Tips efektif untuk memimpin rapat



 ditranslate dari file berbahasa inggris dibawah ini:
download
Rapat yang berjalan secara efektif akan memungkinkan manajer(Bos,pemimpin,ketua rapat, dsb) dalam penyelesaian capaian dalam waktu rapat yang lebih singkat, yakni dengan ikut memanfaatkan dan menambah  keterlibatan seluruh anggota kelompok dan menerima semua masukannya.Maka, rapat bisa dipersingkat waktunya, jika ada fokus (hasil/tujuan rapat), anggota yang tepat, atau alat fasilitasi yang efektif. Di sisi lain, itu semua bisa menjadi cara yang sangat efisien untuk menyelesaikan dengan cepat sesuatu tugas/pekerjaan, untuk mendukung pembentukan sebuah lingkungan tim, dan untuk memungkinkan mengkolaborasi/bekerja sama beberapa orang-orang kunci untuk menghasilkan lebih baik hasilnya, daripada yang mungkin hanya bekerja secara mandiri.
Dimana ada beberapa langkah penting untuk fasilitasi capaian rapat yang sukses:
1.      Rapat dengan sebuah tujuan
Supaya rapat memiliki tujuan,walaupun mungkin kita hanya menjadi anggota, bila ingin berkontribusi dan rapat ingin berjalan sukses, alangkah baiknya jika dalam rapat kita memperisapkan hal-hal berikut:
• Jika Anda memerlukan informasi dari grup (misalnya Anda diberi/dipilih tugas/tanggung jawab dalam rapat sebelumnya, tapi anda memiliki masalah dalam tugas), tetapkan agenda yang jelas dengan pertanyaan kunci sebelumnya di rapat yang akan diadakan selanjutnya.
• Jika Anda ingin berbagi informasi, buat draf garis besar poin-poin penting Anda.
• Jika Anda hanya ingin membuat kelompok/tim kita dalam rapat solid, aturlah agar lingkungan interaktif itu sangat dianjurkan.
2. Komunikasikan tujuan rapat atau khususnya tugas/agenda anda dalam rapat
Yakni dengan:
• Sekarang, beritahu orang lain tugas/keinginan/tujuan rapat anda ! Pastikan lebih awal semua peserta mengetahui berapa lama deadline pertemuan akan berlangsung,di mana itu akan diadakan, dan informasi apa yang harus dibahas.

• Pastikan untuk memberi tahu semua peserta kelompok  apa tujuan dari tiap pertemuan tersebut sehingga diharapkan agar bisa dipersiapkan.
• Misal hanya karena Anda yang telah berinisiatif/menelepon untuk rapat tidak berarti Anda satu-satunya yang harus melakukan pembicaraan.
• Memungkinkan orang untuk berpartisipasi-berbagi informasi yang relevan sebelumnya, akan memastikan mereka datang, siap untuk berkontribusi, dan mengambil sorotan dari Anda pada saat bersamaan.
3. Siapkan Bahan pendukung, yakni:
• Siapkan bahan pendukung yang sesuai.
• Jika ini adalah sesi pengumpulan informasi misalnya, bawalah formulir atau alat untuk penyelesaiannya.
• Siapkan apapun yang akan mendukung untuk komunikasi poin-poin penting rapat Anda, kumpulkan informasi yang dibutuhkan, atau Lakukan penataan diskusi harus disertakan untuk menciptakan pengertian yang lebih kuat bahwa waktu setiap orang diberi kesempatan dengan baik.
4. Pastikan semua orang hadir untuk suatu tujuan
Harap pastikan bahwa setiap individu yang diundang ke pertemuan tersebut ada karena suatu alasan. Lebih penting lagi pastikan bahwa setiap peserta memahami dengan jelas peran spesifiknya. Saat merencanakan pertemuan Anda harus mempertimbangkan peran anggota tim, yakni dengan melihat/memikirkan:
• Bagaimana mereka bisa berkontribusi?
• Apakah mereka memiliki informasi penting, keterampilan, pengalaman yang dapat Anda manfaatkan dalam pertemuan tersebut?
Lalu, bantu mereka merasa berguna dengan membiarkan mereka mengetahui peran penting yang Anda inginkan untuk dimainkan. Karena, itu juga membantu dalam menjalankan rapat yang efektif, untuk menetapkan peran manajemen pertemuan sebelum Anda memulai rapat.
Inilah setidaknya yang Anda harus perlukan beberapa peran fasilitasi pertemuan yang spesifik, yakni mencakup:
 juru tulis: untuk merekam informasi penting, dan rapat tiap menit
 Peranti Whiteboard/semacam papan tulis/monitor, dsb: untuk menangkap/menulis poin-poin penting, pertanyaan secara visual di papan tulis.
 Pencatat waktu/semacam moderator: untuk terus mengikuti agenda, mengatur waktu tanya jawab, dsb
 "Pelaku setan"/ semacam orang yang bertugas menyemangati jalannya rapat: seandainya kelompok itu cenderung selalu setuju dengan semua saran,diam saja. Mungkin saja ini membantu (dan menyenangkan) untuk menetapkan seseorang untuk bermain sebagai “pelaku setan” semata-mata dengan tujuan menciptakan kreativitas, debat dan diskusi.
5. Hasil / kesepakatan ditangkap dan ditinjau
Sebelum Anda/Kita mengakhiri rapat, tinjau kembali item tindakan yang disepakati, bersama dengan siapa pihak yang bertanggung jawab untuk setiap item, sebagaiamana yang dibahas dalam rapat tersebut.Dan Jika Anda telah menugaskan juru tulis pertemuan atau perekam flipchart sebelumnya, maka langkah ini seharusnya relatif sederhana.
6. Langkah selanjutnya didefinisikan/diputuskan, Yakni dengan:
• Diskusikan kerangka waktu untuk menyelesaikan item tindakan, dan juga pastikan untuk meninjau langkah selanjutnya.
• Tetapkan harapan sekarang untuk pertemuan tindak lanjut, jika perlu. Misalnya menetapkan tugas mencari dana penting untuk mendukung tujuan rapat.
• Biarkan semua orang tahu apa yang Anda antisipasi dan perlu dicakup dalam pertemuan berikutnya.
7. Tunjukkan apresiasi anda, yakni dengan:
• Setiap waktu seseorang berharga. Jadi, pastikan untuk berterima kasih atas partisipasi mereka dan kontribusi.
• Memotivasi peserta kunci dengan memberi tahu mereka setelah pertemuan betapa membantu kontribusi mereka saat sedang rapat.
• Ini akan membantu memastikan bahwa pada saat Anda perlu mengadakan rapat, Anda akan menemukan siapkah peserta yang bersedia menjalankan tugas.
8. Renungkan proses Anda, Yakni dengan:
• Identifikasi apa yang berjalan dengan baik, dan apa yang tidak.
• Belajarlah dari pengalaman Anda dan temukan cara untuk memperbaiki diri saat Anda melangkah maju.

Islamis, Pancasilais hingga Sekuler dan Harmonisasi Ideologi Pancasila di Indonesia



Fenomena aksi bela Islam pada 4 November 2016 dan aksi bela Islam 2 Desember 2016, bisa dibilang merupakan  naiknya dinamika ketegangan antara golongan umat Islam Indonesia dan aparatur pemerintah. Dimana mulai terjadi lagi perbenturan ideologi yang sebelumnya cukup terintegrasi dan terkoneksi menjadi goyah akibat fenomena tersebut. Aksi bela Islam tersebut diikuti banyak kalangan umat Islam, terutama mereka yang bergabung dalam kelompok organisasi agama Islam seperti FPI, MMI, HTI dan sebagainya yang kebanyakan tergolong wajah ormas Islam baru.[i] Kegaduhan di masyarakat pun tidak dapat dihindarkan, masyarakat Indonesia bahkan sampai Internasional  menyorot fenomena tersebut.  Isu-isu seperti intoleransi, SARA banyak disematkan pada kelompok masyarkat yang mendukung aksi itu. Dari fenomena itu, lalu mempengaruhi citra bangsa Indonesia dalam menanggapi isu-isu intoleransi dan SARA di mata Media Internasional.
            Media Intenasional ramai-ramai menuliskan berita perihal fenomena tersebut, apalagi atas diberikan hukuman 2 tahun penjara terhadap tersangka kasus penista agama. Dunia Internasional seakan-akan menarik kembali penghargaannya atas negara Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.[ii] Oleh karenanya,  banyak media di dunia Internasional mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Dimana sebelumnya negara Indonesia sudah dikenal akan kemajemukan berbagai suku, agama, tradisi dan adat istiadatnya, sebagaimana terlegitimasi dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Maka, kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia saat itu pun terus menerus  menarik banyak perhatian masyarakat dan media. Pemerintah Indonesia pun mulai mengambil tindakan tegas atas krisis yang menyangkut demokrasi di Indonesia ini. Fenomena aksi bela Islam 411 bisa dibilang krisis demokrasi, sebagaimana telah disebutkan yakni menyangkut perbenturan ideologi antara Pancasila dan Islam. Ketegasan Pemerintah mulai tampak jelas pasca Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah keblablasan.[iii] Entah berkaitan atau tidak, tak lama hal itu dibuktikan dengan pembubaran dan pelarangan kegiatan organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia oleh Pemerintah Indonesia melalui jumpa pers Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto pada Rabu,12 Juli 2017.[iv] Dimana Ormas HTI terindikasi bertentangan dengan Perppu no. 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU no. 17 tahun 2013 tentang  organisasi kemasyarakatan.
            Di era modern ini, mau tidak mau kita akan bertemu dengan arus globalisasi. Kemajuan iptek akibat “kontak teknologi” menjadi bukti akan hal tersebut, kemajuan-kemajuan tersebut tentunya bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan kata lain, kontak adat, budaya, ideologi, agama dan sebagainya sejatinya lumrah terjadi, namun dalam permasalahannya ada sisi yang secara tegas tidak dapat diganggu gugat, baik itu dalam adat, budaya, ideologi maupun agama. Dimana sisi itu bisa tergambarkan dalam masalah truth claim agama[v], hanya agamanya lah yang diyakini paling benar (truth claim). Sering kali, turth claim konteks superioritas pemikiran teologis tersebut, bila mengingkari realitas sosial dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang lain akan mengurangi wibawa dari ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kontekstualisasi ajaran agama dalam ruang dan waktu zaman guna kepentingan kemanusiaan.
Agama dalam konteks kemanusiaan, bila dibiarkan secara politis dan sosiologis tanpa adanya kontrol (dari luar maupun dalam) akan cenderung menumbuhkan sikap fanatis dan dogmatis.[vi] Di masa lalu Islam, selepas kepergian Nabi Muhammad SAW, Ijtihad para sahabat nabi (ahli agama) mampu menjadi sumber (pengontrol) keagamaan masyarakat sebagaimana contohnya usaha kodefikasi Al-Quran di zaman Usman bin Afffan. Lalu di masa Islam Umayyah dan Abbasiyah, hadirnya pemikiran filsafat Yunani menjadi sumber luar (pengontrol) keagamaan umat Islam, dimana saat itu sangat dibutuhkan akibat sebelumnya muncul perdebatan pemikiran aliran di dalam intern umat Islam (Khawarij, Mu’tazilah, dsb) serta juga dibutuhkan guna membantu untuk counter  balik bagian pemikiran yang destruktif dari luar itu sendiri.
Dari masa lalu Islam itu, terbukti dalam masalah historis kemanusiaan, Islam mampu mengakulturasi berbagai lokalitas falsafah dan pemikiran saat itu- termasuk filsafat- guna mengatasi tantangan zaman itu. Dalam konteks Indonesia, para walisanga mampu mengadopsi lokalitas sehingga tersebarnya ajaran Islam di Indonesia. Di masa sekarang yang semakin kompleks, konteks lokalitas Islam arab tentunya kurang pas di Indonesia,  penggunaan filsafat sebagaimana masa lalu (di masa sekarang ilmu pengetahuan modern) tentu juga masih kurang dengan konteks Indonesia, karena itu perlunya disarikan dalam lokalitas Indonesia, dimana dalam bernegara telah ditetapkan Pancasila sebagai pedoman bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, sebagai umat Islam (begitu pula umat lainnya), sebagai muslim tentunya tidak boleh  menanggalkan jiwa Islami. Oleh karena itu, dengan cara-cara bermartabat, memahami arti bernegara dan berbangsa, kita harus mampu mensarikan nilai-nilai Islam di dalam Pancasila guna kepentingan bersama  sebagaimana umat Islam terdahulu juga mengkontekstualisasikan (mensarikan nilai-nilai Islam) dengan lokalitas zamannya.
Nuansa Islamis, Pancasilais hingga Sekuler  di Indonesia
Merunut SK pembubaran ormas HTI,[vii] pembubaran semacam ormas di Indonesia sendiri sebenarnya juga sudah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Semisal di masa orde lama ada pembubaran partai politik yakni Masyumi dan PSI lalu di masa orde baru ada pembubaran partai PKI. Pembubaran semacam ormas dan partai politik di atas terbilang cukup kontroversial karena sebelumnya sudah diakui oleh negara tetapi akhirnya dilarang atau dibubarkan. Selain  itu ada pula pembubaran dan pelarangan  aliran keagamaan yang dinyatakan sesat semacam Gafatar dan Salamullah, padahal banyak pula aliran kepercayaan lokal yang tentunya sering dianggap sesat bagi golongan 6 agama yang diakui negara Indonesia. Hal di atas telah menunjukkan dimana dasar negara Pancasila Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika pertemuan, perbenturan, dan pertentangan dengan ideologi, ajaran, dan hal-hal yang ada dalam perkembangan masyarakat.
Kembali ke ranah agama Islam, berdasar sejarah awal berdirinya negara Indonesia, dasar negara Pancasila sudah ditetapkan sejak berdirinya negara Republik Indonesia, lalu banyak peran dari orang Islam sebagai bagian terbentuknya dasar negara Pancasila. Bahkan jauh sebelumnya, dimana umat Islam Indonesia telah banyak berjuang mengusir penjajahan Hindia Belanda sampai akhirnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Tokoh Islam seperti Pangeran Diponegoro (1785-1855), Tuanku Imam Bonjol (1772-1864), Cut Nyak Dhien (1848-1908) dan tokoh Islam lainnya tidak dapat dipungkiri telah menjadi benih pijakan dalam perjuangan pengusiran penjajahan walaupun perjuangan mereka sebatas dalam skala lokal. Lalu di masa kemerdekan, telah banyak tokoh Islam yang berkumpul guna membahas kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajahan serta usaha merumuskan dasar-dasar negara. Dimana kini sudah tertuang dalam bentuk UUD 1945 sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam sejarah masa awal kemerdekaan, Ir Soekarno memiliki ide gabungan nasakom (nasionalis,agama dan komunis) cetusan dalam partainya. Dalam usaha perumusan dasar negara, beliau pun menyumbangkan rumusan dasar negara serta  usulan nama Pancasila. Setelah itu, dengan musyawarah serta mengkombinasikan berbagai usulan rumusan dasar negara dari para tokoh pendiri negara lainnya, terbentuklah pembukaan UUD 1945. Selain itu, sebagai ketua panitia sembilan tak lama terpilihlah Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan serta sebagai presiden pertama RI karena dianggap paling cocok dan mampu menyatukan berbagai golongan, dimana saat masa kemerdekaan hingga kepemimpinannya, masih ada kegaduhan politik hingga ideologi. Sebagaimana awal pemerintahannya terjadi perubahan dasar negara sehari setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana dalam kondisi itu, beliau mencoba mengakomodir berbagai golongan, yang saat itu terjadi polemik ideologi dalam masa awal kemerdekaan Indonesia.
Dari pergumulan panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu kesepakatan bersama dengan merumuskan suatu gentlements agreement tentang Pembukaan Undang-undang Dasar yang oleh Yamin dokumen ini dinamakan Piagam Jakarta – The Jakarta Charter.  Dalam Piagam Jakarta ini tujuh kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” masih ada.  Ini bisa berarti keinginan kelompok Islam sampai pada detik itu paling tidak cukup terakomodasi dan bisa dianggap sebagai kemenangan politik kelompok Islam. Kemenangan kubu umat Islam ini berubah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia merdeka, dalam rapat PPKI akhirnya 7 kata tersebut diganti menjadi “ketuhanan yang maha Esa”. Dimana sebelumnya atas keberatan dari kelompok nasionalis dan orang Kristen dari Indonesia bagian Timur tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut harus dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945. Peristiwa tersebut menyebabkan sejumlah kelompok Islam merasa dikhianati.[viii] Hal ini oleh generasi Islam berikutnya dipandang sebagai kekalahan dan kelemahan politik wakil-wakil umat Islam.
Pasca peristiwa itu, bentuk kekecewaan awal umat Islam pada keputusan tersebut lalu muncul kepermukaan dalam bentuk pemberontakan di beberapa daerah dengan tujuan mendirikan negara Islam.  Misalnya, di Jawa Barat Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Lalu Kahar Muzakar mengadakan pemberontakan di Sulawesi Selatan pada tahun 1952 dan Daud Beure’eh memproklamasikan Negara Islam di Aceh sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo.  Namun, pemberontakan-pemberontakan fisik ini justru semakin melemahkan perjuangan politik Islam dan menguntungkan bagi kelompok abangan dan Kristen serta pemerintah RI tentunya karena penguasa selalu curiga terhadap politik Islam. Hal ini tampakpada kebijakan militer saat itu, selain memerangi kekuatan yang dianggap “ekstrim kiri”(komunis) juga “ekstrim kanan”(separatis Muslim).[ix] Hingga masa reformasi kini, terlihat perjuangan politik Islam Indonesia masih ada, sebagaimana mereka  seperti memperjuangkan para pendahulu sebelumnya walaupun dengan cara yang berbeda-beda.
Saat masa orde lama, usaha pemberontakan-pemberontakan di kalangan umat Islam dapat diatasi. Terbukti dengan dapat diatasinya para tokoh seperti Kartosuwiryo (dihukum mati), Kahar Muzakkar (tertembak mati) dan lain sebagainya. Selain itu, banyak juga tokoh Islam yang bergerak dalam partai politik dijebloskan ke penjara seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusesmito (Masyumi), Sutan Syahrir (PSI) dan lain sebagainya karena dianggap bersebrangan dalam pandangan politik. Sayangnya di masa orde lama, pemberontakan dikalangan PKI tidak dapat diatasi sebagaiamana akhirnya terjadi demo Tritura (1966) dan barulah di masa pemerintah selanjutnya, PKI dapat ditumpas dengan dibantu rakyat, terkhusus kelompok umat Islam. Dimana karena kelompok Islam santri juga mengalami ketegangan dalam bentuk konflik fisik dengan kelompok abangan pendukung PKI yang sudah terjadi sejak September 1948.  Pada tahun itu para milisi-milisi PKI membantai para pejabat yang terkait dengan Masyumi dan PNI.[x]  Walaupun demikian, terlihat selama orde lama politik Islam tidak juga menjadi sangat diuntungkan. Usaha depolitisasi Islam tetap nampak,  para tokoh Islam yang berseberangan dengan pemerintah dicekal hingga dijebloskan penjara meskipun dinamika ketegangan keagamaan saat itu mulai lebih diperhatikan dan diakomodasi.
Sebagaimana pada masa orde baru, pemerintah RI saat itu mengambil tindakan, bermula juga dari munculnya berbagai ketegangan antar berbagai agama terutama antara Islam dan Kristen/Katolik di beberapa daerah (dimana banyak dugaan adanya kristenisasi, yakni kelompok Islam abangan yang pro PKI pindah agama), maka diselenggarakan[xi] Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967 oleh Pemerintah dan berlangsung di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta. Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut juga memberikan pokok-pokok pikiran yang mendasar tentang perlunya tata cara atau dapat dianggap sebagai pokok-pokok kode etik penyiaran agama, dan keharusan mematuhi ketentuan hukum dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden mengharapkan semua pemuka agama dan masyarakat: “Benar-benar melaksanakan jiwa dan semangat toleransi yang jelas diajarkan oleh setiap agama dan Pancasila”.
Pada masa orde baru, pemerintah mengusahakan pertemuan dan konsultasi dengan pemimpin agama-agama di Indonesia. lalu dibentuk Wadah Musyawarah Umat Beragama (WMAUB), serta hasilnya melalui menteri Agama dikeluarkan SK Menteri Agama N0. 35 tahun 1980, setelah 13 tahun lalu diadakan Musyawarah Antar Agama yang pertama tanggal 30 November tahun 1967.[xii] Setelah itu, keberadaan organisasi kemasyarakatan pada umumnya dan ormas keagamaan pada khususnya di Indonesia didukung oleh konstitusi (UUD 1945) dan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta aturan pelaksanaannya, PP No. 18 Tahun 1986, yakni dalam rangka memberikan ruang bebas bagi penyaluran pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia. Pemerintah juga sangat mendukung keberadaan organisasi kemasyarakatan, yang melaluinya masyarakat dapat diikutsertakan secara aktif dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat pentingnya peranan organisasi kemasyarakatan tersebut dan dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional; pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[xiii]
Sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru, mengikuti  kebutuhan dinamika perkembangan zaman, akhirnya muncul juga peraturan lainnya seperti contoh [xiv]1) Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/1965, tanggal 25 Januari 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama beserta penjelasannya, yang kemudian  disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969, 2) Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB) Nomor 1 Tahun 1979, tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama  dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, 3) Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1979, tanggal 27 September 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Kepala Badan Litbang Agama, Inspektur Jenderal, Kepala Kantor Departemen Agama (Kemenag) Provinsi, Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri (Kemendagri), BAKIN dan aparatur Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lain sejenisnya.
Pada masa reformasi, mengikuti juga dinamika perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa, dalam masalah  keagamaan beberapa peraturan tambahan ataupun pembaharuan  dikeluarkan pemerintahan selanjutnya seperti; 1) Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006 yang ditandatangani oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. PBM yang sebenarnya nama lain dari SKB (minus Kejaksaan agung) ini mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat. 2) SKB Menteri Agama, Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 terkait peringatan pemerintah terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia(JAI). 3) Surat Edaran Sekjen Kemenag Nomor SJ/B.V/BA.01.2/2164/2007 tentang kewaspadaan terhadap aliran sempalan dan SJ/B.V/HK.0071.08/2014 tentang Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia, dan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial yang terkait faham keagamaan yang memicu konflik sosial. Bahkan di dalam Pasal 165 KUHP sendiri telah ada pasal-pasal yang mencegah kekerasan dan hasutan kebencian (hate speech) berdasarkan agama atau latar belakang lainnya. Dan 4) SKB Menteri Agama, Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 93 Tentang Kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pada 26 Februari 2016.[xv] Dan pada tahun 2017, lagi-lagi pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yakni Perppu no 2 tahun 2017. Tentang organisasi kemasyarakatan, dimana dalam aturan yang baru itu, organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) termasuk organisasi terlarang di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila, meskipun sebelumnya sejak tahun 2014 menjadi organisasi legal yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) republik Indonesia.
Harmonisasi Ideologi Pancasila di Indonesia
Semenjak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia, telah banyak usaha para negarawan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang benar-benar membumi di Nusantara. Karena sejatinya, nilai-nilai filosofis dari pancasila berakar dari falsafah masyarakat Indonesia sendiri. Boleh jadi nama Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Garuda sudah ada sejak zaman Hindu Buddha di Indonesia sebagaimana contoh kata-kata “Bhineka tunggal ika” telah ada dalam sastra Sutasoma. Akan tetapi, perlu diketahui dasar negara Pancasila lahir pada tahun 1945, dimana lahir  dari berbagai keragaman untuk persatuan. Dimana tidak ada nilai-nilai dalam Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam.  Masa Kemerdekaan dan orde lama, dasar negara telah dibentuk, Pancasila telah ditetapkan sebagai nama dari ideologi dasar negara Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan pancasila dalam program P4 yakni pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila serta pada masa reformasi ideologi Pancasila dikontektualisasi kembali guna mampu mengatasi tantangan zaman saat ini agar tetap menjadi ideologi yang terbuka dan berkeadilan.
Namun sejak awal hingga kini, dalam sebagian kalangan umat Islam sendiri masih banyak yang mempersoalkan masalah “kelegalan pancasila” di dalam diri umat Islam. Dari nama pancasila sendiri sudah memperbanyak  alasan untuk menjegal pancasila berdampingan dengan Islam. Sebagaimana mungkin kita tahu, Pancasila dianggap bukan berasal dari Islam, lalu ada kekhawatiran dari kalangan umat Islam tak terkecuali mungkin umat agama lain, seakan-akan Pancasila itu akan menggantikan posisi agama terkhusus dalam masalah bersosial dan bermasyarakat. Sebagaimana contoh, masih ada anggapan bahwa penghormatan terhadap bendera merah putih akan menggangu bahkan menjadikan keimanan seseorang terhadap tuhan akan berubah, mereka yang demikian akan dianggap menyekutukan tuhan. Oleh karenanya, baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia masih harus terus melakukan pemahaman bahwa pancasila tidak bertentangan dengan agama, terkhusus juga dalam umat Islam. Para negarawan, agamawan, budayawan, dan tokoh-tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri harus bisa menginternalisasikan nilai-nilai pancasila, mendialogkan dengan nilai-nilai agama demi membumikan pancasila di masyarakat serta akhirnya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap harmonis dan dinamis.
 Tentu saja membuminya pancasila sebagai dasar negara Indonesia  dikarenakan ada pengaruh ruh ataupun spirit dari Bhineka Tunggal Ika. Dimana, di masa lalu spirit Bhineka Tunggal Ika ini sudah terbukti mampu mengharmonisasikan kehidupan masyarakat Nusantara kala itu. Pada masa kerajaan Majapahit sudah terjadi harmonisasi antara Buddha dan Hindu Siwa di Nusantara. Hal itu dibuktikan dalam teks Kakawin Sutasoma, pada masa Majapahit, yakni : Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, Bhineka rakwa ring apan parwanosen, Mangkang jinatwa kalwan siwatatwa tunggal, Bhineka Tunggal Ika tan hana dharmma magrwa.( Dikatakan bahwa Buddha dan Syiwa berbeda, memang berbeda tetapi bagaimana membedakan sekilas, karena kebenaran Buddha dan Syiwa itu tunggal, berbeda tapi manunggal tanpa mencampur antar dharma).[xvi] Keharmonisan antara Buddha dan Siwa telah memahamkan kita bahwa falsafah nusantara ini harus kita pertahankan, bagaimana tidak, Buddha dan Siwa yang di kawasan India yang sering berseteru berbanding terbalik di Nusantara yang mampu berdamai berkat falsafah nusantara ini. Karenanya,  di era bernegara sekarang, tidak hanya antar dua golongan ataupun agama, falsafah Bhineka Tunggal Ika yang telah disarikan menjadi salah satu empat pilar kebangsaan Indonesia diharapkan selalu mampu mengharmonisasikan berbagai golongan dan agama di tengah ancaman konflik dan perseturan yang bisa datang kapan saja.
Barang kali dalam kalangan umat beragama masih ada anggapan bahwa Pancasila adalah perwujudan dari thoghut ataupun sinkertisme. Yang mana itu mengacu pada falsafah Bhineka Tunggal Ika yang mengambil makna dari satu kompleksanya tempat Ibadah antara candi Hindu dan Buddha di kawasan Prambanan. Hal tersebut mungkin saja tidak salah akan tetapi lebih tepat sinkertisasi ini dalam artian harmonisasi dalam urusan bermasyarakat yang kompleks. Pancasila adalah konsensus bersama masyarakat Indonesia, konsensus Pancasila ini cukup mirip dengan Piagam Madinah pada zaman Nabi Muhammad, banyak peran umat Islam dalam pembentukannya. Piagam Madinah sendiri merupakan konsensus yang ditanda tangani oleh seluruh komponen masyarakat yang terlibat seperti Nasrani, Yahudi, dan Muslim. Piagam Madinah tersebut menunjukkan karakter masyarakat yang majemuk baik ditinjau dari segi asal keturunan, maupun segi budaya dan agama.[xvii] Begitupun dengan Pancasila, yang mewakil seluruh komponen bangsa. Berisi nilai-nilai universal seperti ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan,persatuan, musyawarah dan keadilan sangat bersesuaian dengan nilai-nilai Islam dan mungkin juga dimiliki ajaran agama lainnya.  Oleh karenanya, kita tidak boleh menentang nilai-nilai universal yang telah disepakati bersama, daripada itu, kita bisa merekonstruksi dan mengkontekstualisasi dengan nilai-nilai Islam namun tetap sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.
Sayangnya dalam wajah demokrasi Pancasila di Indonesia, masih ada perbedaan kubu yang ingin memberikan arah demokrasi di Indonesia. kubu pertama adalah mereka yang menginginkan adanya negara berbasiskan demokrasi sekuler. Kubu ini melihat negara-negara Barat sebagai contoh negara demokrasi yang memisahkan urusan agama dengan negara. Sementara kubu kedua adalah mereka yang tidak menganut sistem demokrasi sekuler. Walaupun demokrasi adalah konsep barat, akan tetapi dalam ajaran Islam pun ditemukan beberapa konsep yang sama maksudnya dengan demokrasi ala barat.[xviii] Dari hadirnya dua kubu itu, bisa dibilang falsafah kehidupan masyarakat Indonesia seakan-akan menjadi terlupakan. Kita telah menggunakan cara berpikir ala Barat, lalu beriman dengan ala Timur, itu semua tidaklah salah. Begitupun terlihat Islam mampu berharmonisasi di Indonesia, pengetahuan dan teknologi diterima di Indonesia akan tetapi hasil akhirnya ada perebutan dalam ranah demokrasi, dimana antara Islamis, Pancasilais hingga sekuler.  Ide negara sekuler di Indonesia yang memisahkan urusan agama seakan-akan hanya digunakan untuk sekulerisasi terhadap Islam, apakah negara Barat benar-benar negara sekuler pun masih bisa dipertanyakan. Sementara bila ide negara Islam di Indonesia yang hanya berpatokan dari negara Timur Tengah sejatinya kurang pas dalam konteks keindonesiaan. Jadi, baik ide menjadikan Indonesia negara Islam ala Timur Tengah, maupun menjadikan Indonesia negara sekuler ala Barat perlu disesuaikan kembali dengan dasar negara Pancasila sehingga pas untuk konteks di Indonesia.
Penutup
Terbitnya Perppu no. 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU no. 17 tahun 2013 tentang  organisasi kemasyarakatan merupakan perwujudan dari peran pemerintah menjaga eksistensi ideologi Pancasila. Setiap usaha-usaha dari organisasasi masyarakat (dan sebagainya) yang mencoba menyimpang dari ideologi pancasila akan medapatkan hukuman dan pelarangan. Itulah salah satu cara efektif  dari pemerintah menjaga keutuhan NKRI. Dimana dalam hal ini ada masalah politik Islam antara Islamis dan Pancasilais. Hadirnya Perppu di atas tentunya  bukan berarti politik Islam di Indonesia harus berhenti, namun juga tidak boleh menjadikannya perjuangan politik Islam berubah menjadi cara yang lebih keras dan radikal. Akan tetapi, dapat menjadi pembelajaran ataupun mengintropreksi bahwasanya perjuangan politik Islam harus dengan cara yang sopan dan santun. Cara-cara seperti dengan menebar kebencian, politik uang, politik kepentingan pribadi haruslah dihilangkan, karena sudah jelas tidak berasakan keislaman. Selain itu, perlunya umat Islam kembali melihat tujuan sebenarnya dari politik Islam sendiri, yakni mencapai kemaslahatan umat yang berasaskan keislaman.
Dari hal diatas, umat Islam harus mulai menunjukkan satu suara yakni suara untuk kemaslahatan umat.  Langkah yang harus dilakukan salah satunya memulai persatuan di dalam kalangan umat Islam sendiri, fanatisme buta terhadap kelompok dan aliran harus dihilangkan.  selain itu, umat Islam harus fokus usaha merumuskan kembali dasar-dasar nilai Islam yang dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh dan memajukan kehidupan umat di tengah arus globalisasi. Umat Islam tidak boleh mengabaikan dan hanya menolak secara membabi buta terhadap arus globalisasi. Sebagaimana kita telah dingatkan dalam ayat Al-Qur’an Surah Al-Qasas(28) ayat 77: (Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan).[xix] Dengan demikian pula, umat Islam haruslah didukung dengan mandiri dan penguasaan bidang non-agama seperti mandiri ekonomi, penguasaan ITE,  penguasaan media informasi serta terus melakukan inovasi dan penelitian guna mendukung kemaslahatan umat daripada melakukan hal-hal yang merusak dan mengganggu kedamaian umat manusia.


[i] Arbi Sumandoyo dan Dieqy Hasbi Widhana, Mereka yang Bersatu dan berseteru pada Demo 4 November, https://tirto.id/mereka-yang-bersatu-dan-berseteru-pada-demo-4-november-b1NY. 08 Agustus 2017.
[ii] Indonesia, Negara Demokrasi dan Bertoleransi Tinggi, http://nasional.kompas.com/read/2016/02/11/10222411/Indonesia.Negara.Demokrasi.dan.Bertoleransi.Tinggi. 01 Agustus 2017.
[iv] Pemerintah Bubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia, https://polkam.go.id/pemerintah-bubarkan-ormas-hizbut-tahrir-indonesia/, 06 Agustus 2017.
[v] Mohammmad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012), hlm.18
[vi] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. Ke-5,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 50-51.
[vii] Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencabut Surat Keputusan (SK) Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebagaimana karena 1) HTI tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan Hukum NKRI, 2)Hasil keputusan sinergi berbagai pihak baik politik, hukum dan keamanan, 3) Menindaklanjuti Perppu nomor 2 tahun 2017, 4) kemenkumham memiliki kewenangan legal dalam aturan pengesahan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan (ormas). Lihat di www.kemenkumham.go.id/publikasi/siaran-pers/1342-kewenangan-legal-administratif-kemenkumham-sebagai-tindak-lanjut-perppu-nomor-2-tahun-2017 , 06 Agustus 2017.
[viii] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik, dalam  Jurnal Teologi Indonesia, (Bandung: STT Bandung, 2013) , hlm. 27-28.
[ix] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik, dalam  Jurnal Teologi Indonesia, hlm. 29
[x] Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lamasampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik, dalam  Jurnal Teologi Indonesia, hlm. 30-31.
[xi] Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama  edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm.8
[xii] Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama  edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm. 9
[xiii] Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundangundangan Kerukunan Umat Beragama  edisi ke-11, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), hlm. 28
[xiv] M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola Keragaman dari Dalam, dalam Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia,(Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 124
[xv] M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola Keragaman dari Dalam, dalam Kebebasan, Toleransi, dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia,(Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 125.
[xvi] Al Makin, Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintasan Sejarah Manusia, (Yogyakarta: Suka-Press), hlm. 225.
[xvii] Nurul Muhsisnin, Agama dan Hak Asasi Manusia: Peran Agama Dalam Mewujudkan Civil Society di Indonesia, dalam Antologi Lomba Essai Mahasiswa Nasional Mahasiswa Menggugat (Pemikiran Mahasiswa Menuju Indonesia berdaulat), (Yogyakarta: SEMA UIN Sunan Kalijaga), hlm. 85.
[xviii] Bustaman Ahmad Kamaruzzaman, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 168-169.
[xix] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Q.S. Al-Qasas(28): ayat 77.

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...