Asal Usul Perkembangan Agama
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Agama
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Rifa’i Abduh, M.A.
Disusun Oleh:
Chamid Abdul C.M. (15520001)
Abdul Qodir Abdillah (15520002)
Muhammad Habibul Musthofa (15520003)
Dina Qoyyima (15520004)
Program Studi Studi Agama Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017/2018
A.
Latar Belakang
Kata “agama” berasal dari bahasa
Sanskrit, a berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Dengan begitu, agama
berarti tetap di tempat, diwarisi turun-temurun dalam kehidupan manusia. Ada
juga yang menyebut agama dengan kata religi. Religi berasal dari bahasa latin, rele-gere
yang berarti mengumpulkan atau membaca. Agama merupakan kumpulan cara
mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus
dibaca. Di sisi lain, kata religi berasal dari religare yang berarti
mengikat. Ajaran-ajaran agama mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seseorang
yang beragama tetap terikat oleh hukum yang ditetapkan oleh agama. Dari
berbagai definisi mengenai agama tersebut, dapat diklasifikasikan bahwa ada
empat hal penting dalam agama., yakni: kekuatan gaib, hubungan dengan Yang
Gaib, pemujaan atau penyembahan terhadap Yang Gaib, adanya yang kudus dan suci.[1]
Dalam pembahasan mengenai filsafat
agama, tentunya tidak bisa terlepas dari objek material dan objek formal.
Ditinjau dari segi objek materiil, objek filsafat agama berdimensi metafisik
dan fisik. Dan apabila ditinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang
menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama.[2]
Filsafat agama menjadikan tema
ketuhanan sebagai fokus utama dalam kajiannya. Karena, tema ketuhanan tersebut
merupakan titik tolak dan balik sebuah keyakinan dan kepercayaan manusia kepada
yang dianutnya. Maka, penting untuk membahas secara rinci mengenai sejarah asal
usul perkembangan agama dari masa ke masa. Sebagaimana terdapat dalam teori
E.B. Tylor. Tylor mengatakan bahwa keprcayaan manusia pada awalnya sangat
sederhana dan bersahaja menuju pada keprcayaan yang lebih tinggi sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan peradabannya. Sistem kepercayaan manusia yang paling
primitif adalah dinamisme dan yang paling tinggi adalah monoteisme.[3]
Dalam studi filsafat agama, konsep
perubahan sistem kepercayaan pada yang gaib sangat penting, karena salah satu
pokok ajaran agama adalah mengenai adanya zat yang gaib dan suci. Maka dari
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan konsepsi Tuhan, mulai
dari animisme, dinamisme, politeisme,
henosteisme dan monoteisme.[4]
B.
Animisme
Kata Animisme
berasal dari bahasa latin, yaitu Anima yang berarti roh. Kepercayaaan
animism merupakan kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Keyakinan ini
banyak di anut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama dan
wahyu.Paham animism mempercayai setiap benda di Bumi (laut, gunung, hutan, gua
dan tempat tertentu) mempunyai jiwa yang mesti di hormati agar tidak mengganggu
manusia bahkan membantu dalam kehidupan.
Menurut Paham
primitif Roh adalah materi yang sangat halus yang memiliki sifat, bentuk, umur,
dan mampu makan, itu semua berbeda dengan apa pengertian roh dalam paham
modern. Suatu contoh dari masyarakat Nias, mereka mempercayai bahwa tikus yang
sering keluar dan masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang sudah
meninggal dalam keadaan melahirkan. Selain itu, anggapan masyarakat primitif
adalah, bahwa roh mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa senang dan susah.
Bisa marah dan membahayakan manusia.
E.B Taylor
berpendapat bahwa agama primitif timbul dari animism, ada empat proses yang
harus di lalui oleh animism untuk di akui sebagai agama primitif:
1. Masyarakat primitive
mengkhayalkan adanya hantu-jiwa (ghost-soul)
2. Jiwa menampakkan
diri
3. Timbul kepercayaan
dalam masyarakat tersebut bahwa segala
sesuatu berjiwa
4. Dari yang berjiwa
itu ada yang menonjol, seperti pohon besar atau batu yang aneh
Animisme berkembang
lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitikberatkan pada perkembangan roh
manusia.Mulai dari sana, manusia primitive menyimpulkan bahwa setiap materi
yang memiliki sifat yang sama maka mereka memiliki substansi yang sama pula.
Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan
bergerak, kemudian manusia di yakini memiliki roh maka, pepohonan, binatang,
laut, api, matahari, bulan dan materi-materi lainnya pun juga memiliki roh
seperti manusia.
C.
Dinamisme
Dinamisme berasal
dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam bahsa
Inggris berarti dynamic dan di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
arti kekuatan, daya, atau kekuasaan. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap
benda-benda di sekitar manusia yang di yakini memiliki kekuatan ghaib.
Dinamisme lahir dari rasa
kebergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar
dirinya.Setiap manusia selalu merasa butuh dan berharap pada zat lain yang di
anggapnya mampu memberikan pertolongan dengan kekuatan yang di miliknya. Dari
sinilah muncul kepercayaan bahwa setiap benda yang ada di sekeliling manusia mempunyai
kekuatan misterius, hal itu mempunyai sebutan berbeda dari masing-masing
kelompok, seperti orang Malaynesia menyebutnya mana, orang jepang kami,
orang India hari dan Shakti, orang Pigmi di Afrika oudah,
dan orang Indian di Amerika wakan, orenda dan maniti.
Dalam sejarah dan ilmu perbandingan Agama, kekuatan ghaib biasanya di sebut mana,
atau dalam bahasa Indonesia tuah. Mana mempunyai lima sifat,
yaitu:
Ø Berkekuatan
Ø Tidak dapat di lihat
Ø Tidak mempunyai
tempat yang tetap
Ø Bisa baik bias buruk
Ø Bias di control bisa
tidak
Tujuan manusia dalam
agama yang mempunyai paham Dinamisme adalah memperoleh mana sebanyak-banyaknya,
karena mereka percaya bahwa semakin bertambahnya mana semakin terjamin
keselamatannya. Tabu adalah sebutan mana yang bisa membawa bahaya dan
tidak dapat di control, tabu berarti (pantangan).
Dalam pemikiran
masyarakat primitif, tidak begitu jelas perbedaan antara yang spiritual dan
materiil, para ahli agama berpendapat bahwa Dinamisme lebih dulu muncul
daripada Animisme. Dalam Dinamisme belum ada kepercayaan pada roh orang
meninggal yang dapat menjalin persahabatan dengan keluarga yang masih hidup.
Kepercayaan demikian baru muncul dalam Animisme. Bukan hanya masyarakat
primitif yang percaya dengan Dinamisme dan Animisme namun masih banyak di
kalangan masyarakat yang hidup di era globalisasi dan teknologi maju.
D.
Politeisme
Politeisme
ialah menyembah banyak tuhan atau dewa. Politeisme juga menyembah pada roh
nenek moyang, dimana kadang-kadang roh nenek moyang meningkat menjadi dewa.
Perbedaan roh dan dewa sendiri hanya terletak dalam derajat kekuasaan. Dewa
dianggap lebih berkuasa, lebih mulia dan tinggi dan penyembahannya lebih umum
daripada roh.[1]Politeisme
pada dasarnya juga muncul dan berkembang dari animisme yang menyakini akan
kekuatan roh gaib. Begitupula muncul dari dinamisme yang menyakini akan
benda-benda yang memiliki kekuatan roh gaib. Dimana dari kedua paham ini
melahirkan kepercayaan ke dalam berbagai kekuatan gaib yang dijadikan sebagai
tuhan.
Sebagaimana kepercayaan akan adanya roh manusia, dimana
ada kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka menghormati dan mengganggap
roh nenek moyang berkuasa atas keselamatan hidup manusia. Roh nenek moyang
sendiri bertingkat-tingkat, ada roh kepala keluarga dan roh kepala suku. Dimana
roh kepala suku ini dianggap lebih tinggi daripada roh-roh lain. Jadi, roh yang
paling tinggi dan lebih kuat dijadikan simbol keselamatan.
Begitu
pula dalam animisme, yang mempercayai
adanya roh pada semua benda, semisal roh
binatang dan pohon. Dari sekian
benda-benda tersebut, akan ada roh yang kuat sehingga menimbulkan pengaruh
besar pada manusia maupun alam. Sehingga roh yang dianggap paling kuat kemudian
dijadikan simbol penyembahan dan peribadatan. Juga pada masyarakat dinamisme,
benda alam yang memiliki kekuatan melebihi kekuatan manusia disembah dan
ditakuti, seperti matahari, gunung, laut dan arus sungai.Dimana penyembahan-penyembahan
di atas dalam politeisme akhirnya tidak lagi pada bendanya, akan tetapi diambil
abstraksi atau fungsinya dan diberi nama sesuai fungsi yang disembah. Nama
sesuai fungsi yang disembah itulah yang disebut dewa. Oleh karena itu, muncul
kepercayaan pada beberapa dewa sesuai fungsinya. Seperti ada dewa Adad sebagai
pemberi hujan dalam kepercayaan masyarakat Babilonia, ada dewa Ra yang tugasnya
menerangi alam dalam kepercayaan Mesir kuno, dan sebagainya.
Dari hal di atas, bisa diketahui dewa dalam
politeisme lebih sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah roh-roh yang disembah
pada animisme. Dalam politeisme, fungsi dan sifat dari dewa lebih jelas
daripada roh-roh dalam animisme. Ditambah roh dalam animisme belum memiliki
kepribadian yang tetap dan bentuknya masih samar-samar. Akan tetapi, roh yang
disembah terus menerus dan teratur dapat meningkat derajatnya menjadi dewa.
Pada awalnya, dewa-dewa dalam politeisme sendiri mempunyai kedudukan sama.
Namun seiring berjalannya waktu, mulai ada dewa yang lebih dimuliakan dan anggapan
kepercayaan adanya dewa yang tertinggi.
Sebagaimana
suatu masa dalam agama Mesir kuno, dewa Osiris, isterinya dewi Isis, dan
anaknya dewa Horus dianggap dewa Trimurti yang dimuliakan di Mesir. Dalam agama
weda ada tiga dewa yang dimuliakan, yaitu Indra (dewa kekuatan ganas di alam,
seperti petir dan hujan), Mithra (dewa cahaya), dan Varouna (dewa ketertiban
alam). Dalam Hindu pula ada tiga yang dihormati, yaitu Brahmana (dewa
pencipta), Wisnu (dewa pemelihara), dan Syiwa (dewa perusak). Walaupun Brahman
sendiri adalah dianggap dewa tertinggi menurut agama Hindu. Lalu dalam mitologi
Yunani kuno pula Zeus dianggap sebagai dewa yang paling tinggi dan tinggal di
Gunung Olympus. Walaupun menurut mitologi Yunani, sebelum Zeus lahir sudah ada
dewa-dewi Yunani, tetapi derajatnya belum jelas dan masih dalam masa kekacauan
serta tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sementara Zeus sendiri dianggap
dewa yang mengubah keadaan kacau menjadi tenang. Oleh karenanya, masyarakat
Yunani menganggap Zeus sebagai raja para dewa dan manusia.
Dalam
politeisme, walaupun terlihat memuliakan satu dewa atau tiga dewa, bukan
berarti dewa-dewa yang lain tidak diakui. Dewa-dewa yang lain itu tetap diakui,
akan tetapi tidak semulia dan setinggi dewa yang utama. Dewa-dewa yang itu
tetap dibutuhkan apalagi ketika menghadapi hal-hal khusus, seperti meminta
hujan kepada dewa hujan ketika musim kemarau datang. Terlihat politeisme ini
terdapat pertentangan tugas antara dewa yang satu dengan dewa yang lain. Dimana
dewa-dewa yang demikian tidak selamanya mengadakan kerja sama. Contohnya, dewa
kemarau bertentangan dengan dewa hujan. Oleh karena itu, jika penganut
politeisme meminta hujan tidak cukup hanya berdoa kepada dewa hujan, tetapi
juga harus berdoa kepada dewa kemarau agar dia jangan menghalangi dewa hujan.
Dimana hal itu terkesan merepotkan bagi yang tidak terbiasa dengan sistem
kepercayaan ini.
Lalu
dalam politeisme, tuhan atau dewa dapat bertambah dan berkurang. Seseorang
politeis ketika melihat sesuatu/peristiwa yang aneh dia akan berkata “oh tuhan
baru sudah muncul”, sebagaimana dalam masyarakat ini sesuatu yang bersifat
misterius segera didewakan. Sebagaimana misalnya dalam masyarakat Yunani Kuno,
pelangi dianggap sebagai akibat bidadari atau dewa yang sedang mandi. Kemudian
lambat laun tidak dianggap lagi, karena dianggap hanya sebagai gejala alam
biasa. Hal itulah yang menyebabakan bagaimana dewa dapat bertambah maupun
berkurang, dan hal itulah yang menyebabkan pertentangan dalam pemikiran
seseorang terhadap kepercayaan politeisme. Oleh karena itu, masyarakat yang
memikirkan hal tersebut akan mencari penjelasan yang lebih menyeluruh,tidak
bertentangan dan merepotkan. Dimana pada akhirnya, kepercayaan terhadap satu
dewa atau tuhan (enoteisme / monoteisme) dapat menjadi penjelasan akan hal-hal
tersebut.
E.
Henoteisme dan
Monoteisme
Henoteisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya banyak
Tuhan, tetapi hanya mengakui satu Tuhan tunggal sebagai yang disembah. Bentuk kepercayaan
ini mulai berkembang sebab dirasa system kepercayaan politeisme masih kurang
memuaskan. Orang-orang mulai berpikir bahwa kepercayaan terhadap satu Tuhan itu
dirasa lebih memuaskan dan masuk akal. Maka dari sini, mulai timbul kepercayaan
yang lebih mengutamakan satu dewa diantara dewa-dewa yang lain. Sebagai contoh,
Zeus dalam agama Yunani dan Brahmana dalam agama Hindu.
Sistem kepercayaan yang mengutamakan satu Tuhan (dewa) dalam suatu
agama ini bisa meningkat menjadi paham Tuhan tunggal. Dengan kata lain, Tuhan
yang utama tersebut merupakan Tuhan satu dan untuk satu bangsa. Namun, ini
masih disebut sebagai henoteisme atau monolatry, karena paham tersebut masih
mengakui Tuhan-Tuhan agama lain yang berbeda. Paham satu Tuhan disini, biasanya
digunakan untuk mempersatukan bangsa dan memperkuat rasa nasionalisme. Sebagai
contoh yang menganut paham ini adalah agama Yahudi.[5]
Paham teologi agama Yahudi menonjolkan Tuhan yang bersifat
kebangsaan, sehingga menimbulkan rasa sombong dalam diri mereka. Orang-orang
Yahudi beranggapan bahwa bangsa merekalah satu-satunya yang paling tinggi
derajatnya dibandingkan dengan orang-orang selain dari bangsa mereka.
Perkembangan selanjutnya dari henoteisme ini adalah monoteisme.
Yang disebut sebagai monoteisme adalah apabila Tuhan-Tuhan asing yang disangka
musuh atau saingan itu tidak diakui lagi, dan hanya tinggal satu Tuhan untuk
seluruh alam. Sebagai contoh dalam paham monoteisme ini adalah agama Islam dan
Kristen.[6] Tapi, menurut hemat penulis, hanya Dalam Islam yang mengusung monoteisme, sebab Kristen mengusung Trinitas.
F.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
[1]
Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung:Pustaka
Setia, 2012), hlm 10
[2]
Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 16
[3]
Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 74
[4]
Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 75
[5]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta:Lolos Wacana Ilmu,1997), hlm
72-73
[6]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm 73-74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar