Paul Ricour: wacana dialektika peristiwa dan makna


Bahasa sebagai wacana, dengan meminjam bahasa menjadi wacana, Paul Ricoeur, membedakan wacana sebagai peristiwa (event) dan wacana sebagai makna (meaning). Dalam teori interpretasinya, Ricoeur sangat menekankan pembedaan antara semiotik (ilmu tanda, peristiwa, kata) dan semantik (ilmu kalimat, hubungan antar tanda, kata, kalimat). Dari hal ini, bukan berarti tidak akan menemukan meaning dalam kajian semiotik, hanya saja karena semiotik dipandang sebatas abstraksi semantik.
Sebagaimana dalam perkembangannya, ilmu tanda yang dikenal sebagai semiotik, telah terbagi dalam tiga cabang, 1) semantik, 2) sintaktik, dan 3) pragmatik. Namun lebih jauh, jargon utama yang ingin dikatakan Ricoeur adalah: bila kesemua wacana diaktualisasikan sebagai sebuah peristiwa, maka kesemua wacana dapat dipahami sebagai makna. Dalam hal ini wacana dipandang sebagai suatu peristiwa atau proposisi, yakni pertama, sebagai suatu fungsi predikat dan dikombinasikan oleh suatu identifikasi. Kedua, sebagai sesuatu yang abstrak, yang bergantung pada keseluruhan konkrit yang merupakan kesatuan dialektis antara peristiwa dan makna dalam kalimat. Oleh karena sebagai fungsi predikat ini, suatu wacana tidak terlalu fokus pada siapa pembicara atau penanda dalam suatu peristiwa, sebagaimana sering diagungkan dalam kajian umum  Hermeneutika dan Semiotika.
Dialektika peristiwa dan makna kini telah dikembangkan sebagai suatu dialektika dalam wacana. Misalnya, memaknai kata adalah apa yang diinginkan (dilakukan) oleh pembicara. Namun memaknai kata adalah juga apa yang dimaksudkan oleh kalimat tersebut. Ini merupakan distingsi yang dapat secara langsung dihubungkan dengan distingsi antara semiotik dan semantik. Melalui tahapan puncak kalimatlah yang semakin memungkinkan kita dapat membedakan antara apa yang dikatakan dan tentang apa yang dikatakan. Karena dalam sistem bahasa sendiri, untuk dikatakan sebagai bentuk leksikon, maka tidak ada masalah dengan referensi; tanda hanya mengacu kepada tanda lain dalam satu sistem. Namun begitu juga dengan kalimat, bahasa diarahkan pada hal di balik dirinya sendiri. Di mana makna akan bersifat imanen terhadap wacana, dan tentunya akan bersifat objektif dalam makna ideal, serta adanya referensi ini justru mengekspresikan adanya pergerakan di mana bahasa mentransendensikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna menghubungkan antara identifikasi fungsi dan fungsi predikat: dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa dengan dunia.
Namun sebagaimana Ricoeur sendiri, mengungkap gagasannya belum final, tapi bila kita berhasil memperlihatkan bahwa suatu teks tertulis adalah satu bentuk wacana, wacana di bawah kondisi inskripsi, maka kondisi-kondisi atau persyaratan yang memungkinkan terjadinya wacana juga merupakan teks. Sebagaimana kajian  terhadap kondisi ini telah diperlihatkan di atas, maka pemahaman peristiwa pembicaraan tidaklah harus dihilangkan, namun lebih dimasukkan ke dalam suatu rangkaian polaritas dialektikal yang diringkas di bawah judul; peristiwa dan pemaknaan dan makna dan referensi. Melalui polaritas dialektikal ini memungkinkan kita memberikan antisipasi bahwa konsep tujuan dan dialog tidak bisa dihilangkan dari hermeneutik, namun lebih sebaliknya harus dibebaskan dari ke-satusisian atas suatu konsep non-dialektis wacana.

Asal Identitas Nama Yesus dan Kajian Dosa Waris dan Penyaliban versi Al-Qur'an






Identitas Nama Dalam Diri Yesus



Pembahasan terhadap Yesus merupakan bagian penting dalam agama Kristen, dimana hal itu dibahas dalam kajian kristologi. Terutama kajian Yesus sebagai Mesiah atau sang juru selamat yang pada awalnya ditujukan kepada orang-orang Yahudi. pengakuan akan adanya Mesiah inilah yang akhirnya membedakan Kristen dengan Yahudi, umat Yahudi menginginkan sosok Mesiah dengan kerajaan layaknya Raja David atau nabi Daud yang mengalahkan imperialisme Raja Jalut atau Goliat, atau setidaknya layaknya Nabi Sulaiman atau king Solomon yang memiliki warisan kekayaan dan kekuasaan. namun sayangnya, apa yang dibawa Yesus ini dikatakan berupa kerajaan rohani (non fisik/tidak dengan kekuatan fisik) sehingga buktinya penjajahan Romawi terhadap bangsa Yahudi ini masih ada, walau sekitar 300-400 tahun kemudian ajaran Kristen dipakai kerajaan Romawi, layaknya ajaran Buddha yang dipakai raja Asoka. Di sinilah juga isu Semit dan non Semit muncul atau mungkin berkembang, yang mana ini jadi faktor lain/luar bangsa Yahudi semakin ekslusif ataupun terpinggirkan di Eropa hingga pasca Holocaust. Kembali ke inti tulisan, perbedaan Mesiah antara Yahudi dan Kristen telah cukup jelas, ditambah beberapa nama (konsep) pendukung kemesiahan Yesus yang berbeda dari konsep awalnya dan menjadi ciri tersendiri milik umat Kristen akan semakin memperjelas bedanya. Berikut ini beberapa nama yang melekat terhadap Yesus kristus.

1) Mesiah, ini adalah atribut nama yang paling sering melekat pada Yesus, nama ini banyak disebut dalam perjanjian lama. Mesiah ini memiliki padanan arti yang sama dengan kristus, dimana kata kritus ini berakar dari bahasa Yunani Christus. Mesiah maupun kristus ini secara bahasa berarti seorang yang yang diurapai/diminyaki. Dimana ini bersesuaian ataupun diterapkan dalam praktik baptis. Disamping itu dalam ajaran perjanjian lama yang diurapi ini menunjukkan seseorang yang dianggap memperoleh kekuatan khusus dari tuhan. dimana itu terlihat dari keajaiban yang diterima Yesus seperti mampu menyembuhkan orang buta maupun yang paling fenomenal yakni bangkit dari kematiannya sendiri. Dalam kitab 1 samuel 24:6 pula yang diurapi ini merujuk pada kata “the lord anointed”. Dimana hal itu sangat cocok pula akan fungsi kemesiahan yakni sebagai juru selamat. Raja yang diurapi,atau boleh saya sebut raja yang diberkahi tuhan ini, yang bertugas sebagai juru selamat ini sama halnya terinspirasi dalam kisah yang diceritakan dalam perjanjian lama yakni Raja David yang membebaskan umat Yahudi atau juru selamat umat Yahudi.

2) Lord, ini adalah atribut nama yang juga melekat dalam diri Yesus. Kata lord sama dalam bahasa Yunani Kyrios. Dimana lord ini berarti raja, atau dalam penggunaannya bermakana seorang yang dihormati atau seorang tuan. Sama halnya penjelasan di atas, Yesus sebagai raja ini tentunya menunjukkan bahwa Yesus ini mewarisi garis keturunan dari raja David. Namun bila merujuk dalam injil Yohanes, kata raja ini, atau kalau berarti tuan, merupakan kata penghormatan terhadap seseorang. Dimana terjelaskan dalam kisah Martha (perempuan pengikut yesus) yang bekata kepada Yesus dengan sebutan tuan. Nama bila merujuk lebih jauh dalam perjanjian lama, kata “lord” ini memang merujuk Yesus sebagai Raja, atau lebih jauh Yesus sebagai tuhan. kata lord atau Kyrios dalam Yunani merupakan padanan kata Mare dalam semitik, yang mana menunjukkan sebagai “makhluk ilahi”. Dimana itu terkait dengan nama tuhan Yahudi YHWH.

3) Son of God dan Son of Man, dua kata ini tentunya bagi non kristen sangat sulit dipahami. Bagaimana tidak, kedua atribut nama yang melekat dalam diri Yesus ini sangat berkontradikisi yakni Yesus sebagai putra tuhan dan Yesus sebagai putra manusia. Kedua istilah ini pun banyak disebut dalam perjanjian baru. Dalam masalah ini penyebutan Yesus sebagai putra dilakukan oleh umat kristiani dari melihat hubungan antara Yesus dan Tuhan. dimana baik dalam injil Matius, Markus dan Lukas diceritakan bagaimana Yesus menyebut Tuhan sebagai “Abba”, atau “bapak”, atau “father”. Dimana itu menunjukkan hubungan dekat antara Yesus dengan tuhan. terlihat Yesus memberlakukan tuhan layaknya ayahnya sendiri. Itulah yang diyakini umat Kristiani bagaimana hubungan dekat Yesus itu, yang sangat unik dan intim dengan tuhan, dimana dibuktikan dengan mukjizat-mukjizatnya seperti bangkit dari kematian.  Sementara Yesus sebagai putra manusia sendiri, dalam perjanjian lama merujuk pada kedatangan putra manusia saat hari kiamat. Dimana diriwayatkan dalam Markus 13;26 akan adanaya “son of man” yang turun dari langit dengan membawa kejayaan. Dimana ada anggapan itu adalah sosok yang berbeda atau bukan Yesus. Walaupun dalam keputusan Gereja menyematkan Yesus sebagai putra manusia. Hal itu menunjukkan bahwa Yesus memiliki kesatauan dalam esesnsi manusia, sebagai pembawa keadilan dan kerajaan tuhan. dimana bagi saya, terjadi kontradiksi sebagaimana perbedaan sudut pandang dalam melihat Yesus. Dimana pengikutnya melihat Yesus sebagai putra tuhan sebagaimana hubungan dekatnya dengan tuhan, namun secara kenyataannya Yesus sendiri lebih senang menyebut dirinya sebagai putra manusia. Secara normatif dalam kitab-kitab umat Kristen  secara tersirat dianggap banyak menujukkan Yesus sebagai putra tuhan, sementara kata putra manusia sendiri dalam perjanjian lama dianggap menunjukkan pada sosok selain Yesus, untuk membedakan manusia dengan sosok tuhan maupun malaikat, tapi ditujukan kepada Nabi Yehezkiel.  Demikian identitas-identitas yang tersemat dalam diri Yesus. Berikut kesimpulan saya, berdasar yang saya ketahui:
Dalam pemikiran saya, ini hanya sebatas hipotesa, bahkan opini, secara realitas jelas sosok Yesus yang disalib bangsa kekaisaran Romawi itu berwujud manusia. Demikian pula identitas nama yang melekat dalam diri Yesus jelas penuh dengan ciri gabungan tradisi Yahudi dan Yunani, dimana dapat terlihat dalam masalah penyembahan ataupun pengkultusan terhadap Yesus dalam agama Kristen ini,( bagaimana posisi Yesus dengan Allah, apakah layaknya Hercules dan Zeus?), juga terlihat terpengaruh pula dalam kepercayaan Yunani Kuno terutama dalam pematungan sosok tuhan hingga kelahiran dan kematian dewa.




 

Dosa Waris dan Perspektif dalam Al-Qur’an
            Barangkali setiap manusia pernah melakukan sesuatu yang dianggap salah. Dimana banyak hal yang dapat melatarbelakanginya. Perbedaan pemahaman barangkali menjadi hal utama sebab manusia dianggap melakukan kesalahan. Misal saja, menurut si A hal itu merupakan keharusan, menurut B hal itu salah, menurut si C hal itu salah jika… dan sebagainya. Contohnya saja pandangan agama-agama yang ada, semisal dalam hubungan badan antara perempuan dan laki-laki, dalam tradisi A merupakan ritual wajib, tradisi B hubungan badan merupakan dosa jika tidak sesuai aturan, hubungan badan harus dengan …dan banyak ragamnya.
            Itulah bagaimana penampakan sekilas bagaimana manusia itu bisa dibilang pernah melakukan kesalahan dalam sudut pandang. Di mana problem di atas akan menarik bila dikaitkan dalam kajian agama Kristen tentang manusia adalah pendosa. di sini kita langsung bertanya, Mengapa pendosa?, tentu jawabanya tergantung sudut pandang Kristen. Dalam Kristen ada ajaran mengenai manusia itu memiliki dosa warisan, noda warisan, ataupun beban dosa. Kenapa bisa?, hal itu karena semua manusia ini dianggap mewarisi dosa Adam manusia pertama.
            Dosa Adam itu adalah karena melanggar perintah Tuhan, di mana perlu diketahui dosa ini dalam artian religius bukan moralitas. Yang mana penekanannya dalam pengertian perusakan hubungan, yaitu hubungan asali dengan Allah dan akhirnya dengan sesama (makhluk). Berdasar kisah Adam dan Hawa, diketahui bahwa Adam dan Hawa ini melanggar dengan memakan buah pohon terlarang. Yang sebelumnya mereka telah digoda setan dengan bujuk rayuan, seperti dengan kata "kalian akan menjadi seperti Allah dengan memakan buah itu, ketaatan terhadap Allah itu perbudakan dan ketidaktaatan adalah kebebasan". Demikian setan menggoda manusia hingga akhirnya Dosa pertama manusia itu ada dan melekat kesemua manusia, hingga baru pada masa Yesus Kristus (dianggap Adam kedua) menebus dosa tersebut menurut pandangan Kristen. Lalu, untuk itu, manusia yang hidup pasca Yesus ini harus mengimaninya supaya dosa waris itu tertebus.
            Tentunya sulit dipahami bagaimana dosa Adam sampai bisa terwariskan ke seluruh umat manusia, apakah sebatas karena keturunan? yang pasti dosa ini dianggap bisa meluas. Menurut Paulus dalam kitab Roman 5: 18-19 telah menggambarkan bagaimana suatu pelanggaran semua orang akan memperoleh hukuman, begitupun sebaliknya. Namun secara jelas menurut Joh. Verkuyl berdasar Alkitab, diperoleh bahwa maksud dosa waris ini: 1)diketahui umat manusia ini merupakan satu kesatuan dan dosa merupakan suatu fenomena universal yang setidaknya mampu membekas di hati. 2) dosa ini seperti penyakit yang menyerang manusia sampai mati, menyerang eksistensi manusia seutuhnya. 3) dan dari dosa ini keluarlah sesuatu yang menular, menjangkit ke sekitar. Jadi dosa seseorang adalah urusan semua orang, begitupun dosa semua orang pengaruhi setiap orang.
            Dalam Perspektif Al-Qur’an umat Islam, sangat jelas berbeda dengan pandangan ajaran umat Kristen di atas. Secara jelas, tidak ada konsep dosa waris di dalam ajaran Islam, sebagaimana menurut QS. An-Najm: 36-38.
36. Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (kitab suci yang diturunkan kepada) Musa?.
37. dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?.
38. (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Dari ayat di atas, secara jelas diketahui dosa seorang manusia itu dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Maka, konsep dosa waris itu tidak berlaku dan diakui dalam Islam.
Selain itu, berdasar hadist-hadist terkait, dapat dipahami umat Islam memandang bahwa manusia sejak lahir (bayi) dalam kondisi fitrah. Sementara bila melihat ajaran dosa waris ini, seolah-olah mengatakan sejak lahir (dalam kondisi bayi) manusia sudah memiliki dosa, yakni dosa waris, walaupun bukan karena tindakannya sendiri. Hal itulah bagaiamana konsep dosa waris akan menyenggol akal sehat ataupun nurani seseorang?,, bagaimana seorang bayi, yang bila hanya dibiarkan saja bisa mati, yang bahkan belum mampu berbuat tanpa bantuan orang tua/lain bisa memiliki dosa?. Begitulah konsep dosa waris ini, bahkan seakan mengakui bayi juga sudah menanggung dosa waris. Dimana bila menurut Islam, seseorang dapat menanggung dosa bila orang itu setidaknya sudah baligh, yakni dewasa dalam pemikiran(mampu membedakan yang baik dengan yang salah) itupun terkait perbuatannya sendiri.
Jadi, konsep dosa waris yang ada dalam ajaran Kristen ini, secara tegas bertolak belakang dengan ajaran Islam. Umat Islam tidak mempercayai akan adanya dosa waris ini, begitupun konsep terkait seperti Adam yang mewariskan dosa dan Yesus yang menebus dosa.


Penyaliban Yesus dengan versi Al-Qur’an

Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana perbedaan penyaliban Yesus dengan versi Al-Qur’an yang disebut Nabi Isa. Tentunya jelas banyak perbedaan di dalamnya, saya menduga sosok ini adalah sosok yang sama, namun orang-orang memiliki perbedaan sudut pandang, sehingga menjadi berbeda pula baik nama dan keadaanya. Berikut 3 perbedaan tajam yang dapat saya tulis:
-Dalam pandangan Kristiani, Yesus lahir dari  seorang perempuan bernama Maria, yang memiliki suami dengan nama Yusuf. Namun, mereka menyakini Yesus lahir dari seorang Maria yang belum pernah bersetubuh dengan orang lain termasuk suaminya. Bisa dibilang Yusuf adalah ayah tiri. Maria dikatakan memiliki orang tua bernama Yoakhim dan Anna. Dalam versi Al-Qur’an Nabi Isa lahir dari seorang perempuan bernama Maryam yang sebelumnya juga belum pernah bersetubuh dengan orang lain. Orang tua Maryam disini adalah keluarga Ali Imran, lalu dijelaskan Maryam dipelihara dan didik Nabi Zakariya yang juga memiliki anak Nabi Yahya (dianggap Yohanes versi Alkitab salah satu 12 murid Yesus), dimana para murid Isa dalam dalam Al-Quran disebut sebagai Hawariyyun.  Bila melihat hal itu, bisa dibilang Zakaria, Yahya dan Isa hidup pada masa yang berdekatan, dijelaskan pula Zakaria dan Yahya meninggal karena dibunuh umat yang menentangnya (umat Yahudi).
-kelahiran Yesus diyakini di sekitar penggembala domba, lalu ditemui (diberkahi) orang Majusi, juga dikatakan pernah dibawa ke Mesir pula saat Herodotus marah setelah ditipu orang Majusi lalu mencari untuk membunuh bayi yang lahir sekitar saat itu. Sementara versi Al-Qur’an Maryam melahirkan seorang diri lalu melahirkan di bawah pohon kurma lalu baru kembali setelah semuanya selesai.
-penyaliban kepada Yesus dalam pandangan umat Kristen dikatakan ditanggung Yesus untuk menebus dosa manusia, walaupun terlihat penyaliban itu keinginan atau akibat orang Yahudi, yang sebelumnya berhasil ditangkap akibat dihianati muridnya(Yudas). Lalu Yesus bangkit dari kematian, selang beberapa lama juga diakui naik ke langit. Sementara dalam pandangan Islam, Nabi Isa tidaklah disalib melainkan Yudas yang diserupakan ), murid yang meghianati Isa untuk ditangkap sementara Isa diangkat ke langit. (bila merujuk film The Passion of Christ bagi yang sudah nonton XD walau ini tidak bisa jadi patokan ya,,,  digambarkan Imam Yahudi pun menurut saya terlihat belum pernah melihat langsung Yesus sebelumnya, hanya berdasar kabar (soalnya belum ada kamera, gambar pada masa itu, bahkan saat penangkapan Yesus, tentaranya bertanya pula siapa yang bernama Yesus).
Dari 3 perbedaan itu, secara jelas terlihat ada perbedaan yang signifikan yakni dalam proses siapa yang disalib sebenarnya, di mana pada akhirnya ada perbedaan pengakuan akan sosok Yesus atau pun Nabi Isa. Umat Islam mengakui Isa sebagai Nabi dan masih hidup karena diangkat ke langit namun tidak mengakui bahwa dia disalib (Isa/ Yesus menurut Kristen), sementara umat Kristiani mengakui Yesus adalah sosok yang disalib dan pada akhirnya diakui sebagai anak Tuhan hingga sosok Tuhan.

Asal Usul Agama Berdasar Teori



Asal Usul Perkembangan Agama
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Agama
Dosen Pengampu : Drs. Muhammad Rifa’i Abduh, M.A.



Disusun Oleh:
Chamid Abdul C.M. (15520001)
Abdul Qodir Abdillah (15520002)
Muhammad Habibul Musthofa (15520003)
Dina Qoyyima (15520004)
Program Studi Studi Agama Agama
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2017/2018
A.    Latar Belakang
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit, a berarti tidak dan gam yang berarti pergi. Dengan begitu, agama berarti tetap di tempat, diwarisi turun-temurun dalam kehidupan manusia. Ada juga yang menyebut agama dengan kata religi. Religi berasal dari bahasa latin, rele-gere yang berarti mengumpulkan atau membaca. Agama merupakan kumpulan cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain, kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seseorang yang beragama tetap terikat oleh hukum yang ditetapkan oleh agama. Dari berbagai definisi mengenai agama tersebut, dapat diklasifikasikan bahwa ada empat hal penting dalam agama., yakni: kekuatan gaib, hubungan dengan Yang Gaib, pemujaan atau penyembahan terhadap Yang Gaib, adanya yang kudus dan suci.[1]
Dalam pembahasan mengenai filsafat agama, tentunya tidak bisa terlepas dari objek material dan objek formal. Ditinjau dari segi objek materiil, objek filsafat agama berdimensi metafisik dan fisik. Dan apabila ditinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama.[2]
Filsafat agama menjadikan tema ketuhanan sebagai fokus utama dalam kajiannya. Karena, tema ketuhanan tersebut merupakan titik tolak dan balik sebuah keyakinan dan kepercayaan manusia kepada yang dianutnya. Maka, penting untuk membahas secara rinci mengenai sejarah asal usul perkembangan agama dari masa ke masa. Sebagaimana terdapat dalam teori E.B. Tylor. Tylor mengatakan bahwa keprcayaan manusia pada awalnya sangat sederhana dan bersahaja menuju pada keprcayaan yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan peradabannya. Sistem kepercayaan manusia yang paling primitif adalah dinamisme dan yang paling tinggi adalah monoteisme.[3]
Dalam studi filsafat agama, konsep perubahan sistem kepercayaan pada yang gaib sangat penting, karena salah satu pokok ajaran agama adalah mengenai adanya zat yang gaib dan suci. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan konsepsi Tuhan, mulai dari animisme, dinamisme,  politeisme, henosteisme dan monoteisme.[4]
B.     Animisme
Kata Animisme berasal dari bahasa latin, yaitu Anima yang berarti roh. Kepercayaaan animism merupakan kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Keyakinan ini banyak di anut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama dan wahyu.Paham animism mempercayai setiap benda di Bumi (laut, gunung, hutan, gua dan tempat tertentu) mempunyai jiwa yang mesti di hormati agar tidak mengganggu manusia bahkan membantu dalam kehidupan.
Menurut Paham primitif Roh adalah materi yang sangat halus yang memiliki sifat, bentuk, umur, dan mampu makan, itu semua berbeda dengan apa pengertian roh dalam paham modern. Suatu contoh dari masyarakat Nias, mereka mempercayai bahwa tikus yang sering keluar dan masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang sudah meninggal dalam keadaan melahirkan. Selain itu, anggapan masyarakat primitif adalah, bahwa roh mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa senang dan susah. Bisa marah dan membahayakan manusia.
E.B Taylor berpendapat bahwa agama primitif timbul dari animism, ada empat proses yang harus di lalui oleh animism untuk di akui sebagai agama primitif:
1.      Masyarakat primitive mengkhayalkan adanya hantu-jiwa (ghost-soul)
2.      Jiwa menampakkan diri
3.      Timbul kepercayaan dalam masyarakat tersebut  bahwa segala sesuatu berjiwa
4.      Dari yang berjiwa itu ada yang menonjol, seperti pohon besar atau batu yang aneh
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitikberatkan pada perkembangan roh manusia.Mulai dari sana, manusia primitive menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang sama maka mereka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia di yakini memiliki roh maka, pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan dan materi-materi lainnya pun juga memiliki roh seperti manusia.

C.    Dinamisme
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti dynamic dan di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti kekuatan, daya, atau kekuasaan. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang di yakini memiliki kekuatan ghaib.
            Dinamisme lahir dari rasa kebergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain yang berada di luar dirinya.Setiap manusia selalu merasa butuh dan berharap pada zat lain yang di anggapnya mampu memberikan pertolongan dengan kekuatan yang di miliknya. Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa setiap benda yang ada di sekeliling manusia mempunyai kekuatan misterius, hal itu mempunyai sebutan berbeda dari masing-masing kelompok, seperti orang Malaynesia menyebutnya mana, orang jepang kami, orang India hari dan Shakti, orang Pigmi di Afrika oudah, dan orang Indian di Amerika wakan, orenda dan maniti. Dalam sejarah dan ilmu perbandingan Agama, kekuatan ghaib biasanya di sebut mana, atau dalam bahasa Indonesia tuah. Mana mempunyai lima sifat, yaitu:
Ø  Berkekuatan
Ø  Tidak dapat di lihat
Ø  Tidak mempunyai tempat yang tetap
Ø  Bisa baik bias buruk
Ø  Bias di control bisa tidak
Tujuan manusia dalam agama yang mempunyai paham Dinamisme adalah memperoleh mana sebanyak-banyaknya, karena mereka percaya bahwa semakin bertambahnya mana semakin terjamin keselamatannya. Tabu adalah sebutan mana yang bisa membawa bahaya dan tidak dapat di control, tabu berarti (pantangan).
Dalam pemikiran masyarakat primitif, tidak begitu jelas perbedaan antara yang spiritual dan materiil, para ahli agama berpendapat bahwa Dinamisme lebih dulu muncul daripada Animisme. Dalam Dinamisme belum ada kepercayaan pada roh orang meninggal yang dapat menjalin persahabatan dengan keluarga yang masih hidup. Kepercayaan demikian baru muncul dalam Animisme. Bukan hanya masyarakat primitif yang percaya dengan Dinamisme dan Animisme namun masih banyak di kalangan masyarakat yang hidup di era globalisasi dan teknologi maju.

D.    Politeisme


Politeisme ialah menyembah banyak tuhan atau dewa. Politeisme juga menyembah pada roh nenek moyang, dimana kadang-kadang roh nenek moyang meningkat menjadi dewa. Perbedaan roh dan dewa sendiri hanya terletak dalam derajat kekuasaan. Dewa dianggap lebih berkuasa, lebih mulia dan tinggi dan penyembahannya lebih umum daripada roh.[1]Politeisme pada dasarnya juga muncul dan berkembang dari animisme yang menyakini akan kekuatan roh gaib. Begitupula muncul dari dinamisme yang menyakini akan benda-benda yang memiliki kekuatan roh gaib. Dimana dari kedua paham ini melahirkan kepercayaan ke dalam berbagai kekuatan gaib yang dijadikan sebagai tuhan.
            Sebagaimana kepercayaan akan adanya roh manusia, dimana ada kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka menghormati dan mengganggap roh nenek moyang berkuasa atas keselamatan hidup manusia. Roh nenek moyang sendiri bertingkat-tingkat, ada roh kepala keluarga dan roh kepala suku. Dimana roh kepala suku ini dianggap lebih tinggi daripada roh-roh lain. Jadi, roh yang paling tinggi dan lebih kuat dijadikan simbol keselamatan.
Begitu pula  dalam animisme, yang mempercayai adanya roh  pada semua benda, semisal roh binatang  dan pohon. Dari sekian benda-benda tersebut, akan ada roh yang kuat sehingga menimbulkan pengaruh besar pada manusia maupun alam. Sehingga roh yang dianggap paling kuat kemudian dijadikan simbol penyembahan dan peribadatan. Juga pada masyarakat dinamisme, benda alam yang memiliki kekuatan melebihi kekuatan manusia disembah dan ditakuti, seperti matahari, gunung, laut dan arus sungai.Dimana penyembahan-penyembahan di atas dalam politeisme akhirnya tidak lagi pada bendanya, akan tetapi diambil abstraksi atau fungsinya dan diberi nama sesuai fungsi yang disembah. Nama sesuai fungsi yang disembah itulah yang disebut dewa. Oleh karena itu, muncul kepercayaan pada beberapa dewa sesuai fungsinya. Seperti ada dewa Adad sebagai pemberi hujan dalam kepercayaan masyarakat Babilonia, ada dewa Ra yang tugasnya menerangi alam dalam kepercayaan Mesir kuno, dan sebagainya.
 Dari hal di atas, bisa diketahui dewa dalam politeisme lebih sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah roh-roh yang disembah pada animisme. Dalam politeisme, fungsi dan sifat dari dewa lebih jelas daripada roh-roh dalam animisme. Ditambah roh dalam animisme belum memiliki kepribadian yang tetap dan bentuknya masih samar-samar. Akan tetapi, roh yang disembah terus menerus dan teratur dapat meningkat derajatnya menjadi dewa. Pada awalnya, dewa-dewa dalam politeisme sendiri mempunyai kedudukan sama. Namun seiring berjalannya waktu, mulai ada dewa yang lebih dimuliakan dan anggapan kepercayaan adanya dewa yang tertinggi.
Sebagaimana suatu masa dalam agama Mesir kuno, dewa Osiris, isterinya dewi Isis, dan anaknya dewa Horus dianggap dewa Trimurti yang dimuliakan di Mesir. Dalam agama weda ada tiga dewa yang dimuliakan, yaitu Indra (dewa kekuatan ganas di alam, seperti petir dan hujan), Mithra (dewa cahaya), dan Varouna (dewa ketertiban alam). Dalam Hindu pula ada tiga yang dihormati, yaitu Brahmana (dewa pencipta), Wisnu (dewa pemelihara), dan Syiwa (dewa perusak). Walaupun Brahman sendiri adalah dianggap dewa tertinggi menurut agama Hindu. Lalu dalam mitologi Yunani kuno pula Zeus dianggap sebagai dewa yang paling tinggi dan tinggal di Gunung Olympus. Walaupun menurut mitologi Yunani, sebelum Zeus lahir sudah ada dewa-dewi Yunani, tetapi derajatnya belum jelas dan masih dalam masa kekacauan serta tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sementara Zeus sendiri dianggap dewa yang mengubah keadaan kacau menjadi tenang. Oleh karenanya, masyarakat Yunani menganggap Zeus sebagai raja para dewa dan manusia.
Dalam politeisme, walaupun terlihat memuliakan satu dewa atau tiga dewa, bukan berarti dewa-dewa yang lain tidak diakui. Dewa-dewa yang lain itu tetap diakui, akan tetapi tidak semulia dan setinggi dewa yang utama. Dewa-dewa yang itu tetap dibutuhkan apalagi ketika menghadapi hal-hal khusus, seperti meminta hujan kepada dewa hujan ketika musim kemarau datang. Terlihat politeisme ini terdapat pertentangan tugas antara dewa yang satu dengan dewa yang lain. Dimana dewa-dewa yang demikian tidak selamanya mengadakan kerja sama. Contohnya, dewa kemarau bertentangan dengan dewa hujan. Oleh karena itu, jika penganut politeisme meminta hujan tidak cukup hanya berdoa kepada dewa hujan, tetapi juga harus berdoa kepada dewa kemarau agar dia jangan menghalangi dewa hujan. Dimana hal itu terkesan merepotkan bagi yang tidak terbiasa dengan sistem kepercayaan ini.
Lalu dalam politeisme, tuhan atau dewa dapat bertambah dan berkurang. Seseorang politeis ketika melihat sesuatu/peristiwa yang aneh dia akan berkata “oh tuhan baru sudah muncul”, sebagaimana dalam masyarakat ini sesuatu yang bersifat misterius segera didewakan. Sebagaimana misalnya dalam masyarakat Yunani Kuno, pelangi dianggap sebagai akibat bidadari atau dewa yang sedang mandi. Kemudian lambat laun tidak dianggap lagi, karena dianggap hanya sebagai gejala alam biasa. Hal itulah yang menyebabakan bagaimana dewa dapat bertambah maupun berkurang, dan hal itulah yang menyebabkan pertentangan dalam pemikiran seseorang terhadap kepercayaan politeisme. Oleh karena itu, masyarakat yang memikirkan hal tersebut akan mencari penjelasan yang lebih menyeluruh,tidak bertentangan dan merepotkan. Dimana pada akhirnya, kepercayaan terhadap satu dewa atau tuhan (enoteisme / monoteisme) dapat menjadi penjelasan akan hal-hal tersebut.



[1] Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama, cet. 1, (jakarta:Rajawali, 1986), hlm. 33

E.     Henoteisme dan Monoteisme
Henoteisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya banyak Tuhan, tetapi hanya mengakui satu Tuhan tunggal sebagai yang disembah. Bentuk kepercayaan ini mulai berkembang sebab dirasa system kepercayaan politeisme masih kurang memuaskan. Orang-orang mulai berpikir bahwa kepercayaan terhadap satu Tuhan itu dirasa lebih memuaskan dan masuk akal. Maka dari sini, mulai timbul kepercayaan yang lebih mengutamakan satu dewa diantara dewa-dewa yang lain. Sebagai contoh, Zeus dalam agama Yunani dan Brahmana dalam agama Hindu.
Sistem kepercayaan yang mengutamakan satu Tuhan (dewa) dalam suatu agama ini bisa meningkat menjadi paham Tuhan tunggal. Dengan kata lain, Tuhan yang utama tersebut merupakan Tuhan satu dan untuk satu bangsa. Namun, ini masih disebut sebagai henoteisme atau monolatry, karena paham tersebut masih mengakui Tuhan-Tuhan agama lain yang berbeda. Paham satu Tuhan disini, biasanya digunakan untuk mempersatukan bangsa dan memperkuat rasa nasionalisme. Sebagai contoh yang menganut paham ini adalah agama Yahudi.[5]
Paham teologi agama Yahudi menonjolkan Tuhan yang bersifat kebangsaan, sehingga menimbulkan rasa sombong dalam diri mereka. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa bangsa merekalah satu-satunya yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang-orang selain dari bangsa mereka.
Perkembangan selanjutnya dari henoteisme ini adalah monoteisme. Yang disebut sebagai monoteisme adalah apabila Tuhan-Tuhan asing yang disangka musuh atau saingan itu tidak diakui lagi, dan hanya tinggal satu Tuhan untuk seluruh alam. Sebagai contoh dalam paham monoteisme ini adalah agama Islam dan Kristen.[6] Tapi, menurut hemat penulis, hanya Dalam Islam yang mengusung monoteisme, sebab Kristen mengusung Trinitas.
F.     Kesimpulan

Simpulkan sendiri ya XD

Daftar Pustaka



[1] Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), hlm 10
[2] Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 16
[3] Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 74
[4] Dedi Suoriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, hlm 75
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta:Lolos Wacana Ilmu,1997), hlm 72-73

[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hlm 73-74

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...