Sebuah Refleksi: Sisa Pengaruh Orientalisme dan Pengembangan Oksidentalisme




A.    Pendahuluan
Seperti apa sebenarya Orientalisme itu, apakah eksistensi orientalisme masih ada tentunya masih bisa diperdebatkan. Orientalisme sendiri dikatakan telah berganti dan berubah, hal tidak lepas dari peran seperti Edward Said yang mengkritik kajian orientalisme ini yang penuh bias dan dulu digunakan untuk  legitimasi kolonialisasi Barat atas Timur. Orientalisme tentunya sekarang telah berakhir, kini telah digantikan kajian semacam Islamic Studies di Barat. Sayangnya sampai sekarang, jarak antara Barat dan Islam masih ada, bias-bias terhadap Islam pun masih terasa bagi orang Islam.
Hal itulah yang mungkin membuat pengembangan Oksidentalisme, bisa dikembangkan lebih jauh. Hasan Hanafi, seorang tokoh Oksidentalisme sendiri menjelaskan perlunya tandingan orientalisme, yakni kajian  meneliti budaya Barat (Oksidentalisme) untuk menghadapi bias Barat yang masih ada setelah masa kolonialisasi. Di sisi lain, sosok Mukti Ali pun telah memiliki wacana tandingan atas kajian orientalisme, yakni mengkaji ulang kajian Barat atas Timur. Di sinilah sebenarnya pengembangan akan Oksidentalisme perlu dilakukan. Jadi, dari semua itu, pengembangan oksidentalisme seperti apa yang seharusnya dilakukan di masa sekarang? Itulah yang juga dibahas dalam tulisan ini.
B.     Sisa Pengaruh Orientalisme  Terhadap Timur (Islam)
Apa itu Orintalisme?, alangkah baiknya kita secara sederhana memahami dulu apa itu Orientalisme.  Orientalisme secara bahasa berarti ilmu yang mengkaji tentang dunia Timur.  Maka, Orientalis adalah orang yang mengkaji tentang dunia Timur. Dimana secara khusus Orientalis ini adalah orang Barat. Sayangnya, disini tidaklah jelas penggunaan istilah Timur ataupun Barat. Secara jelas, istilah ini merujuk pada sebuah tempat, seperti Eropa dan Amerika, namun dalam penggunaanya juga lebih merujuk pada orang tertentu. 
            Sebagaimana telah disebut orientalis adalah orang Barat, maka disini yang dimaksud adalah orang yang berkulit putih (merujuk ras dan warna kulit), selain itu maka bukanlah Orientalis. Maka, wajarlah jika maksud Timur dan Barat bukan merujuk sebuah geografis, melihat seperti orang Australia adalah orang Barat, walaupun berada di kawasan dunia bagian Timur. Akan tetapi, bila kita melihat negara Rusia dan sekitarnya (dulu Uni Soviet) akan cukup sulit pula mengatakan orang Rusia sebagai orang Barat, walaupun juga berkulit putih. Melihat bagaimana orang Rusia pun tidak begitu akrab dengan negara-negara Barat, akibat perbedaan ideologi. Melihat negara pecahan Uni Soviet pun juga ada negara berpenduduk Islam. Lalu orang Barat seperti apa yang pantas disebut orientalis?.Mengatakan orientalis adalah orang kulit putih, itu kurang pas, menyebut orientalis  orang di daerah Barat juga kurang tepat.  
            Mungkin akan lebih tepat bila kita melihat orientalis sebagai orang Barat yakni dalam pengertian orang Barat yang memiliki kultur yang berbeda dengan orang Timur. Sebagaimana kita bisa mengidentifikasinya berdasar pengertian orientalisme menurut Al Makin. Dimana Orientalisme adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang berbau timur mulai dari bahasa, budaya, politik, ekonomi, dan sejarah. Misalnya yang dimaksud dengan bahasa tentu bahas Timur yang lain dengan bahasa Barat, yaitu bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Spanyol, Latin dan Belanda. Maka, bahasa Timur meliputi bahasa Arab, India, Jawa, Urdu, Persia dan bahasa-bahasa lokal yang lain selain bahasa di Eropa.[1]Oleh karena identifikasi orang Barat itu kurang pas disederhanakan pada tempat dan ras nya, karena ternyata masih ada banyak konteks identifikasi lainnya.
            Apalagi di era Globalisasi yang semakin kompleks ini, segala sesuatunya menjadi bercampur aduk, sehingga identifikasi siapa orientalis pun jadi sukar. Namun, bila kita setuju orientalisme lahir bebarengan era kolonialisasi Barat, ataupun dimulai era perseteruan Kristen dan Islam seperti perang Salib dan sejenisnya. Maka, cukuplah mudah kita menebak bahwa orientalis ini adalah orang Barat yang mengkaji Timur sebagai alat “Kolonialisasi” di Timur, lalu secara khusus dapat dikaitkan untuk  alat perseteruan dominasi antara Orang Kristen Barat dan Orang Timur Islam. Dan di sinilah yang menjadi masalah bagi Orientalisme, dimana sebagai ilmu tentunya harus obyektif dan bukan malah untuk kepentingan dominasi atas Timur, atau secara khusus atas Islam.
            Kurang obyektifnya orientalis itu, semakin jelas sebagaimana identifikasi 3 ciri khas kajian awal orientalis menurut Al Makin: 1). pengkaji awal biasanya sangat terasa, dan terpengaruh dengan latar belakang Yahudi atau Nasrani, 2). (berisi tentang dan karena dianggap) Islam, Al Qur’an dan Hadis itu satu tradisi Yahudi dan Nasrani, sama-sama dari Timur Tengah, dan satu tradisi monoteisme semitik, 3). (lalu) Islam diletakan dalam sejarah manusia.[2] Maka, terlihat kajian awal orientalis pun juga sudah sejak awal fokus terhadap Islam, lihat tulisan Goldziher, Snouck Hugronje dan lain-lainnya. Bagaimana studi mereka tentang Timur dan Islam pun gencar dilakukakan masa itu dan digunakan orang-orang Barat untuk mendukung (melegitimasi) kolonialisasi ataupun dominasi Barat atas Timur.
Sekarang, kolonialisasi sudah tidak ada, secara fisik negara-negara Timur pun telah merdeka, bahkan ada yang telah menjadi negara maju. Dan terlihat berakhirnya kolonialisasi diikuti dengan redupnya kajian orientalisme, studi orientalisme pun sudah berubah di negara Barat. Walaupun hal ini tak lepas akan peran sosok Edward Said  mengkritisi Orientalisme yang ternyata kajiannya bias, dan sebagai alat dominasi Barat atas Timur. Karena itu, secara akademik, orientalisme yang bias ini telah berakhir dan memang harus berakhir.
Namun apakah studi orientalisme benar sudah berakhir?. Secara harfiah studi orientalisme di Barat telah tiada atau mungkin telah berubah. Akan tetapi apa yang disebabkan kajian orientalisme dulu tetap masih memisahkan Barat dan Islam, terutama dalam ranah politik, budaya dan ideologi (agama). Sampai sekarang, antara masyarakat Barat dan Islam pun masih ada jarak, walaupun dalam ranah studi akademik, ekonomi dan global, telah ada perbaikan hubungan Barat dan Islam, seperti orang Timur atau orang Islam banyak belajar di Barat bahkan berkolaborasi, hubungan perdagangan semakin meningkat serta  hadirnya Internet yang mempermudah dan memperdekat  dengan budaya Barat. Dimana ini ditambah juga seiring dengan era globalisasi yang semakin kompleks.
Tapi, masih adanya jarak antara Barat dan Islam ini bukanlah hal sepele, perebutan, persaingan dominasi di era globalisasi jelas adanya. Politik propaganda, dominasi, teutama terhadap Islam menjadi perhatian bersama. Hal ini dapat mengindikasikan kajian atau studi semacam orientalis masih ada, kalaupun benar tidak ada, setidaknya di ranah media, politik, ranah relasi global para orientalis tetap masih ada. Dan tentunya ini perlu dikritisi, kita perlu sosok seperti Edward Said lagi untuk mengatasinya. Lihat bagaimana labeling media terhadap imej Islam, sebagai teroris, radikal, hingga masih gencarnya muncul Islamphobia di Barat. Oleh karenanya, kita perlu memiliki dan mengatur strategi menghadapi hal-hal bertema efek budaya ini, yang masih menciptakan jarak antara Barat dan Islam, antara Barat dan Timur.

C.     Bentuk Baru Orientalisme Serta Pengaruh Budaya Barat dan Global
Kata Orientalisme di Barat barangkali telah tidak digunakan dan jarang dikenal, ibarat halnya sebuah nama yang kini menjadi sejarah. Barangkali jelaslah istilah Orientalisme tidak dipakai lagi dalam lingkup akdemik di Barat, bersamaan juga dengan mulai dihilangkannya penggunaan kata-kata seperti primitif, barbar dalam sebuah kajian Antropologi di abad 20. Lalu sama saja dengan bergantinya kajian studi sekte yang cenderung teologis dan normatif menjadi kajian New Religion Movements atau yang kita kenal dengan kajian Gerakan Keagamaan Baru yang lebih obyektif dan empiris. Ya, sebuah political correctness mampu merubah sebuah kajian studi sekte yang awalnya lahir dari teologi Kristen, kini telah berganti dan terlepas dari penilaian yang cenderung hanya tentang benar dan salah. Yang demikian pulalah yang juga terjadi terhadap Orientalisme, berkat Edward Said Orientalisme yang cenderung mengeneralisasi kini telah berubah, berubah menjadi kajian yang lebih spesifik dan beraneka ragam di Barat, semacam studi kawasan seperti studi Asia Timur, studi Timur Tengah, ataupun Studi Islam dan sejenisnya.
            Maka, secara formal jelaslah Orientalisme telah tiada, akan tetapi bukan berarti sisa bentuk semacam pengaruh Orientalisme sudah hilang. Menurut saya, sisa pengaruh Orientaliseme telah menjadi bentuk baru, yakni  yang dimaksud di sini adalah westernisasi dan berlanjut dalam globalisasi. Westernisasi ini adalah pengaruh budaya Barat, di mana segala sesuatu yang berasal dari Barat dianggap yang paling baik dan benar.  Namun tentu saja, kita tidak boleh juga menganggap segala seuatu yang berasal dari Barat tidak baik. Telah terbukti nyata gaya kritis dan ilmiah telah melahirkan inovasi di berbagai kehidupan manusia, Teknologi sebagai buktinya, di mana dengannya Barat, kini sebagai daerah Eropa dan Amerika Utara telah menjadi kawasan yang maju. Tidak hanya Barat, negara-negara lain pun yang menerapkan gaya kritis dan ilmiah telah menjadi negara maju, lihat saja Singapura, Jepang, Taiwan, Korea Selatan kini juga sudah berubah menjadi negara yang menguasai Teknologi dan tentunya menjadi negara Maju. Melihat kemajuan negara-negara di atas, jelaslah globalisasi dan westernisasi ada sisi positifnya.
            Lalu apa yang salah dari westernisasi dan globalisasi?, tentu saja pengaruh negatif dari keduanya. Pertama, pengaruh westernisasi terhadap jati diri, pengaruh di sini adalah pengaruh yang membuat sebagian besar orang Timur (Asia, Islam, Indonesia) merusak jati diri mereka. Di mana ini terlihat dalam diri seseorang yang melegitimasi Barat secara salah kaprah. Mereka bahkan meniru orang-orang Barat namun hanya secara luarnya saja, seperti mewarnai rambut mereka menjadi pirang, memutihkan kulit mereka, hingga berpakaian seperti orang Barat. Akan tetapi orang Timur lupa meniru gaya disiplin, manajemen waktu yang dilakukan orang Barat. Sehingga pada akhirnya orang Timur kehilangan jati diri terlihat campur aduk dan rusak.
Kedua, pengaruh globalisasi terhadap perilaku bebas dan konsumtif, pengaruh ini tentunya perilaku yang tidak mengindahkan moralitas. Hal itu terlihat seperti pengaruh negatif dari gaya sex bebas, hingga perilaku konsumtif. Dimana barangkali bermula dari pengaruh pornografi di dunia Internet, film, media (hasil budaya Barat) telah mempengaruhi perilaku penikmatnya. Tapi, globalisasi di sini  kita tidak semerta-merta mengatakan itu sebatas dari pengaruh Barat, karena globalisasi ini adalah mencakup seluruh pengaruh dunia. Di mana pengaruh globalisasi ini dapat berasal dari mana saja. Karena itu, globalisasi ini mampu menembus batas budaya dan menciptakan perebutan dominasi budaya. Tapi pada akhirnya, bagi negara yang kalah dominasi budaya, globalisasi ini akan menciptakan budaya konsumtif sebab juga berefek kalah bersaing  dalam berbagai bidang lain seperti teknologi, ekonomi, hingga ideologi.
            Demikian, tampaklah nyata pengaruh globalisasi maupun westernisasi, walaupun hal itu sudah tidak bisa dikatakan lagi hanya sebagai efek budaya Barat ataupun Orientalisme. Karena kini, pelaku westernisasi dan globalisasi ternyata tidak hanya orang Barat, tidak hanya orientalis, kini bahkan orang Timur seperti Orang Jepang, China, bahkan orang Arab menjadi pelaku dibalik globalisasi. Namun demikian, jelaslah sisa pengaruh Orientalisme, terdapat dalam bentuk westernisasi, lalu kini telah melebur dalam era globalisasi.
D.    Pengembangan Oksidentalisme
Pada masa kolonialisasi, semakin nyatalah jarak antara Barat dan Timur, di mana daerah Timur didominasi oleh orang-orang Barat. Jarak disini adalah sebuah gambaran bagaimana adanya perebutan, adanya konflik antara Barat dan Timur. Dan di belakang itu ada para orientalis yang melegitimasinya, mendukungnya. Bahkan, Turki Utsmani sebagai simbol kemegahan Islam yang masih bertahan dari penyerbuan Barat atas Timur, tetap terpengaruh atas propaganda para orientalis.
Lihat, terhadap Turki Utsmani saja, Bangsa Barat menghancurkan citra kemegahan Islamnya dengan memberikan propaganda, seperti dengan memberi gelar “orang sakit” terhadap Sultan Mahmud Abdul Aziz Murad dan juga Abdul Hamid. Hal ini tentunya memberi pengaruh terhadap daerah peradaban Islam saat itu, raja-raja Islam di Arab, Persia dan India mulai berputus asa melihat bentuk tekanan dari Barat tersebut.[3] Dimana propaganda semacam ini masih secara banyak didengungkan hingga sekarang, propaganda menjatuhkan Islam, terutama di media-media, semacam TV, Internet dan sebagainya.
Di sini, masalah semacam itu menjadi perhatian, terutama bagi kalangan orang Islam. Hadirnya Oksidentalisme, yang bersamaan dengan postmodernisme tentunya dapat ikut andil mengatasi kajian bias Orientalisme tersebut, menjadikannya pengaruh politik wacana Barat sebagai objek kajian oksidentalisme. Di mana terlihat Oksidentalisme ini telah mendapat angin segar pasca sosok Edward Said mengkritisi kajian orientalisme semacam itu, budaya tulis dan berpikir Barat yang masih bias.
Maka, apakah kajian Oksidentalisme ini sebatas kritik terhadap Orientalisme? Sebagaiamana Edward Said?, jawabannya tidak.  Karena jika merujuk oksidentalisme adalah tandingan orientalisme, maka secara bahasa oksidentalisme adalah ilmu yang mengkaji tentang dunia Barat. Sayangnya walaupun tidak demikian, ternyata kepopuleran kajian Oksidentalisme ini tetap belumlah berkembang pesat, belum banyak juga menaruh minat para sarjana.  Barang kali, Oksidentalisme ini masilah belum jelas objek maupun metode kajiannya. Ditambah setiap tokoh Oksidentalisme ternyata memiliki kerangka tersendiri mengenai Oksidentalisme ini.
Mungkin, yang paling jelas dan pas mengenai objek seperti apa kajian Oksidentalisme ini ada pada pemikiran tokoh bernama Hasan Hanafi. Sebagaimana tokoh Hanafi ini telah banyak memberikan sumbangan mengenai kajian oksidentalisme. Di mana seperti sudah sangat jelas objek kajian dari oksidentalisme ini, sebagaimana penjelasan oksidentalisme menurut Hasan Hanafi, yang dikutip Al Makin dalam bukunya Antara Barat dan Timur menuliskan bahwa:”Oksidentalisme sebagai tandingan orientalisme itu merupakan hal yang sangat penting pada masa revolusi berbalik setelah Barat kembali melakukakan serangan imperialisme kedua pasca gerakan pembebasan tanah air”.[4] Barangkali itulah ciri dan prospek perkembangan Oksidentalisme yang harus dikembangkan. Di mana terbukti di era globalisasi pengaruh dominasi budaya Barat, pertemuan Timur, Islam dengan budaya luar masih sangat terasa.
Namun, barangkali tentunya oksidentalisme tidak boleh sebatas melihat sosok Barat, karena di era globalisasi tidak hanya Barat saja yang mendominasi suatu budaya. Lihat,  bagaimana negara Timur China juga telah bangkit dan mampu bersaing, terutama dalam teknologi dan Informasi, lihat bagaimana merek teknologi dan Internet China seperti Xiaomi, Uc Browser, Tencent, dan lain-lain. Begitupun Korea dengan merk Samsung juga industri budaya K-Popnya, lalu Jepang dengan merk Sony juga dengan industri Anime nya, dan banyak negara lainnya. Semua itu telah mengalihkan perhatian kita, bahwa tidak hanya Barat yang harus dilihat. Dominasi Budaya ternyata tidak hanya dilakukan orang-orang Barat.  Karena itu, bentuk pertemuan dan perkembangan budaya semacam ini barang kali dapat dikaji pula dan dikaitkan dengan pertemuan lintas agama-budaya dengan perspektif  Islam sebagai objek kajian baru oksidentalisme.
Dimana menurut Al-Makin, kajian tentang Barat atau Budaya lain ini ternyata juga masih penuh prospek dan penting untuk memperkaya perspektif dalam memandang dunia. Sebab Oksidentalisme ini kajiannya dapat diperluas, seperti kajian tentang perbedaan budaya (tidak hanya Barat dan Timur), dengan mengkaji teks klasik, khazanah sejarah, dan juga budaya kontemporer. Dengan kata lain, tidak hanya mengkaji pertentangan Islam dan non muslim, juga harus ada tentang banyak agama dan tradisi. Karena dunia globalisasi ini, tidak hanya milik Barat dan Timur, bahkan Barat dan Timur pun juga beragam.[5] Jadi,  Oksidentalisme ini sebenarnya kajian penelitiannya dapat diperluas dan pada akhirnya, metode penelitiannya pun dapat beragam pula.
E.      Keharusan Kajian Oksidentalisme Sekarang
Kritik yang sering dilontarkan kepada kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanyalah terbatas pada aspek eksternalitas (lahiriyah) dari agama. Banyak orang Islam, juga penganut agama lain, menuntut terlalu banyak dari seorang orientalis untuk memiliki komitmen yang lebih mendalam terhadap agama yang ia teliti. Barangkali di sini tuntutan tersebut terlalu berlebihan, walaupun dalam metodenya orientalisme terdapat metode emphaty,meskipun lagi-lagi hal demikian Cuma terbatas dalam kawasan metodologi, dan tidak sampai ke dalam wilayah penghayatan yang sesungguhnya.[6] Jika hal demikian yang sering terjadi (hingga sekarang), alangkah baiknya para orang Islam, juga penganut agama lain, berbicara sendiri terhadap agamanya (menggunakan Oksidentalisme), namun tetap menggunakan kaidah-kaidah ilmiah   supaya tetap obyektif dan tanpa bias. Sebagaimana pemikiran Mukti Ali, terhadap wacana Oksidentalisme adalah kajian tentang Timur, oleh orang Timur, dengan metode Barat.[7]
Konsekuensi dari pandangan Mukti Ali ini, Timur harus membuat suara berbeda terhadap segala yang sudah dikaji Barat, dengan cara mengkaji kembali kajian mereka, dan juga berbicara atas nama Timur. Ini merupakan pengertian lain dan dan cara lain membuat wacana tandingan orientalisme. Dengan metode yang sama, yaitu metode Barat, tapi perspektif yang digunakan berbeda. Dan ini tentunya berbeda dari gaya Oksidentalisme Hasan Hanafi, bagi Hanafi Timur mengkaji Barat, bagi Mukti Ali, Timur mengkaji Timur dengan kesadaran ilmiah dan juga memberikan solusi dan tesis yang berbeda dengan kajian Barat.[8] Barangkali gaya Mukti Ali ini hampir mirip dengan gaya Edward Said, dimana jika kita menganggap Said sebagai orang Timur, maka terlihatlah Said ini juga mengkaji (mengkritik) kajian Barat atas Timur, walaupun juga dapat dikatakan Said ini mengkritik bias Barat dalam budaya keilmuan mereka.
Hal itu terlihat bagaimana kajian Mukti Ali memperhatikan tentang peran Belanda, tradisi Leiden dalam era kolonialisasi yang telah mengkaji sejarah dan kebudayaan Indonesia. lalu juga mengkaji tokoh orientalisnya seperti Snouck Hugronje, Marsden, Raffles, Junyboll dan sebagainya.[9] Mukti Ali telah mengawali kajian (kritik) terhadap Orientalisme di Indonesia, dan tentunya masih banyak Orientalis lainnya yang datang bersamaan kolonialisasi yang perlu dikaji. Untuk itu, kajian terhadap tokoh orientalis Barat  haruslah dilanjutkan, dan ternyata ini masih dilakukan seorang bernama Frieda Amran, walaupun sekedar mengkaji ulang. Sebagaimana dituliskannya bahwa: pada tahun 1828 seorang dokter berbangsa Jerman, dr. Strehler, yang diterima bekerja sebagai tenaga medis di sebuah kapal Belanda yang berlayar ke Hindia Belanda[10]. Dalam salah satu bagaian tulisannya, dr. Strehler memberikan gambaran pribumi di Batavia secara etnosentris dan streotipikal, bahwa pribumi: ramah, sederhana, dan rajin bekerja, tetapi tidak berinisiatif, lamban dan emosional[11]. Disini terlihat embrio Oksidentalisme telah dimulai Mukti Ali dan juga dilakukan seorang bernama Frieda Amran. Itulah gaya Oksidentalisme yang terlihat lahir dari orang Timur dan dilakukan orang Timur. Tapi sayang itu hanya sekedar mengkaji ulang tulisan orang Barat, sehingga membuat kajian oksidentalisme kurang berkembang.
Dan itulah masalahnya, agar menjadi ilmu yang berkembang, barangkali seharusnya sebagai ilmu oksidentalisme tidak boleh terlihat hanya digunakan orang Timur. Sebagaimana dulu Orientalisme dan kini dalam Islamic Studies yang dilakukan di Barat, kini Studi Islam tidak hanya dilakukan orang Barat, tapi oleh orang Islam sendiri. Maka, sebagaimana Islamic Studies dari Barat yang melibatkan orang Islam sendiri, maka dalam Oksidentalisme keterlibatan orang Barat haruslah juga ada, tidak boleh hanya dari Islam, kaum Barat pun  haruslah menyadari ketimpangan kajiannya. Maka, orang Barat pun juga harus melakukan koreksi-koreksi dan rekonstruksi yang memungkinkan munculnya paradigma baru, meneliti Barat pula. Di sinilah peluang kajian Oksidentalisme masih relevan untuk berkembang, yakni dengan menggandeng orang Barat dalam meneliti Barat itu sendiri.
Sebagaimana ini dilakukan tokoh Barat seperti Louis Massignon, W. Montgomery Watt dan Wilfred Cntwell Smith. Mereka pun telah mengkoreksi atas penyimpangan kajian orientalisme yang terjadi pada periode sebelumnya(kini menjadi Islamic Studies di Barat).[12] Mereka pun pada akhirnya disebut tokoh Oksidentalisme pula, walaupun mereka dari Barat. Maka, di sinilah orang Islam harus berkolaborasi dan mengenal orang Barat untuk mengembangkan Oksidentalisme yang itu berobyek budaya Barat, sebagaimana sebenarnya Islam dengan Barat sendiri telah saling mengembangkan dalam kajian Islamic Studies.
F.     Penutup
Kajian Orientalisme dulu, memanglah terlihat penuh bias dan digunakan sebagai ajang dominasi Barat atas Timur, terkhusus atas Islam. Kini, kajian Orientalisme di Barat telah berganti Islamic Studies,yang mana dianggap lebih obyektif dan tanpa bias. Sayangnya, dalam kehidupan di masyarakat dunia, bias Barat atas Islam masih terasa efeknya, masih ada jarak, dalam kehidupan politik, budaya, dan global. Efek orientalisme terlihat muncul dalam budaya westernisasi dan globalisasi  (sekarang tidak sebatas pengaruh budaya orang Barat).
Dan itulah peluang pengembangan Oksidentalisme untuk mengatasi permasalahan tersebut, untuk mengatasi ketimpangan yang tercipta. Ternyata, Islamic Studies (yang telah berkembang dan dilakukan orang Barat maupun Islam) sendiri tidak cukup mengatasi permasalahan tersebut. Tapi Oksidentalisme di sini tidak boleh terus sekedar mengkaji ulang tulisan orang Barat atas Islam, ditambah apalagi hanya dilakukan orang Islam. Karena itu, sebagaiamana berkembangnya Islamic Studies, perlu orang Barat pula untuk mengembangkan Oksidentalisme, terutama untuk berkolaborasi dan mengenal obyek budaya Barat itu sendiri. Sehingga kajian Oksidentalisme sendiri dapat berkembang lebih jauh.

Daftar Pustaka
Al Makin.2015.Antara Barat Dan Timur.Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Ahmad,Munawar. 2013.Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.Yogyakarta: Suka-Press.


[1] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 42
[2] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 84-88
[3] Munawar Ahmad, Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Yogyakarta: Suka-Press,2013, hlm. 46
[4] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 195
[5] Al Makin, Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, 208-209
[6] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 212-213
[7] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 201-202
[8] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 202
[9] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 204
[10] Frieda Amran, Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan dr. Srehler,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2012,14
[11] Frieda Amran, Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan dr. Srehler,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2012,57
[12] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...