Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an


MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika
Dosen: Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., D. Min.


Oleh:
Muhammad Habibul Musthofa (15520003)

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
A.    Latar Belakang
Kehidupan beragama adalah bagian dari kehidupan manusia.  Bahkan, sejak dahulu manusia adalah makhluk yang religius. Namun demikian, kehidupan beragama tidaklah homogen, namun heterogen.  Dalam dunia Islam sendiri, kehidupan beragama pun sangat berwarna. Sudah ada banyak eksistensi agama sebelum hadirnya Islam yang dibawa nabi Muhammad. Sebagaimana ada Yahudi, Nasrani, Shabiin, dan Majushi. Jadi, agama Islam pun sejak awal telah menghadapi kehidupan beragama yang plural, demikian pula hingga terjadi sampai sekarang dalam kehidupan yang semakin kompleks.
Perihal keberagaman yang plural sendiri, Al-Qur’an umat Islam tentunya telah memberikan berbagai penyikapan. Hal yang menarik salah satunya  adalah  perihal term Ahli Kitab yang diberikan kepada komunitas agama dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an secara umum istilah ahli kitab dijumpai dalam 31 ayat, lalu istilah untuk menyebut komunitas ahli kitab ini ada 8: ahl kitab, alladzina utul al-kitab, alladzina ataina hum al-kitab, alladzina utu nashiban min al-kitab, alladzina yaqra’un al-kitab, alladzina utu al-‘ilm, alladzina utu al-‘ilm wa al-iman dan ahl al-dzikr[1]. Namun yang pasti, diketahui komunitas yang dimaksud dengan Ahli Kitab ini merujuk pada komunitas Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, dengan melihat dunia tidak hanya dunia Timur Tengah, di masa sekarang telah banyak yang meyakini dan menafsirkan ahli kitab dan juga meliputi agama-agama lainnya. Bila merujuk Yahudi dan Nasrani, sering ahli kitab dalam al-Qur’an memiliki sifat yang kurang baik, seperti memandang rendah non-Ahli Kitab (QS. Ali Imran:75), dusta (QS. Ali Imran: 78), menyesatkan (al-Baqarah: 109) dan sebagainya.
Tapi, hal menarik di sini yang menjadi bahasan tulisan ini adalah selain dianggap memiliki sikap negatif, dalam QS. Ali Imran: 113-144 disebutkan ada golongan ahli kitab yang lurus, jujur, sebagaimana: 113. Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)
114. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Maka, yang menjadi pertanyaan apakah ahli kitab yang memiliki ciri tersebut masih ada dalam Yahudi dan Kristen masa sekarang?
selain dari itu, juga dalam Al-Qur’an ada ayat pengkuan terhadap agama lain, yaitu Yahudi, Nasrani dan Shabiin serta siapa saja (semua umat beragama). Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 62 dan al-Maidah ayat 69. Seperti dalam QS al-Baqarah: 62  Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Isi ayat tersebut terkesan disamping bagi orang mukmin, terlihat ada keselamatan bagi Yahudi, Nasrani dan Shabiin serta siapa saja asalkan berbuat saleh.  Dalam hal ini, perlulah kejelasan mengenai hal ini, terutama bagi Yahudi dan Nasrani. Juga sebagai Ahli Kitab yang sebagaimana disebut dalam al-Qur’an, status mereka harus diperjelas.

B.     Rumusan Masalah
                              1.            Seperti apa ahli kitab yang lurus, sebagaimana dalam surah Ali Imran: 113-114?
                              2.            Bagaimana posisi keselamatan Yahudi dan Nashrani selaku ahli kitab dalam Al-Qur’an sebagaimana dalam QS al-Baqarah: 62 ?

C.    Gambaran Penafsiran untuk term Ahli Kitab di Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang memuat ajaran moral kehidupan yang universal bagi manusia di segala tempat dan masa. Al-Qur’an diyakini sesuai dengan segala zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, wahyu Al-Qur’an turun di masa Rasulullah pada zamannya, setelah masa Nabi Muhammad Al-Qur’an termaktub dalam tulisan teks.  Dengan demikian untuk untuk meyesuiakan dengan konteks kekinian, perlulah mengkontektualisasi isi kandungan Al-Qur’an yang ada dalam teks tersebut. Karena hanya dengan demikian, Al-Qur’an akan sesuai dengan kemajuan zaman. Oleh karenanya, sebagai teks Al-Qur’an memerlukan reproduksi makna baru sehingga pemberian makna di masa sekarang tetaplah menjunjung nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dalam hal ini, metode penafsiran haruslah memberi ruang untuk membuka makna baru. Oleh karenanya Heremeneutika sangatlah diperlukan untuk memperlengkap dan memperbaru metode-metode penafsiran dalam Islam yang sudah ada. Sehingga kesan penafsiran teks suci Al-Qur’an tidak lagi menunjukkan wajah yang kaku dan eksklusif, di mana itu sebelumnya dapat memungkinkan penyalahgunaan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sebenarnya justru itu dapat menjadi kemunduran Islam secara umum. Walaupun tidak memungkinkan pula, meski sudah ada Hermeneutika penyalahgunaan tafsir Al-Qur’an tetap bisa terjadi. Namun yang pasti, dengan hadirnya Hermeneutika, yang memungkinkan setiap umat Islam mengetahui proses penafsiran teks, setidaknya dapat membantu setiap umat Islam mengklarifikasi sendiri suatu penafsiran dan mengetahui sesuai atau tidaknya suatu penafsiran untuk konteks kekinian.
Selain itu, dengan Heremeneutika beserta kaidah-kaidahnya setiap umat Islam memungkinkan mengetahui penafsiran teks ayat suci. Dalam hal ini, kita bisa mengaplikasikan Hermeneutika dengan bantuan pemikiran ahli Islam, salah satunya Fazlur Rahman sebagaimana dijelaskan Abdul Mustaqim bahwa melalui metode double movement, Fazlur Rahman menekankan tentang yang dibutuhkan untuk penafsiran zaman sekarang adalah bagaiamana seorang penafsir mampu menemukan makna otentik (original meaning) dari sebuah teks melalui konteks sosio-historis masa lalu, kemudian menangkap aspek ideal moral untuk melakukan kontekstualisasi makna di era sekarang.[2] Hal itu sebagaimana juga menurut Amin Abdullah bahwa penafsiran al-Qur’an yang bersifat lexiografis, yakni kata per kata, kalimat per kalimat, ayat dengan ayat, namun tanpa terlalu memperdulikan konteks sosial, ekonomi, politik, serta budaya ketika ayat itu turun dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang adalah bukti metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang dianggap sebagai ahistoris.[3] Padahal al-Qur’an tetaplah harus sesuai dengan konteks sejarah nyata, sebagaimana kenyataan al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk umat manusia pada abad 6 M lalu.
Sesuai dengan sub judul, di sini akan dibahas mengenai ahli kitab.  Term yang secara langsung menyebut Ahli Kitab, ditemukan sebanyak 31 kali dalam 9 surat,[4] yaitu dalam Surah Al Imran (3), surah al-Maidah (5) ; surah an-Nisa (4) ;surah Al-Baqarah (2); Al-Hasyr (59), al-Bayyinah (98), al-Ankabut (29); al-Ahzab (33) dan al-Hadid (57). Dari semua itu, hanya satu surah yang turun saat nabi di Mekkah, maka sisanya ayat madaniyah, yakni surat yang periode Meakkah adalah QS. Al-Ankabut: 46. Di tulisan yang terbatas ini, maka kita hanya akan fokus pada meninjau kesalehan ahli kitab yang lurus dan keselamatan Yahudi dan Nashrani yang notabenya sebagai ahli kitab dan shabi’in dan umat lain sebagaimana rumusan maslah di atas.
D.    Meninjau Kelompok Ahli Kitab Yang Jujur
Al-Qur’an merupakan pembenar (mushaddiq) terhadap kitab-kitab sebelumnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 48, yakni terkutip dalam ayat:
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ ...
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan (mushaddiq) apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian bagi kitab-kitab yang lain,…
Selain itu, diketahui bahwa nabi Muhammad memandang risalahnya sejalan dengan dan sebagai pelengkap kitab Taurat dan kitab Injil. bisa dilihat juga dari seringnya al-Qur’an menyebut kesaksian para ahli kitab atas kebenaran dan keaslian Islam itu sendiri. Sebagaimana al-Qur’an menenangkan nabi Muhammad ketika menghadapi orang-orang yang mencelanya di Mekah, lalu turunlah ayat “Dan janganlah kamu (Muhammad) berada dalam keraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang ahl- al-kitab sebelum kamu” (QS. Yunus:94). Bahkan al-Qur’an mengajak umat muslim sendiri untuk belajar tentang pengetahuan dan ketenangan hati dari umat-umat sebelumnya, “Maka bertanyalah kepada kaum ahl dzikr (Yahudi dan Nasrani) jika kamu tidak mengetahui (QS. AL-Nahl: 43). Lalu juga dalam kasus ketika Nabi Muhammad difitnah orang-orang Quraisy selama periode Makkah karena menyatakan bahwa neraka dijaga 19 malaikat, beliau mendapat hiburan dengan adanya pernyataan bahwa kaum ahl kitab dan orang-orang beriman membenarkan wahyu Allah tersebut (lihat QS. AL-Mudatsir: 31).[5]
Menurut Mahmoud Ayoub, telah ditegaskan sikap Islam terhadap Ahl Kitab adalah konfrontasi dan akomodasi. Lebih jauh, konfrontasi biasanya tidak hanya bekisar isu politik dan sosial, tetapi hingga pada isu-isu teologis: 1) seruan al-Qur’an untuk saling menerima dan mengakui. Berkenaan dengan kaum Yahudi, seruan ini adalah sebuah panggilan untuk meninggalkan (menurut al-Qur’an) kesombongan orang-orang Yahudi sebagai umat pilihan tuhan yang kemudian menjadi keniscayaan bagi mereka untuk menolak Islam dan nabinya (QS. Al-Baqarah:80, 142, dan QS. Al-Jumu’ah: 7); 2) tentang sifat dan misi kristus, sesuatu yang terus memecah belah kaum muslim dan Kristen.
Untuk akomodasi kaum Nasrani, terlihat dala m  QS. Al- Hadid:27, yang artinya Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
Maka kepada mereka yang fasik, biasanya akan terjadi konfrontasi. Sebagaimana konfrontasi langsung pertama dan besar adalah perdebatan Nabi Muhammad dan kaum Kristen Najran, sebuah daerah kristen di Yaman. Persinggungan ini oleh al-Qur’an diabadikan dalam sebuah ayat yang dikenal dengan mubahalah, memohon laknat Allah (QS. Ali Imran:61) di mana berdebat mengenai masalah kemanusiaan dan ketuhanan Kristus, di mana diakhiri bahwa orang-orang Najran memilih untuk berdamai. Di mana konklusinya ada pada QS. Ali Imran ayat 64.
64. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Dari ayat di atas, sangatlah jelas bagaimana kebenaran Islam yang menyembah hanya kepada Allah, dan umat Nasrani yang berselisih pun menerima dan berdamai. Namun karena fasik, mereka pun berpaling. Maka ditegaskan pula, kalaupun mereka berpaling kembali, ajaran Islam menegaskan bahwa umat muslim tetap memegang teguh Islam (berserah diri kepada Allah). Ayat ini pun senada sebagaimana sikap agama Islam terhadap agama lain dalam QS, Al-Kafirun: 1-6, yang diakhiri sikap Islam terhadap keberagamaan umat lain yakni lakum diinukum wa liya diin (untukkmu agamamu, dan untukku agamaku).
Walaupun tetap, dalam al-Qur’an dilanjutkan seruan dan peringatan terhadap ahli kitab, sebagaiamana dalam QS. Al-Maidah: 68 yang meyatakan ahli kitab tidak akan pernah berada di atas petunjuk yang benar hingga mereka kembali berepegang teguh kepada ajaran murni yang terkandung dalam kitab Taurat dan Injil. Dalam artian di sini, secara murni dan konsekuen mereka pun harusnya percaya kepada kitab al-Qur’an.[6]
Namun demikian dalam ayat lain, QS. Al-Maidah: 82-83 dinyatakan ada dari mereka yang menunjukkan persahabatan dan mengakui Nabi Muhammad SAW dan masuk Islam. Sebagaimana dalam dinyatakan: 82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.
83.Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).
Selain itu, diakui pula ada golongan umat lain, terutama ahli kitab tidak semuanya sama, ada dari mereka orang-orang yang lurus. Sebagaiamana dalam surah Ali Imran: 113-114
۞لَيۡسُواْ سَوَآءٗۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ أُمَّةٞ قَآئِمَةٞ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ يَسۡجُدُونَ ١١٣ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١١٤                           
113. Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)
114. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
Ayat tersebut secara tegas dan gamblang menggambarkan di antara ahli kitab masih terdapat golongan yang tetap istiqomah dengan ajaran agamanya. Perilaku mereka ditandai dengan sifat-sifat terpuji, seperti rajin membaca ayat-ayat Allah di tengah malam sambil mereka terus menerus melakukan ibadah. Mereka juga beriman kepada Allah dan hari kemudian, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar serta bergegas dalam kebajikan.[7]
Ayat di atas menurut Hasan Hanafi, sebagaimana dijelaskan Muhammad Galib bahwa dari seluruh penilaian Hasan Hanafi dari para ahli kitab terdapat juga orang Yahudi yang baik dan orang-orang Nasrani yang baik, yaitu mereka yang mempercayai satu Tuhan. mereka bersujud kepadaNya, mengikuti pesan yang disampaikan oleh para nabi, percaya pada hari pengadilan terakhir, berbuat baik dan menyuruh orang berbuat baik, serta melarang perbuatan jahat. Dalam hal ini al-Qur’an melihat kelompok minoritas ini sebagai orang-orang yang selamat dari kutukan-kutukan, dari kemurkaan dan pembalasan Allah. Dikatakan mereka merupakan hasil positif dari pengalaman wahyu terdahulu serta usaha para nabi sebelumnya.[8]
Berdasarkan ayat di atas, dalam tafsir Al- Manar, ketidaksamaan yang dimaksud dalam ayat Al-Imran:113-114, berdasar ayat sebelumnya Muhammad Abduh memahaminya ketidaksamaan itu dalam beragama, yakni sebagian beriman dan sebagian yang lain fasik. Dalam pandangan Abduh ahli kitab yang beriman secara benar adalah orang-orang saleh, dan mereka yang tidak beriman secara benar adalah orang-orang fasik. Di mana pula pembedaan ini memiliki makna teologis, mengenai keadilan Allah. Selain itu, apabila al-Qur’an tidak menyatakan ahli kitab yang saleh sebagai saleh dan yang fasik sebagai fasik, maka hal ini bisa menjadikan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan diragukan. Namun demikian, keimanan mereka hanyalah sebagai ummah qaimah, yakni sejumlah orang yang memiliki keberadaan dan tetap dalam kebenaran. Mereka yang beriman pun haruslah memenuhi lima sifat Ahli Kitab yang saleh yang disebutkan dalam ayat tersebut, menurut Abduh mereka adalah orang-orang yang baik jiwanya, lurus kelakuannya dan baik perbuatan-perbuatannya. Sesuai dengan pandangannya tentang  keimananan Ahli Kitab, maka Abduh mengakui adanya orang-orang yang saleh, namun jumlahnya hanya sedikit sehingga menjadi minoritas di kalangan mereka.[9]
Dalam konteks kekinian, keberimanan kepada Tuhan dianggap banyak orang yang memilikinya di luar Islam maupun agama samawi. Banyak ahli studi mengganggap, Tuhan yang dimaksud dalam Islam, Yahudi, Kristen, Hindu , Buddha dan sebagainya sama, hanya saja redaksinya berbeda, sebagaimana Allah, YHWH, Thian, Brahman dan sebagainya. Bila memang benar demikian, kesalehan dan kebaikan mereka tentunya akan mendapat ganjaran dari sang Maha Adil, yang memiliki panggilan berbeda di setiap pengalaman religius manusia.


E.     Posisi Keselamatan Ahli Kitab dalam Al-Qur’an

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِ‍ِٔينَ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢
62. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini jelas menegaskan pengakuan adanya keselamatan di luar umat Islam, yaitu Yahudi, Nashrani dan Shabi’in yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, beriman kepada hari dan mengerjakan amal saleh, amal perbuatan mereka oleh Allah tidak akan disia-siakan. Namun, menurut Amin Abdullah, sebagaimana dikutip M. Nurdin Zuhdi, kebanyakan para mufassir, termasuk kelompok Hizbut Tahrir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’in di dalam kedua ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’in yang telah masuk Islam. Penafsiran seperti ini menurut Amin Abdullah jelas tidak tepat (untuk tidak mengatakan salah)- karena seperti halnya yang bisa dipahami dari ayat-ayat tersebut, orang-orang muslim adalah yang pertama diantara keempat kelompok orang-orang yang percaya kepada Allah dan hari kiamat.[10]
 Dalam ayat 62 surat Al-Baqarah di atas, keselamatan yang di maskud di atas di ulangi dalam surah Al-Maidah: 69, asalkan hanya benar-benar beramal saleh.
69. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
            Dalam ayat 69 surah al-Maidah ini, barangkali apa yang dimaksud kelompok Yahudi, Nashrani, dan siapa saja yang beramal saleh, akan selamat, yakni mereka yang telah masuk Islam, hal ini terlihat dari kriteria hanya yang benar-benar saleh. Sebagaimana kekhususan yang dimaksud kelompok Hizbut Tahrir. Apalagi dalam ayat Al-Maidah: 69 ini perihal keberimanan mereka tidak dipertanyakan.
Namun, kalau dalam   QS Al-Baqarah:62, sebagaimana juga pendapat Abduh dan Ridha serta para mufasir lainnya, sangat jelas bagi umat Islam bahwa ajaran dan praktek dari kaum Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in pada umumnya ada sesuatu yang salah (tidak sesuai dengan Islam). Namun demikian, menurut Abduh dan Ridha dalam tafsir al-Manar, mereka itu ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat dan melakukan amal saleh. Menurut Abduh, jumlah orang yang seperti itu dalam agama mereka hanya sedikit dan tersembunyi, dalam sejarahnya mereka yang melakukan tindakan sesuai ayat 62  surah al-Baqarah di atas oleh agama resmi mereka malah didakwa kafir dan pengikut ajaran sesat.[11] Di mana ayat itu berlaku baik untuk masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang.
Bagi Abduh sendiri, ayat 62 berlaku untuk masa lalu hingga sekarang dan akan datang, sebagaimana dia perkuat dengan firman Allah surah an-Nisa: 123-124, 123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Namun bagi Abduh dan juga Ridha, mereka yang selamat berdasar ayat itu haruslah beriman dan beramel saleh dengan sebenarnya, tapi keselamatan itu khusus bagi ahli kitab yang dakwah Nabi tidak sampai kepada mereka atau sampai tapi tidak menurut sebenarnya, sehingga kebenaran Islam tidak tampak bagi mereka.[12]
Sementara bagi yang sudah sampai kebenaran dakwah ajaran nabi Muhammad, sebagaimana kaum Yahudi dan Nashrani zaman Nabi. Bagi ahli kitab untuk memperoleh keselamatan haruslah memenuhi lima, yakni dalam kalimat berita dalam QS. Ali-Imran: 199, 199. Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. Di tambah dalam dalam kalimat kondisional surah al-Maidah: 65 yang mensyaratkan keselamatan ahli kitab yakni beriman dan bertaqwa.[13] 65. Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Jadi, ahli kitab telah menerima kebenaran Islam haruslah memenuhi syarat dalam QS Ali Imran:199 dan QS Al-Maidah:65.
Kalau Abduh dan Ridha, keselamatan ahli kitab yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi, semisal suku Indian di Amerika pada zaman Nabi, atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam, haruslah memenuhi dua syarat dalam QS. Al-Baqarah: 62 (beriman kepada Allah dan beramel saleh). Di mana yang bisa memenuhi dua syarat itu tidak hanya ahli kitab, Yahudi, Nasrani dan juga Shabi’in, tetapi cakupannya lebih luas seperti kelompok Majusi dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana Asbabun Nuzun QS. Al-Baqarah: 62.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadis berikut: Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara salat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya (QS. Al-Baqarah: 62), "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian," hingga akhir ayat.[14] Bila ada ulama dan penafsir yang menkonklusi ayat 62 Surah Al-Baqarah, bahwa setelah ayat itu turunlah QS. Ali-Imran: 85, 85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Namun bagi, Abduh dan Ridha, untuk keselamatan ahli kitab yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam, haruslah memenuhi dua syarat dalam QS. Al-Baqarah: 62 (beriman kepada Allah dan beramal saleh). Di mana keselamatan itu dia perluas sebagai al-fatrah, yakni dengan kiriteria, 1) tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau dakwah Islam,  semisal suku Indian di Amerika pada zaman Nabi,  2) kepada mereka sampai berita ada nabi-nabi yang diutus, namun tidak satupun aturan agama nampak pada mereka. Sehingga mereka nampak beriman secara garis besar saja.[15] Namun Abduh dan Ridha tidak menjelaskan wujud keselamatan itu, bagi Ridha tentu tidak masuk akal jika mereka masuk surga dan mendapatkan keselamatan yang sama sebagaimana mereka yang benar pengikut nabi yang beriman dan beramal saleh. Yang masuk akal, Allah akan mengadili mereka dan memberi ganjaran yang sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan mereka tentang kebenaran dan kebaikan.[16] Dalam konteks kekinian, tentunya masih ada keselamatan, entah itu umat Yahudi, Nashrani, Hindu, Buddha dan sebagainya, asalkan memenuhi syarat dan prasyarat di atas.
F.     Kesimpulan
Berdasarkan QS. Ali-Imran:113-114, diketahui bahwa ahli kitab yang lurus, tetap konsisten di jalan Allah, memiliki 5 kriteria yang harus dipenuhi. Yakni: 1) membaca ayat-ayat Allah beberapa waktu di malam hari; 2) bersujud kepada Allah (bersembahyang); 3) beriman kepada Allah dan Hari Kiamat; 4) melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar; dan 5) bersegera melakukan kebajikan.  Namun, dalam konteks ini, menurut mufassir Islam, seperti Muhammad Abduh dan Hassan Hanafi, kelompok ahli kitab yang lurus yang memiliki 5 kriteria kesalehan di aas jumlahnya hanya sedikit. Maka, dalam konteks kekinian pun tetaplah sulit menemukan ahli kitab yang demikian, apalagi bila membatasi ahli kitab sebatas Yahudi dan Nasrani sebagaimana konteks zaman Nabi Muhammad.
Lalu untuk keselamatan Ahli Kitab QS. Al-Baqarah: 62, yakni Yahudi dan Nasrani, juga berlaku untuk shabi’in dan siapa saja yang untuk memperoleh keselamatan haruslah beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh. Namun dengan ketentuan, mereka haruslah orang-orang yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam. Sebab untuk kaum Yahudi dan Nasrani selaku ahli kitab pada umumnya, dalam QS. Ali-Imran:199 ahli kitab haruslah beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan yang diturunkan kepada Nabi mereka sebelumnya, jadi mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Atau dalam QS. Al-Maidah: 65, ahli kitab diharuskan beriman dan bertakwa untuk memperoleh keselamatan. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, ahli kitab yang memperoleh keselamatan haruslah orang-orang yang tidak sampai kebenaran ajaran Nabi atau sampai namun tidak tampak kebenaran Islam, namun jika mereka sengaja mengingkari (menukarkan) ayat-ayat Allah, untuk memperoleh keselamatan mereka haruslah mengimani apa yang diajarkan Nabi Muhammad.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif dan Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Ilyas, Hamim. Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim. Yogyakarta: Safira Insania Press. 2005.
M, Muhammad Galib. Ahl Al-Kitab. Yogyakarta: Ircisod. 2016.
Ayoub, Mahmoud Mustafa. Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam,  terj. Ali Noer Zaman .Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.2001.
Mustaqim, Abdul .Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS. 2010.
Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia: dari kontestasi metodologi hingga kontekstualisasi. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara. 2014.
Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62,  http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-62.html , 23 Mei 2018.


[1] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 58
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 180-181
[3] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif dan Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 139.
[4] Muhammad Galib M, Ahl AL-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 43
[5] Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam,  terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 214.
[6] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 232
[7] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 161
[8] Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab, (Yogyakarta: Ircisod, 2016), hlm. 162
[9] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 108-111
[10] M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari kontestasi metodologi hingga kontekstualisasi, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), hlm. 255-256.
[11] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 75
[12] Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 75-76
[13]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 80
[15]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 76
[16]Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005), hlm. 83-84

Sebuah Refleksi: Sisa Pengaruh Orientalisme dan Pengembangan Oksidentalisme




A.    Pendahuluan
Seperti apa sebenarya Orientalisme itu, apakah eksistensi orientalisme masih ada tentunya masih bisa diperdebatkan. Orientalisme sendiri dikatakan telah berganti dan berubah, hal tidak lepas dari peran seperti Edward Said yang mengkritik kajian orientalisme ini yang penuh bias dan dulu digunakan untuk  legitimasi kolonialisasi Barat atas Timur. Orientalisme tentunya sekarang telah berakhir, kini telah digantikan kajian semacam Islamic Studies di Barat. Sayangnya sampai sekarang, jarak antara Barat dan Islam masih ada, bias-bias terhadap Islam pun masih terasa bagi orang Islam.
Hal itulah yang mungkin membuat pengembangan Oksidentalisme, bisa dikembangkan lebih jauh. Hasan Hanafi, seorang tokoh Oksidentalisme sendiri menjelaskan perlunya tandingan orientalisme, yakni kajian  meneliti budaya Barat (Oksidentalisme) untuk menghadapi bias Barat yang masih ada setelah masa kolonialisasi. Di sisi lain, sosok Mukti Ali pun telah memiliki wacana tandingan atas kajian orientalisme, yakni mengkaji ulang kajian Barat atas Timur. Di sinilah sebenarnya pengembangan akan Oksidentalisme perlu dilakukan. Jadi, dari semua itu, pengembangan oksidentalisme seperti apa yang seharusnya dilakukan di masa sekarang? Itulah yang juga dibahas dalam tulisan ini.
B.     Sisa Pengaruh Orientalisme  Terhadap Timur (Islam)
Apa itu Orintalisme?, alangkah baiknya kita secara sederhana memahami dulu apa itu Orientalisme.  Orientalisme secara bahasa berarti ilmu yang mengkaji tentang dunia Timur.  Maka, Orientalis adalah orang yang mengkaji tentang dunia Timur. Dimana secara khusus Orientalis ini adalah orang Barat. Sayangnya, disini tidaklah jelas penggunaan istilah Timur ataupun Barat. Secara jelas, istilah ini merujuk pada sebuah tempat, seperti Eropa dan Amerika, namun dalam penggunaanya juga lebih merujuk pada orang tertentu. 
            Sebagaimana telah disebut orientalis adalah orang Barat, maka disini yang dimaksud adalah orang yang berkulit putih (merujuk ras dan warna kulit), selain itu maka bukanlah Orientalis. Maka, wajarlah jika maksud Timur dan Barat bukan merujuk sebuah geografis, melihat seperti orang Australia adalah orang Barat, walaupun berada di kawasan dunia bagian Timur. Akan tetapi, bila kita melihat negara Rusia dan sekitarnya (dulu Uni Soviet) akan cukup sulit pula mengatakan orang Rusia sebagai orang Barat, walaupun juga berkulit putih. Melihat bagaimana orang Rusia pun tidak begitu akrab dengan negara-negara Barat, akibat perbedaan ideologi. Melihat negara pecahan Uni Soviet pun juga ada negara berpenduduk Islam. Lalu orang Barat seperti apa yang pantas disebut orientalis?.Mengatakan orientalis adalah orang kulit putih, itu kurang pas, menyebut orientalis  orang di daerah Barat juga kurang tepat.  
            Mungkin akan lebih tepat bila kita melihat orientalis sebagai orang Barat yakni dalam pengertian orang Barat yang memiliki kultur yang berbeda dengan orang Timur. Sebagaimana kita bisa mengidentifikasinya berdasar pengertian orientalisme menurut Al Makin. Dimana Orientalisme adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang berbau timur mulai dari bahasa, budaya, politik, ekonomi, dan sejarah. Misalnya yang dimaksud dengan bahasa tentu bahas Timur yang lain dengan bahasa Barat, yaitu bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Spanyol, Latin dan Belanda. Maka, bahasa Timur meliputi bahasa Arab, India, Jawa, Urdu, Persia dan bahasa-bahasa lokal yang lain selain bahasa di Eropa.[1]Oleh karena identifikasi orang Barat itu kurang pas disederhanakan pada tempat dan ras nya, karena ternyata masih ada banyak konteks identifikasi lainnya.
            Apalagi di era Globalisasi yang semakin kompleks ini, segala sesuatunya menjadi bercampur aduk, sehingga identifikasi siapa orientalis pun jadi sukar. Namun, bila kita setuju orientalisme lahir bebarengan era kolonialisasi Barat, ataupun dimulai era perseteruan Kristen dan Islam seperti perang Salib dan sejenisnya. Maka, cukuplah mudah kita menebak bahwa orientalis ini adalah orang Barat yang mengkaji Timur sebagai alat “Kolonialisasi” di Timur, lalu secara khusus dapat dikaitkan untuk  alat perseteruan dominasi antara Orang Kristen Barat dan Orang Timur Islam. Dan di sinilah yang menjadi masalah bagi Orientalisme, dimana sebagai ilmu tentunya harus obyektif dan bukan malah untuk kepentingan dominasi atas Timur, atau secara khusus atas Islam.
            Kurang obyektifnya orientalis itu, semakin jelas sebagaimana identifikasi 3 ciri khas kajian awal orientalis menurut Al Makin: 1). pengkaji awal biasanya sangat terasa, dan terpengaruh dengan latar belakang Yahudi atau Nasrani, 2). (berisi tentang dan karena dianggap) Islam, Al Qur’an dan Hadis itu satu tradisi Yahudi dan Nasrani, sama-sama dari Timur Tengah, dan satu tradisi monoteisme semitik, 3). (lalu) Islam diletakan dalam sejarah manusia.[2] Maka, terlihat kajian awal orientalis pun juga sudah sejak awal fokus terhadap Islam, lihat tulisan Goldziher, Snouck Hugronje dan lain-lainnya. Bagaimana studi mereka tentang Timur dan Islam pun gencar dilakukakan masa itu dan digunakan orang-orang Barat untuk mendukung (melegitimasi) kolonialisasi ataupun dominasi Barat atas Timur.
Sekarang, kolonialisasi sudah tidak ada, secara fisik negara-negara Timur pun telah merdeka, bahkan ada yang telah menjadi negara maju. Dan terlihat berakhirnya kolonialisasi diikuti dengan redupnya kajian orientalisme, studi orientalisme pun sudah berubah di negara Barat. Walaupun hal ini tak lepas akan peran sosok Edward Said  mengkritisi Orientalisme yang ternyata kajiannya bias, dan sebagai alat dominasi Barat atas Timur. Karena itu, secara akademik, orientalisme yang bias ini telah berakhir dan memang harus berakhir.
Namun apakah studi orientalisme benar sudah berakhir?. Secara harfiah studi orientalisme di Barat telah tiada atau mungkin telah berubah. Akan tetapi apa yang disebabkan kajian orientalisme dulu tetap masih memisahkan Barat dan Islam, terutama dalam ranah politik, budaya dan ideologi (agama). Sampai sekarang, antara masyarakat Barat dan Islam pun masih ada jarak, walaupun dalam ranah studi akademik, ekonomi dan global, telah ada perbaikan hubungan Barat dan Islam, seperti orang Timur atau orang Islam banyak belajar di Barat bahkan berkolaborasi, hubungan perdagangan semakin meningkat serta  hadirnya Internet yang mempermudah dan memperdekat  dengan budaya Barat. Dimana ini ditambah juga seiring dengan era globalisasi yang semakin kompleks.
Tapi, masih adanya jarak antara Barat dan Islam ini bukanlah hal sepele, perebutan, persaingan dominasi di era globalisasi jelas adanya. Politik propaganda, dominasi, teutama terhadap Islam menjadi perhatian bersama. Hal ini dapat mengindikasikan kajian atau studi semacam orientalis masih ada, kalaupun benar tidak ada, setidaknya di ranah media, politik, ranah relasi global para orientalis tetap masih ada. Dan tentunya ini perlu dikritisi, kita perlu sosok seperti Edward Said lagi untuk mengatasinya. Lihat bagaimana labeling media terhadap imej Islam, sebagai teroris, radikal, hingga masih gencarnya muncul Islamphobia di Barat. Oleh karenanya, kita perlu memiliki dan mengatur strategi menghadapi hal-hal bertema efek budaya ini, yang masih menciptakan jarak antara Barat dan Islam, antara Barat dan Timur.

C.     Bentuk Baru Orientalisme Serta Pengaruh Budaya Barat dan Global
Kata Orientalisme di Barat barangkali telah tidak digunakan dan jarang dikenal, ibarat halnya sebuah nama yang kini menjadi sejarah. Barangkali jelaslah istilah Orientalisme tidak dipakai lagi dalam lingkup akdemik di Barat, bersamaan juga dengan mulai dihilangkannya penggunaan kata-kata seperti primitif, barbar dalam sebuah kajian Antropologi di abad 20. Lalu sama saja dengan bergantinya kajian studi sekte yang cenderung teologis dan normatif menjadi kajian New Religion Movements atau yang kita kenal dengan kajian Gerakan Keagamaan Baru yang lebih obyektif dan empiris. Ya, sebuah political correctness mampu merubah sebuah kajian studi sekte yang awalnya lahir dari teologi Kristen, kini telah berganti dan terlepas dari penilaian yang cenderung hanya tentang benar dan salah. Yang demikian pulalah yang juga terjadi terhadap Orientalisme, berkat Edward Said Orientalisme yang cenderung mengeneralisasi kini telah berubah, berubah menjadi kajian yang lebih spesifik dan beraneka ragam di Barat, semacam studi kawasan seperti studi Asia Timur, studi Timur Tengah, ataupun Studi Islam dan sejenisnya.
            Maka, secara formal jelaslah Orientalisme telah tiada, akan tetapi bukan berarti sisa bentuk semacam pengaruh Orientalisme sudah hilang. Menurut saya, sisa pengaruh Orientaliseme telah menjadi bentuk baru, yakni  yang dimaksud di sini adalah westernisasi dan berlanjut dalam globalisasi. Westernisasi ini adalah pengaruh budaya Barat, di mana segala sesuatu yang berasal dari Barat dianggap yang paling baik dan benar.  Namun tentu saja, kita tidak boleh juga menganggap segala seuatu yang berasal dari Barat tidak baik. Telah terbukti nyata gaya kritis dan ilmiah telah melahirkan inovasi di berbagai kehidupan manusia, Teknologi sebagai buktinya, di mana dengannya Barat, kini sebagai daerah Eropa dan Amerika Utara telah menjadi kawasan yang maju. Tidak hanya Barat, negara-negara lain pun yang menerapkan gaya kritis dan ilmiah telah menjadi negara maju, lihat saja Singapura, Jepang, Taiwan, Korea Selatan kini juga sudah berubah menjadi negara yang menguasai Teknologi dan tentunya menjadi negara Maju. Melihat kemajuan negara-negara di atas, jelaslah globalisasi dan westernisasi ada sisi positifnya.
            Lalu apa yang salah dari westernisasi dan globalisasi?, tentu saja pengaruh negatif dari keduanya. Pertama, pengaruh westernisasi terhadap jati diri, pengaruh di sini adalah pengaruh yang membuat sebagian besar orang Timur (Asia, Islam, Indonesia) merusak jati diri mereka. Di mana ini terlihat dalam diri seseorang yang melegitimasi Barat secara salah kaprah. Mereka bahkan meniru orang-orang Barat namun hanya secara luarnya saja, seperti mewarnai rambut mereka menjadi pirang, memutihkan kulit mereka, hingga berpakaian seperti orang Barat. Akan tetapi orang Timur lupa meniru gaya disiplin, manajemen waktu yang dilakukan orang Barat. Sehingga pada akhirnya orang Timur kehilangan jati diri terlihat campur aduk dan rusak.
Kedua, pengaruh globalisasi terhadap perilaku bebas dan konsumtif, pengaruh ini tentunya perilaku yang tidak mengindahkan moralitas. Hal itu terlihat seperti pengaruh negatif dari gaya sex bebas, hingga perilaku konsumtif. Dimana barangkali bermula dari pengaruh pornografi di dunia Internet, film, media (hasil budaya Barat) telah mempengaruhi perilaku penikmatnya. Tapi, globalisasi di sini  kita tidak semerta-merta mengatakan itu sebatas dari pengaruh Barat, karena globalisasi ini adalah mencakup seluruh pengaruh dunia. Di mana pengaruh globalisasi ini dapat berasal dari mana saja. Karena itu, globalisasi ini mampu menembus batas budaya dan menciptakan perebutan dominasi budaya. Tapi pada akhirnya, bagi negara yang kalah dominasi budaya, globalisasi ini akan menciptakan budaya konsumtif sebab juga berefek kalah bersaing  dalam berbagai bidang lain seperti teknologi, ekonomi, hingga ideologi.
            Demikian, tampaklah nyata pengaruh globalisasi maupun westernisasi, walaupun hal itu sudah tidak bisa dikatakan lagi hanya sebagai efek budaya Barat ataupun Orientalisme. Karena kini, pelaku westernisasi dan globalisasi ternyata tidak hanya orang Barat, tidak hanya orientalis, kini bahkan orang Timur seperti Orang Jepang, China, bahkan orang Arab menjadi pelaku dibalik globalisasi. Namun demikian, jelaslah sisa pengaruh Orientalisme, terdapat dalam bentuk westernisasi, lalu kini telah melebur dalam era globalisasi.
D.    Pengembangan Oksidentalisme
Pada masa kolonialisasi, semakin nyatalah jarak antara Barat dan Timur, di mana daerah Timur didominasi oleh orang-orang Barat. Jarak disini adalah sebuah gambaran bagaimana adanya perebutan, adanya konflik antara Barat dan Timur. Dan di belakang itu ada para orientalis yang melegitimasinya, mendukungnya. Bahkan, Turki Utsmani sebagai simbol kemegahan Islam yang masih bertahan dari penyerbuan Barat atas Timur, tetap terpengaruh atas propaganda para orientalis.
Lihat, terhadap Turki Utsmani saja, Bangsa Barat menghancurkan citra kemegahan Islamnya dengan memberikan propaganda, seperti dengan memberi gelar “orang sakit” terhadap Sultan Mahmud Abdul Aziz Murad dan juga Abdul Hamid. Hal ini tentunya memberi pengaruh terhadap daerah peradaban Islam saat itu, raja-raja Islam di Arab, Persia dan India mulai berputus asa melihat bentuk tekanan dari Barat tersebut.[3] Dimana propaganda semacam ini masih secara banyak didengungkan hingga sekarang, propaganda menjatuhkan Islam, terutama di media-media, semacam TV, Internet dan sebagainya.
Di sini, masalah semacam itu menjadi perhatian, terutama bagi kalangan orang Islam. Hadirnya Oksidentalisme, yang bersamaan dengan postmodernisme tentunya dapat ikut andil mengatasi kajian bias Orientalisme tersebut, menjadikannya pengaruh politik wacana Barat sebagai objek kajian oksidentalisme. Di mana terlihat Oksidentalisme ini telah mendapat angin segar pasca sosok Edward Said mengkritisi kajian orientalisme semacam itu, budaya tulis dan berpikir Barat yang masih bias.
Maka, apakah kajian Oksidentalisme ini sebatas kritik terhadap Orientalisme? Sebagaiamana Edward Said?, jawabannya tidak.  Karena jika merujuk oksidentalisme adalah tandingan orientalisme, maka secara bahasa oksidentalisme adalah ilmu yang mengkaji tentang dunia Barat. Sayangnya walaupun tidak demikian, ternyata kepopuleran kajian Oksidentalisme ini tetap belumlah berkembang pesat, belum banyak juga menaruh minat para sarjana.  Barang kali, Oksidentalisme ini masilah belum jelas objek maupun metode kajiannya. Ditambah setiap tokoh Oksidentalisme ternyata memiliki kerangka tersendiri mengenai Oksidentalisme ini.
Mungkin, yang paling jelas dan pas mengenai objek seperti apa kajian Oksidentalisme ini ada pada pemikiran tokoh bernama Hasan Hanafi. Sebagaimana tokoh Hanafi ini telah banyak memberikan sumbangan mengenai kajian oksidentalisme. Di mana seperti sudah sangat jelas objek kajian dari oksidentalisme ini, sebagaimana penjelasan oksidentalisme menurut Hasan Hanafi, yang dikutip Al Makin dalam bukunya Antara Barat dan Timur menuliskan bahwa:”Oksidentalisme sebagai tandingan orientalisme itu merupakan hal yang sangat penting pada masa revolusi berbalik setelah Barat kembali melakukakan serangan imperialisme kedua pasca gerakan pembebasan tanah air”.[4] Barangkali itulah ciri dan prospek perkembangan Oksidentalisme yang harus dikembangkan. Di mana terbukti di era globalisasi pengaruh dominasi budaya Barat, pertemuan Timur, Islam dengan budaya luar masih sangat terasa.
Namun, barangkali tentunya oksidentalisme tidak boleh sebatas melihat sosok Barat, karena di era globalisasi tidak hanya Barat saja yang mendominasi suatu budaya. Lihat,  bagaimana negara Timur China juga telah bangkit dan mampu bersaing, terutama dalam teknologi dan Informasi, lihat bagaimana merek teknologi dan Internet China seperti Xiaomi, Uc Browser, Tencent, dan lain-lain. Begitupun Korea dengan merk Samsung juga industri budaya K-Popnya, lalu Jepang dengan merk Sony juga dengan industri Anime nya, dan banyak negara lainnya. Semua itu telah mengalihkan perhatian kita, bahwa tidak hanya Barat yang harus dilihat. Dominasi Budaya ternyata tidak hanya dilakukan orang-orang Barat.  Karena itu, bentuk pertemuan dan perkembangan budaya semacam ini barang kali dapat dikaji pula dan dikaitkan dengan pertemuan lintas agama-budaya dengan perspektif  Islam sebagai objek kajian baru oksidentalisme.
Dimana menurut Al-Makin, kajian tentang Barat atau Budaya lain ini ternyata juga masih penuh prospek dan penting untuk memperkaya perspektif dalam memandang dunia. Sebab Oksidentalisme ini kajiannya dapat diperluas, seperti kajian tentang perbedaan budaya (tidak hanya Barat dan Timur), dengan mengkaji teks klasik, khazanah sejarah, dan juga budaya kontemporer. Dengan kata lain, tidak hanya mengkaji pertentangan Islam dan non muslim, juga harus ada tentang banyak agama dan tradisi. Karena dunia globalisasi ini, tidak hanya milik Barat dan Timur, bahkan Barat dan Timur pun juga beragam.[5] Jadi,  Oksidentalisme ini sebenarnya kajian penelitiannya dapat diperluas dan pada akhirnya, metode penelitiannya pun dapat beragam pula.
E.      Keharusan Kajian Oksidentalisme Sekarang
Kritik yang sering dilontarkan kepada kaum orientalis adalah bahwa keahlian dan kecakapan mereka hanyalah terbatas pada aspek eksternalitas (lahiriyah) dari agama. Banyak orang Islam, juga penganut agama lain, menuntut terlalu banyak dari seorang orientalis untuk memiliki komitmen yang lebih mendalam terhadap agama yang ia teliti. Barangkali di sini tuntutan tersebut terlalu berlebihan, walaupun dalam metodenya orientalisme terdapat metode emphaty,meskipun lagi-lagi hal demikian Cuma terbatas dalam kawasan metodologi, dan tidak sampai ke dalam wilayah penghayatan yang sesungguhnya.[6] Jika hal demikian yang sering terjadi (hingga sekarang), alangkah baiknya para orang Islam, juga penganut agama lain, berbicara sendiri terhadap agamanya (menggunakan Oksidentalisme), namun tetap menggunakan kaidah-kaidah ilmiah   supaya tetap obyektif dan tanpa bias. Sebagaimana pemikiran Mukti Ali, terhadap wacana Oksidentalisme adalah kajian tentang Timur, oleh orang Timur, dengan metode Barat.[7]
Konsekuensi dari pandangan Mukti Ali ini, Timur harus membuat suara berbeda terhadap segala yang sudah dikaji Barat, dengan cara mengkaji kembali kajian mereka, dan juga berbicara atas nama Timur. Ini merupakan pengertian lain dan dan cara lain membuat wacana tandingan orientalisme. Dengan metode yang sama, yaitu metode Barat, tapi perspektif yang digunakan berbeda. Dan ini tentunya berbeda dari gaya Oksidentalisme Hasan Hanafi, bagi Hanafi Timur mengkaji Barat, bagi Mukti Ali, Timur mengkaji Timur dengan kesadaran ilmiah dan juga memberikan solusi dan tesis yang berbeda dengan kajian Barat.[8] Barangkali gaya Mukti Ali ini hampir mirip dengan gaya Edward Said, dimana jika kita menganggap Said sebagai orang Timur, maka terlihatlah Said ini juga mengkaji (mengkritik) kajian Barat atas Timur, walaupun juga dapat dikatakan Said ini mengkritik bias Barat dalam budaya keilmuan mereka.
Hal itu terlihat bagaimana kajian Mukti Ali memperhatikan tentang peran Belanda, tradisi Leiden dalam era kolonialisasi yang telah mengkaji sejarah dan kebudayaan Indonesia. lalu juga mengkaji tokoh orientalisnya seperti Snouck Hugronje, Marsden, Raffles, Junyboll dan sebagainya.[9] Mukti Ali telah mengawali kajian (kritik) terhadap Orientalisme di Indonesia, dan tentunya masih banyak Orientalis lainnya yang datang bersamaan kolonialisasi yang perlu dikaji. Untuk itu, kajian terhadap tokoh orientalis Barat  haruslah dilanjutkan, dan ternyata ini masih dilakukan seorang bernama Frieda Amran, walaupun sekedar mengkaji ulang. Sebagaimana dituliskannya bahwa: pada tahun 1828 seorang dokter berbangsa Jerman, dr. Strehler, yang diterima bekerja sebagai tenaga medis di sebuah kapal Belanda yang berlayar ke Hindia Belanda[10]. Dalam salah satu bagaian tulisannya, dr. Strehler memberikan gambaran pribumi di Batavia secara etnosentris dan streotipikal, bahwa pribumi: ramah, sederhana, dan rajin bekerja, tetapi tidak berinisiatif, lamban dan emosional[11]. Disini terlihat embrio Oksidentalisme telah dimulai Mukti Ali dan juga dilakukan seorang bernama Frieda Amran. Itulah gaya Oksidentalisme yang terlihat lahir dari orang Timur dan dilakukan orang Timur. Tapi sayang itu hanya sekedar mengkaji ulang tulisan orang Barat, sehingga membuat kajian oksidentalisme kurang berkembang.
Dan itulah masalahnya, agar menjadi ilmu yang berkembang, barangkali seharusnya sebagai ilmu oksidentalisme tidak boleh terlihat hanya digunakan orang Timur. Sebagaimana dulu Orientalisme dan kini dalam Islamic Studies yang dilakukan di Barat, kini Studi Islam tidak hanya dilakukan orang Barat, tapi oleh orang Islam sendiri. Maka, sebagaimana Islamic Studies dari Barat yang melibatkan orang Islam sendiri, maka dalam Oksidentalisme keterlibatan orang Barat haruslah juga ada, tidak boleh hanya dari Islam, kaum Barat pun  haruslah menyadari ketimpangan kajiannya. Maka, orang Barat pun juga harus melakukan koreksi-koreksi dan rekonstruksi yang memungkinkan munculnya paradigma baru, meneliti Barat pula. Di sinilah peluang kajian Oksidentalisme masih relevan untuk berkembang, yakni dengan menggandeng orang Barat dalam meneliti Barat itu sendiri.
Sebagaimana ini dilakukan tokoh Barat seperti Louis Massignon, W. Montgomery Watt dan Wilfred Cntwell Smith. Mereka pun telah mengkoreksi atas penyimpangan kajian orientalisme yang terjadi pada periode sebelumnya(kini menjadi Islamic Studies di Barat).[12] Mereka pun pada akhirnya disebut tokoh Oksidentalisme pula, walaupun mereka dari Barat. Maka, di sinilah orang Islam harus berkolaborasi dan mengenal orang Barat untuk mengembangkan Oksidentalisme yang itu berobyek budaya Barat, sebagaimana sebenarnya Islam dengan Barat sendiri telah saling mengembangkan dalam kajian Islamic Studies.
F.     Penutup
Kajian Orientalisme dulu, memanglah terlihat penuh bias dan digunakan sebagai ajang dominasi Barat atas Timur, terkhusus atas Islam. Kini, kajian Orientalisme di Barat telah berganti Islamic Studies,yang mana dianggap lebih obyektif dan tanpa bias. Sayangnya, dalam kehidupan di masyarakat dunia, bias Barat atas Islam masih terasa efeknya, masih ada jarak, dalam kehidupan politik, budaya, dan global. Efek orientalisme terlihat muncul dalam budaya westernisasi dan globalisasi  (sekarang tidak sebatas pengaruh budaya orang Barat).
Dan itulah peluang pengembangan Oksidentalisme untuk mengatasi permasalahan tersebut, untuk mengatasi ketimpangan yang tercipta. Ternyata, Islamic Studies (yang telah berkembang dan dilakukan orang Barat maupun Islam) sendiri tidak cukup mengatasi permasalahan tersebut. Tapi Oksidentalisme di sini tidak boleh terus sekedar mengkaji ulang tulisan orang Barat atas Islam, ditambah apalagi hanya dilakukan orang Islam. Karena itu, sebagaiamana berkembangnya Islamic Studies, perlu orang Barat pula untuk mengembangkan Oksidentalisme, terutama untuk berkolaborasi dan mengenal obyek budaya Barat itu sendiri. Sehingga kajian Oksidentalisme sendiri dapat berkembang lebih jauh.

Daftar Pustaka
Al Makin.2015.Antara Barat Dan Timur.Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Ahmad,Munawar. 2013.Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.Yogyakarta: Suka-Press.


[1] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 42
[2] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 84-88
[3] Munawar Ahmad, Candy’s Bowl: Politik Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Yogyakarta: Suka-Press,2013, hlm. 46
[4] Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, hlm. 195
[5] Al Makin, Al Makin, Antara Barat Dan Timur, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015, 208-209
[6] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 212-213
[7] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 201-202
[8] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 202
[9] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 204
[10] Frieda Amran, Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan dr. Srehler,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2012,14
[11] Frieda Amran, Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers dan dr. Srehler,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2012,57
[12] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, 213

POSTINGAN TERBARU

Keselamatan Umat non Islam dalam Al-Qur'an

MENINJAU ULANG POSISI AHLI KITAB DALAM AL-QUR’AN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hermeneutika Dosen: Prof. Syafa...