Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Agama
Dunia
Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Singgih Basuki, M.A.
Oleh :
Muhammad Habibul Musthofa (15520003)
Dina Qoyyima (15520004)
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016/2017
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sebagai Mahasiswa yang memasuki jurusan Studi
Agama-agama, salah satu komponen dasar yang harus dikuasai yakni mengetahui
sejarah dan bagaimana perkembangan agama-agama di Dunia. Dengan begitu,
mahasiswa akan mampu mengetahui dan memahami agama-agama yang kurang lebih terdiri
dari Agama Kuno, Agama Semit dan non Semit, dan (juga perkembangan) agama baru di
dunia, terutama agama non Semit yang telah ada dan berkembang di dunia dilihat dari
aspek pertumbuhan, penyebaran dan perkembangan ajaran maupun kelembagaannya.
Sementara dalam tulisan ini, kita hanya akan fokus membahas Buddhisme, bagaimana
dalam usia 1500 tahun pertama sejak keberadaannya, Buddhisme berkembang dengan
pesat, yakni di mana Burma (Myanmar), Thailand, Sri Langka, Cina, Korea dan
Jepang memeluk agama ini. Kemudian agama ini tergelincir dalam suatu masa yang
sepi hanya karena suatu kejadian kecil sampai abad ke-20 dimulai. Sekarang
Buddhisme bangun dan mulai tumbuh kembali di berbagai tempat, seperti di banyak
negara Barat.[1] Dengan
demikian, dari pengetahuan yang didapat seperti di atas, mahasiswa akan mampu bersikap kritis,
analitis dan terbuka terhadap eksistensi agama-agama dalam konteks lokal maupun
global.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami menentukan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan ajaran agama Buddha pada awalnya?
2.Seperti apa ajaran-ajaran di dalam agama Buddha tersebut?
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Buddha
Buddha
Gautama lahir sekitar tahun 560 S.M. di taman Lumbini kerajaan Kapilawastu
India Utara, sekitar 100 mil dari Benares. Ayahnya merupakan seorang raja di
kerajaan Kapilawastu yang bernama Suddhodana dan Ibunya bernama Dewi Mahamaya.
Sejak kecil Siddharta selalu hidup dengan dikelilingi kemewahan dan keindahan
dalam kerajaan, dan ayahnya pun tidak membiarkan Siddharta bertemu dengan
hal-hal yang akan mengingatkannya pada penderitaan. Pada usia 16 tahun,
Siddharta menikah dengan putri Yashodhara. Hingga pada usia 29 tahun Siddharta
Gautama meninggalkan istana ketika istrinya melahirkan anak pertama mereka.
Setelah sebelumnya melihat orang tua, orang sakit, orang mati dan seorang
pertapa.
Siddharta
lalu berdiam diri selama tujuh hari tujuh malam di tepi sungai Anoma, kemudian
dia menuju ke Rajagraha ibukota kerajaan Magadha untuk berguru pada orang
brahmana yakni Alarakalama dan Udnaka Ramaputra. Kerena tidak mersa puas dengan
apa yang disampaikan oleh kedua orang brahma tersebut, kemudian Siddharta
kembali pergi menuju hutan Uruwela dan tinggal disana. Selama tinggal di hutan
Uruwela Siddharta berusaha mencapai kesempurnaan diri dengan jalan penyiksaan
diri secara total. Karena usahanya ini, Siddharta kemudian memperoleh lima
orang murid yakni : Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji. Namun karena
cara yang ditempuhnya dirasa tidak membuahkan hasil, Siddharta mulai
meninggalkan penyiksaan dirinya dan kembali hidup layaknya orang normal. Karna
keputusannya ini, Siddharta kemudian ditinggalkan oleh kelima muridnya.
Setelah
beberapa waktu berselang, tepatnya pada malam di bulan Waisak di tepi sungai Neranjana
di bawah pohon Assattha (pohon Bodhi) Siddharta memperoleh pencerahan tertinggi
dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun. Beberapa waktu kemudian, Buddha Gautama
mulai mengajarkan dharma kepada para manusia. Buddha Gautama mulai mengajarkan
dharma ke seluruh penjuru India, dimulai dari Rajagraha ibukota kerajaan
Magadha. Selama 45 tahun ia mengajarkan dharma dan berhasil mendapatkan ribuan
orang pengikut. Buddha Siddharta meninggal pada usia 80 tahun di Kusiwara
sebelah timur Benares.[2]
Ehipassiko dan
Tathagatha
Ajaran
Buddha bukan merupakan sebuah sistem kepercayaan (belief syste). Buddha
selalu mengajar dengan memegang prinip Ehipassiko yang dilandasi oleh
pengalaman pribadi. Ehiopassiko berarti “datang dan buktikanlah sendiri”
Seorang Buddhis tidak diminta untuk mempercayai begitu saja ajaran yang
diterima, tetapi justru untuk mengalaminya sendiri.[3]
Tathagata adalah kata yang oleh Siddhartha Gautama untuk memanggil dirinya sendiri ketika ia masih hidup. Kata ini
memiliki arti, "Ia yang telah pergi" (Tathā-gata) dan atau
"Ia yang telah datang" (Tathā-āgata). Kata ini mungkin juga
dapat diartikan "Ia yang telah menemukan kebenaran".[4]
Seperti perkataan Buddha Gautama kepada salah seorang muridnya saat Sang Buddha
akan meninggal, “Saksikanlah wahai muridku, aku merestuimu”, dan
melanjutkan “Kebusukan adalah sesuatu yang niscaya yang melekat pada segala
sesuatu yang ada. Raihlah pencerahanmu dengan tekun!. Inilah kata-kata terakhir
Tathagata!”[5]
Syarat untuk mencapai tingkat
Tathagatha adalah mempertahankan keadaan Boddhisatva selama 10 ribu tahun. Tathagatha
hanya lahir 2500 tahun sekali, orang yang terpilih menjadi Tathagatha adalah
sumber energi spiritual yang mengayomi orang lain. Kelahiran tatagatha berarti
kelahiran pemimpin baru, yang akan memimpin orang dengan kelebihannya yang
telah terlatih selama 10 ribu tahun.[6]
B.
Sejarah dan Perkembangannya
1.
Masa Perkembangan Awal :Beberapa minggu setelah Budha meninggal dunia, muncul
perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan pengikutnya, terutama karena Budha
tidak meninggalkan ajaran tertulis dan tidak menunjuk seseorang sebagai
penggantinya. Diadakanlah pasamuan guna
membahas masalah-masalah tersebut, terutama menyangkut ajaran (dharma)
dan aturan bagi para bhikkhu (vinaya). Pasamuan tersebut diadakan
di Rajagraha dan dihadiri oleh 500 arahat dengan tujuan utama mengumpulkan
ajaran-ajaran yang telah diwedarkan Buddha dan meyusunnya secara sistematis.
Seratus tahun
kemudian muncul pula kelompok bhikkhu yang menghendaki agar beberapa
aturan dari Vinaya yang mereka anggap keras dan membosankan dirubah dan diperlunak.
Untuk itu, diadakanlah pasamuan agung kedua di Vesali. Pada pertemuan ini
muncul kelompok yang ingin tetap mempertahankan kemurnian Vinaya yang menamakan
diri Stavirada dan kelompok yang menginginkan perubahan-perubahan yang
menamakan diri Mahasanghika[7].
2. Pada masa raja Asoka (272 SM-233 SM) ,
agama Budha berkembang menjadi agama yang berpengaruh di seluruh India. Di
bawah kekuasaan raja ini pula diadakan
pasamuan agung ketiga pada tahun 249 SM di Pataliputa, yang dimaksudkan untuk
meneliti kembali ajaran-ajaran Budha serta mencegah penyelewengan-penyelewengan
yang mengakibatkan perpecahan dalam sangha. Dalam pasamuan agung tersebut mulai
tersusun kitab Abhidharma pitaka yang merupakan bagian dari Tripitaka, serta
tersusunnya kitab Tripitaka sebagaimana sekarang ini, sungguhpun belum
dituliskan dan masih dihafalkan saja.
Diduga pasamuan
ketiga hanya diikuti oleh golongan Theravada saja karena kitab-kitab Mahayana
tidak menyebutkannya. Hal ini menunjukkan adanya perpecahan antara kedua golongan
semakin besar dan luas. Petunjuk perpecahan tersebut semakin terlihat dalam
pelaksanaan pasamuan agung keempat yang berbeda. Theravada menyatakan pasamuan tersebut
diadakan di Aluvihara, Srilangka tahun
83 SM dan memutuskan kitab Tripitaka ditulis untuk pertama kalinya dengan
tujuan agar semua orang mengetahui kemurnian dharma dan vinaya. Golongan
Mahayana menyatakan pasamuan tersebut diadakan pada abad pertama masehi dibawah lindungan raja
Kaniska dari Afganistan. Pasamuan yang tidak dihadiri golongan Theravada ini
bertujuan untuk mempertemukan kembali perbedaan paham antara kedua golongan
tersebut, tapi tidak terlaksana. Bertitik tolak dari pasamuan tersebut,
golongan Mahayana mulai berkembang di India dan mulai ke Tibet dan Tiongkok.
3. Perkembangan
Mahayana: Perkembangan awal Mahayana dimulai awal abad pertama SM hingga
akhir abad ketiga Masehi. Para ahli menganggap bahwa aliran ajaran-ajaran
Mahayana mencerminkan ajaran paling murni dan paling mencerminkan semangat sejati Budha Sakyamuni yang menggabungkan
keyakinan dan praktek Dharma. Kemurnian
tersebut nampak pada sutra dan karya-karya tulis keagamaan (sastra) yang
dihasilkan saat itu. Sutra-sutra awal
mencerminkan pemikiran baru mengenai sifat sejati kebudhaan, praktek Bodhisatva
dan konsep kekosongan (shunyata) yang meliputi segala sesuatu. Para tokoh
Buddhis besar zaman ini adalah Nagarjuna(abad ke- 2/3 M) yang merupakan pendiri
aliran Madhyamika dari Mahayana dan tokoh lainnya, Aryadeva murid Nagarjuna.
4. Pada sekitar
tahun 300 hingga pertengahan abad ketujuh Buddhisme baik Theravada maupun
Mahayana mengembangkan suatu landasan filosofis dan logika yang kuat, untuk
mengimbangi perkembangan intelektual di kalangan agama-agama non Buddhism
khususnya Hinduisme. Ajaran-ajaran filosofis yang dikembangkan adalah mengenai aspirasi untuk mencapai pencerahan
atau pikiran Bodhi(Bodhicitta), sifat sejati kebuddhaan(buddhagotra atau
Tathagatagarbha) yakni benih-benih kebuddhaan yang ada dalam diri setiap makhluk
sehingga memungkinkan mereka semua mencapai kebuddhaan.
Tokoh terkenal
zaman ini kebanyakan dari golongan Yogacara seperti Maitreyanatha (abad ke-3/4
M) yang menulis Yogacarabhumi Sastra, Asanga murid Maitreyanatha yang menulis
Mahayana samgraha. Pada abad ketujuh hingga abad ketiga belas Masehi, terjadi
kecenderungan untuk menerapkan gagasan Buddhis yang rumit ke dalam
symbol-simbol sehingga lebih mudah dipahami. Dimana pada masa ini merupakan
kebangkitan Tantrayana atau Vajrayana. Buddhisme Tantrayana kemudian berkembang
ke Tibet sekitar abad ke-8 diawali lewat datangnya Yang Arya Padmasambhava. Beliau
kemudian mendirikan aliran Topi Merah (Nyingmaapa) yang dianggap sebagai aliran
tertua diantara empat sekte Buddhisme Tibet yang ada. Tokoh besar yang dikenal
lainnya Atisha, yang membangkitkan dan mereformasi kembali Buddhisme Tibet.[8]
C.
Aliran-Aliran dalam Buddha
Aliran-aliran
dalam Budha mulai ada semenjak dua golongan besar, Stavirada dan Mahasanghika,
kemudian aliran ini Stavirada berkembang menjadi Theravada dan Mahasanghika menjadi Mahayana,
berikut aliran-aliran tersebut:
1.
Aliran Theravada
Theravada berasal dari bahasa Pali, yang secara
harfiah dapat berarti “ajaran sesepuh” atau “pengajaran dahulu”. Theravada
merupakan aliran tertua agama Buddha yang masih bertahan hingga saat ini. Theravada merupakan ajaran yang Konservatif,
dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Buddha pada awalnya.
Salah satu pembeda aliran ini dengan Mahayana adalah bahwa Theravada seluruhnya
naskah aliran ini menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di
sebagian India utara pada zaman sang Buddha.[9]
Selain
itu, menaruh pokok ajaran pada disiplin diri dan pencapaian individual dalam
menuju keselamatan (mengatasi sengsara). Pusat perhatian aliran ini arahat,
yang disimbolkan dengan usaha memadamkan nafsu kedagingan dan keinginan dalam
diri individu yang dijalankan dengan usaha sendiri.[10]
2.
Aliran Mahayana
Mahayana berasal dari bahasa Sansekerta yang secara
harfiah bermakna “Kendaraan Besar”. Menurut para sejarawan, aliran ini baru
menjadi gerakan utama di India pada abad ke-5, sejak itu , naskah-naskah
Mahayana mulai muncul dalam catatan prasasti di India. [11]
Aliran ini bertujuan menjadi Bodhisattva yaitu orang yang sudah diterangi yang
menunda menuju Nirvana karena memiliki concern ingin membantu sesama
untuk melenyapkan sengsara. Titik tolaknya bukan pada usaha sendiri dengan
disiplin diri tetapi lebih mempercayakan diri pada Buddha dan para Bodhisattva
yang memberikan bantuan dalam melenyapkan sengsara.
Selain
itu dalam Mahayana, pengertian tentang sang Buddha yang semula hanya dianggap
sebagai manusia yang telah mencapai pencerahan yang tinggi, kemudian berkembang
dan menjadi prinsip universal yang bermanifestasi dalam wujud makhluk-makhluk
luhur Dhyani Buddha. Terjadi pula pergeseran ajaran-ajaran pokok, seperti
Anitya,Anatma dan Hasta Arya Marga. Dua yang pertama menjadi ajaran tentang
sunyata atau kekosongan, yaitu bahwa segala sesuatu di alam semesta ini pada
hakikatnya adalah kekosongan. Ajaran Dukkha tergeser ke belakangan dan berubah
menjadi ajaran tentang kebahagiaan dan kenikmatan di alam surga.
Tokoh
seperti Asvagosa, Cantideva, Nagarjuna. Aryasangha, Aryadewa berjasa dalam
menyebarkan ajaran Mahatan ke berbagai daerah di Asia. Terutama tiga yang
disebut di akhir dipandang sebagai “tiga matahari Mahayana”. Seperti Nagarjuna, dengan kitab Madyamika,
berisi ajaran mistik dan metafisika. Yang terdapat dalam rumusan “delapan
tiada” yaitu tiada pembentukan, tiada penghancuran, tiada pelenyapan, tiada
kekekalan,tiada kesatuan dan keanekaragaman, dan tiada yang datang dan pergi.
Juga tokoh Aryasangha dan Vasubandhu yang mendirikan aliran Yogacara. Inti
ajarannya ialah bahwa segala sesuatu kecuali kesadaran adalah tidak nyata. Yang
Mutlak adalah cita atau pikiran, terutama kalau dilihat dalam seorang yogin
yang apabila berhadapan dengan Yang Mutlak akan melihat dalam bagian hidupnya
yang terdalam satu percikan yang terang.[12]
3.Aliran
Vajrayana
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di
Indonesia lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak
juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra
rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan ajaran yang
berkembang dari ajaran Buddha Mahayana, dan berbeda dalam hal praktek, bukan
dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan
visualisasi.
Istilah "Vajrayana" berasal dari
kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar'
atau 'intan'. Vajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di bumi, maka istilah
Vajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak". Berasal
dari kosa kata Sansekerta "vajra" yang berarti berlian dalam
aspek kekuatannya,atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya. Serta
dari kata "yana" yang berarti wahana atau kereta. Vajrayana
merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti
"Tenun" dalam bhasa Sansekerta,merujuk kepada prakteknya yang
bertahap namun pasti. Adapun tujuan akhir daripada Vajrayana ialah : Mencapai
kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini, di kehidupan
ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung.[13]
4.Buddhayana
Istilah
Buddhayana sebagaimana perpaduan Therawada dan Mahayana diperkenalkan delegasi
Indonesia dalam laporan pada kongres WFB (World Followships Of Buddhis) di
Penang, Malaysia 1996. Thai Dharmaduta (1968) diundang mengajar Theravada bagi
para Bhikkhu dan Samanera. Pada tahun 1970-an sejumlah samaneradi kirim
belajara Mahayana keluar negeri dan menjadi Bhikkhu di sana. Setelah munculnya
Sangha Tantrayana pada 1982, maka muncul pengenalan tiga macam kebaktian
atau dalam Sagin (MBI) mulai dikenal ada tigaaliran, dengan kata lain
Buddhayana yang tidak mengatasnamakan aliran dari masing-masing atau bukan
merupakan suatu aliran ataupun sekte yang berdiri sendiri. Ada dua macam
pengertian Buddhayana yaitu:
1) Buddhayana
adalah pandangan dengan semangat Non-Sectarian sebagai wahana mempersatukan
semua tradisi atau sekte dalam Agama Buddha.
2) Buddhayana
bukanlah sekte, melainkan Agama Buddha itu sendiri.
Pemakaian
istilah Buddhayana yaitu, The Third Annual International Buddhist Seminar di
New York (1974) menginginkan tidak mengklasifikasi ajaran Buddha ke dalam
bermacam-macam yana. Dr Buddhadasa Kirtisinghe mengusulkan sebutan
Ekayana atau Buddhayana dan Dr. Ananda WP Guruge (Unesco) tentang Universal
Buddhism: pakar-pakar Barat menginginkan penggabungan ketiga tradisi, disebut
Triyana atau Buddhayana. Dalam Buddhayana, keanekaragaman & adaptasi bukan
perbedaan dan pemecahbelahan, melainkan membentuk bagian integral.[14]
D.
Inti Ajaran Buddha
1.
Tri Ratna ( Budha-Dharma-Sangha)
Buddha,
Secara
etimologis Buddha berasal dari kata buddh yang artinya bangun atau
bangkit dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah atau awam. Dari
arti epistimologis tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa Buddha adalah
orang yang bersih dari kekotoran bathin yang berupa dosa (kebencian), lobbha
(serakah), dan moha (kegelapan). Berdasarkan pengertian tersebut, Buddha
bukanlah nama diri melainkan suatu gelar kehormatan bagi orang yang telah
mencapai tingkatan spiritual tertentu atau menurut istilah Buddha dharma, yang
telah mencapai pencerahan dan kesadaran atau penerangan tinggi. Untuk masa
sekarang orang yang telah mencapai pencerahan dan gelar tersebut adalah
Siddharta Gautama. Ajaran tentang Buddha menekankan pada bagaimana umat Buddha
memandang Sang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang
dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup. Perkembangan selanjutnya tentang
ajaran tentang Buddha berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi
salah satu cirri ajaran semua agama.[15]
Dharma,
Ajaran
tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi
manusia dalam hidupnya, baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun
hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan, alam semesta, dan segala isinya.[16]
Sangha,
Secara
kelembagaan, umat Buddha dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat
kewirahaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Dalam naskah-naskah
Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala.
Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama
yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang
sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sotapati,
sakadagami, anagami, dan arahat. Dalam sejarah agama Buddha, sangha
dibentuk sendiri oleh Sang Buddha beberapa minggu setelah mencapai pencerahan.
Menurut
kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan
Buddha, karena ketiganya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan
merupakan manifestasi bersasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.[17]
2.
Catur Arya Satyani dan Hasta Arya Marga
Catur Arya
Satyani
Dukkha, Menurut ajaran
Buddha, manusia selalu berada dalam keadaan dukkha sebagaimana yang
diajarkan dalam catur arya satyani. Menurut ajaran ini dukkha dapat dibedakan
menjadi tiga macam yaitu :[18]
1.
Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha) yaitu segala macam
derita yang dialami dalam hidup ini, seperti dilahirkan, usia tua, berpisah
dengan orang atau benda yang dikasihi, dan sebagainya.
2.
Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha),
yaitu dukkha yang terjadi akibat adanya perubahan, baik yang bersifat
fisik maupun mental.
3.
Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha),
yaitu dukkha yang terjadi akibat adanya hal-hal yang saling
bergantungan.
Samudya, Samudya yaitu segala macam Tresna (keinginan untuk
hidup, dorongan hawa nafsu) yang menjdi penyebab penderitaan.
Nirodha, Nirodha yaitu
bahwa penderitaan itu dapat dihentikan dengan cara menindas Tresna keinginan
hawa nafsu itu.
Marga, Marga yaitu
bahwa penderitaan itu dapat ditindas dengan melalui “delapan jalan” atau
astawida, yaitu:[19]
1.
Pengertian Benar (Samma Ditthi).
2.
Niat dan fikiran yang benar (Samma Sankappa).
3.
Perkataan yang benar (Samma Vaca).
4.
Perbuatan yang benar (Samma Kammanta).
5.
Penghidupan (pekerjaan) yang benar. (Samma Ajiva)
6.
Tindakan dan usaha yang benar. (Samma Vayama)
7.
Perhatian yang benar
(Samma Sati)
8.
Samadi (pengarahan fikiran) yang benar (Samma Samadhi).
Hasta Arya Marga
Dalam sistem
agama Buddha, Hasta Arya Marga menempati kedudukan yang sangat penting karena
merupakan inti ajaran dari seluruh ajaran agama Buddha untuk membebaskan
manusia dari dukkha dan mencapai nirwana. Kedelapan jalan mulia tersebut dibagi
menjadi sila, samadhi, dan panna. Sila adalah
ajaran kesusilaan yang disasarkan atas konsepsi cinta kasih dan belas kasih
kepada semua makhluk. Termasuk dalam kelompok sila adalah pembicaraan
yang benar (sammavaca), perbuatan yang benar (sammakamanta) dan
pencaharian yang benar (sammajiva).
Samadhi adalah ajaran
disiplin mental yang terdiri dari daya yang benar (sammavayama),
perhatian yang benar (sammasati), dan konsentrasi yang benar (sammasamadhi).
Panna atau kebijakan leluhur terdiri dari penegrtian yang benar (sammaditthi)
dan pikiran yang benar (sammasankappa).
3.
Tri-lakhana
Tri-lakhana
atau tiga corak umum, terdiri atas anitya,
anatman, dan dukkha. Ajaran anitya menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ada ini tidak kekal. Ajaran anatman menyatakan bahwa
manusia merupakan kumpulan dari lima khandha (rupakhandha,
venadhakhandha, sannakhandha, sankharakhandha dan vinnanakhandha)
tanpa adanya roh atau atman di dalamnya. Dan ajaran dukkha menyatakan
bahwa segala sesuatu berada dalam dukkha atau derita.[20]
4.
Pratitya Samuppada
Pratitya sammuppada atau hukum sebab
akibat yang saling bergantungan. Keseluruhan dari keberadaan
segala sesuatu yang terkondisi diterangkan dalam formula 12 sebab
akibat:[21]
1.
dengan adanya ketidaktahuan, maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
2.
dengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.
3.dengan
adanya kesadaran, maka terjadilah batin dan jasmani.
4.
dengan adanya batin dan jasmani, maka terjadilah enam indera.
5.dengan
adanya indera, maka terjadilah kesan-kesan (persepsi).
6.
dengan adanya persepsi, maka terjadilah perasaan.
7.
dengan adanya perasaan, maka terjadilah nafsu keinginan.
8.
dengan adanya nafsu keinginan, maka tejadilah kemelekatan.
9.dengan
adanya kemelekatan, maka terjadilah proses menjadi.
10.dengan
adanya proses menjadi, maka terjadilah kelahiran kembali.
11. dengan
terjadinya kelahiran kembali, maka terjadilah usia tua, sakit dan kematian.
12. (dan
masih karena ketidaktahuan kita), kelapukan dan kematian itu sendiri adalah
sebab dari kelahiran kembali.
Demikian proses ini terus berlanjut dan menyebabkan seseorang terus
berputar di alam penderitaan dan menderita. Inilah hukum universal yang berlaku
untuk semua hal yang berkondisi.[22]
5.
Hukum Karma dan Tumimbal lahir (Reinkarnasi)
Kata
karma (berasal dari bahasa
Sansekerta Karma) memiliki arti sebagai perbuatan yang dilandasi oleh
kehendak yang diliputi keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Sedang
hukum karma berarti hukum sebab-akibat, sebagaimana yang diajarkan Buddha
Gautama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita perbuat, maka kitalah
yang nanti akan merasakan akibat dari perbuatan tersebut.[23]
Saṃsara atau sangsara dalam agama Buddha adalah sebuah keadaan tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang berulang-ulang tanpa henti.
Semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus menerus mengalami
tumimbal lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesucian arahat.
Selama ia masih dicengkram tanha (nafsu keinginan yant tidak padam) dan avidya
(ketidaktahuan).[24]
6.
Nirwana (Nibbana)
Nirwana
diartikan sebagai keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang
yang mengalaminnya melalui cara-cara tertentu. Dalam kepercayaan para penganut
agama Buddha, nirwana dapat dibedakan dalam empat pengertian, yaitu : 1) nirwana
yang pengertiannya sama dengan dharmakaya (suatu wujud yang bersih dari
kecemaran), 2) uphadhisesa nirvana, yaitu nirwana yang masih mengandung
suatu wujud yang relatif yang meskipun bebas dari semua pengaruh maupun
rintangan tetapi masih berada di sekitar hambatan-hambatan materi yang
menyebabkan penderitaan dan kesedihan, 3) anuphaadhissesa nirvana, suatu
keadaan tanpa sisa sedikitpun (kebebasan sempurna dari segala rintangan), dan 4)
nirwana dalam arti penyerahan mutlak yang dapat mendatangkan kebaikan bagi
orang lain. Nirwana yang terakhir ini merupakan jenis yang tertinggi.
Nirwana
merupakan tujuan terakhir dari semua pemeluk agama Buddha, baik sewaktu masih
hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan
memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[25]
Kitab Suci
Ajaran agama
Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan Sang Buddha
dengan para siswa dan pengikutnya. Kitab Tripitaka tersebut dibagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu : Vinaya pitaka, Sutta pitaka, dan Abidharma
pitaka.
Vinaya pitaka memuat hal-hal yang berkenaan dengan peraturan bagi para bhikkhu
dan bhikkhuni, dan terdiri atas : Sutra Vibanga, Khandaka, Parivara.
Sutta pitaka merupakan bagian kedua dari Tripitaka yang memuat
keterangan-keterangan cara hidup yang berguna bagi para bhikkhu dan
pengikutnya yang lain. Sutta pitaka
terdiri dari lima kumpulan buku, yaitu : Dighanikaya, Majjhimanikaya,
Angutarani-kaya, Samyuttanikaya dan Khuddakanikaya. Dan
bagian ketiga dari kitab Tripitaka adalah Abidharma,
memuat uraian filsafat Buddha dharma yang disusun secara analitis dan mencakup
berbagai bidang seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika. Abidharma
pitaka terdiri dari tujuh buah buku yaitu Dhammasangani, Vibanga,
Dathukatha, Puggalapannatii, Katavatthu, Yamaka dan Patthana.[26]
Sistem Etika
Dalam agama
Buddha Hasta Arya Marga menjadi dasar dan pedoman hidup umat Buddha yang
dijabarkan dalam konsep Panca Sila, Hasta Sila, dan Patimokha Sila.
Panca Sila terdiri dari
lima sila, yaitu : 1) tidak akan menganiaya atau membunuh, 2) tidak akan
mengambil dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan untuknya,
3) akan hidup bersusila, tidak berlaku seorang dan zina, 4) tidak berduata,
menipu atau memfitnah, dan 4) menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna
atau harus berkata benar.
Hasta Sila atau delapan janji, yaitu :1) tidak akan menganiaya atau membunuh,
2) tidak akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau
bukan haknya, 3) tidak akan berzina, 4) tidak berdusta menipu maupun memfitnah
dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna, 5) menjauhi segala macam
minuman keras maupun makanan yang dapat merusakkan kesadaran dan memabukkan, 6)
tidak akan makan setelah jam 12, 7) tidak menari, menyanyi bermain musik
melihat pertunjukkan, 8) tidak memakai wangi-wangian perhiasan dan sebagainya,
tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.
Pattimokha Sila adalah sila utama yang merupakan sila paling tinggi yang dilakukan
oleh para bhikkhu atau bhikkhuni yang telah menerima penahbisan (upasampada)
berupa 227 peraturan dalam kehidupan sehari-hari.[27]
Hari Raya
Hari-hari Raya
Buddha meliputi Waisak, Asadha, Kathina, Magapujha. Hari Waisak biasanya jatuh pada bulan purnama sidhi,
Mei-Juni untuk memperingati tiga kejadian penting dalam agama Buddha, yakni
saat kelahiran Siddharta Gautama, saat Sang Pertapa Gautama mencapai pencerahan
dan pada saat Sang Pertapa Gautama meninggal dunia dan mencapai nirwana.
Hari raya Asadha biasanya jatuh pada bulan purnama sidhi, bulan Juli-Agustus ( dua
bulan setelah Waisak). Hari Asadha diperingati karena hari tersebut adalah hari
ketika Sang Buddha mengajarkan dharma yang pertama kali kepada kelima pertama
yang dikenal dengan “pemutaran roda dharma”. Hari itu juga merupakan pertama
kalinya terbentuk sangha yang ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha. Hari raya Kathina dirayakan tiga bulan sesudah hari
Asadha, sebagai bentuk ungkapan perasaan terimakasih kepada para bhikkhu
yang telah menjalankan vassa, berdiam di suatu tempat tertentu, di daerah
mereka. Hari Raya Maghapuja biasanya jatuh pada bulan purnama bulan
Februari-Maret untuk memperingati dua kejadian penting, yaitu berkumpulnya 1250
orang arahat di wihara Veluvana di kota Rajagraha da untuk memberi hormat
kepada Sang Buddha, setelah mereka kembali dari tugas penyebaran dharma. Selain
keempat hari raya di atas, upacara juga dilakukan dengan cara yang hampir sama
pada saat pernikahan, kelahiran, dan kematian seorang penganut agama Buddha.[28]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, sesuai dengan
pendahuluan sebelumnya dapat kami simpulkan bahwa:
·
Agama Buddha atau Buddhisme, lahir sekitar abad ke-5 S.M., ajaran
ini dibawa oleh seorang yang bernama Sidharta Gautama atau dikenal sang Buddha.
Setelah sang Buddha meninggal, sekitar 83 SM ajaran ini mulai terbagi menjadi
dua golongan, yaitu Stavirada dan Mahasanghika, yang kelak dikenal dengan
Theravadha dan Mahayana.
·
Ajaran-ajaran Buddha
tertuang dalam kitab sucinya yakni Tripitaka, yang terdiri dari Sutta, Vinaya
dan Abhidhamma. Dari berbagai aliran di Buddha, ada ajaran dan kesepakatan yang
universal diterima setiap aliaran yakni, menerima sang Buddha (Sakyamuni)
sebagai guru, empat kebenaran mulia ( Catur Arya Satyani), 8 Jalan mulia (Hasta
Arya Marga), Hukum karma dan Patticasamupada (sebab akibat), konsep Tri Ratna
(tiga permata), konsep Tri Lakhana (tiga corak umum) dan konsep seperti sila
dan samadhi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ed. Fajri,
Rahmat, dkk. Agama Agama Dunia. (Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama
UIN sunan Kalijaga. 2012)
2.
Seng Hansen, Sasanasena.
Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta: Vidyasena Production.2008)
3.
Menzies, Alan. Sejarah
Agama Agama (Studi sejarah, Karakteristik dan Praktik Agama-Agama Besar di
Dunia). Terj. Dion Yulianto dan Emirfan. (Yogyakarta: FORUM. 2014)
4.
Taniputera,Ivan.
Ehipassiko Theravada Mahayana. (Yogyakarta: Suwung. 2003)
5.
Sutrisno, Mudji.
Buddhisme Pengaruhnya dalam abad modern. (Yogyakarta: Kanisius.1993)
6.
Imron, M. Ali. 2015. Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia.Yogyakarta: IRCiSoD.
Sumber
lain:
[1]
Michael Keene, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), hlm.84
[2] Ed.
Rahmat Fajri,dkk, Agama Agama Dunia, (Yogyakarta: Jurusan Perbandingan
Agama UIN sunan Kalijaga), hlm 125-130
[3]
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, (Yogyakarta: Vidyasena
Production, 2008), hlm 1
[4] Tathagata,
diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tathagata
,pada 13 November 2016 , Jam 19;12 wib
[5]
Allan Menzies, Sejarah Agama Agama (Studi sejarah, Karakteristik dan Praktik
Agama-Agama Besar di Dunia), terj. Dion Yulianto dan Emirfan, (Yogyakarta:
FORUM, 2014), hlm 410
[6] Ryuho
Okawa, Hakikat Ajaran Buddha Jalan Menuju
Pencerahan,(Yogyakarta: Saujana Jogjakarta, 2004), hlm. 211-213
[7]Ed.
Rahmat Fajri,dkk, Agama Agama Dunia, hlm 164-165
[8]
Ivan Taniputera, Ehipassiko Theravada Mahayana,(Yogyakarta:
Suwung,2003),6-10
[9] M.
Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama
di Dunia, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 149
[10] Mudji
Sutrisno, Buddhisme Pengaruhnya dalam abad modern, hlm 33
[11]
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap
Agama-Agama di Dunia, hlm. 150
[12]Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 167-168
[13] Aliran
Tantrayana dan Mantrayana, diakses dari http://study-budhisme.blogspot.co.id/2013/05/aliran-tantrayana-mantrayana-dan.html , 12 November
2016
[14] Apa
itu Buddhayana, diakses dari http://embunpagitina.blogspot.co.id/2011/05/apa-itu-buddhayana.html ,pada 12
November 2016
[15] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 121-122
[16] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 121
[17] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 158
[18] Ed.
Rahmat Fajri, Agama Agama Dunia, hlm. 150-152
[19] M.
Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama
di Dunia,hlm. 134-136
[20]
Ed. Rahmat Fajri, Agama Agama Dunia, hlm 152
[21]
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, hlm 17-18
[22] Mudji
Sutrisno, Buddhisme Pengaruhnya dalam abad modern, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm 39-42
[23] Sasanasena
Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, hlm 114
[24] M.
Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama
di Dunia, hlm. 138
[25] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 154-155
[26] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 135-136
[27] Ed.
Rahmat Fajri, Agama Agama Dunia, hlm 157-158
[28] Ed.
Rahmat Fajri, dkk, Agama Agama Dunia, hlm 162-164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar