalik modernisasi yang serba
gemerlap memukau itu ada gejala Hedonisme. Gejalanya dapat kita saksikan
seperti semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan
tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat terlarang/narkotika,
kenakalan remaja, prostitusi, bunuh diri, gangguan jiwa, dan lain sebagainya.
Apakah karena tasawuf mandul?, ternyata sekarang sudah mulai ada pengembangan yakni seperti tasawuf positif yang tidak menjauhi dunia,
dalam hal ini seperti politik, lihat saja misalnya Al-Ghazali yang malah menjauhi dunia politik yang saat itu politik dalam Islam sedang memanas perihal seperti perang Salib dan lain-lain. Tasawuf positif ini hadir karena ditandai oleh krisis yang
mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Orang-orang, terutama di wilayah urban
dan sub-urban, merasakan bahwa kehidupan di sekitar mereka semakin keras, sulit
dan penuh dengan kriminalitas. Urbanisasi besar-besaran membuat kehidupan di
wilayah-wilayah ini seolah-olah telah terlepas dari kontrol. Jadi, pada saat
yang sama masyarakat telah ditaklukkan oleh Globalisasi; dunia menjadi kampung global, maka itu
perlunya hadir tasawuf model positif ini.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar